Krisis lingkungan global kontemporer bukan sekadar kegagalan teknis dalam pengelolaan sumber daya, melainkan manifestasi dari disfungsi sistemik dalam struktur pengetahuan dan kekuasaan yang mendasari modernitas. Dalam diskursus sosiologi lingkungan dan filsafat kontemporer, muncul kesadaran mendalam bahwa kerusakan ekosistem memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan dengan struktur hierarki sosial, terutama dominasi patriarki dan ekspansi kapitalisme global yang bersifat ekstraktif. Ekofeminisme hadir sebagai kerangka analitis dan gerakan sosial yang membongkar dualisme yang memisahkan manusia dari alam, serta laki-laki dari perempuan, untuk mengusulkan hubungan yang lebih etis, setara, dan berkelanjutan. Melalui kritik tajam terhadap modernisasi yang berbasis eksploitasi, perspektif ini menawarkan visi modernisasi yang ramah lingkungan—sebuah bentuk pembangunan yang tidak hanya memulihkan integritas biosfer tetapi juga memberdayakan subjek-subjek yang selama ini dipinggirkan oleh logika maskulinitas dominan.

Ontologi Penindasan: Akar Patriarki dalam Krisis Ekologis

Akar dari krisis ekologis saat ini seringkali ditelusuri kembali ke cara pandang antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, yang kemudian diperparah oleh pola pikir patriarki yang hierarkis, dualistik, dan opresif. Antroposentrisme memandang manusia sebagai satu-satunya entitas yang memiliki nilai intrinsik, sementara alam semesta dipandang sebagai objek tanpa nyawa yang hanya memiliki nilai instrumental untuk memuaskan kebutuhan manusia. Dalam kerangka kerja ini, terdapat kecenderungan kuat untuk melakukan “naturalisasi” terhadap perempuan dan “feminisasi” terhadap alam. Artinya, perempuan seringkali diasosiasikan dengan sifat-sifat alamiah yang dianggap inferior dalam logika maskulin—seperti emosionalitas, pasifitas, dan keterikatan fisik—sementara alam diperlakukan sebagai entitas yang harus ditaklukkan, ditembus, ditambang, dan dikendalikan layaknya tubuh perempuan dalam struktur sosial patriarki.

Logika modernitas yang mengagungkan rasionalitas teknokratis seringkali mengabaikan keterkaitan organik antara kelangsungan hidup manusia dengan kesehatan lingkungan. Sistem interaksi ini, sebagaimana digambarkan oleh Carolyn Merchant, menunjukkan bagaimana pemikiran patriarki telah merusak hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Masyarakat modern dibentuk oleh nilai, kepercayaan, dan pendidikan yang menggunakan kerangka kerja patriarki, di mana terdapat pemberian status dan prestise yang lebih tinggi kepada kelas yang dianggap dominan. Dampaknya, lingkungan seringkali dihadirkan seolah benda mati yang tidak memiliki kaitan berkesinambungan dengan kehidupan manusia.

Keterkaitan antara penindasan gender dan degradasi lingkungan dapat dipahami melalui perbandingan paradigma berikut:

Dimensi Perbandingan Paradigma Patriarki-Kapitalistik Paradigma Ekofeminisme
Relasi Manusia-Alam Dominasi, Penaklukan, dan Ekstraksi Harmonis, Relasional, dan Regeneratif
Nilai Dasar Hierarki, Kompetisi, dan Agresivitas Kesetaraan, Kerja Sama, dan Perawatan
Pendekatan Pengetahuan Reduksionis, Teknokratis, dan Maskulin Holistik, Lokal, dan Intuitif-Feminin
Status Alam Objek Mati, Komoditas, dan Instrumen Subjek Hidup, Kerahiman, dan Nilai Intrinsik
Tujuan Pembangunan Akumulasi Modal dan Pertumbuhan GDP Keberlanjutan Hidup dan Kesejahteraan Sosial
Peran Perempuan Objek Pembangunan dan Ranah Domestik Subjek Ekologis dan Agen Perubahan

Kritik ekofeminisme terhadap sains modern juga menyoroti bagaimana sains seringkali digunakan sebagai instrumen patriarki untuk memvalidasi eksploitasi alam. Vandana Shiva dan Maria Mies menegaskan bahwa sains patriarki seringkali tidak netral; ia merupakan proyek maskulin yang memisahkan pengamat dari yang diamati, sehingga menciptakan jarak moral yang memungkinkan perusakan alam dilakukan tanpa rasa bersalah. Pandangan ini memicu perilaku eksploitatif tanpa memedulikan estetika atau norma kehidupan yang seharusnya dijaga dalam pengelolaan sumber daya alam.

