Dekade antara tahun 1979 hingga 1989 merupakan periode paling transformatif sekaligus destruktif dalam sejarah modern Afganistan. Intervensi militer Uni Soviet, yang awalnya dimaksudkan sebagai operasi terbatas untuk menstabilkan rezim komunis yang goyah di perbatasannya, berkembang menjadi perang asimetris berkepanjangan yang menghancurkan struktur sosial tradisional, melahirkan krisis kemanusiaan global, dan mengubah peta geopolitik dunia secara permanen. Periode ini tidak hanya menandai benturan antara ideologi Marxis-Leninis dengan nilai-nilai Islam tradisional, tetapi juga menjadi inkubator bagi gerakan jihad transnasional yang dampaknya masih dirasakan hingga abad ke-21.
Lanskap Politik: Krisis Legitimasi dan Perpecahan Internal PDPA
Akar dari intervensi Soviet terletak pada kekacauan politik yang dimulai sejak Revolusi Saur pada April 1978, ketika Partai Demokratik Rakyat Afganistan (PDPA) menggulingkan Presiden Mohammad Daoud Khan dalam sebuah kudeta berdarah. PDPA, sebuah entitas politik Marxis-Leninis yang kecil namun vokal, segera memproklamasikan Republik Demokratik Afganistan (DRA) di bawah kepemimpinan Nur Muhammad Taraki. Namun, sejak awal berdirinya, rezim ini menderita cacat legitimasi yang parah dan perpecahan internal yang melumpuhkan.
PDPA terbelah menjadi dua faksi utama yang bersaing secara sengit: faksi Khalq (Massa) dan faksi Parcham (Bendera). Faksi Khalq, yang dipimpin oleh Taraki dan Hafizullah Amin, didominasi oleh etnis Pashtun dari latar belakang pedesaan dan kelas menengah bawah, dengan pendekatan ideologis yang radikal dan tidak kompromistis terhadap struktur kesukuan. Sebaliknya, faksi Parcham yang dipimpin oleh Babrak Karmal cenderung lebih moderat, kosmopolitan, dan memiliki basis dukungan di antara elit intelektual perkotaan serta birokrasi, dengan preferensi untuk melakukan transisi sosialis secara bertahap melalui aliansi front luas.
| Dimensi Analisis | Faksi Khalq | Faksi Parcham |
| Kepemimpinan Utama | Nur Muhammad Taraki, Hafizullah Amin | Babrak Karmal, Mohammad Najibullah |
| Basis Sosial | Pedesaan, Militer, Kelas Menengah Bawah | Perkotaan, Intelektual, Birokrasi |
| Komposisi Etnis | Mayoritas Pashtun (Ghilzai) | Lintas Etnis (Tajik, Pashtun perkotaan) |
| Strategi Politik | Revolusi Radikal, Pembersihan Elit | Aliansi Front Luas, Pragmatisme |
| Hubungan dengan Uni Soviet | Nasionalis-Marxis, Lebih Independen | Patuh pada Garis Moskow, Dianggap Boneka |
Ketegangan antara kedua faksi ini mengakibatkan pembersihan internal yang brutal segera setelah revolusi. Tokoh-tokoh Parcham diasingkan sebagai duta besar atau dipenjara, sementara para perwira militer Khalqi mengonsolidasikan kekuasaan melalui teror. Keadaan semakin memburuk ketika perselisihan pecah di dalam faksi Khalq sendiri antara pendukung Taraki dan Hafizullah Amin. Amin, yang menguasai jaringan militer, akhirnya mengudeta Taraki pada September 1979 dan memerintahkan pembunuhannya, sebuah tindakan yang memicu kemarahan di Moskow karena Uni Soviet lebih menyukai kepemimpinan Taraki yang dianggap lebih stabil.
