Modernitas sering kali dipahami secara keliru sebagai sebuah proses konvergensi global yang tak terelakkan menuju model liberal-kapitalistik Barat. Pandangan konvensional yang dominan pada pertengahan abad ke-20 berasumsi bahwa kemajuan teknologi dan industrialisasi akan secara otomatis menghapus partikularisme budaya dan menggantinya dengan struktur sosial-politik yang seragam, yang berpusat pada individualisme, sekularisme, dan demokrasi prosedural. Namun, realitas sosiopolitik di Asia Timur dan Tenggara selama lebih dari satu abad terakhir telah meruntuhkan narasi tunggal tersebut. Fenomena ini memunculkan apa yang oleh Shmuel Eisenstadt disebut sebagai “Multiple Modernities” atau Modernitas Jamak—sebuah konsep yang menegaskan bahwa modernitas bukanlah sebuah paket peradaban yang harus diadopsi secara utuh dari Barat, melainkan sebuah program kebudayaan yang terus-menerus dikonstitusi dan direkonstitusi melalui interaksi dialektis antara tradisi lokal dan tantangan global.
Laporan ini mengeksplorasi secara mendalam bagaimana negara-negara utama di Asia, khususnya Jepang dan Tiongkok, berhasil menavigasi proses modernisasi yang pesat di bidang ekonomi dan teknologi sambil secara sadar mempertahankan—atau bahkan merevitalisasi—sistem nilai, etos kerja, dan struktur politik yang berbeda secara fundamental dari model liberal Barat. Lebih lanjut, analisis ini akan membedah kontestasi intelektual seputar “Asian Values” (Nilai-nilai Asia) sebagai sebuah ideologi modernitas tandingan (counter-modernity), sekaligus mengevaluasi kritik tajam yang melihat diskursus tersebut sebagai instrumen pembenaran otoritarianisme.
Kerangka Teoretis Modernitas Jamak dan Tandingan di Asia
Teori modernisasi klasik yang berkembang pasca Perang Dunia II berakar pada pemikiran tokoh-tokoh sosiologi seperti Marx, Durkheim, dan Weber, yang memprediksi bahwa rasionalisasi dan diferensiasi fungsional akan mengarahkan seluruh masyarakat di dunia menuju titik akhir yang sama. Premis utamanya adalah bahwa untuk menjadi modern, sebuah masyarakat harus meninggalkan identitas tradisionalnya dan mengadopsi struktur institusional Barat, termasuk sistem hukum representatif dan ekonomi pasar bebas yang teratomisasi.
Namun, kegagalan teori konvergensi ini menjadi nyata ketika masyarakat non-Barat, dimulai dari Jepang hingga kemudian Tiongkok dan “Macan Asia” lainnya, mengadopsi instrumen modernitas—seperti negara-bangsa, birokrasi rasional, dan sains tingkat tinggi—namun tetap mempertahankan inti kebudayaan yang sangat berbeda. Eisenstadt menjelaskan bahwa pertemuan antara modernitas Barat dan peradaban kuno Asia tidak menghasilkan penghancuran tradisi, melainkan transformasi mendalam pada premis-premis modernitas itu sendiri. Elit-elit di Asia melakukan apropriasi terhadap tema-tema universal modernitas untuk membangun identitas kolektif baru yang mampu bersaing secara global tanpa harus tunduk pada hegemoni kultural Barat.
