Ketahanan pangan global saat ini berada pada titik nadir yang mengkhawatirkan, di mana konvergensi antara ledakan populasi dan eskalasi perubahan iklim menciptakan ancaman eksistensial bagi stabilitas nasional. Di Indonesia, tantangan ini termanifestasi secara nyata melalui anomali cuaca yang ekstrem, frekuensi El Nino yang meningkat, serta degradasi lahan produktif akibat salinisasi dan banjir bandang. Strategi pemuliaan tanaman konvensional, meskipun telah memberikan kontribusi signifikan selama beberapa dekade terakhir, kini dianggap tidak lagi mampu mengejar kecepatan kerusakan lingkungan yang terjadi. Dalam kegelapan krisis ini, teknologi pengeditan genom, khususnya sistem Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) dan protein terkait Cas9, muncul sebagai paradigma baru yang menawarkan presisi molekuler luar biasa untuk merancang ulang arsitektur genetik tanaman demi ketahanan terhadap bencana.

Evolusi Molekuler: Mekanisme dan Keunggulan Teknis CRISPR/Cas9

Sistem CRISPR/Cas9 bukan sekadar alat rekayasa genetika biasa; ia merupakan revolusi bioteknologi yang diadaptasi dari mekanisme imun adaptif bakteri terhadap serangan bakteriofag. Secara teknis, sistem ini beroperasi sebagai unit “gunting molekuler” yang dipandu oleh urutan RNA untuk melakukan pemotongan presisi pada lokus DNA tertentu dalam genom tanaman. Komponen fundamental dari arsitektur ini melibatkan protein nuklease Cas9 dan single-guide RNA (sgRNA) yang bertugas sebagai navigator.

Proses pengeditan dimulai dengan pengenalan target yang sangat spesifik, di mana sgRNA berikatan dengan urutan DNA target melalui perpasangan basa Watson-Crick sepanjang kira-kira 20 nukleotida. Namun, aktivitas pemotongan oleh Cas9 hanya dapat terjadi jika terdapat urutan protospacer-adjacent motif (PAM) yang terletak tepat di hilir situs target, biasanya berupa sekuen $5′-NGG-3’$ atau $5′-NAG-3’$. Begitu kondisi ini terpenuhi, Cas9 akan menginduksi double-strand breaks (DSBs) atau pemutusan utas ganda DNA. Pada tahap inilah mekanisme perbaikan alami sel tanaman mengambil alih proses, yang kemudian dimanfaatkan oleh para peneliti untuk menciptakan mutasi yang diinginkan.

Terdapat dua jalur utama reparasi DNA yang menentukan hasil akhir dari pengeditan genom tersebut. Pertama adalah Non-Homologous End Joining (NHEJ), sebuah proses yang cenderung menghasilkan kesalahan kecil berupa insersi atau delesi (indel) pada situs pemutusan. Jika indel ini terjadi pada wilayah pengkode protein, ia dapat menyebabkan pergeseran kerangka baca (frameshift mutation) yang secara efektif membungkam atau menonaktifkan gen target (knock-out). Teknik ini sangat efektif untuk menghilangkan sifat-sifat yang merugikan, seperti kerentanan terhadap patogen tertentu atau produksi senyawa anti-nutrisi. Jalur kedua adalah Homology-Directed Repair (HDR), yang membutuhkan adanya templat DNA donor yang homolog untuk menyisipkan atau mengganti urutan gen secara presisi (knock-in). Meskipun HDR menawarkan kontrol yang lebih besar, frekuensi keberhasilannya pada sel tanaman saat ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan NHEJ.

Salah satu lompatan kuantum yang ditawarkan oleh CRISPR dibandingkan dengan teknologi Organisme Hasil Rekayasa Genetika (PRG/GMO) konvensional adalah kemampuannya untuk menghasilkan tanaman yang bebas dari materi genetik asing atau transgene-free. Dalam metode transgenik tradisional, DNA asing dari spesies lain dimasukkan secara acak ke dalam genom inang, sering kali menetap secara permanen dan memicu perdebatan mengenai integritas biologis. Sebaliknya, pada sistem CRISPR, meskipun konstruksi pengeditan awalnya dimasukkan ke dalam tanaman, materi genetik asing tersebut dapat dihilangkan pada generasi berikutnya melalui proses segregasi genetik alami. Hasil akhirnya adalah individu tanaman yang membawa perubahan urutan DNA yang sangat spesifik namun tidak dapat dibedakan secara molekuler dari mutasi alami yang terjadi di alam.

