Transformasi paradigmatik dalam hubungan internasional saat ini telah menempatkan isu lingkungan hidup bukan sekadar sebagai diskursus ekologis, melainkan sebagai medan tempur geopolitik yang baru. Fenomena yang diidentifikasi sebagai “Imperialisme Hijau” mencerminkan kelanjutan dari relasi kolonial klasik yang kini dikemas dalam retorika penyelamatan planet. Dalam struktur kekuasaan global yang asimetris, negara-negara maju (Global North) mengonstruksi identitas sebagai “Penyelamat Bumi” untuk melegitimasi intervensi kebijakan ekonomi terhadap negara-negara berkembang (Global South). Analisis ini mengeksplorasi bagaimana politik identitas digunakan untuk memaksakan standar lingkungan global, seperti regulasi deforestasi dan mekanisme penyesuaian karbon, yang seringkali mengabaikan kebutuhan pembangunan dan kedaulatan negara-negara di belahan bumi bagian selatan.

Konstruksi Identitas Penyelamat Bumi dan Hegemoni Epistemik

Akar dari imperialisme hijau terletak pada kemampuan negara-negara industri untuk mendefinisikan narasi krisis iklim global secara sepihak. Identitas “Penyelamat Bumi” bukan sekadar posisi etis, melainkan instrumen kekuasaan yang digunakan untuk mengelola “geopolitika manajemen rasa bersalah”. Dengan menekankan bahwa iklim adalah “masalah bersama” dan “tanggung jawab bersama,” negara-negara maju secara efektif menghapus utang karbon sejarah mereka. Data menunjukkan bahwa negara-negara industri bertanggung jawab atas lebih dari 52% dari seluruh emisi CO2 sejak tahun 1850, namun kebijakan saat ini justru membebankan disiplin ekologis yang ketat kepada negara berkembang yang sedang dalam tahap industrialisasi.

Hegemoni ini diperkuat melalui kontrol atas sains dan pengetahuan. Dominasi Barat dalam institusi ilmiah seperti IPCC, di mana lebih dari 60% penulis utamanya berasal dari universitas-universitas Barat, memungkinkan Global North untuk menentukan rute emisi dan model iklim yang seringkali meremehkan kebutuhan pengurangan kemiskinan di Global South. Sains dalam konteks ini berubah menjadi alat tata kelola; siapa yang menguasai sains, menguasai kebijakan, dan siapa yang menguasai kebijakan, menguasai masa depan. Identitas ini menciptakan dikotomi moral: negara maju diposisikan sebagai agen progresif yang membawa teknologi “bersih,” sementara negara berkembang seringkali dicitrakan sebagai perusak hutan atau pencemar yang harus didisiplinkan melalui standar internasional.

Dimensi Identitas Manifestasi dalam Diplomasi Iklim Dampak terhadap Global South
Moral/Etis Narasi “Penyelamat Bumi” dan “Tanggung Jawab Bersama” Penghapusan tanggung jawab historis emisi Utara
Epistemik Monopoli sains iklim dan model emisi oleh institusi Barat Pengabaian konteks pembangunan dan kebutuhan lokal
Teknologis Kontrol atas paten energi terbarukan dan teknologi hijau Ketergantungan teknologi dan biaya kepatuhan yang tinggi
Finansial Penggunaan utang dan pendanaan iklim sebagai leverage politik Penumpukan utang baru dan kondisionalitas kebijakan

Mekanisme Imperialisme: EUDR dan Disposisi Petani Kecil

Salah satu manifestasi paling nyata dari imperialisme hijau adalah Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Regulasi ini mewajibkan komoditas yang masuk ke pasar Uni Eropa—termasuk minyak sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, kayu, dan ternak—untuk membuktikan bahwa mereka tidak berasal dari lahan yang dideforestasi setelah 31 Desember 2020. Meskipun tujuan resminya adalah perlindungan hutan, implementasinya menciptakan hambatan teknis dan ekonomi yang sangat besar bagi negara produsen seperti Indonesia, Malaysia, dan Brasil.

