Fenomena global yang menandai awal dekade ketiga abad ke-21 adalah kembalinya negara-bangsa sebagai aktor sentral dalam menavigasi ketidakpastian geopolitik, ekonomi, dan kesehatan global. Di tengah arus fragmentasi ini, pencarian identitas kolektif muncul sebagai kebutuhan mendasar bagi stabilitas politik. Pertanyaan “Siapa kita?” bukan sekadar refleksi sosiologis, melainkan instrumen kebijakan yang menentukan bagaimana sebuah negara mengelola perbatasan, kewarganegaraan, dan kohesi sosialnya. Dalam lanskap ini, nasionalisme hadir tidak dalam satu wajah tunggal, melainkan dalam spektrum yang luas antara model nasionalisme sipil yang berbasis pada nilai-nilai konstitusional dan nasionalisme etnis yang berakar pada identitas primordial. Analisis ini mengeksplorasi bagaimana kedua model ini saling berinteraksi, menciptakan titik konflik di negara-negara demokrasi liberal, serta bagaimana teknologi digital telah mengubah cara identitas nasional diproduksi dan dikonsumsi.

Genealogi dan Evolusi Konseptual Nasionalisme: Dari Budaya menuju Konstitusi

Pemahaman mendalam mengenai nasionalisme memerlukan penelusuran sejarah terhadap dikotomi yang pertama kali dipopulerkan oleh Friedrich Meinecke pada tahun 1908 melalui istilah Staatsnation (bangsa-negara) dan Kulturnation (bangsa-budaya). Staatsnation merujuk pada entitas politik yang terbentuk melalui sejarah administrasi dan hukum yang sama, di mana negara mendahului bangsa. Sebaliknya, Kulturnation menggambarkan komunitas yang merasa memiliki ikatan karena warisan budaya, bahasa, dan sejarah bersama, sering kali sebelum entitas politik negara itu sendiri terbentuk.

Evolusi pemikiran ini mencapai puncaknya pada karya Hans Kohn tahun 1944 yang memberikan dimensi geografis dan normatif pada pembagian tersebut. Kohn membedakan antara nasionalisme “Barat” yang bersifat sipil, liberal, dan inklusif dengan nasionalisme “Timur” yang bersifat etnis, illiberal, dan regresif. Meskipun dikotomi ini dikritik karena simplifikasi geografisnya, pembagian ini tetap menjadi kerangka kerja utama dalam studi nasionalisme modern. Nasionalisme sipil menempatkan keanggotaan dalam bangsa sebagai pilihan sukarela yang didasarkan pada kesetiaan terhadap lembaga politik dan nilai-nilai bersama, sementara nasionalisme etnis melihat keanggotaan sebagai takdir biologis atau budaya yang diperoleh melalui kelahiran.

Dimensi Perbandingan Nasionalisme Sipil (Civic) Nasionalisme Etnis (Ethnic)
Prinsip Utama Keadilan, Konstitusi, Hukum Keturunan, Darah, Budaya
Kriteria Keanggotaan Kewarganegaraan (Dapat Diperoleh) Etnisitas (Bersifat Warisan)
Model Integrasi Asimilasi Politik dan Nilai Homogenitas Budaya dan Asal-Usul
Sifat Relasi Inklusif dan Voluntaristik Eksklusif dan Asktiptif
Basis Hukum Jus Soli (Tanah Kelahiran) Jus Sanguinis (Garis Keturunan)
Fokus Identitas “Menjadi” (Becoming) “Ada” (Being)

Dalam prakteknya, perbedaan ini menentukan bagaimana negara memproses imigrasi dan integrasi. Nasionalisme sipil cenderung mengadopsi prinsip Jus Soli, di mana individu yang lahir di wilayah negara tersebut secara otomatis dianggap sebagai bagian dari bangsa, mencerminkan keterbukaan terhadap keragaman. Di sisi lain, negara-negara dengan orientasi etnis sering kali menerapkan Jus Sanguinis, yang menjamin hak kewarganegaraan bagi keturunan kelompok etnis dominan meskipun mereka berada di luar negeri (diaspora), sementara mempersulit proses naturalisasi bagi minoritas etnis di dalam negeri.

Tipologi Konflik dan Kapasitas Negara dalam Dinamika Nasionalisme

Hubungan antara jenis nasionalisme yang diadopsi dan stabilitas domestik sangat dipengaruhi oleh dua variabel independen: kapasitas negara dan kongruensi nasional. Kapasitas negara merujuk pada efektivitas lembaga-lembaga negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan, sementara kongruensi nasional adalah kesesuaian antara identitas nasional populasi dengan batas-batas wilayah negara tersebut.

