Fenomena politik kontemporer di berbagai belahan dunia menunjukkan pergeseran fundamental dalam diskursus identitas nasional. Jika pada dekade-dekade sebelumnya politik identitas cenderung bersifat fragmentaris dan memecah belah kelompok etnis atau suku di dalam satu negara demi kepentingan otonomi lokal, saat ini muncul tren yang berlawanan: kebangkitan nasionalisme inter-etnis. Paradigma baru ini ditandai oleh upaya sistematis para pemimpin politik untuk menyatukan berbagai faksi etnis internal yang sebelumnya saling bertentangan ke bawah satu payung identitas nasional yang agresif dan monolitik. Penyatuan ini sering kali didorong oleh persepsi ancaman keamanan yang eksistensial atau kebutuhan mendesak akan stabilitas ekonomi, yang kemudian dimanifestasikan melalui retorika permusuhan terhadap entitas luar, seperti migran, institusi supranasional, atau kekuatan globalis.
Nasionalisme inter-etnis beroperasi dengan cara mendefinisikan ulang batas-batas komunitas yang “sejati”. Proses ini tidak hanya melibatkan asimilasi administratif, tetapi juga rekayasa emosional yang mendalam di mana perbedaan primordial di antara kelompok-kelompok internal ditekan demi menghadapi “musuh luar” yang dikonstruksi secara strategis. Dalam banyak kasus, tren ini merupakan inti dari strategi politik populisme sayap kanan yang mengeksploitasi kegelisahan demografis dan ekonomi masyarakat untuk memperkuat otoritas pusat. Laporan ini akan menganalisis secara mendalam anatomi nasionalisme inter-etnis, mekanisme mobilisasi yang digunakan, serta perdebatan mengenai ketulusan dari persatuan yang dibangun tersebut.
Landasan Teoretis dan Evolusi Konseptual Nasionalisme
Memahami kebangkitan nasionalisme inter-etnis memerlukan peninjauan kembali terhadap definisi dasar nasionalisme itu sendiri. Secara tradisional, nasionalisme dipahami sebagai ideologi yang menempatkan bangsa atau kelompok etnis pada posisi tertinggi dalam hierarki nilai politik dan sosial. Namun, dalam konteks modern, muncul perbedaan tajam antara identitas etnis dan identitas nasional atau sipil. Identitas etnis berakar pada persepsi tentang keturunan bersama, budaya, atau bahasa, sedangkan komunitas nasional berakar pada ruang geografis, hukum yang terintegrasi, institusi, kewarganegaraan, dan nilai-nilai bersama.
Integrasi sipil, yang merupakan inti dari nasionalisme inter-etnis, terjadi ketika preferensi masyarakat terhadap identitas berubah dari identifikasi etnis menjadi identifikasi nasional atau patriotik. Transformasi ini sering dianggap sebagai prasyarat bagi demokrasi yang stabil karena mampu meredam konflik etnis yang berkepanjangan. Namun, dalam praktiknya, transisi ini sering kali bersifat paksaan atau dimanipulasi oleh elit politik untuk mengonsolidasikan kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa transisi dari subjek monarki menjadi warga negara nasional yang bersatu melalui konsep la patrie (tanah air) dan le citoyen (warga negara) merupakan alat untuk menggantikan kedaulatan raja dengan kedaulatan rakyat yang terpusat.
| Kategori Analisis | Nasionalisme Tradisional (Etnis) | Nasionalisme Inter-Etnis (Neo-Nasionalisme) |
| Dasar Identitas | Keturunan primordial, bahasa tunggal, budaya homogen. | Kewarganegaraan, kesetiaan pada negara, nilai-nilai sipil yang dimitologikan. |
| Target Musuh | Kelompok etnis internal saingan, pemerintah pusat. | Migran, elit globalis, institusi multilateral, pengaruh asing. |
| Mekanisme Penyatuan | Solidaritas suku, memori penderitaan kelompok. | Moralisasi ekonomi, keamanan nasional, “politik nostalgia”. |
| Tujuan Politik | Otonomi daerah, hak khusus etnis. | Hegemoni negara, kedaulatan mutlak, kontrol perbatasan. |
Evolusi menuju neo-nasionalisme di abad ke-21 ditandai dengan kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan nasionalisme abad ke-19. Jika nasionalisme tradisional berfokus pada pembangunan negara-bangsa dari fragmen-fragmen kerajaan, neo-nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap globalisasi yang dianggap mengancam kedaulatan dan identitas. Ini mencakup perpaduan antara populisme, anti-modernitas, konservatisme religius, dan egoisme ekonomi yang menyasar mereka yang merasa terpinggirkan oleh sistem global.