Ketegangan muncul karena EUDR mengasumsikan adanya infrastruktur digital yang merata, yang pada kenyataannya tidak dimiliki oleh sebagian besar petani kecil di pedesaan. Di Indonesia, misalnya, sekitar 2,7 juta rumah tangga petani kecil mengelola 40% lahan sawit nasional. Persyaratan EUDR untuk menyediakan data geolokasi dengan tingkat akurasi enam angka desimal merupakan beban biaya yang sangat tinggi. Biaya pemetaan poligon diperkirakan mencapai €500 hingga €1.200 per petani, jumlah yang setara dengan pendapatan empat bulan bagi rumah tangga yang hanya berpenghasilan €150-€300 per bulan.

Lebih jauh lagi, terdapat kesenjangan teknologi yang mencolok: hanya sekitar 8% petani kecil di pedesaan Indonesia yang memiliki ponsel cerdas yang mampu menjalankan aplikasi pemetaan yang diperlukan untuk kepatuhan EUDR. Hal ini menciptakan sistem dua tingkat (two-tier system) di mana perusahaan perkebunan besar yang memiliki sumber daya administratif dapat memenuhi syarat dengan biaya rendah (di bawah €5 per hektar), sementara petani kecil menghadapi risiko pengucilan total dari pasar Eropa. Pengucilan ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan ancaman terhadap mata pencaharian jutaan orang; INDEF memperkirakan bahwa hambatan kepatuhan EUDR dapat mendorong jutaan rumah tangga petani kembali ke dalam kemiskinan.

Parameter Dampak EUDR Statistik/Data Relevan Implikasi bagi Global South
Biaya Pemetaan per Petani €500 – €1.200 (setara 4 bulan pendapatan) Beban finansial yang tidak berkelanjutan bagi petani kecil
Kepemilikan Smartphone Layak Hanya 8% petani kecil di pedesaan Indonesia Kegagalan implementasi teknologi di tingkat dasar
Risiko Eksklusi Rantai Pasok Penurunan partisipasi ekspor 60-75% bagi petani kecil Marginalisasi petani kecil dari pasar premium Eropa
Kontribusi Lahan Petani Kecil 40% dari total luas perkebunan sawit di Indonesia Ancaman terhadap stabilitas ekonomi sektor utama

Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan Proteksionisme Berkedok Iklim

Selain EUDR, Uni Eropa juga mengimplementasikan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), sebuah instrumen yang mengenakan pajak pada barang-barang impor intensif emisi seperti baja, aluminium, semen, dan pupuk. Argumen yang digunakan adalah untuk mencegah “kebocoran karbon” (carbon leakage), di mana industri berpindah ke negara dengan standar lingkungan yang lebih rendah. Namun, dari perspektif Global South, CBAM adalah bentuk proteksionisme perdagangan yang melanggar prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) yang disepakati secara internasional.

CBAM secara efektif mengekspor harga karbon Eropa ke negara-negara berkembang tanpa mempertimbangkan kapasitas ekonomi atau tanggung jawab historis mereka. Analisis dampak menunjukkan bahwa Afrika diperkirakan akan kehilangan US$ 25 miliar per tahun dalam PDB akibat implementasi CBAM, yang setara dengan penurunan 0.91% dari total PDB benua tersebut. Negara-negara seperti Mozambik dan Zimbabwe diidentifikasi sebagai yang paling terpapar secara global karena ketergantungan mereka pada ekspor aluminium dan baja ke Eropa.

Bagi India, CBAM diprediksi akan mengenakan pajak rata-rata sebesar 25% pada produk yang terkena dampak, dengan perkiraan kerugian ekonomi mencapai US$ 1,7 miliar per tahun. Ketidakadilan ini semakin nyata ketika pendapatan yang dikumpulkan dari pajak CBAM dialokasikan ke dalam Dana Inovasi Uni Eropa untuk mendekarbonisasi industri mereka sendiri, alih-alih diberikan kepada negara-negara berkembang untuk membantu transisi energi mereka. Ini menciptakan siklus di mana negara miskin mensubsidi teknologi bersih di negara kaya, sementara mereka sendiri semakin tertinggal dalam persaingan global.