Interaksi antara kedua variabel ini menciptakan variasi dalam tingkat konflik dan perdamaian di berbagai belahan dunia. Nasionalisme sipil yang inklusif, ketika didukung oleh kapasitas negara yang tinggi dan kongruensi nasional yang stabil, cenderung menghasilkan perdamaian liberal. Namun, ketidaksesuaian antara identitas nasional dan batas wilayah (inkongruensi nasional) sering kali menjadi pemantik konflik yang destruktif.

Kondisi Kapasitas Negara Kondisi Kongruensi Nasional Hasil Tipologis Nasionalisme Potensi Konflik
Tinggi Tinggi Nasionalisme Liberal Rendah/Damai
Rendah Rendah Nasionalisme Tanpa Negara Perang Saudara/Negara Gagal
Tinggi Rendah (Eksternal) Nasionalisme Irredentis Konflik Antarnegara/Revisionisme
Tinggi Rendah (Internal) Nasionalisme Eksklusif/Etnis Penindasan Minoritas

Analisis terhadap data ini menunjukkan bahwa negara-negara dengan kapasitas tinggi tetapi mengalami inkongruensi nasional, terutama yang bersifat eksternal, sering kali berubah menjadi negara revisionis yang berusaha mendefinisikan ulang batas wilayah mereka berdasarkan klaim sejarah atau etnis. Fenomena ini terlihat jelas dalam ketegangan geopolitik di Eropa Timur dan sebagian Asia, di mana narasi nasionalisme etnis digunakan untuk membenarkan intervensi lintas batas guna melindungi “saudara se-etnis”. Sebaliknya, di negara-negara dengan kapasitas rendah, nasionalisme etnis sering kali terfragmentasi menjadi tribalisme atau nasionalisme sub-negara yang memicu konflik internal yang berkepanjangan.

Paradoks Nasionalisme Liberal: Rekonsiliasi Otonomi dan Komunitas

Salah satu tantangan terbesar bagi filsafat politik kontemporer adalah bagaimana mendamaikan nilai-nilai liberal yang menekankan otonomi individu dengan tuntutan nasionalisme yang menekankan solidaritas kolektif. Pemikir seperti Yael Tamir berpendapat bahwa liberalisme dan nasionalisme tidak hanya kompatibel tetapi juga saling membutuhkan. Argumen intinya adalah bahwa individu tidak dapat hidup dalam kekosongan budaya; otonomi pribadi hanya bermakna jika individu tersebut tertanam dalam komunitas budaya yang memberikan kerangka referensi bagi pilihan-pilihannya.

Nasionalisme liberal muncul sebagai tawaran untuk membangun identitas nasional yang kuat namun tetap menghormati hak asasi manusia dan pluralisme. Dalam model ini, nasionalisme tidak dipandang sebagai kekuatan agresif atau eksklusif, melainkan sebagai penyedia rasa komunitas yang memungkinkan individu mengekspresikan diri dengan lebih baik. Identitas nasional yang dibagikan secara luas di antara warga negara dapat meningkatkan keadilan sosial dan tata kelola demokratis melalui beberapa mekanisme:

  1. Promosi Keadilan Liberal: Rasa identitas nasional yang kuat memfasilitasi dukungan warga terhadap kebijakan redistribusi kekayaan, karena mereka merasa memiliki kewajiban moral terhadap sesama anggota bangsa.
  2. Partisipasi Warga: Nasionalisme membantu memperkuat institusi perwakilan dengan menciptakan rasa tanggung jawab sipil dan keterlibatan dalam proses deliberasi.
  3. Kepercayaan Interkomunal: Di masyarakat yang majemuk, identitas nasional yang inklusif (“whole-country nationalism”) dapat mengurangi ketegangan etnis dengan memberikan payung identitas yang lebih besar di atas perbedaan kelompok.

Data dari survei global menunjukkan bahwa identifikasi dengan negara sering kali berkorelasi positif dengan tingkat kepercayaan politik. Misalnya, di Belanda dan Amerika Serikat, individu yang memiliki kebanggaan nasional tinggi cenderung memiliki tingkat kepercayaan yang lebih besar terhadap institusi pemerintah. Bahkan di masyarakat yang sangat beragam secara etnis, paparan terhadap simbol-simbol nasional seperti bendera atau lagu kebangsaan ditemukan dapat mengurangi tingkat ketidakpercayaan interpersonal yang dipicu oleh perbedaan etnis.