Tabel 1: Perbandingan Parameter Teknis CRISPR/Cas9 dan Rekayasa Genetika Konvensional (GMO)

Parameter CRISPR/Cas9 (Genome Editing) Rekayasa Genetika Konvensional (GMO)
Sumber Materi Genetik Umumnya endogen (internal tanaman) Sering kali eksogen (dari spesies berbeda)
Presisi Lokasi Sangat Tinggi (Target spesifik pada lokus tertentu) Rendah (Penyisipan DNA secara acak)
Keberadaan Transgen Dapat dihilangkan melalui segregasi (Transgene-free) Menetap secara permanen dalam genom
Waktu Pengembangan Lebih Cepat (Dapat mencapai homozigot dalam satu generasi) Lambat (Membutuhkan banyak persilangan balik)
Metode Reparasi NHEJ atau HDR 3 Rekombinasi acak
Biaya Operasional Relatif lebih rendah dan efisien 3 Sangat tinggi karena regulasi yang kompleks

Meskipun memiliki presisi tinggi, tantangan teknis utama yang dihadapi oleh komunitas ilmiah adalah risiko efek off-target, yakni pemotongan DNA pada lokasi yang tidak diinginkan karena adanya kesamaan urutan parsial dengan target utama. Efek ini dapat menyebabkan mutasi yang merusak fungsi gen vital atau menciptakan fenotipe yang tidak stabil pada tanaman. Untuk memitigasi risiko ini, peneliti di Indonesia dan global mulai mengadopsi berbagai strategi optimasi, termasuk modifikasi struktur sgRNA secara in silico, penggunaan varian protein Cas yang memiliki spesifisitas lebih tinggi seperti Cas12a (Cpf1), serta metode pengiriman ribonucleoprotein (RNP) yang meminimalisir durasi paparan nuklease di dalam sel. Cas12a, misalnya, menunjukkan keunggulan signifikan dibandingkan Cas9 karena memiliki aktivitas di luar target yang jauh lebih rendah, dengan situs off-target yang terdeteksi secara drastis lebih sedikit dalam percobaan laboratorium.

Penciptaan Tanaman Super: Rekayasa Ketahanan terhadap Cekaman Abiotik

Dalam konteks Indonesia, fokus utama bioteknologi tanaman diarahkan pada pengembangan varietas padi, jagung, dan tebu yang mampu menghadapi cekaman lingkungan yang kian mematikan. Kekeringan dan banjir merupakan dua sisi mata uang dari krisis iklim yang secara rutin menghancurkan produktivitas lahan pertanian nasional.

Mitigasi Kekeringan melalui Modifikasi Genetik

Kekeringan merupakan salah satu pembatas utama produksi padi di lahan tadah hujan, yang menyumbang porsi besar dari total luas tanam di Indonesia. Respons tanaman terhadap stres air sangatlah kompleks, melibatkan berbagai jalur pensinyalan molekuler. Salah satu gen kunci yang menjadi target pengeditan adalah Dehydration-Responsive Element-Binding 2A (DREB2A), sebuah faktor transkripsi yang mengontrol ekspresi gen-gen responsif terhadap dehidrasi dan suhu tinggi. Penelitian pada varietas padi lokal Jawa Timur telah mengidentifikasi keberadaan gen DREB2A ini, yang memberikan landasan bagi pemuliaan molekuler untuk meningkatkan ekspresinya guna memperkuat stabilitas membran sel dan efisiensi penggunaan air pada kondisi ekstrem.