Negara/Wilayah Estimasi Penurunan PDB/Pendapatan Sektor Utama yang Terdampak
Afrika (Benua) Penurunan PDB 0,91% (US$ 25 Miliar) Aluminium, Besi, Baja, Pupuk
India Kerugian ekspor US$ 1,7 Miliar (0,05% PDB) Besi, Baja, Aluminium
Tiongkok Biaya tambahan ekspor baja US$ 200-400 Juta Baja, Aluminium
Mozambik Salah satu yang paling terpapar di dunia Aluminium

Ekstraktivisme Hijau: Sisi Gelap Transisi Energi

Politik identitas “Penyelamat Bumi” di Global North sangat bergantung pada apa yang disebut sebagai “ekstraktivisme hijau” di Global South. Transisi menuju kendaraan listrik dan energi terbarukan memerlukan mineral dalam jumlah besar, yang sebagian besar cadangannya berada di wilayah-wilayah yang secara historis terkolonisasi. Permintaan untuk litium diperkirakan akan melonjak 40 kali lipat pada tahun 2050, sementara permintaan untuk kobalt dan nikel diprediksi akan meningkat lebih dari 20 kali lipat.

Fenomena ini menciptakan pola “penjarahan dan perampasan” yang baru di era transisi hijau. Di Republik Demokratik Kongo (DRC), yang memasok sekitar 70% kobalt dunia, persaingan geopolitik antara Tiongkok dan Amerika Serikat telah memicu renegosiasi kontrak pertambangan yang seringkali merugikan kepentingan nasional dan komunitas lokal. Di Namibia dan Senegal, dorongan untuk memproduksi “hidrogen hijau” bagi pasar Eropa telah dikritik sebagai bentuk kolonialisme energi baru. Proyek-proyek ini seringkali menggunakan narasi “tanah kosong” (terra nullius) untuk melegitimasi pengambilalihan lahan yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat adat untuk instalasi surya dan angin raksasa guna memproduksi bahan bakar bagi industri Utara.

Paradoksnya adalah bahwa dekarbonisasi di satu belahan dunia seringkali dibayar dengan kerusakan ekologis dan sosial di belahan dunia lain. Penambangan litium di “segitiga litium” Amerika Latin menyebabkan pencemaran air dan konflik tanah, sementara penambangan nikel di Indonesia seringkali bersinggungan dengan kawasan hutan lindung. Dalam konteks ini, “Imperialisme Hijau” bukan sekadar soal aturan perdagangan, melainkan rekonfigurasi geografis di mana Global South kembali diposisikan sebagai penyedia bahan mentah murah dan “reservoir” bagi kebutuhan ekologis Global North.

Perlawanan Identitas: Hak untuk Membangun dan Kedaulatan Sumber Daya

Menanggapi tekanan imperialisme hijau, muncul politik identitas perlawanan dari Global South yang berpusat pada “Hak untuk Membangun” (Right to Development). Argumen ini menekankan bahwa transisi ekosial tidak dapat dipisahkan dari keadilan global. Tanpa keadilan, transisi tersebut hanyalah reproduksi cara berpikir imperial yang memprioritaskan gaya hidup konsumtif di Utara di atas kebutuhan dasar manusia di Selatan.17

Negara-negara seperti Indonesia dan Brasil mulai menggunakan identitas mereka sebagai pemilik cadangan karbon dan mineral terbesar di dunia untuk menuntut negosiasi yang lebih adil. Brasil, di bawah kepemimpinan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, telah menempatkan kedaulatan sumber daya di pusat kebijakan iklimnya. Pada COP30 di Belém, Brasil memposisikan dirinya sebagai pemimpin Global South dengan mengadvokasi pembentukan mekanisme pendanaan baru seperti Tropical Forest Forever Facility (TFFF). TFFF dirancang untuk memberikan pembayaran langsung bagi negara-negara yang menjaga hutan mereka tetap berdiri, sebuah pergeseran paradigma dari model bantuan donor tradisional menuju model investasi yang menghormati kedaulatan nasional.

