Kemunculan krisis global yang bersifat eksistensial, mulai dari fenomena perubahan iklim yang tidak terkendali, pandemi lintas batas yang melumpuhkan sistem kesehatan dunia, hingga kemiskinan struktural yang kian tajam, telah memaksa masyarakat internasional untuk melakukan reevaluasi fundamental terhadap paradigma negara-bangsa (nation-state). Paradigma tradisional yang menekankan pada kedaulatan absolut dan loyalitas nasional yang sempit terbukti tidak memadai dalam menangani ancaman-ancaman yang tidak mengenal batas yurisdiksi politik. Dalam lanskap yang penuh ketidakpastian ini, muncul sebuah gerakan intelektual dan praktis yang dikenal sebagai kosmopolitanisme etis, sebuah ideologi yang menuntut perluasan loyalitas dan tanggung jawab moral individu melampaui batas-batas geografi dan identitas etnis menuju komitmen universal terhadap kemanusiaan secara keseluruhan.
Kosmopolitanisme etis mengandaikan bahwa setiap manusia, terlepas dari kewarganegaraan atau tempat tinggalnya, merupakan anggota dari komunitas moral yang tunggal. Dalam konteks krisis iklim, ideologi ini menjadi landasan bagi tuntutan keadilan global yang mendesak, di mana tindakan emisi di satu bagian dunia harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat di belahan dunia lain yang terkena dampak langsung. Analisis ini mengeksplorasi bagaimana ideologi kewarganegaraan global ini tumbuh melalui peran aktif individu dan organisasi non-pemerintah (NGO), serta bagaimana ia menantang dominasi ideologi negara melalui mekanisme hukum, budaya, dan teknologi.
Fondasi Filosofis Kosmopolitanisme Etis
Secara historis, kosmopolitanisme bukanlah gagasan baru; akarnya dapat ditarik kembali ke masa Stoikisme Yunani Kuno, khususnya melalui proklamasi Diogenes dari Sinope yang menyebut dirinya sebagai “warga dunia”. Namun, dalam diskursus kontemporer, kosmopolitanisme etis telah berkembang menjadi kerangka kerja yang lebih sistematis untuk memahami kewajiban moral di era globalisasi. Tokoh utama seperti Martha Nussbaum dan Kwame Anthony Appiah telah memberikan kontribusi signifikan dalam mendefinisikan ulang apa artinya menjadi warga global di tengah dunia yang penuh dengan “orang asing”.
Paradigma Kapabilitas Martha Nussbaum
Martha Nussbaum membangun teori kosmopolitanismenya di atas asumsi Kantian mengenai martabat manusia sebagai agen moral yang rasional. Nussbaum berargumen bahwa pendidikan harus diarahkan untuk menumbuhkan loyalitas utama kepada komunitas manusia, bukan sekadar kepada negara atau kelompok etnis tertentu. Melalui “Pendekatan Kapabilitas” (Capabilities Approach), Nussbaum merinci serangkaian fungsi dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu agar dapat hidup dengan layak.
Tabel berikut merinci elemen-elemen kunci dalam Pendekatan Kapabilitas Nussbaum yang menjadi standar etika global:
| Kapabilitas Dasar | Deskripsi dan Signifikansi Kosmopolitan |
| Hidup (Life) | Kemampuan untuk hidup sampai akhir hayat manusiawi yang normal. |
| Kesehatan Tubuh | Termasuk kesehatan reproduksi, makanan yang cukup, dan perlindungan kesehatan. |
| Integritas Tubuh | Kebebasan bergerak, keamanan dari kekerasan, dan otonomi seksual. |
| Indra, Imajinasi, Pikiran | Kemampuan untuk berpikir dan berkreasi melalui pendidikan dan ekspresi bebas. |
| Emosi | Kemampuan untuk mencintai, berduka, dan merasakan kerinduan tanpa ketakutan. |
| Alasan Praktis | Kemampuan untuk membentuk konsepsi tentang kebaikan dan perencanaan hidup. |
| Afiliasi | Kemampuan untuk hidup bersama orang lain dan memiliki dasar harga diri. |
| Spesies Lain | Hidup dengan kepedulian terhadap hewan, tanaman, dan alam. |
| Bermain | Kemampuan untuk tertawa, bermain, dan menikmati aktivitas rekreasi. |
| Kontrol atas Lingkungan | Partisipasi politik dan hak atas properti serta pekerjaan yang layak. |
Pendekatan ini mengimplikasikan bahwa komunitas internasional memiliki tanggung jawab moral untuk campur tangan atau memberikan bantuan apabila sebuah negara gagal menjamin kapabilitas dasar ini bagi warga negaranya. Dalam isu perubahan iklim, kegagalan negara untuk melindungi lingkungan dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap kapabilitas “Spesies Lain” dan “Kesehatan Tubuh”, yang memberikan legitimasi etis bagi intervensi global.