Selain itu, manipulasi pada gen GA20ox-2 telah terbukti mampu menciptakan galur padi semi-kerdil pada kultivar model seperti Kitaake. Tanaman yang lebih pendek ini memiliki keunggulan strategis dalam menghadapi bencana angin kencang atau hujan lebat yang sering menyebabkan “rebah” (lodging). Dengan arsitektur batang yang lebih kokoh dan pendek, risiko kerusakan fisik dapat diminimalisir, sementara energi tanaman dapat dialokasikan lebih efisien untuk pengisian biji daripada pertumbuhan vegetatif yang berlebihan. Teknologi CRISPR memungkinkan perubahan ini dilakukan dengan akurasi yang sedemikian rupa sehingga sifat-sifat unggul lainnya dari varietas asal tidak terganggu.

Ketahanan terhadap Banjir dan Salinitas

Anomali cuaca sering kali menyebabkan banjir bandang yang merendam tanaman padi dalam waktu lama, yang secara fisiologis akan memicu asfiksia pada jaringan tanaman. Pengembangan varietas yang memiliki toleransi terhadap rendaman—sering disebut sebagai varietas “Scuba”—menjadi prioritas dalam program pemuliaan nasional. Melalui pengeditan genom, peneliti dapat memodifikasi gen-gen dalam jalur pensinyalan etilen, seperti lokus Sub1, yang memungkinkan tanaman untuk “tidur” atau menghemat cadangan energi saat terendam air, sehingga mereka dapat pulih kembali dengan cepat setelah air surut.9 Pendekatan serupa diterapkan pada lahan rawa payau untuk meningkatkan ketahanan terhadap salinitas, di mana manipulasi pada transporter ion dalam sel akar dapat mencegah akumulasi natrium yang toksik bagi tanaman.

Pertahanan terhadap Hama dan Penyakit: Implikasi Ekonomi dan Lingkungan

Cekaman biotik berupa serangan hama dan patogen sering kali menjadi penyebab utama kehilangan hasil panen di Indonesia. Implementasi rekayasa genetika modern telah menunjukkan dampak yang sangat nyata, terutama pada komoditas jagung. Jagung PRG varietas Bt 11, misalnya, telah disisipi dengan gen dari bakteri Bacillus thuringiensis yang mampu memproduksi protein kristal toksik bagi larva ordo Lepidoptera, seperti penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis).

Dampak agronomis dan ekonomi dari adopsi jagung Bt 11 di Indonesia sangatlah signifikan. Penggunaan varietas ini mampu menekan kebutuhan pestisida kimia hingga 80%, yang secara langsung mengurangi paparan bahan kimia berbahaya bagi petani dan lingkungan. Secara statistik, produktivitas jagung Bt 11 tercatat 59% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas konvensional, yang jika diadopsi secara luas, diproyeksikan dapat menyumbang tambahan produksi nasional sebesar 370,72 ribu ton dengan nilai ekonomi mencapai Rp 7 triliun.

Tabel 2: Dampak Implementasi Komoditas Bioteknologi di Indonesia

Komoditas Inovasi Genetika Dampak Utama Statistik Signifikan
Jagung Bt 11 Gen Bt (Ketahanan Hama) Reduksi Pestisida dan Kenaikan Hasil Reduksi pestisida 80%; Hasil naik 59%
Tebu NXI-4T Toleransi Kekeringan Peningkatan Rendemen di Lahan Kering Produksi 30-40% lebih tinggi (77,67 kw/ha)
Padi GA20ox-2 Knock-out (Semi-kerdil) Ketahanan terhadap Rebah (Lodging) Fenotipe tanaman lebih pendek dan kokoh
Terung (Eggplant) Knock-out Gen PPO Pengurangan Kecokelatan (Browning) Kualitas pasca-panen lebih baik
Singkong Editing eIF4E Resistensi Virus Brown Streak Penurunan insiden gejala penyakit

Selain ketahanan terhadap hama, teknologi CRISPR juga digunakan untuk memperbaiki kualitas nutrisi dan estetika produk. Sebagai contoh, pengeditan pada gen Polyphenol Oxidase (PPO) pada terung dan kentang telah berhasil mengurangi proses oksidasi yang menyebabkan kecokelatan setelah pemotongan, yang pada gilirannya memperpanjang masa simpan dan mengurangi limbah makanan. Di sektor perkebunan, tebu PRG NXI-4T yang dikembangkan oleh PTPN XI menunjukkan peningkatan hasil yang dramatis pada kondisi lahan kering, memberikan margin keuntungan tambahan bagi petani tebu rakyat hingga Rp 20 juta per hektar per musim tanam.

