Dunia pasca-Perang Dingin awalnya dibayangkan sebagai era di mana konsensus global terhadap demokrasi liberal dan pasar bebas akan menjadi norma universal yang tak terbantahkan. Namun, realitas geopolitik di dekade ketiga abad ke-21 menunjukkan fragmentasi yang mendalam, di mana ketegangan antara nilai-nilai yang didorong oleh institusi global dan ideologi nasionalis yang menolak intervensi eksternal semakin meruncing. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan fundamental bagi para analis hubungan internasional: apakah konflik global saat ini merupakan “Bentrokan Peradaban” yang bersifat kultural dan religius, ataukah sebuah “Bentrokan Ideologi” baru yang dimediasi oleh perebutan kontrol atas teknologi, data, dan sumber daya alam?. Analisis mendalam menunjukkan bahwa meskipun elemen budaya memainkan peran sebagai identitas pemersatu, mesin penggerak konflik yang sebenarnya adalah persaingan antara model tata kelola liberal yang bersifat ekspansif dan model nasionalisme otoriter yang mengedepankan kedaulatan absolut sebagai mekanisme perlindungan diri dari hegemoni Barat.

Paradigma Kontemporer: Meninjau Kembali Tesis Huntington di Era Globalisasi

Samuel Huntington dalam karya monumentalnya, The Clash of Civilizations, berpendapat bahwa sumber utama konflik di dunia baru bukanlah ideologi atau ekonomi, melainkan identitas budaya dan agama. Menurut Huntington, peradaban adalah entitas budaya tertinggi yang dimiliki manusia, dan “garis patahan” di antara peradaban-peradaban inilah yang akan menjadi medan tempur masa depan. Huntington mengidentifikasi tujuh atau delapan peradaban utama, termasuk Barat, Islam, Konfusian (Sinic), Hindu, Slavia-Ortodoks, Amerika Latin, dan Afrika.

Tesis ini didasarkan pada enam alasan utama mengapa peradaban akan saling berbenturan. Pertama, perbedaan antarperadaban bukan hanya nyata, melainkan fundamental karena mencakup sejarah, bahasa, tradisi, dan yang paling krusial, agama. Kedua, dunia menjadi tempat yang semakin sempit, meningkatkan interaksi yang justru mengintensifkan kesadaran akan perbedaan. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial memisahkan orang dari identitas lokal yang lama, di mana agama kemudian mengisi celah tersebut sebagai dasar identitas yang melintasi batas nasional. Keempat, pertumbuhan kesadaran peradaban diperkuat oleh peran ganda Barat yang berada di puncak kekuasaan, sementara di saat yang sama terjadi fenomena “kembali ke akar” di kalangan peradaban non-Barat. Kelima, karakteristik budaya lebih sulit diubah atau dikompromikan dibandingkan perbedaan politik atau ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi yang meningkat justru memperkuat kesadaran peradaban karena keberhasilan regionalisme sering kali bergantung pada akar budaya yang sama.

Namun, realitas abad ke-21 menunjukkan bahwa bentrokan ini sering kali bersifat ideologis dalam bingkai nasionalisme otoriter. Munculnya “nasionalisme populist” di banyak negara merupakan reaksi terhadap kegagalan model globalisasi liberal yang dianggap tidak mampu mengelola krisis, seperti Krisis Finansial Global 2008 dan pandemi 2020. Dalam konteks ini, ideologi nasionalis menolak campur tangan institusi global seperti PBB, WTO, atau IMF yang dianggap sebagai perpanjangan tangan kepentingan Barat.

Dimensi Konflik Karakteristik Peradaban (Huntington) Karakteristik Ideologi (Liberal vs Nasionalis)
Dasar Identitas Agama, tradisi sejarah, dan bahasa. Kedaulatan negara, hak individu, dan model ekonomi.
Aktor Utama Kelompok budaya besar (Peradaban). Negara-bangsa dan institusi supranasional.
Pemicu Utama Gesekan di garis patahan budaya. Ketimpangan global dan campur tangan asing.
Sifat Nilai Inherent dan sulit berubah (ascriptive). Politis dan dapat dinegosiasikan melalui institusi.
Visi Dunia Dunia multipolar yang terbagi secara budaya. Pertarungan antara tatanan global dan isolasi nasional.

