Lanskap politik global pasca-Perang Dunia II telah menyaksikan kebangkitan Hak Asasi Manusia (HAM) bukan hanya sebagai instrumen hukum internasional, melainkan sebagai sebuah ideologi global baru yang berupaya menyatukan kemanusiaan di bawah standar moral tunggal. Proklamasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada 10 Desember 1948 menandai sebuah titik balik di mana martabat manusia secara teoritis ditempatkan di atas kedaulatan negara. Namun, klaim universalitas yang melekat pada HAM sering kali menjadi medan pertempuran intelektual dan politik. Analisis mendalam menunjukkan bahwa sementara HAM dipromosikan sebagai aspirasi tertinggi umat manusia, penerapannya sering kali dikritik sebagai bentuk hegemoni Barat yang abai terhadap sensitivitas budaya, sejarah, dan tradisi hukum non-Barat. Laporan ini mengeksplorasi ketegangan antara aspirasi universal tersebut dengan realitas relativisme budaya, kritik post-kolonial, serta upaya rekonstruksi legitimasi HAM melalui dialog lintas budaya.

Genealogi dan Konstruksi Filosofis Universalitas HAM

Aspirasi universalitas HAM berakar pada premis bahwa setiap individu memiliki hak-hak tertentu yang bersifat inheren, tidak dapat dicabut, dan berlaku bagi siapa pun tanpa memandang ras, agama, atau kewarganegaraan. Gagasan ini menempatkan martabat manusia sebagai fondasi kedamaian dan keadilan dunia, sebuah respon langsung terhadap kekejaman luar biasa yang terjadi selama Perang Dunia II yang telah mengguncang nurani kolektif umat manusia.2 Namun, konstruksi filosofis ini tidak muncul dari ruang hampa; ia merupakan hasil dari evolusi pemikiran panjang yang melibatkan tradisi hukum alam, pencerahan Eropa, hingga kontribusi diplomat dari berbagai belahan dunia yang berupaya mencari titik temu di tengah keragaman.

Arsitektur Moral dan Struktur UDHR

Penyusunan UDHR dipandang sebagai upaya untuk menciptakan “standar pencapaian umum” bagi semua bangsa. Struktur dokumen ini sering kali diibaratkan oleh René Cassin, salah satu perancangnya, sebagai sebuah portiko kuil Yunani yang memiliki fondasi, anak tangga, empat pilar utama, dan sebuah pedimen.5 Fondasi dari kuil ini adalah Pasal 1 dan 2, yang menetapkan prinsip martabat, kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan sebagai dasar bagi seluruh hak lainnya.2 Anak tangga menuju kuil tersebut direpresentasikan oleh tujuh paragraf preambul yang menjelaskan alasan historis dan filosofis dibalik kebutuhan akan perlindungan hak manusia.

Keempat kolom utama kuil HAM mencakup spektrum luas kehidupan manusia: kolom pertama (Pasal 3-11) berfokus pada hak-hak individu seperti hak atas hidup dan pelarangan perbudakan; kolom kedua (Pasal 12-17) mengatur hak individu dalam masyarakat sipil dan politik; kolom kedua (Pasal 18-21) berkaitan dengan kebebasan spiritual, publik, dan politik seperti kebebasan beragama dan berserikat; sementara kolom keempat (Pasal 22-27) menetapkan hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya. Akhirnya, pedimen yang mengikat seluruh struktur tersebut adalah Pasal 28-30, yang menekankan tugas individu terhadap komunitas dan batasan agar hak-hak tersebut tidak disalahgunakan untuk menghancurkan hak orang lain.

Komponen Struktur UDHR Cakupan Pasal Esensi Filosofis
Fondasi (Blok Dasar) Pasal 1 – 2 Martabat inheren, kebebasan, kesetaraan, dan non-diskriminasi universal.
Kolom I (Hak Individu) Pasal 3 – 11 Integritas fisik, hak atas hidup, kebebasan dari penyiksaan dan perbudakan.
Kolom II (Hak Sipil) Pasal 12 – 17 Hak atas privasi, pergerakan, suaka, kewarganegaraan, dan kepemilikan.
Kolom III (Kebebasan) Pasal 18 – 21 Kebebasan berpikir, beragama, berekspresi, dan partisipasi politik.
Kolom IV (Hak Sosial) Pasal 22 – 27 Hak atas jaminan sosial, pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan budaya.
Pedimen (Pengikat) Pasal 28 – 30 Kewajiban terhadap masyarakat dan perlindungan tatanan internasional.