Kapitalisme Global dan Alienasi Alam

Modernisasi dalam bentuk kapitalisme global dipandang sebagai proyek yang merampas basis sumber daya alam dan menghancurkan produktivitas tradisional, terutama yang dikelola oleh perempuan. Kapitalisme neoliberal didasarkan pada cara berpikir maskulin yang rasional, kompetitif, agresif, dan dominatif. Dalam sistem ini, alam dipandang semata-mata sebagai sumber bahan baku yang tak terbatas. Hal ini menciptakan kondisi di mana manusia merasa terasing (alienated) dari lingkungannya sendiri. Alienasi ini merupakan salah satu akar penyebab krisis lingkungan, di mana manusia bertindak eksploitatif karena menganggap alam sebagai bagian yang terpisah dari dirinya.

Dalam konteks negara-negara berkembang (Dunia Ketiga), kebijakan pembangunan seringkali mengabaikan hak-hak penggunaan lahan tradisional milik masyarakat lokal. Privatisasi lahan untuk kepentingan industri besar menyebabkan perempuan kehilangan akses terhadap sumber daya yang vital bagi kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Pembangunan yang seharusnya bertujuan menyejahterakan seluruh penduduk, faktanya justru seringkali memberikan dampak negatif yang tidak proporsional bagi perempuan sebagai salah satu objek pelaksanaan pembangunan. Krisis ekologis, sosial, dan politik dewasa ini dipandang sebagai akibat dari tiadanya keadilan, perdamaian, serta penghormatan terhadap ciptaan di tengah tampilnya kekuasaan maskulin dalam teknologi dan kebijakan.

Perempuan seringkali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan karena peran mereka sebagai pengelola sumber daya utama di tingkat rumah tangga. Di banyak wilayah berkembang, perempuan bertanggung jawab mencari air bersih, kayu bakar, pakan ternak, dan makanan dari hutan. Ketika terjadi deforestasi atau pencemaran sumber air, beban kerja perempuan meningkat berlipat ganda, yang kemudian berdampak pada penurunan kualitas kesehatan dan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Oleh karena itu, ekofeminisme menekankan bahwa keselamatan alam adalah prasyarat mutlak bagi keselamatan perempuan dan masyarakat secara luas.

Tipologi dan Evolusi Pemikiran Ekofeminisme

Ekofeminisme bukanlah sebuah pemikiran monolitik, melainkan sebuah spektrum gerakan dan teori yang beragam. Sejak diperkenalkan oleh Francoise d’Eaubonne pada tahun 1974 melalui karyanya Le Feminisme ou la Mort, istilah ini telah berkembang menjadi berbagai aliran dengan penekanan yang berbeda. Pemahaman terhadap tipologi ini sangat penting untuk merumuskan strategi gerakan yang sesuai dengan konteks lokal.

Ekofeminisme Sosialis (Transformative)

Aliran ini lebih menonjolkan aspek kritik terhadap struktur kekuasaan kapitalisme patriarkal. Kaum ekofeminis sosialis menuduh bahwa laki-laki kelas penguasa adalah pihak yang paling banyak berperan dalam merusak alam melalui karakter maskulin dan budaya patriarki yang agresif. Fokus utamanya adalah mendekonstruksi hubungan kekuasaan yang tidak setara (unequal power relations) dalam reproduksi pengetahuan lingkungan. Ekofeminisme transformatif, sebagaimana diusulkan oleh Tyas Retno Wulan, memberikan “ruang berpikir” bagi laki-laki dan perempuan untuk bekerja sama melawan patriarki kapitalis demi masa depan bumi yang lebih baik.