Dialektika Regulasi: Menavigasi Legalitas Bioteknologi di Indonesia

Lanskap regulasi bioteknologi di Indonesia tengah mengalami transformasi fundamental untuk menyesuaikan diri dengan kecepatan inovasi global. Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, Indonesia telah mengadopsi pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) yang sangat ketat. Namun, munculnya teknologi pengeditan genom menciptakan tantangan baru bagi otoritas regulasi karena sifat produk akhirnya yang sering kali tidak mengandung DNA asing.

Perkembangan terbaru yang paling krusial adalah diterbitkannya Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 19 Tahun 2024 tentang Pengawasan Pangan Rekayasa Genetik. Peraturan ini secara eksplisit memperkenalkan kategori baru untuk produk pengeditan genom, memberikan diferensiasi yang jelas antara produk yang dianggap sebagai PRG (transgenik) dan produk hasil genome editing yang dapat diklasifikasikan sebagai pangan non-PRG atau konvensional.

Poin-poin fundamental dari regulasi baru ini mencakup:

  1. Klasifikasi Berbasis Bukti: Pangan hasil pengeditan genom yang terbukti tidak mengandung materi genetik asing dapat diposisikan sebagai pangan konvensional, sehingga tidak perlu melewati proses pengkajian keamanan hayati PRG yang memakan waktu bertahun-tahun.
  2. Ambang Batas Pelabelan: BPOM menetapkan ambang batas 5% kandungan DNA rekayasa genetik untuk kewajiban pencantuman label “PRODUK REKAYASA GENETIK” pada kemasan pangan olahan. Jika kandungan di bawah ambang tersebut, atau jika produk telah melalui proses pemurnian (seperti minyak goreng dan gula) yang menghilangkan protein atau DNA rekayasa, maka label tersebut tidak diwajibkan.
  3. Masa Transisi Industri: Memberikan grace period selama 12 bulan bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan pelabelan produk mereka dengan standar baru yang ditetapkan.
  4. Sinergi Kelembagaan: Pengkajian teknis tetap melibatkan Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH-PRG) dan Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH) untuk memastikan bahwa setiap inovasi memenuhi standar keamanan lingkungan, pakan, dan pangan.

Kebijakan ini merupakan langkah progresif yang diharapkan dapat menstimulasi riset domestik, mengingat hambatan biaya regulasi sering kali menjadi penghalang utama bagi institusi publik dan perusahaan lokal untuk merilis varietas unggul ke pasar. Namun, di balik kemudahan ini, pemerintah tetap mewajibkan pengujian toksisitas dan alergenisitas yang ketat untuk memastikan bahwa perubahan genetik yang dilakukan tidak menciptakan risiko kesehatan baru bagi konsumen.

Kontroversi dan Perspektif Sosio-Etis: Suara Petani dan Hak Kedaulatan

Meskipun secara teknis dan ekonomi bioteknologi menawarkan solusi brilian, penerimaan publik di Indonesia masih terbelah oleh isu-isu etika, kedaulatan, dan keadilan ekonomi. Salah satu penentang paling vokal adalah Serikat Petani Indonesia (SPI), yang memandang promosi benih rekayasa genetika sebagai bentuk ancaman terhadap kemandirian petani.