Pemerintahan Amin yang sangat represif, ditandai dengan puluhan ribu eksekusi di penjara Pol-e Charkhi, memicu pemberontakan bersenjata yang meluas di seluruh provinsi. Uni Soviet, yang khawatir bahwa keruntuhan rezim komunis akan menciptakan kekosongan kekuasaan yang bisa dimanfaatkan oleh Amerika Serikat atau memicu kebangkitan Islam radikal yang meluap ke republik-republik Asia Tengah Soviet, memutuskan untuk melakukan intervensi langsung. Pada malam 24-25 Desember 1979, pasukan Soviet meluncurkan Operasi Storm-333, menyerbu Istana Tajbeg, membunuh Hafizullah Amin, dan menginstal Babrak Karmal dari faksi Parcham sebagai presiden baru dalam upaya untuk memberikan “wajah yang lebih moderat” bagi revolusi.
Dinamika Sosial: Transformasi Otoritas Tradisional dan Pergeseran Kekuasaan
Invasi Soviet mengakibatkan pergeseran mendasar dalam struktur kekuasaan di tingkat akar rumput Afganistan. Secara historis, otoritas di wilayah pedesaan didasarkan pada sistem kesukuan yang dipimpin oleh Malik (kepala desa) dan Khan (tuan tanah). Para pemimpin tradisional ini bertindak sebagai penengah antara negara dan komunitas lokal, mengelola sumber daya, dan menyelesaikan sengketa melalui dewan adat yang disebut Jirga atau Shura.
Namun, program reformasi agraria yang dipaksakan oleh rezim Khalq sebelum invasi telah menyerang basis ekonomi para Khan, sementara kampanye penangkapan massal menargetkan para pemimpin suku yang dianggap sebagai penghambat kemajuan sosialis. Intervensi militer Soviet melengkapi proses penghancuran otoritas tradisional ini dengan menciptakan kondisi peperangan yang menuntut kepemimpinan militer yang efektif daripada kepemimpinan administratif tradisional.
Selama dekade 1980-an, muncul kelas elit baru yang mendominasi lanskap sosial Afganistan: para “Komandan” militer (Commander) dan pemimpin agama militan (Mullah atau Mawlawi). Perubahan ini didorong oleh beberapa faktor krusial:
- Akses Terhadap Sumber Daya Eksternal: Bantuan militer dan finansial dari donor internasional (AS, Pakistan, Arab Saudi) disalurkan bukan melalui kepala suku tradisional, melainkan melalui faksi-faksi Mujahidin dan komandan lapangan yang memiliki kemampuan tempur.
- Legitimasi Jihad: Otoritas keagamaan menjadi sumber legitimasi utama dalam melawan penjajah “kafir” Soviet. Para Mullah yang sebelumnya hanya berperan dalam urusan ritual keagamaan di desa mulai mengambil peran politik dan militer sebagai penggerak massa.
- Ekonomi Perang: Kehancuran pertanian tradisional memaksa masyarakat untuk beralih pada ekonomi yang didorong oleh penyelundupan, perdagangan senjata, dan bantuan pengungsi, yang semuanya dikendalikan oleh para warlord atau komandan faksi.
| Struktur Otoritas | Era Pra-1978 | Era Invasi Soviet (1979-1989) |
| Pemimpin Lokal | Malik, Khan, Mir | Komandan Lapangan, Warlord |
| Sumber Legitimasi | Adat, Tanah, Keturunan | Kemampuan Militer, Jihad, Akses Senjata |
| Lembaga Pengambil Keputusan | Jirga Adat (Kesukuan) | Shura Militer (Faksional) |
| Ketergantungan Ekonomi | Pertanian Mandiri/Sewa Tanah | Bantuan Luar Negeri, Ekonomi Perang |
Pergeseran otoritas ini menciptakan fragmentasi sosial yang mendalam. Para komandan militer membangun pusat-pusat kekuatan otonom di berbagai provinsi, menciptakan sistem “feodalisme bersenjata” di mana loyalitas diberikan kepada individu yang bisa menjamin keamanan dan akses logistik. Meskipun faksi-faksi ini bersatu dalam perlawanan terhadap Uni Soviet, persaingan internal antara komandan tetap sangat tajam, sering kali meledak menjadi pertempuran antar-Mujahidin yang melemahkan kohesi nasional.