Kosmopolitanisme Berakar dan Etika Keberagaman
Sebagai penyeimbang terhadap pendekatan universalis yang sering dianggap terlalu abstrak, Kwame Anthony Appiah memperkenalkan konsep “Kosmopolitanisme Berakar” (Rooted Cosmopolitanism). Appiah berpendapat bahwa manusia tidak perlu meninggalkan identitas lokal atau loyalitas nasional mereka untuk menjadi kosmopolitan; sebaliknya, seseorang dapat mencintai komunitas lokalnya sambil tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip universal kemanusiaan.
Appiah menekankan pentingnya percakapan antarbudaya dan penghargaan terhadap keragaman budaya sebagai kekayaan manusia. Ia mengajukan gagasan “moral minimum” yang harus disepakati secara global, mencakup perlindungan dari rasa sakit yang tidak perlu, penghormatan terhadap martabat tubuh, dan pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan dan kesehatan. Namun, ia juga mengakui adanya tantangan dalam adjudikasi nilai ketika budaya-budaya yang berbeda memiliki prioritas yang berbenturan, sehingga menuntut adanya akomodasi dan keterbukaan epistemik dalam hubungan internasional.
Transnationalisme: Sosiologi Kewarganegaraan Global
Munculnya ideologi kewarganegaraan global didorong oleh realitas sosiologis yang dikenal sebagai transnationalisme. Berbeda dengan migrasi tradisional di mana individu berpindah dan menetap secara permanen di negara baru, transnationalisme menggambarkan pergerakan cairan manusia yang membangun dan memelihara hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang melintasi banyak batas negara. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai komunitas transnasional dan diaspora yang menantang batas-batas ideologi negara yang bersifat tertutup.
Diaspora dan Identitas Hibrida
Komunitas diaspora, seperti diaspora Tionghoa, India, Afrika, dan Yahudi, merupakan aktor kunci dalam penyebaran nilai-nilai kosmopolitan. Mereka membentuk identitas hibrida di mana individu tidak lagi merasa terikat pada satu identitas nasional tunggal. Misalnya, seorang anggota diaspora India di Amerika Serikat dapat merayakan Diwali dan Holi sambil tetap aktif dalam kehidupan politik Amerika, menciptakan ruang di mana budaya “Rumah” dan “Tuan Rumah” saling berinterpenetrasi.
Tabel berikut menyajikan mekanisme utama dalam pemeliharaan hubungan transnasional:
| Mekanisme | Dampak terhadap Kewarganegaraan Global |
| Remitansi Ekonomi | Pengiriman uang ke negara asal yang mendukung pembangunan lokal melampaui bantuan negara. |
| Komunikasi Digital | Penggunaan internet dan media sosial untuk berbagi peristiwa hidup secara real-time melintasi samudera. |
| Partisipasi Politik | Kemampuan untuk memberikan suara dalam pemilu di negara asal dan negara tempat tinggal (dual citizenship). |
| Kewirausahaan Budaya | Pembukaan bisnis seperti restoran atau merek pakaian yang menggabungkan elemen tradisional dan modern. |
| Pendidikan Bahasa | Pendirian sekolah bahasa etnis yang menjaga warisan budaya di tengah masyarakat global. |
Proses ini memungkinkan munculnya rasa memiliki pada “banyak tempat sekaligus”, yang pada gilirannya mengikis hegemoni ideologi nasionalis yang menuntut loyalitas tunggal kepada satu negara.