Pergeseran dari Multikulturalisme ke Proteksionisme Kultural di Barat

Meskipun model nasionalisme sipil sering kali dipuja sebagai standar emas di negara-negara Barat, dekade terakhir telah menunjukkan pergeseran signifikan menuju apa yang disebut sebagai nasionalisme kultural. Pergeseran ini merupakan reaksi terhadap persepsi kegagalan multikulturalisme dalam mengintegrasikan populasi migran dan ketidakpastian ekonomi akibat globalisasi.

Di banyak negara Eropa, wacana publik telah bergeser dari melihat pengungsi sebagai subjek bantuan kemanusiaan menjadi melihat mereka sebagai ancaman terhadap keamanan dan integritas budaya. Fenomena ini diperkuat oleh kemenangan politik gerakan populis yang menggunakan narasi nasionalisme etnis untuk memobilisasi pemilih. Di beberapa kasus, seperti di Swedia atau Belanda, perolehan suara bagi partai-partai etnonasionalis melampaui persentase populasi yang memiliki pandangan negatif terhadap imigrasi, menunjukkan bahwa nasionalisme jenis ini juga menarik bagi pemilih yang merasa terasing secara ekonomi atau politik.

Tren Sikap terhadap Imigrasi Negara Penurunan Persepsi Pentingnya Kelahiran sebagai Syarat Bangsa (2016-2020)
Signifikan Jerman Dari 34% menjadi 25%
Signifikan Prancis Dari 47% menjadi 32%
Sangat Signifikan Inggris Dari 56% menjadi 31%

Data di atas menunjukkan sebuah paradoks: meskipun partai-partai nasionalis sayap kanan menguat, kesadaran publik secara umum di beberapa negara Eropa justru menunjukkan penurunan penekanan pada kriteria keturunan atau tempat lahir sebagai syarat utama menjadi anggota bangsa yang “asli”. Hal ini mengindikasikan bahwa pertempuran ideologis saat ini bukan lagi sekadar antara “sipil” vs “etnis” secara murni, melainkan mengenai interpretasi terhadap nilai-nilai budaya yang dianggap fundamental bagi identitas negara.

Kedaulatan Budaya dan Konflik Identitas di Asia: Kasus Indonesia-Malaysia

Di Asia Tenggara, persaingan identitas nasional sering kali mengambil bentuk sengketa atas warisan budaya yang dianggap sebagai milik eksklusif negara. Kasus perselisihan antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan bagaimana elemen budaya takbenda dipersenjatai untuk menegaskan superioritas identitas nasional di tengah kemiripan sejarah dan etnis yang sangat kental.

Perselisihan ini sering kali dipicu oleh upaya komersialisasi budaya atau pengakuan internasional. Misalnya, insiden Tari Pendet pada tahun 2009, di mana penggunaan tarian Bali dalam iklan promosi pariwisata Malaysia memicu protes massal di Indonesia dan gerakan “sweeping” terhadap warga negara Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Indonesia, budaya adalah inti dari identitas kolektif yang menyatukan ribuan pulau, sementara di Malaysia, politik identitas lebih banyak didorong oleh struktur etno-kultural yang kaku.

Objek Budaya yang Disengketakan Klaim Indonesia Klaim Malaysia Dampak Konflik
Batik Warisan leluhur Jawa/Indonesia Budaya bersama Melayu Klaim eksklusif via UNESCO oleh Indonesia
Rendang & Gamelan Produk otentik Minangkabau/Jawa Bagian dari warisan budaya Melayu Ketegangan diplomatik dan protes massa
Lagu “Rasa Sayange” Berasal dari Kepulauan Maluku Lagu rakyat di wilayah Semenanjung Peretasan situs web dan boikot produk
Wayang Kulit Tradisi kuno Nusantara/Jawa Tradisi budaya Kelantan/Malaysia Sentimen “Malingsia” di media sosial

Analisis terhadap peran UNESCO menunjukkan bahwa pengakuan internasional terhadap warisan budaya sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bertujuan untuk melestarikan tradisi; di sisi lain, ia menciptakan insentif bagi negara untuk melakukan klaim eksklusif yang mengabaikan sifat cair dan lintas batas dari budaya itu sendiri di masa pra-kolonial. Pejabat pemerintah di Indonesia, misalnya, merayakan pengakuan UNESCO atas Batik sebagai kemenangan mutlak yang mengakhiri klaim Malaysia, meskipun UNESCO sendiri menekankan bahwa warisan budaya dapat dimiliki bersama oleh berbagai kelompok masyarakat.