Keadaan Budaya: Modernisasi Paksa dan Reaksi Tradisionalisme Islam
Kebijakan budaya rezim PDPA selama era pendudukan Soviet ditandai dengan upaya “Sovietisasi” dan sekularisasi ruang publik yang sangat ditentang oleh mayoritas penduduk pedesaan. Di pusat-pusat kota seperti Kabul, Herat, dan Mazar-i-Sharif, rezim berupaya menciptakan tatanan sosial baru yang menyerupai model Asia Tengah Soviet.
Hak Perempuan dan Transformasi Gender di Perkotaan
Salah satu pilar utama reformasi PDPA adalah emansipasi perempuan. Pemerintah mengeluarkan Dekrit No. 7 yang menghapus praktik mahar (yang dianggap sebagai pembelian perempuan), menetapkan batas usia minimal pernikahan, dan mewajibkan pendidikan bagi anak perempuan. Di Kabul, pengaruh kebijakan ini sangat terasa di mana perempuan memperoleh kesempatan luas untuk memasuki angkatan kerja profesional, mengenyam pendidikan tinggi, dan memegang posisi dalam birokrasi pemerintahan.
Statistik menunjukkan bahwa pada akhir 1980-an, peran perempuan dalam sektor-sektor kritis di Kabul cukup signifikan:
- Sekitar 70% dari guru sekolah adalah perempuan.
- Sekitar 50% dari pelajar di Kabul adalah perempuan.
- Sekitar 40% dari dokter di ibu kota adalah perempuan.
- Sekitar 60% dari mahasiswa di universitas-universitas besar adalah perempuan pada tahun 1990.
Namun, keberhasilan ini terbatas pada pulau-pulau kosmopolitan di perkotaan. Di pedesaan yang konservatif, kebijakan ini dipandang sebagai serangan langsung terhadap kehormatan keluarga (Nang) dan integritas rumah tangga Muslim. Pemaksaan pendidikan bagi perempuan di desa sering kali menjadi pemicu kerusuhan lokal karena dianggap sebagai bentuk indoktrinasi komunis yang akan menjauhkan anak-anak dari ajaran agama. Kontradiksi budaya ini menciptakan jurang pemisah yang lebar antara elit perkotaan yang berorientasi sekuler dengan masyarakat pedesaan yang semakin beralih pada interpretasi agama yang ketat sebagai bentuk perlawanan.
Revolusi Pendidikan dan Indoktrinasi Ideologis
Sektor pendidikan diubah menjadi instrumen utama pembangunan negara sosialis. Uni Soviet menginvestasikan sumber daya yang besar untuk membangun kembali sistem sekolah Afganistan menurut model Soviet. Kurikulum dirombak secara drastis dengan penekanan pada materialisme dialektis, sejarah revolusi, dan bahasa Rusia sebagai bahasa asing utama. Lebih dari 10.000 pemuda Afganistan dikirim ke Uni Soviet dan blok Timur untuk mendapatkan pendidikan teknis dan indoktrinasi politik.
Di sisi lain, perlawanan Mujahidin juga menggunakan pendidikan sebagai alat mobilisasi. Di kamp-kamp pengungsian di Pakistan, kurikulum madrasah yang didanai oleh donor internasional sering kali mempromosikan interpretasi Islam yang militan dan berfokus pada jihad. Perbedaan radikal antara pendidikan pro-Soviet di Kabul dengan pendidikan pro-jihad di perbatasan menciptakan generasi muda yang sangat terpolarisasi, yang dampaknya terasa dalam perang saudara pasca-Soviet.
| Variabel Pendidikan | Sistem DRA (Dukungan Soviet) | Sistem Mujahidin (Kamp Pengungsian) |
| Bahasa Pengantar | Dari/Pashto, Rusia diwajibkan | Dari/Pashto, Arab ditekankan |
| Fokus Kurikulum | Sains, Marxisme, Ideologi Sekuler | Studi Agama, Retorika Jihad, Nilai Tradisional |
| Partisipasi Perempuan | Sangat didorong di semua tingkatan | Terbatas pada tingkat dasar/sekolah rumah |
| Tujuan Akhir | Menciptakan “Manusia Sosialis Baru” | Menciptakan “Pejuang Allah” (Mujahid) |
Dampak Ekonomi: Kehancuran Infrastruktur dan Munculnya Ekonomi Bayangan
Peperangan selama satu dekade menghancurkan fondasi ekonomi Afganistan. Sebagai negara yang 80% penduduknya bergantung pada sektor agraris, taktik militer yang digunakan oleh pasukan Soviet sangat merusak keberlangsungan hidup rakyat. Taktik pengeboman karpet di wilayah pedesaan dan penghancuran sistem irigasi kuno (Karez) dimaksudkan untuk memutus jalur logistik Mujahidin dengan cara mengosongkan penduduk dari wilayah konflik—sebuah kebijakan yang sering disebut sebagai “genosida migrasi”.