Selain itu, terdapat upaya sadar untuk melakukan “delinking” dari logika kapitalisme ekstraktif melalui kebijakan hilirisasi. Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel mentah untuk mendorong pembangunan industri pemrosesan dalam negeri, sebuah langkah yang secara eksplisit menantang peran tradisional negara berkembang sebagai penyedia komoditas murah. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa politik identitas di Global South kini beralih dari sekadar sikap defensif menjadi strategi proaktif untuk mendefinisikan kembali aturan main dalam ekonomi hijau global.

Diplomasi Ganda dan Paradoks Kepemimpinan Eropa

Di sisi lain, Uni Eropa menghadapi tantangan kredibilitas dalam klaim kepemimpinan hijau mereka. Sementara Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mempromosikan Green Deal sebagai “momen manusia di bulan” bagi Eropa, kebijakan internal menunjukkan kecenderungan ke arah deregulasi dan proteksi kepentingan industri domestik. Retorika von der Leyen pada tahun 2025 mulai bergeser dari “hijau” menuju “bersih” dan “berkarbon rendah,” sebuah penghalusan bahasa yang dirancang untuk menjaga daya saing industri Eropa di tengah persaingan dengan Tiongkok dan Amerika Serikat.

Kritik terhadap Uni Eropa juga menyoroti kemunafikan dalam kebijakan energi mereka. Di satu sisi, negara-negara Eropa melarang praktik seperti fracking di wilayah mereka sendiri demi alasan lingkungan, namun secara aktif mendukung perusahaan multinasional mereka untuk mengeksploitasi sumber daya serupa di wilayah bekas koloni mereka. Selain itu, ketergantungan Eropa pada impor biofuel seringkali menyebabkan perampasan lahan dan pengusiran komunitas adat di negara-negara produsen, sebuah dampak sosial yang sering diabaikan dalam perhitungan emisi “bersih” di benua tersebut.

Kritik terhadap Kepemimpinan Hijau EU Bukti/Contoh Kasus Implikasi Geopolitik
Eksternalisasi Dampak Buruk Larangan fracking domestik tapi mendukung eksploitasi di koloni Erosi kepercayaan dari mitra Global South
Pengabaian Hak Adat Biofuel RED II memicu perampasan lahan di Brasil Konflik antara narasi iklim dan hak asasi manusia
Retorika vs. Alokasi Dana Pajak CBAM tidak dikembalikan ke negara berkembang untuk transisi Memperlebar kesenjangan finansial global
Standar Ganda Dagang Desakan pasar bebas tapi menerapkan hambatan non-tarif hijau Tuduhan “imperialisme lingkungan” di WTO

Studi Kasus: Aliansi Indonesia-Brasil dan Perlawanan di WTO

Ketegangan antara standar lingkungan global dan kebutuhan pembangunan paling nyata terlihat dalam sengketa perdagangan di WTO. Indonesia telah membawa Uni Eropa ke panel WTO (DS593) terkait klasifikasi minyak sawit sebagai bahan bakar nabati berisiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land-use change atau iLUC) dalam arahan RED II. Panel WTO pada tahun 2024 dan 2025 mengonfirmasi bahwa meskipun Uni Eropa memiliki hak untuk mengambil tindakan berbasis iklim, aspek-aspek tertentu dari implementasi teknisnya bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan aturan perdagangan internasional.

Kemitraan strategis antara Brasil dan Indonesia pada tahun 2025 menandai babak baru dalam perlawanan ini. Kedua negara, sebagai raksasa hutan tropis dan produsen bioenergi utama, secara eksplisit menolak “tindakan sepihak dan sewenang-wenang” yang menciptakan hambatan perdagangan atas dasar lingkungan. Mereka menyerukan pembentukan standar global yang transparan dan non-diskriminatif melalui forum-forum seperti G20 dan BRICS. Aliansi ini bukan hanya tentang perdagangan, tetapi juga tentang penguatan identitas sebagai “penjaga paru-paru dunia” yang menuntut kompensasi finansial yang adil atas jasa ekosistem yang mereka berikan kepada planet ini.