Radikalisasi Algoritmik dan Senjata Identitas Digital

Di era informasi, nasionalisme tidak lagi diproduksi secara eksklusif oleh kurikulum sekolah atau pidato kenegaraan. Transformasi digital telah memindahkan arena pembentukan identitas ke platform media sosial yang digerakkan oleh algoritma rekomendasi. Fenomena radikalisasi algoritmik telah menjadi ancaman baru bagi kohesi nasional, terutama di negara-negara dengan tingkat literasi digital yang rendah namun memiliki penetrasi internet yang tinggi.

Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna dengan memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat, seperti kemarahan, ketakutan, dan rasa bangga yang berlebihan. Hal ini menciptakan apa yang disebut sebagai “filter bubbles” dan “echo chambers,” di mana individu hanya terpapar pada informasi yang memperkuat prasangka mereka terhadap kelompok lain. Dalam konteks nasionalisme, sistem ini mempercepat pembentukan identitas etnis yang agresif dan eksklusif.

Studi kasus radikalisasi digital di Bangladesh pada tahun 2024 memberikan gambaran yang jelas mengenai bahaya ini. Menjelang kerusuhan Agustus 2024, terjadi peningkatan drastis dalam amplifikasi konten yang membingkai minoritas agama dan aktivis politik sebagai “pengkhianat identitas nasional” atau “musuh negara”. Identitas dipersenjatai melalui mekanisme berikut:

  • Pelabelan Komunitas Terpilih: Penggunaan influencer digital dan grup admin anonim untuk membentuk opini massa dengan memanipulasi emosi publik terhadap kelompok identitas tertentu.
  • Narasi Lokal: Radikalisasi dimediasi melalui narasi yang sangat spesifik secara budaya, seperti tuduhan penistaan agama, untuk memicu hukuman ekstra-yudisial dan kekerasan massa.
  • Vigilantisme Digital: Pengguna media sosial mengambil keadilan ke tangan mereka sendiri berdasarkan tuduhan viral yang sering kali merupakan hasil manipulasi atau disinformasi yang diamplifikasi secara algoritmik.

Di platform seperti TikTok, konten politik yang toksik dan partisan terbukti mendapatkan jangkauan yang jauh lebih luas dibandingkan konten yang bernada netral atau edukatif. Selama siklus pemilihan AS 2024, video yang membahas isu-isu sensitif seperti imigrasi dengan bahasa yang menghina atau mengancam (toksisitas) mendapatkan peningkatan interaksi yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur platform digital secara inheren memberikan insentif bagi narasi nasionalisme yang memecah belah daripada yang menyatukan.

Geopolitik Nasionalisme: China, Jepang, dan Dilema Keamanan Asia

Kebangkitan nasionalisme juga memiliki dampak mendalam pada hubungan antarnegara, terutama di kawasan Asia Timur. Persaingan antara China dan Jepang bukan sekadar masalah sengketa wilayah, melainkan perang narasi sejarah yang bersaing. Nasionalisme di kedua negara ini sering kali digunakan untuk memobilisasi dukungan domestik dan membangun legitimasi pemerintah terhadap aktor eksternal.

Ketegangan ini tercermin dalam sentimen populer yang sangat negatif. Pada tahun 2016, mayoritas warga di kedua negara memiliki pandangan buruk satu sama lain, sebuah situasi yang diperburuk oleh stereotip karakter nasional dan interpretasi yang berbeda terhadap peristiwa Perang Dunia II. Nasionalisme etnis dalam konteks ini berfungsi sebagai instrumen mobilisasi massa yang dapat membatasi ruang gerak diplomasi dan meningkatkan risiko konflik militer yang tidak disengaja.

Data Sentimen Nasional (2016) China terhadap Jepang Jepang terhadap China
Kesan Tidak Menguntungkan 76,7% 91,6%
Faktor Utama Kebencian Sengketa Wilayah & Sejarah Perang Tindakan China di Laut China Selatan
Peran Media Amplifikasi Sentimen Nasionalis Fokus pada Isu Keamanan

Di sisi lain, munculnya “nasionalisme asertif” dari China mencerminkan penggunaan identitas nasional sebagai alat untuk menantang tatanan internasional yang ada. Hal ini menciptakan dilema bagi negara-negara tetangga: bagaimana mempertahankan hubungan ekonomi yang erat sambil menghadapi tekanan nasionalistik yang semakin kuat dari kekuatan regional. Dalam situasi ini, nasionalisme sipil yang moderat di tingkat regional sering kali kalah oleh daya tarik nasionalisme etnis-kultural yang lebih emosional dan mobilisasi.