| Parameter Analisis | Modernitas Liberal Barat | Modernitas Jamak Asia |
| Akar Filosofis | Pencerahan, Individualisme Atomistik | Konfusianisme, Kolektivisme, Komunitarianisme |
| Legitimasi Politik | Kontrak Sosial, Hak Sipil Prosedural | Kinerja Pembangunan, Harmoni Sosial, Stabilitas |
| Etika Ekonomi | Keuntungan Maksimal, Hak Milik Inviolabel | Etos Kerja Disiplin, Frugalitas, Tanggung Jawab Sosial |
| Relasi Negara-Pasar | Regulator Minimal (Laissez-faire) | Negara Pengembang (Developmental State) |
| Tujuan Akhir | Kebebasan Individu Maksimal | Ketertiban Masyarakat, Kemakmuran Kolektif |
Modernitas tandingan di Asia dicirikan oleh penolakan terhadap gagasan bahwa modernitas adalah milik eksklusif Barat. Dalam konteks ini, modernisasi diartikan sebagai kemampuan untuk memobilisasi sumber daya teknologi dan ekonomi guna memperkuat kedaulatan nasional dan martabat budaya. Hal ini melibatkan proses “inventing tradition,” di mana nilai-nilai lama diformulasikan kembali dalam bahasa modern untuk mendukung stabilitas politik dan produktivitas ekonomi.
Paradigma Jepang: Dari Restorasi Meiji hingga Society 5.0
Jepang berdiri sebagai contoh paling awal dan paling sukses di Asia mengenai bagaimana sebuah bangsa dapat melakukan lompatan modernitas tanpa kehilangan jiwanya. Sejarah modernitas Jepang bukan sekadar cerita tentang peniruan, melainkan tentang sintesis yang sangat terencana antara “Semangat Jepang” dan “Pengetahuan Barat”.
Restorasi Meiji dan Strategi Wakon Yosai
Pada pertengahan abad ke-19, Jepang menghadapi ancaman imperialisme Barat setelah berabad-abad menjalankan kebijakan isolasi diri (Sakoku). Restorasi Meiji (1868) bukan sekadar perubahan rezim, melainkan revolusi struktural yang bertujuan untuk membangun “Negara Makmur, Militer Kuat” (Fukoku Kyohei). Inti dari transformasi ini adalah filosofi Wakon Yosai—sebuah strategi hibrid yang mengadopsi teknologi militer, sistem industri, dan birokrasi hukum Barat, namun tetap mempertahankan etika Konfusianisme dan Shinto sebagai perekat identitas nasional.
Pemerintah Meiji secara sistematis mengirimkan pemuda-pemuda terbaiknya ke luar negeri untuk mempelajari sains dan teknologi, sementara di dalam negeri, mereka membangun sistem pendidikan wajib yang sangat menekankan nasionalisme dan loyalitas kepada Kaisar sebagai figur pusat stabilitas. Penghapusan sistem feodal keshogunan tidak diikuti oleh adopsi individualisme ala Barat; sebaliknya, struktur kesetiaan samurai dialihkan menjadi kesetiaan korporat dan nasional, yang kemudian menjadi fondasi bagi etos kerja kolektivis Jepang yang legendaris.
Evolusi Industri dan Struktur Korporasi Kolektif
Modernisasi ekonomi Jepang tidak mengikuti jalur kapitalisme pasar bebas yang murni. Sebaliknya, Jepang mengembangkan model “Developmental State,” di mana kementerian-kementerian kuat seperti MITI memainkan peran sentral dalam mengarahkan investasi industri. Di tingkat mikro, perusahaan-perusahaan Jepang (Zaibatsu dan kemudian Keiretsu) mengadopsi praktik manajemen yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kekeluargaan dan loyalitas jangka panjang.
Model tata kelola ini mengutamakan stabilitas pekerjaan dan pertumbuhan berkelanjutan di atas keuntungan jangka pendek pemegang saham—sebuah kontras tajam dengan model shareholder capitalism Anglo-Amerika. Keberhasilan Jepang untuk menjadi kekuatan industri terbesar kedua di dunia pada paruh kedua abad ke-20 membuktikan bahwa modernitas ekonomi dapat dicapai melalui struktur sosial yang tetap hierarkis dan komunitarian.
Society 5.0: Visi Modernitas Masa Depan yang Human-Centric
Saat ini, Jepang sedang memimpin inisiatif modernitas baru yang disebut “Society 5.0”. Konsep ini adalah respons terhadap tantangan global seperti penuaan populasi dan perubahan iklim, dengan memanfaatkan teknologi revolusi industri keempat (AI, IoT, Big Data). Namun, keunikan Society 5.0 terletak pada visinya yang “human-centered”.