Inisiatif Kerja Sama Selatan-Selatan Detail dan Fokus Utama Tujuan Geopolitik
Tropical Forest Forever Facility (TFFF) Dana US$ 100 Miliar untuk konservasi hutan Mengambil kendali dari donor tradisional Utara
Aliansi Biofuel Global Standarisasi produksi biofuel yang berkelanjutan Melawan diskriminasi minyak sawit oleh EU
Kerja Sama Mineral Kritis Dialog Brasil-Afrika Selatan-Indonesia tentang nikel/litium Menghindari pola ekstraksi kolonial di masa depan
Koordinasi BRICS/G20 Advokasi kebijakan perdagangan non-diskriminatif Mempengaruhi norma internasional di luar kontrol Barat

Masa Depan Tata Kelola Global: Menuju Transisi yang Adil

Konflik seputar “Imperialisme Hijau” menunjukkan bahwa tata kelola lingkungan global tidak dapat lagi diatur melalui pendekatan top-down dari negara-negara maju. Kebutuhan akan “Keadilan Iklim” (Climate Justice) menuntut reorganisasi rezim iklim global untuk mengakui emisi masa lalu, mendemokratisasi akses teknologi, dan melindungi hak pembangunan negara-negara miskin. Tanpa adanya komitmen untuk membiayai transisi di Global South secara adil, environmentalisme akan terus dipandang sebagai kosa kata terbaru untuk menjalankan kekuasaan daripada berbagi tanggung jawab.

COP30 di Brasil dipandang sebagai titik balik krusial di mana suara Global South diharapkan menjadi penentu utama.  Melalui inisiatif seperti TFFF, Brasil berusaha membuktikan bahwa perlindungan lingkungan dapat berjalan beriringan dengan kedaulatan nasional dan kesejahteraan masyarakat adat. Namun, tantangan tetap besar, terutama dari sektor keuangan global yang seringkali mencoba membajak inisiatif hijau untuk tujuan akumulasi modal daripada pelestarian ekosistem.

Pada akhirnya, politik identitas dalam hubungan internasional terkait isu lingkungan akan terus menjadi sumber ketegangan selama struktur kekuasaan ekonomi tetap asimetris. Transisi energi yang benar-benar adil memerlukan lebih dari sekadar teknologi baru; ia memerlukan perubahan dalam logika ekonomi yang selama berabad-abad telah mengandalkan eksploitasi di periferi untuk kemakmuran di pusat.2Imperialisme Hijau adalah peringatan bahwa tanpa keadilan global, upaya untuk menyelamatkan planet ini justru bisa menjadi alat untuk menindas penghuninya yang paling rentan.

Kesimpulan: Sintesis Identitas dan Kedaulatan

Imperialisme Hijau merupakan manifestasi dari ketegangan antara ambisi ekologis Global North yang seringkali bersifat teknokratis dan kebutuhan pembangunan sosiopolitik di Global South. Identitas “Penyelamat Bumi” telah digunakan sebagai perangkat diskursif untuk memindahkan beban lingkungan dari negara industri ke negara berkembang, menciptakan hambatan perdagangan baru melalui EUDR dan CBAM, serta memicu gelombang baru ekstraktivisme mineral. Namun, perlawanan yang muncul melalui narasi “Hak untuk Membangun” dan penguatan kerja sama Selatan-Selatan menunjukkan adanya pergeseran menuju tatanan global yang lebih multipolar.

Masa depan tata kelola lingkungan sangat bergantung pada kemampuan komunitas internasional untuk menjembatani jurang identitas ini. Diperlukan pengakuan jujur atas utang ekologis masa lalu dan komitmen nyata untuk transfer teknologi serta pendanaan yang tidak menciptakan perangkap utang baru. Tanpa adanya kesetaraan dalam pengambilan keputusan, kebijakan lingkungan global akan terus menghadapi resistensi dari negara-negara berkembang yang melihat “hijau” bukan sebagai harapan, melainkan sebagai bayang-bayang baru dari kolonialisme masa lalu. Transisi energi harus menjadi instrumen untuk pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar perpanjangan tangan dari kekuasaan imperial yang berganti rupa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 35 = 43
Powered by MathCaptcha