Liberalisme Internasional dan Tantangan terhadap Universalisme

Liberalisme dalam hubungan internasional, yang sering disebut sebagai internasionalisme liberal, bertumpu pada keyakinan bahwa tatanan dunia yang damai dapat dicapai melalui kerja sama internasional dan ketergantungan ekonomi. Para penganut liberalisme berargumen bahwa kerugian ekonomi dan korban sipil dari penggunaan kekuatan militer jauh melebihi manfaatnya, sehingga mereka lebih memilih menggunakan instrumen ekonomi dan diplomatik untuk mencapai tujuan nasional. Dominasi sistem ini terlihat dari penguatan institusi seperti PBB yang mempromosikan standar hak asasi manusia sebagai norma universal.

Namun, universalitas nilai-nilai liberal ini menghadapi tantangan dari doktrin relativisme budaya. Pihak yang mendukung universalitas berpendapat bahwa hak asasi manusia yang dijamin dalam perjanjian internasional harus berlaku di semua negara, terlepas dari praktik budaya atau agama. Sebaliknya, penganut relativisme budaya berargumen bahwa memaksakan norma internasional untuk mengesampingkan dikte budaya dan agama adalah pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Debat ini sering kali dibingkai sebagai pertarungan antara “nilai-nilai Barat” yang bersifat individualistik melawan “nilai-nilai non-Barat” yang lebih mengutamakan komunitas dan kewajiban sosial.

Deeper insight mengenai ketegangan ini menunjukkan bahwa nasionalisme otoriter sering kali menggunakan argumen relativisme budaya sebagai alat untuk melegitimasi kontrol kekuasaan dalam negeri. Dengan mengklaim bahwa demokrasi atau hak-hak tertentu tidak cocok dengan “karakter bangsa,” penguasa otoriter dapat menolak kritik internasional terhadap pelanggaran HAM sebagai bentuk imperialisme moral.

Studi Kasus I: Konflik Diplomatik dan Reformasi Hukum di Indonesia

Indonesia memberikan studi kasus yang kaya mengenai bagaimana sebuah negara demokrasi berkembang menyeimbangkan antara komitmen pada norma internasional dan tuntutan kedaulatan domestik. Salah satu titik gesekan yang paling menonjol adalah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada tahun 2022/2023. Revisi ini dipandang oleh banyak pihak internasional sebagai langkah mundur bagi hak asasi manusia dan kebebasan sipil, sementara pemerintah Indonesia membela langkah tersebut sebagai upaya “dekolonisasi” hukum nasional.

Dalam perspektif hukum internasional, Indonesia menghadapi tantangan dalam menerapkan hukum pidana lintas batas, terutama yang melibatkan prinsip teritorial dan prinsip nasional aktif. Meskipun Indonesia secara formal berkomitmen pada prinsip-prinsip internasional, seperti yang termaktub dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik (VCDR), terdapat ketegangan antara kepatuhan pada reputasi internasional dan kebutuhan politik lokal yang menuntut kedaulatan hukum yang lebih tegas.

Beberapa isu HAM signifikan di Indonesia yang menjadi sorotan internasional meliputi:

  • Kebebasan Berekspresi:Laporan menunjukkan masalah berkelanjutan terkait kemerdekaan peradilan dan kebebasan pers.
  • Keadilan Transisional:Kritik terhadap program pemulihan non-yudisial bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang dianggap kurang detail dan tidak menjamin akuntabilitas.
  • Hak Minoritas:Penerapan peraturan daerah berbasis agama (seperti syariah di Aceh) yang kadang diterapkan pada non-Muslim, menimbulkan perdebatan tentang batasan otonomi daerah versus standar HAM nasional dan internasional.
  • Kekerasan Aparat:Laporan mengenai penggunaan kekuatan berlebih oleh kepolisian, seperti dalam tragedi Stadion Kanjuruhan yang mengakibatkan 135 kematian.