Kritik utama berfokus pada sistem perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) yang melekat pada benih hasil rekayasa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (UU PVT), pemegang hak PVT memiliki hak eksklusif untuk menggunakan dan memberikan persetujuan atas penggunaan varietasnya untuk tujuan komersial. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan ketergantungan petani pada pasokan benih dari korporasi multinasional dan menghapuskan tradisi menyimpan benih dari hasil panen sendiri. Pelanggaran terhadap hak PVT, seperti penggunaan benih yang dilindungi tanpa izin untuk propagasi komersial, dapat berakibat pada hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

Dari sudut pandang petani mandiri, kedaulatan pangan harus berbasis pada bank benih lokal dan pemuliaan tanaman yang menghargai kearifan tradisional. Mereka mendesak pemerintah untuk melindungi varietas lokal dari upaya “pembajakan biopiracy” melalui paten internasional. Meskipun UU PVT memberikan pengecualian bagi petani kecil untuk menyimpan benih demi kepentingan sendiri (bukan komersial), batasan interpretasi “kepentingan sendiri” sering kali menjadi area abu-abu yang rentan kriminalisasi.

Di sisi lain, faktor agama memberikan dukungan yang cukup kuat melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 35 Tahun 2013. MUI menyatakan bahwa melakukan rekayasa genetika pada hewan, tumbuhan, dan mikroba hukumnya adalah mubah (boleh) selama dilakukan untuk kemaslahatan, tidak membahayakan manusia maupun lingkungan, dan tidak menggunakan gen yang berasal dari tubuh manusia atau sumber yang haram. Fatwa ini sangat krusial dalam membangun kepercayaan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim terhadap keamanan dan kehalalan produk pangan bioteknologi.

Integrasi Bioteknologi dalam Ekosistem Pertanian Cerdas

Masa depan ketahanan pangan Indonesia tidak hanya bergantung pada gen dalam benih, tetapi juga pada bagaimana benih tersebut ditanam. Sinergi antara bioteknologi dan Smart Farming atau pertanian presisi menjadi kunci untuk efisiensi sumber daya di tengah keterbatasan lahan produktif.

Sistem Controlled Environment Agriculture (CEA), termasuk pertanian vertikal dan hidroponik, menawarkan solusi untuk memproduksi pangan di tengah keterbatasan lahan perkotaan. Metode ini mampu mengurangi penggunaan air hingga 90% dibandingkan pertanian konvensional. Dalam ekosistem yang terkendali ini, varietas tanaman yang telah diedit genetiknya untuk memiliki siklus hidup lebih pendek, tidak membutuhkan penyinaran matahari penuh, atau memiliki kandungan nutrisi yang diperkaya (biofortifikasi), dapat tumbuh dengan efisiensi maksimal.

Namun, tantangan operasional yang signifikan tetap membayangi sistem ini di Indonesia. Studi kasus pada Majafreshindo Green Farm menunjukkan bahwa biaya energi untuk pencahayaan dan pompa air, serta investasi awal teknologi IoT, merupakan beban finansial yang berat bagi pelaku usaha menengah. Selain itu, terdapat perdebatan mengenai jejak karbon pertanian perkotaan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa urban farming bisa memiliki jejak karbon 6 kali lipat lebih besar daripada pertanian konvensional jika infrastrukturnya tidak dirancang secara berkelanjutan atau bersifat sementara. Hal ini menekankan pentingnya integrasi teknologi bioteknologi—seperti tanaman yang lebih efisien dalam metabolisme energi—untuk menekan biaya operasional dan dampak lingkungan dari sistem pertanian modern.

Tabel 3: Tantangan Integrasi Bioteknologi dan Teknologi Pertanian Modern

Dimensi Tantangan Utama Solusi Berbasis Data/Kebijakan
Teknis Risiko off-target dan mutasi yang tidak diinginkan Penggunaan alat in silico dan nuklease Cas spesifisitas tinggi
Ekonomi Biaya investasi awal (CAPEX) yang tinggi untuk CEA Insentif pemerintah dan pengembangan teknologi lokal
Hukum Konflik antara hak paten benih dan hak petani mandiri Reformasi UU PVT untuk melindungi varietas lokal dan petani kecil
Lingkungan Jejak karbon tinggi pada infrastruktur pertanian perkotaan Penggunaan material reklamasi dan daur ulang sampah menjadi pupuk
Sosial Ketidakpercayaan publik terhadap keamanan pangan PRG Edukasi berbasis sains dan pelabelan transparan sesuai regulasi BPOM