Enklave Etnis sebagai Pusat Pertukaran Global
Enklave etnis seperti Chinatowns, Little Italys, dan Koreatowns bukan hanya sekadar tempat pemukiman bagi imigran, tetapi berfungsi sebagai hub ekonomi dan budaya yang mempertemukan berbagai pengaruh global. Area ini sering kali menjadi destinasi wisata yang memamerkan budaya diaspora kepada populasi luas, memicu proses akulturasi dan hibridisasi kuliner serta gaya hidup. Contoh seperti masakan Indo-Chinese di India atau Tex-Mex di Amerika Serikat menunjukkan bagaimana identitas budaya diaspora berevolusi melalui kontak global, menciptakan realitas budaya baru yang tidak lagi sepenuhnya “lokal” namun juga tidak sepenuhnya “asing”.
Glokalisasi: Dialektika Global dan Lokal
Konsep “glokalisasi”, yang dipopulerkan oleh sosiolog Roland Robertson, memberikan kerangka analitis untuk memahami bagaimana ideologi global diimplementasikan dalam skala lokal. Robertson menolak gagasan bahwa globalisasi hanya berarti homogenisasi atau “Westernisasi”. Sebaliknya, ia berargumen bahwa globalisasi melibatkan interaksi yang kompleks di mana kekuatan global diadaptasi dan diinterpretasikan ulang oleh aktor-aktor lokal.
Teori Lapangan Global (Globalfield) Robertson
Robertson mengusulkan model “Globalfield” yang terdiri dari empat elemen: individu, rakyat dan masyarakat, sistem dunia sosial, dan umat manusia secara keseluruhan. Dalam pandangannya, glokalisasi adalah proses yang menghubungkan keempat elemen ini secara dinamis. Poin-poin kunci dalam teori glokalisasi Robertson mencakup:
- Partikularisasi Universalisme: Ide-ide universal (seperti hak asasi manusia atau perlindungan iklim) diwujudkan dalam bentuk-bentuk lokal yang konkret.
- Universalisasi Partikularisme: Tradisi atau nilai lokal diangkat ke panggung global sebagai bagian dari kekayaan budaya dunia.
- Penemuan Lokalitas: Lokalitas bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sering kali dikonstruksi atau “ditemukan kembali” sebagai respons terhadap tekanan global.
- Nostalgia Berkehendak: Upaya untuk menghidupkan kembali tradisi lokal sebagai bentuk kohesi sosial di tengah perubahan global yang cepat.
Glokalisasi dalam Industri Kreatif
Penerapan glokalisasi sangat terlihat dalam industri musik dan seni visual, yang berfungsi sebagai infrastruktur budaya bagi kosmopolitanisme etis.
Transformasi Musik Global Data dari World Intellectual Property Organization (WIPO) menunjukkan tren yang kontradiktif antara globalisasi dan glokalisasi dalam konsumsi musik digital. Meskipun platform streaming bersifat global, banyak pasar domestik justru mengalami peningkatan konsumsi artis lokal yang memproduksi konten dalam bahasa asli mereka.
| Negara | Tren Konsumsi Musik Lokal (2013-2022) | Keterangan Strategis |
| Jepang | Meningkat Signifikan. | Pemanfaatan bahasa asli mengurangi kompetisi langsung dengan pasar global. |
| Italia | Meningkat. | Suksesnya artis seperti Mahmood menunjukkan pasar nasional yang berkembang. |
| Afrika Selatan | Meningkat. | Gerakan Amapiano mendorong bintang lokal ke panggung internasional. |
| Inggris | Menurun. | Pergeseran menuju repertoar internasional yang dominan. |
| Brazil | Menurun. | Meskipun memiliki genre lokal yang kuat (Sertanejo), tren konsumsi global tetap besar. |
Dalam kasus lain, hibridisasi genre menciptakan identitas budaya baru. Genre hiplife di Ghana, misalnya, menggabungkan struktur rap Amerika dengan ritme highlife tradisional Afrika, menciptakan ekspresi modernitas yang unik bagi kaum muda Ghana namun tetap terhubung dengan diaspora kulit hitam di Amerika Serikat.