Kerusakan Pertanian dan Ketahanan Pangan
Sektor pertanian mengalami kemunduran yang sangat parah. Penggunaan ranjau darat secara masif (diperkirakan mencapai 10-15 juta ranjau) membuat jutaan hektar lahan pertanian tidak bisa lagi diolah. Hewan ternak dibunuh secara massal dan pohon-pohon buah ditebang sebagai bagian dari taktik bumi hangus.
Dampaknya terlihat pada angka produksi pangan:
- Produksi gandum menurun hingga ke tingkat di mana Afganistan harus bergantung sepenuhnya pada bantuan pangan dari Uni Soviet untuk memberi makan penduduk kota.
- Hasil panen pada tahun 1982 hanya mencapai seperempat dari tingkat produksi tahun 1978.
- Ekspor buah-buahan segar dan kering, yang sebelumnya merupakan andalan ekonomi, terhenti total akibat blokade dan kerusakan kebun.
Integrasi Ekonomi dengan Blok Timur
Dalam kondisi isolasi internasional, ekonomi Afganistan menjadi sangat terintegrasi dengan Uni Soviet. Eksploitasi sumber daya alam, khususnya gas alam di wilayah utara (Sheberghan), menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah Kabul. Namun, gas ini sering kali dijual ke Uni Soviet dengan harga di bawah pasar sebagai pembayaran atas biaya operasional militer Soviet di Afganistan, menciptakan siklus ketergantungan yang menjerat. Selain itu, Uni Soviet membangun infrastruktur strategis seperti jembatan (Jembatan Persahabatan di Hairatan) dan jalan raya (Terowongan Salang) yang lebih ditujukan untuk kepentingan logistik militer daripada pengembangan ekonomi domestik.
Pertumbuhan Ekonomi Opium
Salah satu konsekuensi ekonomi yang paling langgeng dari invasi Soviet adalah lahirnya ekonomi opium yang masif. Di tengah kehancuran pertanian pangan, petani di wilayah yang dikuasai Mujahidin atau warlord mulai menanam opium poppy sebagai tanaman komersial. Opium memberikan keuntungan tinggi, tahan lama untuk disimpan, dan mudah diselundupkan di tengah situasi perang. Para warlord menggunakan hasil penjualan narkotika ini untuk mendanai milisi mereka dan membeli senjata, yang menandai awal dari status Afganistan sebagai produsen opium terbesar di dunia.
Krisis Kemanusiaan: Pengungsian Massal dan Korban Sipil
Dampak kemanusiaan dari perang Soviet-Afganistan adalah salah satu yang terburuk di era modern. Skala kematian dan pengungsian sangat besar sehingga mengubah demografi wilayah tersebut secara permanen.
Korban Jiwa dan Cedera
Diperkirakan antara 1,24 juta hingga 2 juta warga Afganistan kehilangan nyawa selama konflik tersebut. Mayoritas korban adalah warga sipil pedesaan yang tewas akibat pengeboman udara, serangan artileri, dan eksekusi massal selama operasi pembersihan oleh pasukan Soviet dan DRA. Selain kematian, jutaan orang menderita luka-luka permanen. Afganistan menjadi negara dengan tingkat cedera akibat ranjau darat tertinggi di dunia, dengan banyak korban adalah anak-anak yang tertipu oleh ranjau “kupu-kupu” (PFM-1) yang berbentuk menarik seperti mainan.
Eksodus Pengungsi Global
Perang ini memicu gelombang pengungsian yang sangat masif, di mana sekitar sepertiga dari total populasi Afganistan melarikan diri ke luar negeri.