Visi Strategis Menuju Kedaulatan Pangan Berbasis Sains

Analisis komprehensif ini menegaskan bahwa bioteknologi, khususnya pengeditan genom melalui CRISPR/Cas9, bukan lagi sekadar eksperimen laboratorium, melainkan pilar strategis bagi ketahanan nasional Indonesia. Potensi untuk menciptakan tanaman “super” yang mampu bertahan di tengah banjir, kekeringan, dan serangan hama telah terbukti memberikan dampak ekonomi nyata, mulai dari penghematan triliunan rupiah hingga peningkatan kesejahteraan petani melalui efisiensi input kimia.

Namun, perjalanan menuju adopsi massal masih membutuhkan orkestrasi yang apik antara inovasi sains, keberpihakan hukum, dan keterlibatan sosial. Pergeseran regulasi melalui BPOM No. 19/2024 merupakan sinyal positif bahwa Indonesia siap menyongsong era genome editing dengan pragmatisme ilmiah. Namun, perhatian ekstra harus diberikan pada nasib petani kecil agar kemajuan teknologi ini tidak menjadi alat marginalisasi baru melalui monopoli benih.

Keberlanjutan pertanian masa depan Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menyeimbangkan antara hak pemulia atas inovasi mereka dan hak petani atas kedaulatan benih mereka sendiri. Di tingkat teknis, penguatan kapasitas riset nasional untuk menghasilkan varietas bebas-transgen yang spesifik terhadap tantangan lokal (seperti varietas padi lahan gambut atau jagung tahan kering di NTT) harus menjadi prioritas utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan kementerian terkait.

Secara keseluruhan, CRISPR dan pengeditan genom menawarkan peluang emas untuk “mempercepat” evolusi tanaman pangan kita agar mampu mengejar kecepatan kerusakan iklim yang kian tak terkendali. Dengan landasan etika yang kuat, regulasi yang adaptif, dan teknologi yang merakyat, visi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia di tengah ancaman bencana global bukan lagi sekadar impian, melainkan tujuan yang dapat dicapai secara saintifik.

Rekomendasi Kebijakan dan Implementasi

Untuk mengoptimalkan potensi bioteknologi dalam menciptakan tanaman super tahan bencana di Indonesia, beberapa langkah strategis direkomendasikan bagi pemangku kepentingan:

  1. Akselerasi Riset Varietas Lokal: Pemerintah perlu memberikan pendanaan khusus bagi pemuliaan tanaman menggunakan CRISPR pada varietas lokal yang memiliki nilai adaptasi tinggi terhadap lingkungan spesifik Indonesia, guna menghindari ketergantungan pada plasma nutfah luar negeri.
  2. Harmonisasi Standar Keamanan: Menetapkan protokol deteksi yang terstandarisasi secara nasional menggunakan metode digital PCR atau qPCR untuk membedakan produk pengeditan genom dari PRG konvensional secara akurat, mendukung implementasi regulasi BPOM yang baru
  3. Perlindungan Hak Petani Kecil: Perlu adanya revisi atau panduan teknis turunan dari UU PVT yang secara spesifik melindungi hak petani kecil untuk mengembangkan varietas turunan esensial dari varietas lokal tanpa ancaman kriminalisasi, selama tidak untuk tujuan komersial skala besar.
  4. Promosi Pertanian Berkelanjutan: Mengintegrasikan tanaman hasil bioteknologi ke dalam program Smart Farming yang menggunakan energi terbarukan dan material ramah lingkungan untuk menekan jejak karbon infrastruktur pertanian perkotaan.
  5. Dialog Nasional Berkelanjutan: Membangun forum komunikasi permanen antara ilmuwan bioteknologi, organisasi petani, tokoh agama, dan regulator untuk menjamin bahwa setiap inovasi yang dirilis telah melewati proses audit sosial yang transparan dan inklusif.

Dengan sinergi lintas sektoral ini, bioteknologi tidak hanya akan menjadi solusi teknis bagi tantangan iklim, tetapi juga menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran jangka panjang bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

34 − 27 =
Powered by MathCaptcha