Seni Visual sebagai Protes Kosmopolitan Seniman kontemporer Asia seperti Ai Weiwei, Yayoi Kusama, dan Takashi Murakami menggunakan panggung seni global untuk menyuarakan isu-isu etis. Ai Weiwei secara khusus dikenal karena aktivismenya dalam krisis migrasi global, menggunakan instalasi publik seperti pagar dan kandang untuk menyoroti penderitaan pengungsi di seluruh dunia. Karya-karyanya sering kali menggunakan material bersejarah Tiongkok yang ditransformasi menjadi kritik politik modern, menunjukkan bagaimana tradisi lokal dapat digunakan sebagai senjata dalam perjuangan etika global.
Modernisasi Tanpa Westernisasi: Tantangan dari Asia
Salah satu rintangan terbesar bagi ideologi kosmopolitanisme etis adalah persepsi bahwa ideologi ini merupakan bentuk terselubung dari “Westernisasi”. Namun, model pembangunan di Asia, khususnya di Tiongkok dan Singapura, menawarkan alternatif di mana modernisasi teknologi dan ekonomi berjalan tanpa harus mengadopsi nilai-nilai liberal Barat secara penuh.
Diskursus Nilai-Nilai Asia (Asian Values)
Selama dekade 1990-an, Lee Kuan Yew dari Singapura dan Mahathir Mohamad dari Malaysia mempromosikan gagasan “Nilai-Nilai Asia” sebagai pembenaran atas model otoritarianisme yang berorientasi pada pembangunan. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Asia lebih mengutamakan harmoni sosial, loyalitas keluarga, dan stabilitas nasional daripada hak-hak individu yang sering kali dianggap memicu disorganisasi sosial di Barat.
Perbandingan antara model pembangunan Asia dan Barat dapat dirinci sebagai berikut:
| Aspek | Model Liberal Barat | Model Nilai-Nilai Asia (Lee Kuan Yew) |
| Unit Dasar | Individu sebagai agen bebas. | Individu sebagai bagian dari keluarga dan negara. |
| Hak Utama | Hak politik dan kebebasan sipil. | Hak sosial-ekonomi (subsistensi dan pembangunan). |
| Peran Negara | Penjamin kebebasan dan pengawas pasar. | “Ayah” bangsa yang mendisiplinkan dan mengarahkan. |
| Media | Sebagai “Fourth Estate” (pengawas kekuasaan). | Sebagai alat pembangunan dan persatuan nasional. |
| Fokus Etika | Hak dan kebebasan individu. | Tugas, tanggung jawab, dan disiplin diri. |
Namun, diskursus ini tidak lepas dari kritik. Kim Dae Jung dari Korea Selatan menentang pandangan Lee Kuan Yew dengan menyatakan bahwa demokrasi sebenarnya adalah tradisi pribumi Asia, mengutip ajaran Mencius tentang hak rakyat untuk menggulingkan raja yang tidak adil. Kim berargumen bahwa “Nilai-Nilai Asia” sering kali digunakan sebagai dalih untuk melegitimasi penindasan dan korupsi (crony capitalism) yang kemudian berkontribusi pada krisis ekonomi 1997.
Singapura: Dari Nilai Asia ke Smart Nation 2.0
Transformasi Singapura dari negara berkembang menjadi pusat teknologi global melalui inisiatif “Smart Nation” menunjukkan bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat kedaulatan negara sekaligus memfasilitasi konektivitas global. Program “Smart Nation 2.0” yang diluncurkan baru-baru ini bertujuan untuk mendigitalisasi setiap aspek kehidupan warga Singapura—mulai dari kesehatan hingga transportasi—dengan tetap memegang teguh nilai-nilai pragmatisme dan harmoni sosial.