- Pakistan: Menampung sekitar 3,5 juta pengungsi di kamp-kamp di sepanjang perbatasan. Peshawar bertransformasi menjadi pusat politik dan logistik bagi Mujahidin, serta pusat distribusi bantuan internasional.
- Iran: Menampung sekitar 2 juta pengungsi, terutama mereka yang berasal dari etnis Syiah Hazara dan penduduk dari wilayah barat Afganistan.
- Pengungsian Internal: Sekitar 2 juta orang mengungsi di dalam negeri, dengan banyak yang pindah dari desa-desa yang hancur ke kota Kabul yang relatif lebih aman karena perlindungan ketat pasukan Soviet.
Eksodus ini mengakibatkan hilangnya tenaga terdidik dan terampil (brain drain) secara besar-besaran, yang menghambat upaya rekonstruksi negara di masa depan. Di kamp-kamp pengungsian, para pengungsi terpapar pada kondisi hidup yang keras dan indoktrinasi politik yang intens, yang pada akhirnya melahirkan budaya kekerasan baru yang dikenal sebagai “budaya Kalashnikov”.
Intervensi Internasional: Perang Proksi dan Geopolitik Global
Perang Afganistan menjadi teater paling berdarah dalam fase terakhir Perang Dingin. Apa yang dimulai sebagai konflik internal Afganistan segera berubah menjadi perang proksi berskala global di mana berbagai kekuatan internasional memiliki agenda masing-masing.
Peran Amerika Serikat dan Operasi Cyclone
Amerika Serikat, di bawah pemerintahan Jimmy Carter dan kemudian Ronald Reagan, melihat invasi Soviet sebagai peluang untuk membalas kekalahan mereka di Vietnam dengan menjebak Uni Soviet dalam konflik yang melelahkan. Melalui CIA, AS meluncurkan “Operation Cyclone”, program bantuan rahasia terbesar dalam sejarah badan tersebut untuk memasok senjata dan dana kepada Mujahidin. Pengenalan rudal anti-pesawat Stinger pada pertengahan 1980-an menjadi titik balik krusial dalam perang ini, karena melumpuhkan keunggulan udara Soviet dan memaksa Tentara Merah untuk mengubah strategi tempur mereka.
Peran Pakistan dan Arab Saudi
Pakistan, melalui badan intelijennya ISI, bertindak sebagai pengelola utama bantuan internasional. Pemerintah Zia-ul-Haq menggunakan posisi ini untuk memperkuat pengaruh Pakistan atas Afganistan dan mendukung faksi-faksi yang paling selaras dengan kepentingan Islamis mereka, terutama faksi Hezb-e Islami pimpinan Gulbuddin Hekmatyar. Arab Saudi juga memberikan kontribusi finansial yang sangat besar, menyalurkan dana melalui jaringan keagamaan dan mendukung komandan-komandan faksi yang mempromosikan ideologi Wahhabisme.
Munculnya “Arab-Afghans” dan Al-Qaeda
Konflik ini menarik perhatian dunia Muslim secara luas, memicu masuknya ribuan sukarelawan asing yang dikenal sebagai “Arab-Afghans” untuk bergabung dalam jihad melawan Uni Soviet. Tokoh kunci seperti Abdullah Azzam dan Osama bin Laden mendirikan organisasi logistik di Peshawar untuk menyambut para sukarelawan ini. Pengalaman tempur, pelatihan militer yang didanai AS/Saudi, dan jaringan transnasional yang terbentuk selama perang ini menjadi fondasi bagi berdirinya organisasi militan Al-Qaeda di kemudian hari.
| Aliansi Mujahidin | Basis Pendukung | Faksi Dominan | Ideologi |
| Peshawar Seven | Pakistan, AS, Arab Saudi | Hezb-e Islami, Jamiat-e Islami | Sunni Islamisme/Tradisionalisme |
| Tehran Eight | Iran | Al-Nasr, Pasdaran-e Jihad | Syiah Islamisme |
Penarikan Mundur dan Kegagalan Rekonsiliasi Nasional
Pada pertengahan 1980-an, Uni Soviet menyadari bahwa kemenangan militer tidak mungkin dicapai tanpa biaya yang sangat besar bagi stabilitas domestik mereka. Mikhail Gorbachev, yang mengadopsi kebijakan Perestroika dan Glasnost, memandang perang Afganistan sebagai “luka menganga” (bleeding wound) yang harus segera ditutup.