Data perbandingan antara KUHP lama (1946) dan KUHP baru (2023) dalam konteks kedaulatan hukum dapat dilihat pada tabel berikut:

Aspek Hukum KUHP 1946 (Warisan Kolonial) KUHP 2023 (Versi Baru)
Prinsip Utama Menekankan ketertiban umum gaya kolonial. Penekanan pada dekolonisasi dan nilai-nilai lokal.
Prinsip Teritorial Fokus pada lokasi kejahatan di wilayah negara. Memperkuat yurisdiksi atas tindakan di dalam wilayah.
Prinsip Nasional Aktif Memungkinkan penuntutan WNI di luar negeri. Diperluas untuk mencakup lebih banyak jenis tindak pidana.
Respons Internasional Diterima sebagai norma yang ada. Dikritik sebagai ancaman bagi privasi dan kebebasan sipil.

Analisis terhadap dinamika ini menunjukkan bahwa Indonesia menerapkan “kepatuhan strategis.” Di satu sisi, negara tetap mengikuti mekanisme institusional seperti nota diplomatik dan negosiasi multilateral untuk menjaga stabilitas hubungan luar negeri, namun di sisi lain, negara menggunakan ruang abu-abu politik-hukum untuk melindungi kepentingan rezim domestik dan mengakomodasi tuntutan kelompok nasionalis-konservatif.

Studi Kasus II: Nasionalisme Sumber Daya dan Sengketa Perdagangan Global

Bentrokan antara nilai pasar bebas global dan nasionalisme ekonomi tercermin sangat jelas dalam kebijakan hilirisasi nikel Indonesia. Sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia, Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih nikel mentah untuk memaksa pembangunan industri pengolahan dalam negeri. Kebijakan ini merupakan manifestasi dari nasionalisme sumber daya, di mana negara menegaskan kontrol atas kekayaan alam untuk kepentingan pembangunan nasional daripada sekadar menjadi pemasok komoditas bernilai rendah.

Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan kemudian dilanjutkan dalam narasi Presiden Prabowo Subianto, berargumen bahwa kebijakan ini sangat logis untuk keluar dari jebakan sebagai pengekspor bahan mentah. Namun, Uni Eropa menggugat kebijakan ini di WTO, mengklaim bahwa larangan ekspor tersebut merupakan praktik perdagangan yang tidak adil dan melanggar aturan multilateral.

Statistik Sektor Nikel Indonesia Data / Nilai
Total Cadangan Bijih Nikel (2023) 5,32 miliar ton (naik 5,90% dari 2022)
Total Cadangan Logam Nikel (2023) 56,12 juta ton (naik 1,91% dari 2022)
Lonjakan Nilai Ekspor (2017-2023) Meningkat 745% (US4miliarkeUS33,81 miliar)
Target Produksi Baterai EV (2030) 140 GWh per tahun
Dampak Ekologi Penambangan terbuka (strip mine) sebagai penyebab deforestasi

Implikasi dari kebijakan ini melampaui sekadar angka ekonomi. Dari perspektif keamanan sumber daya (resource security), Indonesia melakukan sekuritisasi terhadap nikel karena perannya yang krusial dalam transisi energi global (baterai kendaraan listrik). Namun, melalui lensa Teori Dependensi, terdapat kritik bahwa kebijakan ini justru menciptakan ketergantungan baru pada modal dan teknologi asing, terutama dari Tiongkok, yang mengoperasikan hampir 90% smelter nikel di Indonesia. Hal ini menciptakan paradoks: retorika nasionalisme digunakan untuk mengusir pengaruh Barat (UE), namun secara de facto meningkatkan ketergantungan pada kekuatan timur (Tiongkok).

Studi Kasus III: Kedaulatan Digital dan Fragmentasi Internet Global

Ketegangan antara kebebasan global dan kontrol nasionalistik mencapai puncaknya di ruang digital. Pemerintah di seluruh dunia semakin berupaya mempertahankan “kedaulatan digital” melalui mandat lokalisasi data, yang mengharuskan data disimpan di dalam yurisdiksi tempat data tersebut dikumpulkan. Meskipun sering kali dibenarkan dengan alasan keamanan nasional atau privasi, kebijakan ini sering kali merupakan upaya terselubung untuk menegaskan kontrol domain digital domestik.

Negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, Vietnam, dan India telah menerapkan mandat lokalisasi yang ketat. Fenomena ini berkontribusi pada balkanisasi internet atau “Splinternet,” di mana jaringan global yang dulunya terbuka kini bermetamorfosis menjadi kumpulan kantong data regional yang terfragmentasi. Hal ini menciptakan dilema bagi perusahaan teknologi global; mematuhi satu hukum negara sering kali berarti melanggar hukum negara lain, seperti ketegangan antara GDPR Uni Eropa dan Stored Communications Act Amerika Serikat.

Kasus TikTok dan Geopolitik Data

Kasus TikTok memberikan gambaran nyata tentang bagaimana keamanan nasional digunakan sebagai alasan untuk tindakan proteksionis. Pemerintah Amerika Serikat mengkhawatirkan kepemilikan ByteDance (perusahaan Tiongkok) atas TikTok karena potensi pengumpulan data pengguna massal oleh Partai Komunis Tiongkok.

Langkah-langkah kunci dalam sengketa digital ini meliputi:

  1. Perintah Eksekutif Trump (2019):Menargetkan ancaman dalam rantai pasokan teknologi informasi.
  2. RUU Divestasi H.R. 7521 (2024):Memaksa ByteDance untuk menjual TikTok atau menghadapi larangan di AS.
  3. Putusan Mahkamah Agung AS (2025):Menegakkan otoritas pemerintah untuk meregulasi platform yang dianggap sebagai risiko keamanan.

Ketegangan ini menunjukkan bahwa bahkan di negara-negara liberal, “nasionalisme digital” mulai menggantikan idealisme internet terbuka demi kepentingan keamanan nasional dan kedaulatan ekonomi.

Kritik Sistemik: Perspektif Ekofeminisme terhadap Modernisasi dan Nasionalisme

Di tengah pertarungan antara liberalisme global dan nasionalisme otoriter, muncul perspektif kritis dari ekofeminisme yang melihat bahwa kedua model tersebut sama-sama bersumber pada struktur patriarkal dan kapitalis yang merusak. Ekofeminisme berargumen bahwa penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi alam adalah fenomena yang saling terkait, berasal dari logika dominasi yang sama yang dikembangkan oleh Barat yang patriarkal.

Dekonstruksi Dualisme dan Maldevelopment

Ekofeminisme mengkritik cara berpikir Barat yang mengatur dunia ke dalam pasangan oposisi hierarkis (dualitas), seperti “manusia-alam,” “budaya-alam,” “rasional-emosional,” dan “laki-laki-perempuan”. Dalam struktur ini, pihak yang dianggap “feminin” atau “alami” selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah untuk dieksploitasi.

Kritik terhadap ekonomi kapitalis dan pembangunan (sering disebut sebagai “maldevelopment”) menyoroti bagaimana sistem ini mengabaikan kerja perawatan (care work) yang dilakukan perempuan dan daya dukung alam. Dalam konteks transisi energi “hijau” saat ini, ekofeminisme mempertanyakan apakah proyek-proyek energi bersih—seperti peternakan angin atau pertambangan nikel—benar-benar berkelanjutan jika mereka menggusur masyarakat adat dan membebani perempuan pedesaan demi memenuhi kebutuhan konsumsi energi global.

Elemen Kritik Ekofeminisme Deskripsi dan Dampak
Dekomodifikasi Energi Menolak melihat energi sebagai komoditas semata; mendorong “demokrasi energi” yang partisipatif.
Kedaulatan Benih Melawan kontrol korporat atas benih melalui inisiatif petani perempuan (misal: gerakan Nikrishi di Bangladesh).
Etika Kepedulian Mengganti logika pertumbuhan tanpa batas dengan prinsip tanggung jawab dan keterhubungan.
Penolakan Monokultur Menentang “monokultur pikiran” yang menyebabkan hilangnya biodiversitas dan pengetahuan tradisional.