Meskipun efisiensi publik meningkat secara drastis melalui penggunaan AI dan data analitik, pendekatan top-down ini menimbulkan tantangan bagi martabat manusia dan privasi. Dalam perspektif kosmopolitan, “Smart Nation” dapat dilihat sebagai laboratorium bagi masa depan pemerintahan global yang berbasis data, namun juga sebagai peringatan akan potensi “digital paternalism” yang dapat mengancam otonomi individu.
Krisis Iklim: Ujian Terberat bagi Kedaulatan Negara
Perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan; ia merupakan krisis moral yang menguji batas-batas loyalitas nasional. Sifat transnasional dari emisi gas rumah kaca berarti bahwa tindakan satu negara dapat mengancam hak hidup warga di negara lain, seperti negara-negara pulau rendah di Pasifik yang menghadapi ancaman tenggelam.
Tanggung Jawab Melampaui Perbatasan
Kosmopolitanisme etis menuntut agar individu dan negara memandang krisis iklim melalui lensa keadilan distributif global. Negara-negara maju, yang secara historis bertanggung jawab atas sebagian besar akumulasi karbon, memiliki kewajiban moral untuk memberikan bantuan teknologi dan finansial kepada negara-negara berkembang untuk mitigasi dan adaptasi. Hal ini menantang konsep kedaulatan tradisional yang biasanya hanya memprioritaskan kepentingan warga negaranya sendiri (national interest).
NGO sebagai Agen Keadilan Iklim
Dalam menghadapi kelembaman birokrasi negara, organisasi non-pemerintah (NGO) telah muncul sebagai agen kosmopolitan yang agresif. Mereka menggunakan mekanisme hukum transnasional untuk menantang kegagalan negara dalam memenuhi komitmen lingkungan mereka.
Litigasi Iklim Strategis Beberapa kemenangan hukum penting yang diinisiasi oleh NGO menunjukkan pergeseran kekuasaan dari negara ke warga global:
- Kasus Oxfam vs. Perancis (2021): Pengadilan Perancis memutuskan bahwa negara bertanggung jawab atas kegagalannya dalam menurunkan emisi sesuai target Kesepakatan Paris. Ini merupakan pertama kalinya sebuah negara maju secara hukum dianggap bersalah atas kelalaian ekologis.
- Urgenda vs. Belanda (2019): Mahkamah Agung Belanda memerintahkan pemerintah untuk meningkatkan target pemotongan emisi, memperkuat prinsip bahwa perlindungan iklim adalah bagian dari hak asasi manusia.
- KlimaSeniorinnen vs. Swiss (2024): Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa memenangkan sekelompok wanita lansia Swiss, menyatakan bahwa kegagalan mitigasi iklim melanggar hak mereka atas kehidupan pribadi dan keluarga.
Tindakan-tindakan ini menunjukkan bahwa kedaulatan negara tidak lagi absolut dan dapat ditundukkan di bawah norma-norma etika global yang ditegakkan melalui sistem peradilan transnasional.
Strategi Penindasan: SLAPP dan Pembungkaman Aktivisme
Sebagai respons terhadap meningkatnya aktivisme kosmopolitan, negara dan perusahaan multinasional sering kali menggunakan instrumen hukum untuk mengintimidasi NGO melalui “Strategic Lawsuits Against Public Participation” (SLAPP). SLAPP dirancang untuk menguras sumber daya keuangan dan waktu organisasi aktivis melalui tuntutan pencemaran nama baik atau ganti rugi yang tidak proporsional.
Beberapa kasus SLAPP yang menonjol meliputi:
- Energy Transfer vs. Greenpeace (AS): Perusahaan di balik pipa Dakota Access menuntut Greenpeace sebesar $660 juta atas tuduhan pencemaran nama baik terkait protes Standing Rock. Amnesty International menyebut vonis ini sebagai preseden berbahaya yang mengancam kebebasan berekspresi dan hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia.
- TotalEnergies vs. Greenpeace (Perancis): Perusahaan minyak menggugat Greenpeace karena mengkritik perhitungan emisinya, meskipun pengadilan akhirnya menolak gugatan tersebut.