Ekofeminisme Spiritual (Cultural)

Aliran ini seringkali disebut sebagai kaum moderat yang mengusulkan pengkajian ulang terhadap cara manusia berelasi dengan entitas non-manusia. Mereka menekankan hubungan sakral antara perempuan dan Bumi, yang seringkali disimbolkan sebagai Terra Mater atau Ibu Pertiwi. Dalam pandangan ini, bumi adalah perwujudan kerahiman yang penuh kasih yang harus diperlakukan sebagai subjek, bukan objek. Gerakan ini seringkali menggunakan ritual, kearifan lokal, dan pemulihan kosmologi untuk membangkitkan kesadaran ekologis.

Ekofeminisme Liberal

Aliran ini lebih berfokus pada integrasi perempuan ke dalam struktur pengambilan keputusan lingkungan yang sudah ada tanpa melakukan perombakan radikal terhadap sistem kapitalisme. Fokusnya adalah pada kesetaraan akses terhadap pendidikan lingkungan, teknologi, dan partisipasi dalam forum-forum internasional seperti G-20 untuk memastikan perspektif jender terakomodasi dalam kebijakan iklim global.

Manifestasi Perlawanan Ekofeminis di Indonesia

Indonesia memiliki sejarah panjang perjuangan perempuan dalam mempertahankan ruang hidup dan kelestarian alam. Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa ekofeminisme bukan sekadar teori Barat, melainkan praktik hidup yang berakar pada realitas sosial dan ekologis masyarakat Indonesia.

Mama Aleta Baun dan Perlawanan di Mollo

Salah satu studi kasus paling signifikan dalam gerakan ekofeminisme Indonesia adalah perjuangan Mama Aleta Baun bersama masyarakat adat Mollo di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Selama lebih dari dua dekade, mereka melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang marmer yang merusak pegunungan batu yang mereka anggap sebagai “batu ibu” (Nausus). Perjuangan ini merupakan representasi nyata dari ekofeminisme spiritual, di mana posisi perempuan dan alam dianggap setara dan saling bergantung. Aksi duduk dan menenun di lokasi tambang menjadi simbol perlawanan budaya yang kuat, menunjukkan bahwa perempuan adalah garda terdepan dalam melindungi identitas dan sumber kehidupan komunitasnya.

Kartini Kendeng dan Pertahanan Pegunungan Karst

Gerakan perempuan di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, melawan pembangunan pabrik semen merupakan manifestasi lain dari perlawanan ekofeminis di Indonesia. Mereka mengidentifikasi diri sebagai “Kartini Kendeng”, mengaitkan semangat perjuangan pahlawan nasional tersebut dengan upaya mempertahankan kelestarian tanah dan air untuk generasi mendatang. Melalui aksi-aksi simbolik seperti menyemen kaki di depan Istana Negara, mereka menyuarakan kekhawatiran akan rusaknya tatanan ekologis pegunungan karst yang menjadi sumber mata air bagi pertanian mereka. Gerakan ini menantang pembagian jender tradisional dengan memosisikan perempuan sebagai pemimpin dalam gerakan lingkungan yang berani dan penuh pengorbanan.

Perlawanan Perempuan Sangihe terhadap Pertambangan

Di Pulau Sangihe, perempuan memainkan peran vital dalam melindungi alam dari eksploitasi pertambangan emas yang mengancam keseimbangan ekosistem pulau kecil tersebut. Berdasarkan perspektif ekofeminisme, perempuan di Sangihe dianggap sebagai penjaga kehidupan yang memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan generasi. Mereka menjadi agen perubahan yang berjuang untuk keadilan sosial dan ekologis dengan menggunakan nilai-nilai feminin seperti kasih sayang, perawatan, dan kerja sama untuk melawan kekuatan eksternal yang destruktif.

Konflik Agraria di Banjar Selasih, Bali

Kasus perlawanan perempuan di Banjar Selasih, Bali, dalam merebut kembali ruang hidup dari konflik agraria menunjukkan bagaimana perempuan tidak lagi menjadi pihak yang pasif. Mereka memobilisasi diri untuk melawan perampasan tanah yang mengancam produktivitas pertanian dan sumber mata air. Di Bali, peran perempuan dikenal sebagai “Triple Roles”—peran reproduktif (domestik), produktif (ekonomi), dan sosial (adat/kemasyarakatan). Kerusakan alam secara langsung menghambat kemampuan perempuan untuk menjalankan ketiga peran ini secara harmonis, sehingga perlawanan menjadi keharusan demi kelangsungan hidup keluarga dan budaya mereka.