Tantangan bagi Demokrasi: Mempertahankan Nilai Liberal dalam Arus Proteksionisme

Negara-negara demokrasi saat ini berjuang untuk mempertahankan keseimbangan antara keterbukaan liberal dan kebutuhan akan perlindungan nasionalis. Proteksionisme tidak lagi hanya bersifat ekonomi (tarif dan perdagangan), tetapi juga bersifat kultural dan demografis. Kebijakan nasionalis yang diadopsi oleh banyak negara demokrasi bertujuan untuk memperkuat kedaulatan di tengah arus globalisasi yang dianggap telah mengikis identitas lokal.

Konflik ini termanifestasi dalam beberapa area kebijakan utama:

  1. Imigrasi dan Kewarganegaraan: Negara demokrasi dipaksa untuk memilih antara kewajiban moral terhadap pengungsi (nilai liberal) dan keinginan warga negara untuk mempertahankan homogenitas budaya (sentimen nasionalis).
  2. Moderasi Konten Digital: Upaya untuk mencegah radikalisasi identitas secara online sering kali berbenturan dengan prinsip kebebasan berbicara. Platform media sosial sering kali gagal mengambil tanggung jawab atas desain algoritma mereka yang memfasilitasi kekerasan identitas.
  3. Pendidikan dan Narasi Sejarah: Terjadi perdebatan mengenai bagaimana sejarah bangsa harus diajarkan. Apakah pendidikan harus fokus pada nilai-nilai sipil yang universal atau pada kejayaan etnis masa lalu yang sering kali bersifat eksklusi?.

Integrasi nilai-nilai liberal ke dalam nasionalisme memerlukan desain institusional yang cerdas. Nasionalisme liberal menawarkan kerangka di mana kedaulatan dibagikan dan hak-hak minoritas dilindungi melalui struktur federal atau otonomi budaya.7 Namun, efektivitas model ini sangat bergantung pada kemampuan negara untuk memberikan hasil ekonomi yang nyata dan rasa keamanan bagi seluruh warganya, sehingga mereka tidak merasa perlu mencari perlindungan dalam identitas etnis yang sempit.

Sintesis: Masa Depan Negara-Bangsa dalam Arsitektur Identitas Global

Eksplorasi mendalam terhadap nasionalisme sipil dan etnis mengungkapkan bahwa kedua konsep ini bukanlah kategori yang sepenuhnya terpisah, melainkan spektrum di mana negara-negara terus bergerak sesuai dengan dinamika internal dan eksternal. Kebangkitan nasionalisme di abad ke-21 bukanlah sebuah anomali atau kemunduran sejarah, melainkan respons terhadap kebutuhan akan makna dan komunitas di dunia yang semakin terfragmentasi.

Nasionalisme sipil tetap menjadi visi ideal bagi tatanan dunia yang damai dan inklusif. Namun, ia harus mengakui bahwa identitas politik membutuhkan akar budaya yang cukup kuat untuk mengikat warga negara dalam sebuah solidaritas yang nyata. Di sisi lain, nasionalisme etnis yang tidak terkendali, terutama bila diamplifikasi oleh teknologi digital yang bias, merupakan ancaman eksistensial bagi perdamaian dunia dan hak asasi manusia.

Ke depan, tantangan bagi para pemimpin global dan pembuat kebijakan adalah membangun “nasionalisme inklusif” yang mampu memanfaatkan kekuatan identitas kolektif untuk tujuan-tujuan positif—seperti keadilan sosial, partisipasi demokratis, dan ketahanan terhadap krisis—tanpa jatuh ke dalam jerat kebencian terhadap pihak luar. Hal ini memerlukan reformasi besar-besaran dalam tata kelola digital, penguatan literasi kewarganegaraan, dan komitmen baru terhadap institusi-institusi internasional yang mampu memediasi klaim budaya dan wilayah secara adil. Bangsa-negara yang akan bertahan dan berkembang di masa depan adalah mereka yang mampu menjawab pertanyaan “Siapa kita?” dengan cara yang merangkul keragaman tanpa mengorbankan persatuan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + 1 =
Powered by MathCaptcha