Berbeda dengan beberapa visi teknologi Barat yang cenderung teknosentris atau didominasi oleh kepentingan komersial raksasa teknologi, Society 5.0 bertujuan untuk mengintegrasikan ruang siber dan ruang fisik demi kesejahteraan kolektif masyarakat. Dalam model ini, teknologi digunakan untuk memberdayakan lansia, mengurangi kesenjangan regional melalui drone dan telemedis, serta menciptakan “Imagination Society” yang kooperatif. Jepang sekali lagi menunjukkan bahwa kemajuan teknologi paling mutakhir dapat dan harus dipandu oleh nilai-nilai sosial yang menekankan harmoni dan inklusivitas.
Model Tiongkok: Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok dan Kapitalisme Negara
Jika Jepang adalah pionir modernitas Asia, Tiongkok adalah kekuatan yang paling secara radikal menantang ortodoksi Barat mengenai hubungan antara kapitalisme dan demokrasi liberal. Sejak dimulainya reformasi ekonomi oleh Deng Xiaoping pada 1978, Tiongkok telah menciptakan sebuah sistem unik yang disebut “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok”.
Dinamika Ideologi dan Revitalisasi Konfusianisme
Tiongkok secara sadar menolak resep “Washington Consensus” dan memilih jalur pembangunan yang dipandu oleh negara. Salah satu pilar stabilitas model Tiongkok adalah revitalisasi warisan intelektual kuno, khususnya Neo-Konfusianisme, sebagai dasar legitimasi politik. Kepemimpinan Tiongkok, terutama di bawah Xi Jinping, telah mengintegrasikan konsep “Masyarakat Harmonis” (Xiaokang) dan visi “Impian Tiongkok” sebagai alat untuk menyatukan kekuatan nasional dan mempromosikan spirit Tiongkok.
Revitalisasi ini bukan sekadar nostalgia, melainkan instrumen sosiopolitik yang efektif untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat yang mengalami perubahan ekonomi sangat cepat. Nilai-nilai seperti harmoni sosial, pemerintahan yang bijak, dan kebajikan moral (yen, yi, li) digunakan sebagai landasan normatif untuk menyeimbangkan dinamika pasar dengan kontrol negara yang kuat.
Arsitektur “Party-State Capitalism”
Modernitas ekonomi Tiongkok beroperasi melalui apa yang oleh pengamat disebut sebagai “Party-State Capitalism”. Dalam sistem ini, Partai Komunis Tiongkok (PKT) memegang kendali pusat atas keputusan strategis di sektor-sektor kunci ekonomi melalui perusahaan milik negara (SOE) dan pengaruh yang luas terhadap sektor swasta. Dua konsep utama yang mendefinisikan model ini adalah:
- Sentralitas Partai (Party Centrality): Partai memastikan bahwa manajer-manajer di perusahaan besar, terlepas dari kepemilikan ekuitasnya, memiliki insentif yang selaras dengan tujuan politik nasional. Pengangkatan manajerial sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan kesetiaan politik selain kinerja profesional.
Penjembatan Institusional (Institutional Bridging): Korporasi tidak hanya dipandang sebagai entitas bisnis, melainkan sebagai perpanjangan dari aparatus tata kelola negara yang bertanggung jawab atas stabilitas sosial, penyediaan lapangan kerja, dan pencapaian target teknologi nasional.
Visi Tiongkok mengenai modernitas adalah modernitas di mana pasar berfungsi sebagai alat kemajuan ekonomi, namun negara tetap menjadi arbiter terakhir atas kepentingan publik dan keamanan nasional. Model ini telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia, mengangkat ratusan juta orang keluar dari kemiskinan, dan menjadikan Tiongkok sebagai pemimpin global dalam bidang-bidang seperti infrastruktur digital, energi hijau, dan kecerdasan buatan.