Peran Tokoh Non-Barat dalam Pembentukan Universalitas

Seringkali terdapat persepsi bahwa UDHR adalah murni produk pemikiran Barat. Namun, catatan sejarah menunjukkan adanya kontribusi signifikan dari para intelektual non-Barat yang memastikan bahwa dokumen tersebut memiliki daya tarik global. Peng-chun Chang dari China, misalnya, merupakan tokoh kunci yang mendorong netralitas religius dalam teks deklarasi. Chang berargumen bahwa UDHR harus bisa diterima oleh semua orang, baik yang religius maupun ateis, sehingga ia menentang pencantuman referensi eksplisit kepada Tuhan atau hukum alam yang bersifat teistik. Sebagai gantinya, ia memasukkan konsep Konfusianisme tentang ren—yang diterjemahkan sebagai “nurani” atau “kesadaran akan sesama”—ke dalam Pasal 1, guna menciptakan keseimbangan antara hak individu dengan tanggung jawab sosial

Selain Chang, Hansa Mehta dari India secara konsisten memperjuangkan inklusivitas gender, berhasil mengubah frasa “All men are born free and equal” menjadi “All human beings are born free and equal”. Charles Malik dari Lebanon, seorang teolog dan filsuf, juga memberikan kontribusi mendalam dengan menyeimbangkan visi Chang melalui perspektif Thomistik, yang pada akhirnya menghasilkan dokumen yang bersifat pluralistik dan eklektik. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa sejak awal, universalitas HAM telah diupayakan sebagai sebuah “overlapping consensus” di mana berbagai tradisi budaya dapat menemukan cerminan nilai-nilai mereka di dalamnya.

Kritik Post-Kolonial: HAM sebagai Instrumen Hegemoni

Meskipun terdapat upaya inklusivitas dalam penyusunannya, gerakan HAM tetap menghadapi kritik tajam dari perspektif post-kolonial. Kritik ini berargumen bahwa korpus HAM internasional yang ada saat ini masih membawa beban ideologis kolonialisme dan sering kali berfungsi sebagai sarana untuk memaksakan nilai-nilai liberal Barat ke seluruh dunia dengan cara yang mengabaikan kedaulatan budaya bangsa-bangsa lain.

Metafora “Savages, Victims, and Saviors” (SVS)

Makau wa Mutua, seorang pakar hukum terkemuka, mengemukakan kritik yang sangat berpengaruh melalui metafora “Savages-Victims-Saviors” (SVS). Metafora ini menggambarkan narasi dominan dalam gerakan HAM global sebagai sebuah drama tiga dimensi yang membagi dunia ke dalam kategori-kategori yang sarat dengan bias kekuasaan.

Dimensi pertama, Savages (Si Biadab), biasanya direpresentasikan oleh negara-negara non-Barat atau budaya tradisional yang dianggap melakukan praktik “barbar”. Dalam narasi ini, negara digambarkan sebagai monster yang memangsa rakyatnya sendiri, dan budaya lokal (seperti hukum adat atau praktik keagamaan tertentu) dilihat sebagai akar dari kebiadaban tersebut. Dimensi kedua, Victims (Si Korban), adalah individu atau kelompok di negara-negara tersebut yang digambarkan sebagai pihak yang tidak berdaya, polos, dan menderita. Narasi ini sering kali mereduksi agensi politik dari masyarakat lokal, menempatkan mereka hanya sebagai objek penderita yang menunggu untuk diselamatkan.

Dimensi ketiga, Saviors (Si Penyelamat), merupakan representasi dari korpus HAM itu sendiri, yang dimanifestasikan melalui pemerintah Barat, lembaga internasional seperti PBB, dan NGO transnasional. Mereka diposisikan sebagai pembawa pencerahan, kebebasan, dan kemajuan yang datang untuk menjinakkan “si biadab” dan membebaskan “si korban”. Mutua berargumen bahwa konstruksi SVS ini menutupi ketimpangan struktural yang sebenarnya dan mengukuhkan posisi superioritas moral Barat atas belahan dunia lainnya.