Mohammad Najibullah dan Rekonsiliasi Nasional
Untuk memfasilitasi penarikan mundur pasukan, Uni Soviet mengganti Babrak Karmal dengan Mohammad Najibullah, mantan kepala badan intelijen KHAD, pada tahun 1986. Najibullah meluncurkan kebijakan “Rekonsiliasi Nasional” yang bertujuan untuk mengakhiri perang melalui pembentukan pemerintahan koalisi dan pengembalian nilai-nilai Islam ke dalam konstitusi negara. PDPA secara formal diubah namanya menjadi Partai Watan (Tanah Air) dan Marxisme secara resmi ditinggalkan dalam retorika publik untuk menarik simpati kelompok moderat.
Namun, kebijakan ini gagal total karena beberapa faktor:
- Ketidakpercayaan kelompok Mujahidin terhadap tulusnya niat Najibullah, mengingat latar belakangnya sebagai kepala polisi rahasia yang brutal.
- Dukungan terus-menerus dari AS dan Pakistan kepada Mujahidin untuk mencapai kemenangan militer total.
- Perpecahan di dalam tubuh militer Afganistan yang masih terjangkit faksionalisme Khalq-Parcham.
Perjanjian Jenewa dan Penarikan Pasukan
Pada April 1988, Perjanjian Jenewa ditandatangani oleh Afganistan, Pakistan, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, yang menetapkan jadwal penarikan pasukan Soviet. Penarikan pasukan dimulai pada Mei 1988 dan selesai pada 15 Februari 1989, ketika Jenderal Boris Gromov menjadi tentara Soviet terakhir yang menyeberangi Jembatan Persahabatan menuju wilayah Soviet. Meskipun Soviet telah mundur, mereka tetap memberikan bantuan finansial dan militer masif kepada Najibullah hingga keruntuhan Uni Soviet sendiri pada tahun 1991.
Kesimpulan: Warisan Dekade Konflik Bagi Masa Depan Afganistan
Era intervensi Soviet di Afganistan (1979-1989) meninggalkan warisan yang sangat pahit dan kompleks. Perang ini tidak hanya mengakibatkan kehancuran fisik dan ekonomi yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih, tetapi juga secara mendasar mengubah jiwa sosial bangsa Afganistan.
Beberapa konsekuensi jangka panjang dari periode ini meliputi:
- Destatisasi dan Fragmentasi Kekuasaan: Negara kehilangan monopoli atas kekuasaan fisik, yang beralih ke tangan warlord faksional. Hal ini menciptakan kondisi anarki yang memicu perang saudara berkepanjangan pada tahun 1990-an.
- Radikalisasi Agama: Islam tradisional yang moderat dan berbasis kesukuan digantikan oleh ideologi Islam politik yang militan dan radikal, baik di kalangan pemerintah maupun perlawanan.
- Lahirnya Taliban: Kekacauan dan kebrutalan para warlord Mujahidin pasca-penarikan Soviet menciptakan kerinduan akan ketertiban, yang kemudian dimanfaatkan oleh gerakan Taliban yang muncul dari madrasah-madrasah di perbatasan Pakistan.
- Dampak Global: Kehancuran Uni Soviet sering kali dikaitkan dengan beban ekonomi dan moral dari perang ini, menjadikannya salah satu katalisator berakhirnya sistem bipolar dunia.
Pada akhirnya, keadaan Afganistan selama era Soviet adalah cerminan dari kegagalan rekayasa sosial paksa dan pengabaian terhadap realitas lokal oleh kekuatan besar. Ketegangan antara aspirasi modernitas perkotaan dengan nilai-nilai tradisional pedesaan, serta ketergantungan pada patronase asing, terus menjadi tema sentral dalam sejarah Afganistan hingga hari ini. Dekade 1980-an bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan akar dari krisis berkepanjangan yang masih mendefinisikan negara di kaki pegunungan Hindu Kush tersebut.