Diskursus Nilai-nilai Asia (Asian Values) sebagai Fondasi Teoretis
Konsep “Asian Values” muncul sebagai kekuatan intelektual dan politik yang signifikan pada akhir abad ke-20, memberikan kerangka kerja bagi modernitas tandingan di Asia Tenggara dan Timur. Proponen utama seperti Lee Kuan Yew (Singapura) dan Mahathir Mohamad (Malaysia) berargumen bahwa kesuksesan ekonomi kawasan ini berakar pada sistem nilai yang berbeda dari Barat.
Pilar-pilar Utama dan Deklarasi Bangkok 1993
Nilai-nilai Asia menekankan bahwa kebebasan individu tidak boleh mengorbankan stabilitas masyarakat dan kemakmuran kolektif. Pilar-pilar fundamental dari diskursus ini meliputi:
- Kolektivisme di Atas Individualisme: Masyarakat adalah sebuah keluarga besar di mana individu memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus diprioritaskan di atas hak pribadi.
- Konsensus di Atas Konflik: Budaya politik Asia cenderung menghindari konfrontasi terbuka dan lebih menyukai pencarian mufakat melalui musyawarah.
Prinsip-prinsip ini diformulasikan secara politik dalam Deklarasi Bangkok tahun 1993, di mana negara-negara Asia menegaskan hak mereka untuk menentukan jalur pembangunan mereka sendiri dan mengkritik universalisme hak asasi manusia Barat sebagai bentuk imperialisme budaya baru.
Analisis Kritis: Justifikasi Otoritarianisme atau Fondasi Unik?
Diskursus Nilai-nilai Asia tidak lepas dari kritik tajam. Para kritikus, termasuk aktivis hak asasi manusia dan intelektual liberal, sering memandangnya sebagai “top-down invention” yang sengaja diciptakan oleh para elit penguasa untuk membungkam oposisi dan membenarkan praktik otoritarianisme. Dalam pandangan ini, klaim budaya digunakan sebagai topeng untuk melindungi kepentingan kekuasaan dari kritik internasional mengenai pelanggaran hak-hak sipil.
Namun, dari perspektif modernitas jamak, Nilai-nilai Asia mewakili upaya otentik untuk merumuskan kontrak sosial yang lebih sesuai dengan realitas sosiokultural kawasan tersebut. Pendukungnya berargumen bahwa model liberal Barat yang terlalu menekankan hak individu sering kali berujung pada kerusakan tatanan sosial, tingkat kriminalitas yang tinggi, dan disintegrasi keluarga—masalah yang ingin dihindari oleh masyarakat Asia.
Kritik Amartya Sen: Kebebasan, Pembangunan, dan Keragaman Sejarah Asia
Salah satu kritik paling berpengaruh terhadap tesis Nilai-nilai Asia datang dari ekonom pemenang Nobel, Amartya Sen. Dalam karyanya “Human Rights and Asian Values,” Sen menantang klaim bahwa tradisi Asia secara inheren bersifat anti-demokratis dan hanya mementingkan otoritas.
Dekonstruksi “Hipotesis Lee”
Sen membantah apa yang sering disebut sebagai “Hipotesis Lee”—gagasan bahwa pemerintahan otoriter lebih efektif dalam memacu pertumbuhan ekonomi daripada sistem demokratis. Menurut Sen, bukti statistik mengenai hal ini sangat meragukan. Meskipun beberapa negara otoriter seperti Tiongkok dan Singapura tumbuh cepat, banyak negara otoriter lainnya justru mengalami kegagalan ekonomi total. Sebaliknya, keberhasilan pembangunan di Asia lebih disebabkan oleh kebijakan publik yang inklusif—seperti investasi besar dalam pendidikan dasar, layanan kesehatan, dan reformasi lahan—yang sebenarnya sangat kompatibel dengan sistem demokratis.