Bias Struktural dalam Keadilan Internasional

Kritik terhadap hegemoni HAM juga meluas ke institusi-institusi penegakannya, seperti Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Terdapat persepsi kuat di Global South bahwa ICC bertindak secara selektif, dengan fokus yang sangat besar pada kasus-kasus di Afrika sementara cenderung mengabaikan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kekuatan besar di Global North. Fenomena ini sering disebut sebagai manifestasi dari struktur kekuasaan global di mana pihak yang memiliki dana dan kekuatan politik bertindak sebagai “hakim”, sementara pihak yang lemah menjadi “terdakwa” abadi. Kritik ini menunjukkan bahwa selama penegakan HAM tidak diterapkan secara imparsal, klaim universalitasnya akan terus dipandang dengan kecurigaan sebagai alat politik luar negeri negara-negara kuat.

Debat Nilai-Nilai Asia (Asian Values) dan Relativisme Budaya

Salah satu tantangan paling sistematis terhadap universalisme HAM muncul pada akhir abad ke-20 melalui diskursus “Asian Values”. Para pemimpin Asia Tenggara, dipelopori oleh Lee Kuan Yew dari Singapura dan Mahathir Mohamad dari Malaysia, berargumen bahwa model HAM liberal Barat tidak sepenuhnya sesuai dengan konteks sosiokultural Asia yang lebih menekankan pada stabilitas, harmoni, dan kepentingan kolektif.

Prinsip Utama dan Argumen Ekonomi

Wacana “Asian Values” didasarkan pada beberapa klaim fundamental. Pertama, bahwa masyarakat Asia lebih memprioritaskan komunitas daripada individu, di mana hak-hak perseorangan sering kali harus disubordinasikan demi kesejahteraan keluarga, masyarakat, dan negara. Kedua, adanya penekanan pada kewajiban sosial dan disiplin diri daripada sekadar menuntut hak. Ketiga, argumen bahwa pembangunan ekonomi harus didahulukan daripada hak-hak sipil dan politik tertentu yang dianggap dapat memicu disintegrasi sosial atau menghambat pertumbuhan.

Lee Kuan Yew sering kali merujuk pada keberhasilan ekonomi Singapura sebagai bukti bahwa “demokrasi illiberal” atau kepemimpinan paternalistik lebih efektif dalam membawa kemakmuran bagi masyarakat Asia dibandingkan model demokrasi liberal Barat yang dianggapnya mengalami dekadensi moral dan kehilangan disiplin sosial. Mahathir Mohamad juga menambahkan dimensi anti-imperialisme ke dalam debat ini, dengan menyatakan bahwa upaya Barat untuk memaksakan standar HAM tertentu adalah bentuk “imperialisme budaya” yang bertujuan untuk menghambat kemajuan bangsa-bangsa Asia yang sedang bangkit.

Kasus Hukum: Rekonsiliasi di Malaysia dan Singapura

Praktik hukum di Malaysia dan Singapura mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan hak individu dengan kepentingan komunal. Pengadilan di kedua negara ini sering kali menggunakan pendekatan “four walls”, di mana konstitusi diinterpretasikan dalam konteks lokal yang ketat tanpa banyak merujuk pada norma internasional yang dianggap asin Sebagai contoh, dalam kasus Lina Joy di Malaysia, Pengadilan Federal memberikan prioritas pada hukum syariah dan stabilitas komunitas Muslim di atas hak individu untuk berpindah agama, dengan alasan untuk mencegah “kekacauan” dalam masyarakat.

Sistem ini juga melegitimasi penggunaan undang-undang penahanan preventif, seperti Internal Security Act (ISA), dengan alasan menjaga persatuan nasional dan keamanan publik dari ancaman ekstrimisme atau konflik rasial. Meskipun efektif dalam menjaga ketertiban, kritikus berargumen bahwa pendekatan ini sering kali digunakan secara sewenang-wenang untuk membungkam oposisi politik dan membatasi kebebasan sipil, sehingga mengorbankan inti dari perlindungan HAM itu sendiri.13

Aspek Perbandingan Model Liberal Barat Model Nilai-Nilai Asia
Unit Utama Individu sebagai subjek utama. Keluarga dan komunitas sebagai prioritas.
Fokus Utama Hak sipil dan politik. Pembangunan ekonomi dan stabilitas sosial.
Hubungan Negara-Rakyat Negara sebagai pelindung hak individu. Negara sebagai figur bapak (paternalistik).
Landasan Moral Otonomi individu dan kebebasan. Kewajiban, disiplin, dan harmoni.
Penerapan Hukum Peradilan independen, perlindungan minoritas. Penahanan preventif demi keamanan nasional.