Kedaulatan Pangan dan Penjaga Keanekaragaman Hayati

Peran perempuan dalam pertanian berkelanjutan dan kedaulatan pangan merupakan salah satu pilar utama modernisasi yang ramah lingkungan. Perempuan di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan dan komunitas adat, memiliki pengetahuan lokal yang mendalam mengenai pelestarian benih dan pengelolaan sumber daya alam secara regeneratif.

Tradisi Penyimpanan Benih: Leuit dan Kearifan Lokal

Sistem penyimpanan padi tradisional yang dikenal sebagai “Leuit” pada masyarakat Sunda di Kasepuhan Ciptagelar dan Baduy merupakan simbol kedaulatan pangan yang sangat efektif. Leuit dirancang untuk menyimpan padi dalam jangka waktu lama, bahkan hingga puluhan tahun, sehingga masyarakat tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Dalam budaya ini, padi dipandang sebagai entitas sakral yang dikaitkan dengan Dewi Sri.

Meskipun secara fisik pembangunan leuit seringkali dilakukan oleh laki-laki, peran perempuan sangat sentral dalam manajemen pengambilan padi untuk kebutuhan harian dan upacara adat. Tradisi ini menunjukkan bagaimana manajemen persediaan makanan yang sederhana namun efektif dapat menjamin ketahanan pangan sepanjang masa. Kepemilikan leuit tidak hanya sebagai simbol kemakmuran, tetapi sebagai bukti ketaatan pada aturan leluhur dalam menjaga keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan sumber daya di masa depan.

Perempuan sebagai Penyelamat Benih di Flores dan Kalimantan

Di Flores Timur, petani perempuan seperti Agnes Kojo mempertahankan tradisi bertani ladang dengan menggunakan benih lokal warisan leluhur. Bagi mereka, benih bukan sekadar komoditas pertanian, melainkan penghubung spiritual antara leluhur yang telah tiada dengan generasi yang masih hidup. Benih lokal seperti Nalu Mitan, Nalu Meran, dan Nalu Bura dipertahankan karena memiliki keunggulan dalam hal gizi, daya tahan tubuh, dan kesesuaian dengan iklim setempat.

Praktik serupa dilakukan oleh perempuan Dayak Iban melalui ritual “Ngelaboh Pun”, sebuah bentuk penghormatan dan pelestarian varietas padi lokal di tengah gempuran benih komersial. Keberhasilan perempuan seperti Beatrix Rika dalam menyilangkan padi lokal juga menunjukkan kapasitas intelektual perempuan dalam inovasi pertanian yang ramah lingkungan. Upaya-upaya ini membuktikan bahwa investasi pada perempuan pejuang pangan berkontribusi besar dalam mengakhiri kelaparan dan menghindarkan masyarakat dari dampak buruk perubahan iklim global.

Praktik Kedaulatan Pangan Deskripsi dan Peran Perempuan Signifikansi Ekofeminisme
Leuit (Sunda/Baduy) Lumbung padi tradisional untuk penyimpanan jangka panjang (10-100 tahun). Simbol kemandirian dan manajemen pangan berbasis kearifan lokal.
Penyimpanan Benih (Flores) Penggunaan wadah daun lontar untuk menyimpan benih padi/jagung warisan leluhur. Mempertahankan hubungan spiritual dengan tanah dan nenek moyang.
Ngelaboh Pun (Dayak Iban) Ritual penghormatan benih padi Pun untuk menjaga keberlanjutan varietas. Menegaskan ketaatan adat dan kelestarian hayati dalam siklus berladang.
Kebun Kolektif (AMAN) Pengelolaan lahan secara bersama oleh kelompok perempuan untuk ketahanan pangan. Transformasi peran domestik menjadi gerakan politik dan ekonomi kolektif.
Penyelamatan Benih (Hewa) Penolakan terhadap benih bantuan pemerintah demi mempertahankan benih lokal yang adaptif. Perlawanan terhadap hegemoni teknologi pertanian industri (maskulin).