- Eni vs. Greenpeace (Italia): Perusahaan energi Italia menuntut balik NGO tersebut setelah digugat karena kebijakan iklimnya yang dianggap tidak memadai.
Munculnya undang-undang anti-SLAPP di Uni Eropa merupakan upaya masyarakat sipil transnasional untuk melindungi ruang bagi debat publik global dan memastikan bahwa suara-suara kosmopolitan tidak dibungkam oleh kekuatan modal.
Keadilan Sosial dan Ekonomi dalam Perspektif Global
Kosmopolitanisme etis juga menyentuh masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Krisis pandemi COVID-19 memberikan pelajaran penting tentang perlunya Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang melintasi batas-batas sosial. Pengalaman di Indonesia, misalnya, menunjukkan bagaimana program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako dapat menjaga daya beli masyarakat miskin selama krisis global. Namun, keberhasilan domestik ini harus diimbangi dengan reformasi fiskal global, termasuk pajak progresif bagi pemilik modal internasional dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang menghambat mitigasi iklim.
Kosmopolitanisme menuntut adanya redistribusi fiskal internasional untuk memastikan bahwa kontribusi dari pemilik modal global digunakan untuk membiayai layanan publik dasar di negara-negara yang paling rentan. Hal ini melibatkan perjuangan melawan penghindaran pajak lintas batas dan penguatan institusi seperti PBB untuk mengawasi keadilan ekonomi global.
Mencari Visi Non-Barat: Tianxia dan Kebersamaan Universal
Untuk benar-benar menjadi ideologi kewarganegaraan global yang inklusif, kosmopolitanisme etis harus melampaui akar Eurosentrisnya. Tradisi pemikiran non-Barat menawarkan konsep-konsep yang sangat relevan bagi tantangan modern:
- Tianxia (天下): Konsep Tiongkok kuno tentang “Semua di Bawah Langit” yang memandang dunia sebagai persatuan harmonis melampaui batas negara.
- Universal Brotherhood: Gagasan Konfusian bahwa “semua di dalam empat penjuru samudera adalah saudara”.
- One Body (一體): Keyakinan bahwa manusia adalah satu tubuh dengan seluruh alam semesta, yang mendukung etika lingkungan kosmopolitan.
- Datong (大同): Ideal tentang “Persatuan Agung” yang mengedepankan kesejahteraan bersama umat manusia.
Integrasi nilai-nilai ini ke dalam diskursus global memungkinkan terciptanya “kosmopolitanisme multikultural” yang tidak lagi dipandang sebagai alat imperialisme budaya Barat, melainkan sebagai aspirasi kolektif dari berbagai peradaban untuk hidup berdampingan di bumi yang terancam.
Kesimpulan: Menuju Kontrak Sosial Global Baru
Kosmopolitanisme etis telah berevolusi dari sekadar gagasan filosofis menjadi kebutuhan praktis yang mendesak di abad ke-21. Krisis iklim, pandemi, dan kemiskinan global telah membuktikan bahwa kedaulatan negara yang sempit tidak lagi mencukupi untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia. Melalui peran individu yang sadar akan identitas transnasionalnya dan NGO yang berani menantang otoritas negara melalui litigasi global, sebuah bentuk kewarganegaraan global baru sedang terbentuk.
Meskipun menghadapi tantangan dari gerakan nasionalis, hambatan hukum seperti SLAPP, dan perdebatan mengenai Westernisasi, ideologi ini terus mengakar melalui praktik budaya glokal dan integrasi teknologi digital yang menghubungkan kita semua. Masa depan kemanusiaan bergantung pada kemampuan kita untuk membangun kontrak sosial global yang mengakui martabat setiap manusia melampaui paspor yang mereka pegang, dan menempatkan tanggung jawab terhadap planet ini di atas kepentingan politik jangka pendek. Kosmopolitanisme etis menawarkan peta jalan moral untuk menavigasi dunia yang semakin terfragmentasi menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.