Perspektif Islam: Deklarasi Kairo dan Tantangan Teologis

Dunia Islam menawarkan respon terorganisir lainnya terhadap universalitas HAM melalui Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (CDHRI) yang diadopsi oleh OKI pada tahun 1990. Doklarasi ini muncul sebagai manifestasi dari ketidakpuasan banyak negara Muslim terhadap UDHR, yang dianggap terlalu dipengaruhi oleh sekularisme Barat dan mengabaikan nilai-nilai ilahiah.

Syariat sebagai Parameter Kebebasan

Perbedaan paling fundamental antara UDHR dan CDHRI terletak pada sumber otoritasnya. Jika UDHR bersumber pada nalar manusia dan hukum alam sekuler, CDHRI secara eksplisit menempatkan Syariat Islam sebagai satu-satunya referensi utama bagi penafsiran hak-hak yang ada. Hal ini menciptakan “limitasi religius” terhadap kebebasan dasar. Misalnya, Pasal 22 CDHRI menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas sejauh hal itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syariat.

Dalam hal kebebasan beragama, CDHRI menganggap Islam sebagai “agama fitrah” dan melarang segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk mengubah keyakinan umat Muslim ke agama lain, sebuah posisi yang berbenturan langsung dengan Pasal 18 UDHR yang menjamin hak absolut untuk berpindah agama. Demikian pula dalam isu gender, CDHRI menekankan konsep “martabat yang setara” namun dengan peran sosial yang “saling melengkapi”, di mana suami ditempatkan sebagai pelindung dan pemberi nafkah keluarga, yang berimplikasi pada perbedaan hak hukum dalam hal waris dan kepemimpinan.

Upaya Reformasi dan Dialog Internal

Di tengah ketegangan ini, muncul pemikir seperti Abdullahi An-Na’im yang berupaya melakukan rekonsiliasi melalui dialog internal.. An-Na’im berpendapat bahwa daripada menolak HAM secara total, umat Islam perlu menggali kembali tradisi mereka untuk menemukan basis legitimasi yang kuat bagi nilai-nilai kemanusiaan universal. Ia mengusulkan “revolusi interpretasi” di mana teks-teks agama dipahami dalam konteks sejarah yang dinamis, sehingga memungkinkan bagi masyarakat Muslim untuk menerima prinsip kesetaraan gender dan kebebasan beragama tanpa merasa kehilangan identitas iman mereka.

Regionalisme dan Kekhasan Afrika: Piagam Banjul

Benua Afrika memberikan kontribusi unik bagi diskursus HAM melalui Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Bangsa (Piagam Banjul) tahun 1981. Dokumen ini mencerminkan upaya sadar untuk “meng-Afrikakan” HAM dengan menggabungkan standar universal dengan nilai-nilai tradisional benua tersebut.

Hak-Hak Bangsa dan Kewajiban Kolektif

Salah satu inovasi terbesar dari Piagam Afrika adalah pengakuan eksplisit terhadap “hak-hak bangsa” (peoples’ rights) sebagai kategori hak yang setara dengan hak individu. Hal ini mencakup hak atas eksistensi, penentuan nasib sendiri, dan hak untuk mengelola kekayaan alam secara berdaulat. Pengakuan ini sangat dipengaruhi oleh sejarah kolonialisme di mana penindasan tidak hanya dialami oleh individu, tetapi oleh seluruh entitas bangsa.

Selain itu, Piagam Afrika merupakan instrumen HAM regional pertama yang mencantumkan bab khusus mengenai kewajiban individu. Setiap orang dianggap memiliki tugas suci terhadap keluarga, masyarakat, dan negara, seperti menghormati orang tua dan berkontribusi pada keamanan nasional. Filosofi di balik pendekatan ini adalah pandangan bahwa martabat manusia hanya dapat dicapai sepenuhnya di dalam komunitas, sebuah konsep yang dalam tradisi Afrika dikenal sebagai Ubuntu (saya ada karena kita ada).