Dampak Negatif Modernisasi: Industri Garmen dan Fast Fashion

Modernisasi yang tidak ramah lingkungan dan berbasis pada eksploitasi tenaga kerja seringkali termanifestasi dalam industri garmen global dan tren fast fashion. Industri ini merupakan salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia sekaligus menjadi tempat terjadinya eksploitasi buruh perempuan yang masif. Perempuan seringkali menjadi sasaran utama tenaga kerja di industri ini karena stereotip gender yang memandang mereka sebagai tenaga kerja yang terampil, telaten, namun dapat dibayar murah dan lebih patuh.

Eksploitasi buruh perempuan dalam rantai pasok global ini merupakan dampak nyata dari globalisasi yang tidak adil. Di Indonesia, kehadiran pabrik-pabrik besar di wilayah seperti Jepara menunjukkan ambivalensi modernisasi industri. Di satu sisi, pabrik memberikan lapangan kerja bagi perempuan dan meningkatkan daya beli keluarga. Namun, di sisi lain, hal ini membawa dampak sosiologis yang kompleks, seperti peningkatan risiko konflik keluarga dan perceraian akibat perubahan struktur penghasilan, berkurangnya waktu komunikasi, dan tekanan kerja yang tinggi.

Perspektif ekofeminisme melihat fenomena ini sebagai bentuk penindasan ganda: eksploitasi terhadap alam (melalui limbah tekstil dan konsumsi air yang boros) dan eksploitasi terhadap perempuan (melalui upah rendah dan diskriminasi di tempat kerja). Sebagai solusi, ekofeminisme mendorong konsumsi yang bertanggung jawab, populernya slow fashion, dan penggunaan bahan daur ulang yang lebih ramah lingkungan untuk menekan dominasi industri yang merusak.

Modernisasi Ramah Lingkungan melalui Teknologi Tepat Guna

Modernisasi yang ramah lingkungan dalam pandangan ekofeminisme bukanlah penolakan terhadap teknologi, melainkan sebuah reposisi teknologi agar lebih inklusif, regeneratif, dan ramah pengguna. Teknologi Tepat Guna (TTG) merupakan salah satu instrumen penting untuk mencapai tujuan ini. TTG dirancang sesuai dengan kebutuhan spesifik masyarakat lokal, menggunakan sumber daya yang tersedia di sekitar, dan mudah dirawat oleh penggunanya sendiri.

Prinsip Teknologi Tepat Guna yang Inklusif

Teknologi yang ramah lingkungan harus memenuhi beberapa kriteria agar selaras dengan prinsip-prinsip ekofeminisme transformatif:

  1. Ramah Pengguna dan Lokal: Menggunakan bahan baku lokal untuk mengurangi biaya dan ketergantungan pada pihak luar.
  2. Efisien dan Berkelanjutan: Mengurangi pemborosan energi dan meminimalisir dampak lingkungan negatif.
  3. Memberdayakan: Meningkatkan kemandirian masyarakat, terutama perempuan, dalam menyelesaikan masalah domestik dan ekonomi mereka.
  4. Adaptif secara Budaya: Desain teknologi harus selaras dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat agar lebih mudah diterima.

Contoh Implementasi Teknologi Tepat Guna

Penerapan teknologi sederhana di tingkat komunitas dapat memberikan dampak transformatif bagi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan perempuan:

Jenis Teknologi Fungsi dan Mekanisme Manfaat bagi Perempuan dan Lingkungan
Pompa Air Tenaga Surya Memompa air menggunakan energi matahari tanpa listrik/fosil. Mengurangi beban fisik perempuan dalam mencari air di daerah kering.
Kompor Biogas Mengolah limbah organik (kotoran ternak) menjadi gas masak. Mengurangi ketergantungan pada kayu bakar dan melestarikan hutan.
Sistem Irigasi Tetes Pemberian air perlahan langsung ke akar tanaman. Efisiensi air yang tinggi dan meningkatkan hasil pertanian keluarga.
Komposter Rumah Tangga Mengolah sisa makanan menjadi pupuk kompos. Mengurangi sampah domestik dan mendukung pertanian organik mandiri.
Biopori Lubang resapan air yang juga mengolah sampah organik. Menanggulangi banjir dan menyuburkan tanah di sekitar rumah.
Aquaponik/Budikdamber Budidaya ikan dan sayuran dalam satu wadah/sistem terintegrasi. Ketahanan pangan di lahan sempit dengan biaya minimal.