Mekanisme Integrasi Statist dalam Manajemen Konflik
Dalam upaya meredam konflik inter-etnis, banyak negara menerapkan apa yang disebut sebagai integrasi inter-etnis statist. Di Kenya, misalnya, upaya ini melibatkan integrasi kebijakan keragaman etnis ke dalam politik, kepemimpinan, administrasi, dan tujuan pembangunan nasional. Namun, proses ini sering kali berjalan lamban karena adanya hambatan struktural seperti dominasi mayoritas atas minoritas dan distribusi sumber daya yang tidak merata.
Efektivitas integrasi ini sangat bergantung pada kepemimpinan. Pemimpin yang lemah cenderung membiarkan rasa tidak aman nasional merajalela, yang pada gilirannya mendorong masyarakat untuk kembali ke pengelompokan etnis sebagai tameng terhadap ancaman luar yang dirasakan. Sebaliknya, pemimpin populis yang kuat sering kali menggunakan “musuh luar” sebagai katalisator untuk mempercepat integrasi internal. Dengan menciptakan narasi tentang ancaman bersama, perbedaan etnis internal dikonversi menjadi loyalitas nasional yang agresif.
Strategi Populisme Nativis: Penyatuan Melalui Konstruksi Musuh Bersama
Salah satu temuan kunci dalam riset politik kontemporer adalah bagaimana populisme sayap kanan menggunakan “nativisme” untuk menyatukan faksi-faksi etnis internal. Nativisme adalah ideologi yang menyatakan bahwa negara harus dihuni secara eksklusif oleh kelompok “pribumi” dan bahwa kelompok non-pribumi (migran atau minoritas tertentu) merupakan ancaman bagi kesatuan bangsa. Pemimpin populis mengklaim mewakili “rakyat yang murni” melawan “elit yang korup” dan “musuh luar”.
Strategi ini bekerja melalui tiga pilar utama:
- Dramatisasi Krisis: Pemimpin populis sering kali mendramatisasi atau bahkan memfabrikasi masalah, seperti arus migrasi atau tekanan ekonomi, untuk menciptakan rasa urgensi dan kebutuhan akan pemimpin yang kuat.
- Eksploitasi Kecemasan Budaya: Perubahan demografi dan sosial yang cepat di era globalisasi memicu “reaksi budaya” (cultural backlash). Masyarakat yang merasa kehilangan status mencari perlindungan pada “identitas suku” yang lebih besar, yaitu bangsa.
- Penggunaan Simbol dan Mitos: Mitologi sejarah tentang kejayaan masa lalu digunakan untuk memberikan jangkar emosional bagi masyarakat yang merasa tercerabut. Contohnya adalah kampanye “Make America Great Again” di Amerika Serikat atau narasi “Reconquista” oleh partai Vox di Spanyol.
Konstruksi “Liyan” sebagai Alat Integrasi
Dalam logika nasionalisme inter-etnis, musuh eksternal bukan sekadar ancaman fisik, melainkan alat diskursif untuk mendefinisikan siapa yang termasuk dalam “kita”. Migran sering kali dibingkai bukan sebagai individu yang mencari kehidupan lebih baik, tetapi sebagai pion dalam rencana elit global untuk menghancurkan identitas bangsa. Di Uni Eropa, partai-partai populis mengeksploitasi perbedaan budaya yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat untuk menjustifikasi kebijakan eksklusi.