Studi kasus di Bangladesh menunjukkan bagaimana perempuan memimpin gerakan Nikrishi untuk melestarikan varietas benih tradisional yang tahan bencana, menentang tanaman rekayasa genetika yang didorong oleh korporasi global. Sementara itu, di Indonesia, perempuan di Distrik Mollo, NTT, menggunakan pengetahuan tradisional mereka dalam gastronomi untuk mendukung pariwisata berkelanjutan, yang secara langsung menantang narasi pembangunan yang bersifat top-down dan ekstraktif.

Sintesis: Menuju Tatanan Global yang Toleran secara Ideologis

Analisis terhadap bentrokan peradaban dan ideologi ini menyarankan bahwa model “liberalisme universal” yang dipaksakan oleh institusi global tidak lagi memadai untuk mengelola keragaman dunia kontemporer. Sebaliknya, pendekatan “nasionalisme tertutup” yang dilakukan oleh rezim otoriter juga berisiko menghambat kemajuan teknologi dan penyelesaian masalah global seperti krisis iklim.

Deeper insight menunjukkan perlunya “Institusionalisme Baru” yang didasarkan pada toleransi ideologis. Hal ini berarti negara-negara liberal harus bersedia bekerja sama dengan negara-negara non-liberal dalam institusi global yang kuat tanpa menuntut homogenitas sistem politik. Interdependensi ekonomi harus tetap dijaga untuk memaksimalkan manfaat revolusi teknologi (ICTR), namun dengan pengakuan yang lebih besar terhadap kedaulatan negara atas sumber daya dan data mereka.

Bentrokan abad ke-21 mungkin tampak sebagai bentrokan budaya di permukaan, namun pada intinya adalah perjuangan untuk mendefinisikan kembali batas-batas kekuasaan negara di era yang semakin terhubung namun semakin tidak aman. Solusinya bukanlah kemenangan satu ideologi atas yang lain, melainkan penciptaan sistem global yang mampu mengakomodasi pluralitas nilai sambil tetap menegakkan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan keberlanjutan planet.

Implikasi bagi Masa Depan Transisi Global

Masa depan hubungan internasional akan sangat ditentukan oleh bagaimana negara-negara menavigasi tiga area kritis:

  1. Transisi Energi:Apakah hilirisasi nikel dan transisi hijau akan menjadi alat nasionalisme baru atau sarana kolaborasi global yang adil bagi komunitas lokal?.
  2. Kedaulatan Data:Apakah internet akan benar-benar terpecah menjadi “enklave digital,” ataukah akan ada standar global baru yang menyeimbangkan antara privasi, keamanan, dan aliran bebas informasi?.
  3. Legitimasi HAM:Bagaimana mekanisme internasional dapat beradaptasi untuk tetap melindungi individu tanpa dianggap sebagai alat intervensi politik oleh negara-negara nasionalis?.

Peradaban tidak harus berbenturan jika ideologi yang mendasarinya dapat bertransformasi dari logika dominasi menjadi logika koeksistensi. Tantangan bagi para pemimpin global adalah membangun jembatan di atas “garis patahan” tersebut sebelum fragmentasi menjadi permanen dan destruktif. Kebijakan yang inklusif, yang mengintegrasikan perspektif keberlanjutan seperti yang ditawarkan ekofeminisme, mungkin menjadi satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan antara liberalisme yang agresif dan nasionalisme yang defensif.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kepedulian, kedaulatan yang bertanggung jawab, dan toleransi terhadap perbedaan sistem politik, tatanan dunia dapat bergerak melampaui konflik nilai menuju kolaborasi fungsional yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan eksistensial umat manusia di abad ini. Persaingan antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan kekuatan regional seperti Indonesia bukan hanya tentang siapa yang memimpin, tetapi tentang model kehidupan seperti apa yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Kontradiksi antara pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh teknologi dan keinginan untuk mempertahankan identitas lokal akan terus menjadi dinamika utama, namun melalui dialog inklusif dan penguatan institusi multilateral yang lebih adil, bentrokan tersebut dapat diredam menjadi sebuah kompetisi yang sehat demi kesejahteraan global.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 2 = 1
Powered by MathCaptcha