Kategori Hak/Kewajiban Contoh dalam Piagam Afrika Tujuan Strategis
Hak-Hak Bangsa Hak atas pembangunan, lingkungan, dan perdamaian. Melawan struktur neo-kolonial dan kemiskinan sistemik.
Kewajiban Individu Kewajiban memelihara keharmonisan keluarga dan negara. Menyeimbangkan egoisme individu dengan tanggung jawab sosial.
Hak Sosial-Ekonomi Hak atas kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Memberikan penekanan pada hak yang paling relevan bagi rakyat miskin.
Perlindungan Moral Tugas negara melindungi nilai-nilai tradisional yang positif. Menjaga identitas budaya di tengah arus globalisasi.

Buen Vivir dan Tantangan dari Amerika Latin

Di Amerika Latin, tantangan terhadap ideologi HAM global tradisional muncul melalui konsep Buen Vivir (Sumak Kawsay), yang telah diintegrasikan ke dalam Konstitusi Ekuador dan Bolivia. Pendekatan ini menawarkan alternatif radikal terhadap visi pembangunan Barat yang bersifat antroposentris.

Alam sebagai Subjek Hukum

Buen Vivir berakar pada kosmologi masyarakat adat Andes yang memandang alam (Pachamama) bukan sebagai tumpukan sumber daya untuk dieksploitasi, melainkan sebagai entitas hidup yang memiliki hak-haknya sendiri.Dalam sistem ini, hak-hak manusia diposisikan dalam kerangka harmoni dengan lingkungan. Konstitusi Ekuador secara unik mengakui hak alam untuk ada, bertahan, serta melakukan regenerasi pada siklus vitalnya.

Visi ini mengkritik HAM tradisional karena dianggap terlalu fokus pada hak konsumsi individu, yang pada akhirnya memicu kerusakan ekologis global. Buen Vivir mengalihkan fokus dari “hidup lebih baik” (akumulasi material) menjadi “hidup dengan baik” (keseimbangan spiritual dan komunal).Meskipun secara teoritis sangat maju, implementasinya menghadapi tantangan besar karena negara-negara ini masih terjebak dalam model ekonomi ekstraktif yang diwarisi dari masa kolonial untuk membiayai program sosial mereka.

Hak atas Pembangunan dan Keadilan Global

Perdebatan mengenai universalitas HAM juga tidak terlepas dari isu ketimpangan ekonomi antara Global North dan Global South. Sejak tahun 1970-an, negara-negara berkembang telah memperjuangkan pengakuan “Hak atas Pembangunan” sebagai bagian integral dari hak asasi manusia.

Dialektika Kewajiban Internasional

Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan (1986) menyatakan bahwa pembangunan adalah proses komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk secara adil. Inti dari tuntutan Global South adalah bahwa kemiskinan bukan sekadar kegagalan domestik, melainkan hasil dari struktur ekonomi global yang tidak adil. Mereka menuntut adanya “kewajiban kerjasama” internasional, di mana negara-negara kaya memiliki tanggung jawab hukum untuk membantu menciptakan lingkungan internasional yang kondusif bagi pembangunan, termasuk melalui transfer teknologi dan penghapusan utang.

Namun, banyak negara Barat menolak untuk menjadikan hak ini sebagai norma hukum yang mengikat. Mereka khawatir bahwa pengakuan atas hak pembangunan sebagai hak kolektif bangsa akan digunakan oleh rezim otoriter sebagai alasan untuk menunda perlindungan hak sipil dan politik dengan dalih “mengejar pertumbuhan”. Hingga tahun 2025, perdebatan ini masih terus berlangsung di forum-forum PBB, mencerminkan jurang pemisah antara prioritas kebebasan politik (Barat) dan keadilan ekonomi (Timur/Selatan).

Konflik Lapangan: HAM vs Hukum Adat

Ketegangan antara norma HAM universal dan praktik lokal paling nyata terlihat dalam benturan dengan hukum adat (customary law) di berbagai belahan dunia. Dalam banyak masyarakat di Afrika dan Asia, adat istiadat yang telah berusia berabad-abad sering kali mengandung elemen yang bertentangan dengan standar HAM internasional kontemporer.