| Jenis Populisme | Dasar Mobilisasi | Target Utama | Dampak pada Persatuan Internal |
| Populisme Rasial | Standar fisik dan keturunan yang dianggap murni. | Kelompok minoritas rasial, migran lintas benua. | Menciptakan hierarki internal yang menindas kelompok minoritas mikro. |
| Populisme Religius | Akar nilai agama tradisional sebagai fondasi bangsa. | Agama “asing”, sekularisme radikal. | Menyatukan berbagai sekte internal melawan ancaman “kafir” atau “penjajah budaya”. |
| Populisme Kelas | Ketimpangan ekonomi dan elitisme institusional. | Elit globalis, bankir internasional, teknokrat. | Menyatukan pekerja lintas etnis melalui retorika perlindungan ekonomi. |
Penyatuan ini sering kali bersifat “iliberal”, karena menolak keragaman identitas dan pendapat di dalam masyarakat. Dengan mengklaim memiliki akses langsung ke “kehendak rakyat”, pemimpin populis merasa berhak untuk mengabaikan batasan konstitusional dan hak-hak minoritas.
Studi Kasus Regional: Transformasi dari Fragmentasi ke Nasionalisme Pusat
Untuk memahami bagaimana teori nasionalisme inter-etnis bekerja dalam realitas politik, kita perlu menelaah beberapa kasus di mana gerakan politik bertransformasi dari fokus etno-regional menjadi nasionalis-agresif.
Italia: Evolusi Lega Nord dari Separatisme ke “Italy First”
Kasus yang paling mencolok adalah evolusi partai Lega Nord di Italia. Awalnya, partai ini merupakan federasi gerakan otonomi regional di Italia Utara yang sangat memusuhi pemerintah pusat di Roma dan masyarakat Italia Selatan. Mereka menuntut federalisme fiskal dan bahkan kemerdekaan wilayah yang mereka sebut sebagai “Padania”.
Namun, di bawah kepemimpinan Matteo Salvini sejak tahun 2014, partai ini mengalami reorientasi dramatis. Salvini mengubah identitas partai menjadi gerakan nasionalis sayap kanan dengan slogan “Italy First”. Musuh lama (Roma dan Selatan) digantikan dengan musuh baru: migran ilegal, Uni Eropa, dan birokrat globalis. Dengan cara ini, Lega berhasil menarik pemilih dari seluruh semenanjung Italia, menyatukan orang-orang Utara dan Selatan yang sebelumnya saling membenci di bawah satu panji nasionalisme anti-migran.
Transformasi ini dimungkinkan melalui:
- Aliansi Internasional: Membangun kemitraan dengan partai nasionalis lain seperti Front Nasional di Prancis dan Partai Kebebasan di Belanda untuk menunjukkan bahwa perjuangan mereka adalah bagian dari gerakan kedaulatan Eropa.
- Rebranding Simbolik: Menghapus kata “Nord” dari logo partai dalam pemilihan umum dan menekankan simbol-simbol kedaulatan nasional Italia.
- Sentralisasi Kepemimpinan: Mengurangi kekuasaan presiden federal dan memperpanjang masa jabatan sekretaris federal, memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemimpin pusat untuk menentukan arah kebijakan.
Spanyol: Kebangkitan Vox sebagai Penjaga Persatuan Nasional
Di Spanyol, kemunculan partai Vox menandai kebangkitan nasionalisme pusat yang agresif sebagai reaksi terhadap gerakan separatis di Catalonia dan Basque. Vox memposisikan dirinya sebagai satu-satunya pembela persatuan Spanyol yang “tanpa rasa takut atau ambiguitas”. Mereka mengusulkan penghapusan sistem komunitas otonom dan penguatan pemerintah pusat tunggal.
Strategi Vox sangat bergantung pada:
- Narasi “Reconquista”: Menggunakan memori sejarah penaklukan kembali Spanyol dari kekuasaan Muslim untuk membingkai perjuangan modern melawan imigrasi dan pengaruh budaya asing.
- Anti-Gender dan Tradisionalisme: Menggunakan isu-isu seperti penolakan terhadap kebijakan kekerasan gender dan pembelaan terhadap keluarga tradisional untuk menyatukan segmen masyarakat yang konservatif.