Pluralisme dalam Sejarah Asia
Sen juga melakukan dekonstruksi sejarah untuk menunjukkan bahwa Asia memiliki tradisi panjang mengenai diskusi publik, toleransi, dan kebebasan intelektual. Ia merujuk pada tokoh-tokoh seperti Kaisar Ashoka di India kuno yang mempromosikan toleransi beragama melalui dekrit-dekritnya, atau Kaisar Akbar di Kekaisaran Mughal yang secara sadar membangun ruang dialog lintas iman. Oleh karena itu, Sen berargumen bahwa upaya para pemimpin modern untuk melabeli “Asia” sebagai entitas yang monolitik dan otoriter adalah sebuah kekeliruan metodologis yang mengabaikan keragaman tradisi di benua tersebut.
| Dasar Kritik Amartya Sen | Penjelasan Analitis |
| Kausalitas Ekonomi | Pertumbuhan didorong oleh kebijakan sosial (pendidikan/kesehatan), bukan oleh penindasan politik. |
| Penyaringan Sejarah | Tradisi Asia mencakup elemen kebebasan dan toleransi yang sering diabaikan oleh para elit modern. |
| Nilai Intrinsik Kebebasan | Kebebasan politik memiliki nilai inheren sebagai bagian dari kesejahteraan manusia, terlepas dari dampaknya terhadap PDB. |
| Ketahanan terhadap Krisis | Demokrasi menyediakan sistem peringatan dini (seperti pers bebas) yang dapat mencegah bencana seperti kelaparan massal. |
Analisis Ketahanan: Performa Ekonomi dan Respons terhadap Krisis Global
Ketahanan model modernitas Asia sering kali diuji oleh guncangan eksternal yang besar. Krisis Keuangan 1997, Krisis Keuangan Global 2008, dan Pandemi COVID-19 memberikan data empiris mengenai kekuatan dan kelemahan sistem yang berbasis pada nilai-nilai kolektif dan peran negara yang kuat.
Krisis 1997 vs 2008: Pembelajaran tentang Tata Kelola
Krisis 1997 pada awalnya dilihat sebagai kegagalan fatal dari model pembangunan Asia yang dianggap terbebani oleh “crony capitalism” dan kurangnya transparansi. Namun, proses pemulihan yang cepat menunjukkan kekuatan laten dari struktur sosial Asia. Jaringan keluarga dan bisnis yang erat berfungsi sebagai sistem jaminan sosial informal yang meredam dampak krisis bagi masyarakat bawah.
Sebaliknya, Krisis 2008 yang berpusat di Barat justru mempermalukan model liberal-kapitalistik. Negara-negara Asia dengan regulasi perbankan yang lebih konservatif dan campur tangan negara yang lebih aktif dalam menjaga stabilitas makroekonomi terbukti lebih resilien. Tiongkok, misalnya, mampu meluncurkan paket stimulus masif yang tidak hanya menyelamatkan ekonominya sendiri tetapi juga membantu menopang pertumbuhan global.
Pandemi COVID-19 dan Keunggulan Kolektif
Pandemi COVID-19 menjadi ujian terbaru bagi efektivitas kebijakan berbasis nilai. Data menunjukkan perbedaan mencolok antara respons negara-negara Asia (seperti Tiongkok, Korea Selatan, Vietnam, dan Singapura) dengan negara-negara Barat. Di Asia, budaya kolektivisme memudahkan pemerintah untuk mendapatkan kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan yang ketat, seperti pelacakan kontak yang agresif dan kewajiban masker.
Di banyak negara Barat, penekanan yang berlebihan pada kebebasan individu sering kali menghambat upaya koordinasi kesehatan masyarakat, yang berujung pada angka kematian yang jauh lebih tinggi pada tahap awal pandemi. Meskipun metode Tiongkok (lockdown ekstrem) sering dikritik sebagai pelanggaran hak asasi manusia, keberhasilannya dalam mengendalikan penyebaran virus secara cepat di awal pandemi memberikan argumen kuat bagi para pendukung model modernitas tandingan mengenai efektivitas negara yang kuat dalam situasi darurat.