Studi Kasus: Praktik Berbahaya dan Hak Perempuan

Di beberapa wilayah Afrika Timur, seperti Tanzania, terdapat konflik antara hak atas hidup yang dijamin UDHR dengan praktik tradisional seperti pembunuhan anak-anak yang dianggap membawa sial atau kekerasan terhadap orang tua yang dituduh sebagai penyihir. Demikian pula, praktik seperti sunat perempuan (Female Genital Mutilation/FGM) dan pernikahan anak sering kali dipandang oleh komunitas lokal sebagai bagian penting dari inisiasi budaya dan identitas sosial, meskipun secara internasional dikutuk sebagai pelanggaran berat terhadap integritas tubuh perempuan.

Di sisi lain, terdapat upaya untuk menggunakan “norma adat yang kompatibel” sebagai jembatan untuk memajukan HAM. Di Afrika Selatan dan Uganda, pengadilan mulai menggali prinsip-prinsip keadilan dalam hukum adat untuk membatalkan praktik diskriminatif seperti aturan waris yang hanya memihak anak laki-laki sulung, dengan berargumen bahwa inti dari hukum adat adalah keadilan sosial, bukan diskriminasi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa alih-alih menghapus hukum adat, reformasi yang inklusif dan dialogis jauh lebih efektif dalam menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.

Situasi di Indonesia: Hak Ulayat dan Pembangunan

Di Indonesia, konflik serupa terjadi terkait pengakuan hak ulayat masyarakat adat terhadap ekspansi industri ekstraktif dan proyek strategis nasional. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan penting yang mengakui hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, implementasi di lapangan masih sangat lambat dan sering kali diwarnai oleh kriminalisasi terhadap warga adat yang berupaya mempertahankan tanah mereka. Konflik ini menggambarkan bagaimana narasi HAM sering kali terfragmentasi: di satu sisi negara mengadopsi instrumen HAM internasional, namun di sisi lain, praktik birokrasi dan kepentingan ekonomi masih menggunakan logika kekuasaan yang mengabaikan hak-hak komunal yang dijamin oleh konstitusi sendiri.

Kritik Marxis dan Neoliberal terhadap Ideologi HAM

Kritik terhadap HAM juga datang dari spektrum ideologi ekonomi yang besar. Pandangan Marxis dan evaluasi terhadap pengaruh Neoliberalisme memberikan perspektif kritis tentang bagaimana HAM berfungsi di bawah sistem kapitalisme global.

Kritik Marxis: Keterasingan dan Hak Egoistik

Karl Marx memandang HAM sebagai produk dari masyarakat sipil borjuis yang memisahkan manusia dari hakikat sosialnya. Baginya, hak untuk memiliki properti pribadi adalah “hak untuk memisahkan diri” dari sesama manusia. Marx berargumen bahwa kebebasan politik yang ditawarkan oleh HAM liberal hanyalah sebuah ilusi jika tidak disertai dengan emansipasi ekonomi. Tanpa redistribusi sarana produksi, hak-hak hukum tersebut hanya berfungsi untuk memperkuat posisi kelas penguasa dan menutupi kenyataan eksploitasi di tempat kerja.

Paradoks Neoliberalisme: HAM sebagai Perisai Pasar

Analisis kontemporer menunjukkan bahwa lonjakan popularitas gerakan HAM global sejak tahun 1970-an bertepatan dengan kemenangan ideologi pasar bebas (neoliberalisme). Kritikus berpendapat bahwa neoliberalisme sering kali menggunakan bahasa HAM untuk menaturalisasi agenda-agendanya. Misalnya, dengan menekankan pada kebebasan individu untuk memilih, negara dapat mengurangi tanggung jawabnya dalam menyediakan layanan publik (seperti pendidikan dan kesehatan), dan mengubahnya menjadi komoditas pasar. Dalam konteks ini, HAM dikritik karena telah kehilangan daya kritisnya terhadap ketimpangan ekonomi yang ekstrem, selama hak-hak prosedural individu tetap dihormati.