- Konfrontasi Langsung: Mengadakan demonstrasi besar di wilayah separatis seperti Barcelona untuk menantang klaim kemerdekaan secara langsung dan menarik dukungan dari kaum unionis.
Dukungan terhadap Vox menunjukkan bahwa di tengah ancaman disintegrasi internal, banyak warga negara yang bersedia mengesampingkan perbedaan regional mereka demi mendukung agenda nasionalis yang menjanjikan stabilitas dan integritas wilayah.
India: Hindutva dan Rekonstruksi Identitas Hindu-Nasional
Gerakan Hindutva di India merupakan contoh paling masif dari nasionalisme inter-etnis yang religius. Ideologi ini bertujuan menyatukan mayoritas Hindu yang sangat beragam secara kasta, bahasa, dan geografi ke bawah satu identitas politik yang monolitik. Hindutva mengonstruksi India sebagai negara Hindu (Hindu Rashtra) di mana kewarganegaraan terkait erat dengan afiliasi budaya Hindu.
Mekanisme penyatuan dalam Hindutva meliputi:
- Penciptaan Musuh Internal yang “Asing”: Menandai umat Muslim dan Kristen sebagai kelompok yang tidak bisa benar-benar loyal kepada India karena tanah suci mereka berada di luar India.
- Mobilisasi Melalui Disinformasi: Penggunaan media sosial dan alat diskursif untuk menyebarkan ketakutan akan “ancaman demografis” dan “Love Jihad”, yang bertujuan menyatukan berbagai kasta Hindu melawan ancaman eksternal yang dipersepsikan.
- Eksploitasi Warisan Kolonial: Membingkai Hindutva sebagai bentuk perlawanan pasca-kolonial terhadap pengaruh Mughal dan Inggris, serta upaya menegaskan kembali identitas kolektif melalui lensa politik.
Penyatuan ini sering kali menekan hierarki kasta internal (seperti posisi Dalit dan Adivasi) agar tunduk pada agenda besar nasionalisme Hindu, menciptakan persatuan yang sering kali merugikan kelompok-kelompok paling marjinal di dalam komunitas Hindu itu sendiri.
Dimensi Ekonomi: Moralisasi Penghematan dan Populisme Fiskal
Salah satu aspek yang sering terlewatkan dalam analisis nasionalisme inter-etnis adalah dimensi ekonominya. Berbeda dengan populisme abad ke-20 di Amerika Latin yang cenderung redistributif dan boros secara fiskal, populisme modern (seperti rezim Narendra Modi, Konservatif Brexit, atau Javier Milei) sering kali bersifat konservatif secara fiskal namun tetap menggunakan retorika populis.
Fenomena ini disebut sebagai “austerity populism” (populisme penghematan). Dalam model ini, penghematan fiskal dipresentasikan sebagai kebajikan moral bagi “rakyat yang bekerja keras” melawan “elit yang boros” atau “kelompok minoritas yang bergantung pada negara”. Pemimpin populis memoralisasi penghematan dan mensucikan kehati-hatian fiskal, mengubah kebijakan ekonomi yang sebenarnya memiskinkan kelas bawah menjadi sebuah tindakan pengabdian sipil.
| Strategi Ekonomi | Manifestasi Populis | Dampak pada Persatuan Inter-Etnis |
| Dekomodifikasi Selektif | Menjadikan perumahan atau transportasi sebagai tanggung jawab publik hanya bagi “warga negara sejati”. | Memperkuat batas antara kelompok “kita” (yang berhak) dan “mereka” (yang membebani). |
| Moralisasi Utang | Membingkai utang nasional sebagai pengkhianatan elit terhadap masa depan anak bangsa. | Menyatukan pembayar pajak lintas etnis dalam kemarahan terhadap institusi keuangan global. |
| Skema Benefisialisme | Memberikan bantuan langsung yang dipersonalisasi dari pemimpin kepada pengikut setia. | Menciptakan kelas pendukung yang bergantung secara politik tanpa melakukan perubahan struktural. |
Kebijakan ekonomi ini berfungsi sebagai alat kontrol. Dengan menciptakan rasa kelangkaan, pemerintah dapat lebih mudah menunjuk kelompok migran atau minoritas sebagai kambing hitam atas kurangnya layanan publik atau lapangan kerja. Persatuan yang dibangun di sini bukan didasarkan pada kemakmuran bersama, melainkan pada kemarahan bersama terhadap “penumpang gelap” yang dianggap menghabiskan sumber daya negara yang terbatas.