Keberhasilan penerapan teknologi ini sangat bergantung pada keterlibatan perempuan dalam proses desain, uji coba, dan evaluasi dampak. Di Desa Narmada, komunitas “Paman Sam” telah membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam pengelolaan limbah bukan hanya menyelamatkan lingkungan dari pencemaran, tetapi juga memberikan nilai ekonomi tambahan yang memperkuat ketahanan keluarga.

Etika Kepedulian dalam Pengelolaan Sumber Daya

Transformasi menuju modernisasi yang ramah lingkungan memerlukan pergeseran fundamental dalam etika pengelolaan alam. Ekofeminisme menawarkan “Etika Kepedulian” (Ethics of Care) sebagai alternatif dari etika antroposentris yang dominan. Etika ini menekankan pada nilai-nilai pengasuhan, empati, dan pengakuan atas keterkaitan antar semua makhluk hidup.

Dalam perspektif ini, alam tidak boleh dipandang sebagai “yang lain” (another) yang harus dikuasai, melainkan sebagai subjek yang harus dihormati dan dilindungi. Restorasi prinsip feminin dalam kehidupan sehari-hari—baik oleh laki-laki maupun perempuan—dianggap sebagai jawaban atas kondisi lingkungan yang terus dieksploitasi oleh sifat maskulin agresif demi keuntungan ekonomi semata. Menghargai perbedaan dan keragaman hayati serta sosial merupakan jalan baru dalam menangani krisis lingkungan di tingkat nasional maupun global.

Kebijakan pembangunan lingkungan hidup di masa depan harus bersifat responsif jender. Hal ini melibatkan pengalokasian kuota bagi perempuan dalam posisi pengambilan keputusan strategis di sektor energi dan iklim, serta pengembangan kapasitas teknis perempuan agar mereka dapat berkontribusi aktif dalam aksi iklim global. Sebagai contoh, dalam Presidensi G-20 Indonesia, integrasi perspektif jender ke dalam kebijakan transformasi energi terbukti meningkatkan efisiensi kebijakan tersebut karena memastikan isu-isu kelompok yang selama ini kurang terwakili dapat terakomodasi.

Kesimpulan: Menuju Masa Depan yang Regeneratif

Ekofeminisme memberikan kritik yang tajam sekaligus konstruktif terhadap paradigma modernisasi yang selama ini bersifat patriarkal dan eksploitatif. Dengan menghubungkan degradasi lingkungan dengan hierarki sosial, perspektif ini menunjukkan bahwa pembebasan perempuan dan pelestarian alam adalah dua sisi dari perjuangan yang sama. Modernisasi yang ramah lingkungan menuntut kita untuk meninggalkan logika penaklukan dan mengadopsi logika perawatan serta keberlanjutan.

Transformasi ini dapat dicapai melalui beberapa langkah strategis:

  1. Pengakuan atas Pengetahuan Lokal: Menghargai dan mengintegrasikan kearifan perempuan dan masyarakat adat dalam pelestarian benih dan pengelolaan lahan.
  2. Adopsi Teknologi Inklusif: Mengembangkan Teknologi Tepat Guna yang memberdayakan masyarakat lokal dan menjaga integritas biosfer.
  3. Keadilan Agraria: Memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan atas tanah dan ruang hidup mereka guna mencegah eksploitasi oleh korporasi.
  4. Reformasi Industri: Menuntut tanggung jawab sosial dan lingkungan dari industri global, terutama sektor garmen, untuk mengakhiri eksploitasi buruh perempuan dan pencemaran alam.
  5. Institusionalisasi Etika Kepedulian: Mengintegrasikan nilai-nilai empati dan keberlanjutan ke dalam setiap kebijakan pembangunan dari tingkat desa hingga forum internasional.

Modernisasi yang sejati bukanlah modernisasi yang menghancurkan akar kehidupannya sendiri demi pertumbuhan angka-angka statistik, melainkan modernisasi yang mampu menyejahterakan manusia tanpa mengorbankan martabat alam. Melalui peran sentral perempuan sebagai agen perubahan ekologis, kita memiliki peluang untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih adil, harmonis, dan lestari bagi generasi yang akan datang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 + 1 =
Powered by MathCaptcha