Perspektif Kritik Fokus Utama Analisis Implikasi terhadap HAM
Marxisme Hubungan kelas dan kepemilikan. HAM dianggap sebagai alat pelestarian status quo borjuis.
Neoliberalisme Efisiensi pasar dan otonomi individu. HAM digunakan untuk melegitimasi privatisasi dan deregulasi.
Post-Kolonial Warisan kolonial dan kekuasaan epistemik. HAM dilihat sebagai “misi pemberadaban” gaya baru dari Barat.
Relativisme Budaya Partikularitas nilai dan tradisi. Menolak universalitas sebagai bentuk hegemoni budaya.

Rekonstruksi Melalui Dialog Lintas Budaya dan Hermeneutika Diatopik

Untuk mengatasi jalan buntu antara universalisme yang hegemonik dan relativisme yang memisahkan, para pemikir kontemporer mengusulkan jalan tengah yang didasarkan pada dialog lintas budaya yang autentik.

Konsensus Lintas Budaya (Abdullahi An-Na’im)

Abdullahi An-Na’im menekankan pentingnya membangun legitimasi internal bagi norma-norma HAM di dalam setiap tradisi budaya. Ia berargumen bahwa orang jauh lebih mungkin menghormati hak asasi jika mereka percaya bahwa nilai-nilai tersebut berasal dari akar budaya mereka sendiri, bukan sekadar perintah dari luar. Melalui “dialog internal”, kelompok-kelompok di dalam masyarakat dapat menantang interpretasi tradisional yang opresif dan memunculkan pemahaman yang lebih progresif. Setelah legitimasi internal ini tercapai, barulah “dialog lintas budaya” dapat dilakukan untuk mencari kesamaan nilai global yang benar-benar kokoh.

Hermeneutika Diatopik (Boaventura de Sousa Santos)

Boaventura de Sousa Santos melangkah lebih jauh dengan mengusulkan “Hermeneutika Diatopik”. Pendekatan ini mengakui bahwa semua budaya bersifat tidak lengkap dan masing-masing memiliki “jendela” unik untuk melihat martabat manusia. Dialog diatopik bukan bertujuan untuk mencari kesamaan terkecil (least common denominator), melainkan untuk melakukan “penerjemahan” antar-budaya guna mengisi kekurangan masing-masing.

Misalnya, jika tradisi Barat unggul dalam perlindungan otonomi individu namun lemah dalam rasa komunitas, tradisi Afrika atau Asia dapat memberikan perspektif tentang kewajiban kolektif untuk menyeimbangkannya. Hasil akhir dari proses ini bukanlah satu standar yang seragam, melainkan sebuah mestizaje (percampuran) dari kepedulian manusia yang menciptakan universalitas yang lebih inklusif dan demokratis. Inilah yang disebut sebagai “politik kosmopolitan” HAM, di mana hak asasi manusia berubah dari senjata hegemoni menjadi bahasa emansipasi global yang sesungguhnya.

Kesimpulan: Dinamika HAM di Abad ke-21

Evolusi Hak Asasi Manusia sebagai ideologi global baru mencerminkan aspirasi terdalam umat manusia untuk bebas dari ketakutan dan penderitaan. Namun, perjalanan menuju universalitas sejati masih jauh dari selesai. Ketegangan yang muncul dari kritik post-kolonial, debat nilai-nilai Asia, perspektif religius, hingga tantangan dari masyarakat adat menunjukkan bahwa HAM tidak bisa lagi dipaksakan sebagai model satu arah dari Barat ke seluruh dunia.

Keberhasilan HAM di masa depan sangat bergantung pada kemampuannya untuk melakukan refleksi diri dan membuka diri terhadap pluralisme nilai. Universalitas yang berkelanjutan bukanlah yang menghapus perbedaan budaya, melainkan yang mampu merangkul keragaman tersebut sebagai sumber kekuatan. Melalui dialog lintas budaya yang jujur, pengakuan atas hak-hak bangsa dan kewajiban kolektif, serta integrasi perspektif eco-centric seperti Buen Vivir, HAM dapat bertransformasi menjadi sebuah sistem yang tidak hanya melindungi hak sipil-politik, tetapi juga menjamin keadilan ekonomi dan kelestarian planet bagi generasi mendatang. Dalam dialektika antara universalisme dan relativisme ini, tantangan terbesarnya adalah menciptakan tatanan dunia di mana martabat setiap manusia dilindungi tanpa harus mengorbankan akar budaya yang memberi mereka makna kehidupan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 2 = 7
Powered by MathCaptcha