Persatuan Tulus atau Strategi Penindasan: Menguji Argumen Integritas
Pertanyaan fundamental yang muncul adalah apakah persatuan inter-etnis ini merupakan bentuk integrasi sipil yang tulus atau sekadar strategi untuk menekan hak-hak minoritas dan memperkuat otoritarianisme. Analisis terhadap berbagai kasus menunjukkan bahwa persatuan ini sering kali bersifat strategis dan penuh dengan kontradiksi internal.
Paradoks “Gencatan Senjata Taktis”
Dalam banyak konflik civil atau okupasi, persatuan antar-kelompok etnis sering kali hanyalah “gencatan senjata taktis” (tactical truce) untuk melawan musuh bersama yang lebih kuat. Sejarah menunjukkan bahwa begitu ancaman luar tersebut mereda, ketegangan etnis internal sering kali muncul kembali dengan intensitas yang lebih tinggi. Di Yugoslavia selama Perang Dunia II, misalnya, upaya gencatan senjata taktis antara berbagai faksi gagal karena adanya veto dari kekuatan luar dan kepentingan elit lokal yang tidak terdamaikan.
Dalam konteks modern, nasionalisme inter-etnis sering kali berfungsi sebagai alat untuk “membungkam” tuntutan hak-hak khusus etnis minoritas dengan dalih persatuan nasional. Kelompok mayoritas menggunakan narasi “kita semua sama di depan bangsa” untuk menghapus kebijakan afirmatif atau perlindungan hukum bagi kelompok yang secara historis terpinggirkan.
Penindasan Terhadap Minoritas Mikro dan Hak Gender
Nasionalisme baru yang agresif ini sering kali menargetkan kelompok yang paling tidak berdaya sebagai tumbal persatuan. Kelompok minoritas mikro, yang tidak memiliki kekuatan politik besar, sering kali menghadapi “pengecualian di tengah inklusi”. Mereka mungkin diakui secara administratif sebagai warga negara, namun secara praktis akses mereka terhadap pengambilan keputusan tetap tertutup oleh elit kelompok dominan.
Selain itu, nasionalisme inter-etnis sering kali berjalan seiring dengan agenda anti-gender. Partai-partai far-right di Polandia, Hungaria, dan Spanyol menggunakan retorika “perlindungan keluarga tradisional” untuk menyerang hak-hak perempuan dan kelompok LGBTQ+. Emansipasi perempuan dan keragaman orientasi seksual dibingkai sebagai nilai-nilai “asing” yang dipaksakan oleh elit global untuk merusak identitas nasional.
| Wilayah | Kelompok yang Tertekan | Narasi Penindasan |
| Eropa Timur | Komunitas LGBTQ+, aktivis hak perempuan. | “Nilai-nilai impor dari Barat yang mengancam moral bangsa”. |
| India | Dalit, Adivasi, minoritas Muslim. | “Hambatan bagi homogenitas Hindu dan kemajuan nasional”. |
| Afrika | Kelompok etnis oposisi. | “Pengkhianat yang bekerja sama dengan kekuatan asing untuk memecah belah”. |
| Spanyol | Separatis Catalan, migran Arab. | “Musuh tanah air yang merusak kedaulatan dan budaya Katolik”. |
Implikasi Geopolitik dan Masa Depan Tatanan Internasional
Kebangkitan nasionalisme inter-etnis bukan hanya masalah domestik, melainkan memiliki konsekuensi serius bagi stabilitas internasional. Penolakan terhadap multilateralisme dan penguatan kedaulatan absolut menciptakan dunia yang lebih kompetitif dan anarkis. Ketika banyak negara berpaling ke dalam (turning inward) dan mengejar kebijakan perlindungan, institusi global seperti PBB atau WTO kehilangan efektivitasnya dalam memediasi konflik dan mempromosikan kerja sama.