Transformasi Tata Kelola Perusahaan: Konfusianisme vs Kapitalisme Pemegang Saham
Di dunia bisnis, ketegangan antara modernitas Barat dan Asia tercermin dalam perdebatan mengenai tata kelola perusahaan (corporate governance). Model Anglo-Amerika yang menekankan nilai pemegang saham jangka pendek (shareholder value) sering kali dianggap tidak kompatibel dengan budaya bisnis Asia yang menekankan harmoni jangka panjang dan loyalitas stakeholder.
Konfusianisme dalam bisnis diterjemahkan ke dalam pengembangan moral internal manajer, hubungan interpersonal yang harmonis dalam organisasi, dan tanggung jawab etis terhadap masyarakat luas. Di Jepang dan Korea Selatan, meskipun ada tekanan besar untuk mengadopsi standar akuntansi dan transparansi Barat pasca krisis 1997, banyak perusahaan tetap mempertahankan struktur hierarkis dan paternalistik mereka karena dianggap memberikan stabilitas yang lebih baik bagi karyawan.
Tiongkok melangkah lebih jauh dengan mengintegrasikan “Party Centrality” ke dalam tata kelola korporat, memastikan bahwa perusahaan-perusahaan besar tetap menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal ini menciptakan bentuk “Corporate Capitalism” yang unik, di mana efisiensi pasar dikombinasikan dengan arahan strategis dari negara dan partai.
Kesimpulan dan Outlook Masa Depan
Modernitas di Asia bukanlah sebuah proses peniruan yang pasif, melainkan sebuah perjuangan aktif untuk mendefinisikan identitas bangsa di tengah arus globalisasi. Melalui studi kasus Jepang dan Tiongkok, terlihat jelas bahwa kemajuan ekonomi dan kehebatan teknologi dapat dicapai melalui jalur-jalur sosiopolitik yang sangat beragam. Konsep “Wakon Yosai” di Jepang dan “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok” menunjukkan bahwa tradisi, etika kolektif, dan kontrol negara dapat menjadi mesin penggerak modernitas yang sangat efisien.
Meskipun diskursus Nilai-nilai Asia menghadapi tantangan dari perspektif hak asasi manusia universal—sebagaimana dikritik secara tajam oleh Amartya Sen—potensinya sebagai fondasi modernitas yang unik tetap tidak dapat diabaikan. Krisis-krisis global di abad ke-21 telah menunjukkan bahwa model liberal Barat bukanlah satu-satunya jawaban, dan sering kali memiliki kerentanan yang lebih besar dalam menghadapi tantangan sistemik.
Masa depan modernitas global kemungkinan besar akan ditandai oleh pluralitas model. Modernitas tandingan Asia akan terus berevolusi, mengintegrasikan teknologi masa depan seperti kecerdasan buatan ke dalam struktur sosial yang tetap menghargai harmoni, stabilitas, dan kesejahteraan kolektif. Bagi para pembuat kebijakan dan ilmuwan sosial, memahami dinamika “Modernitas Lain” di Asia bukan lagi sebuah pilihan, melainkan keharusan untuk menavigasi dunia yang semakin multipolar dan beragam secara kultural. Keberhasilan Asia dalam memadukan tradisi dengan inovasi memberikan pelajaran berharga bahwa jalan menuju kemajuan tidak harus mengorbankan akar peradaban.
Ketahanan Nasional=f(Teknologi,Ekonomi,Integrasi Budaya)
Analisis ini menyimpulkan bahwa modernitas jamak adalah realitas baru yang akan mendominasi abad ke-21. Asia telah membuktikan bahwa modernitas adalah sebuah proses terbuka, sebuah arena kontestasi di mana nilai-nilai lama dan baru dapat bersinergi untuk menciptakan bentuk-bentuk masyarakat yang tangguh, inovatif, dan bermartabat.