Erosi Tatanan Berbasis Aturan
Nasionalisme baru ini menantang “tatanan berbasis aturan” (rules-based order) yang telah ada sejak akhir Perang Dunia II. Para pemimpin populis memandang hukum internasional sebagai hambatan bagi ekspresi “kehendak rakyat”. Hal ini menyebabkan penarikan diri dari komitmen internasional, seperti Brexit oleh Inggris atau penarikan diri dari konvensi hak asasi manusia oleh beberapa negara di Eropa Timur.
Akibatnya, terjadi pergeseran dari kekuatan lunak (soft power) menuju kekuatan keras (hard power). Hubungan antar-negara menjadi lebih transaksional dan dipersonalisasi melalui hubungan antar-pemimpin karismatik, yang sering kali mengabaikan norma-norma diplomatik tradisional.
Risiko Disintegrasi dan Konflik Etnis yang Mengeras
Meskipun bertujuan menyatukan, nasionalisme inter-etnis yang dipaksakan sering kali menjadi katalis bagi konflik yang lebih dalam. Ketika identitas nasional didefinisikan secara sempit dan eksklusif, kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan mungkin akan merespons dengan nasionalisme separatis yang lebih radikal. Hal ini terlihat di wilayah Kaukasus Selatan dan beberapa bagian Afrika, di mana kegagalan mekanisme pembagian kekuasaan menyebabkan bentrokan etnis yang berkepanjangan.
Penyebaran retorika eksklusif ini juga melintasi batas negara. Contohnya, narasi Hindutva di India dapat memicu reaksi ekstremisme di negara-negara tetangga seperti Pakistan atau Bangladesh, menciptakan siklus radikalisme timbal balik yang membahayakan perdamaian regional.
Kesimpulan: Menimbang Masa Depan Nasionalisme Inter-Etnis
Laporan ini menunjukkan bahwa kebangkitan nasionalisme inter-etnis merupakan fenomena dualistik yang kompleks. Di satu sisi, ia menawarkan jalan keluar bagi fragmentasi etnis yang melumpuhkan melalui integrasi sipil dan penguatan identitas nasional. Namun, di sisi lain, manifestasi populisnya sering kali didasarkan pada fondasi yang iliberal, eksklusif, dan manipulatif.
Keberhasilan para pemimpin dalam menyatukan berbagai etnis di bawah satu identitas nasional yang agresif sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mempertahankan “statis krisis”. Dengan terus-menerus memproduksi musuh luar dan mendramatisasi ancaman terhadap bangsa, mereka dapat menjustifikasi penekanan terhadap perbedaan internal dan pembatasan terhadap hak-hak individu. Persatuan yang dibangun dengan cara ini sering kali rapuh karena tidak didasarkan pada konsensus nilai yang tulus, melainkan pada ketakutan dan kebencian bersama.
Untuk masa depan, tantangan bagi demokrasi liberal adalah bagaimana menciptakan bentuk nasionalisme sipil yang inklusif—yang mampu memberikan rasa memiliki tanpa harus mengorbankan keragaman atau menindas minoritas. Tanpa adanya institusi yang kuat untuk menyalurkan sentimen kelompok dan memastikan distribusi sumber daya yang adil, nasionalisme inter-etnis akan terus menjadi instrumen bagi otoritarianisme yang bersembunyi di balik topeng “kehendak rakyat”. Stabilitas tatanan internasional juga akan sangat bergantung pada sejauh mana negara-negara mampu menyeimbangkan kedaulatan nasional mereka dengan tanggung jawab global di dunia yang semakin saling terhubung namun terfragmentasi ini.
Secara ringkas, nasionalisme inter-etnis saat ini lebih banyak berfungsi sebagai strategi elit untuk mengamankan kekuasaan di tengah ketidakpastian global daripada sebagai proyek pembangunan bangsa yang tulus. Implikasi jangka panjangnya kemungkinan besar adalah pengerasan garis-garis konflik, baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional, yang memerlukan kewaspadaan dan respons kebijakan yang lebih bernuansa dari komunitas global.
