Ketidakpastian global yang dipicu oleh konvergensi krisis—mulai dari dampak berkepanjangan pandemi global, eskalasi konflik kinetik di Ukraina dan Timur Tengah, hingga ancaman eksistensial krisis iklim—telah melahirkan pergeseran tektonik dalam filsafat tata kelola pemerintahan. Fenomena ini mengkristal menjadi sebuah ideologi baru yang didefinisikan sebagai “Security-First” atau Keamanan Utama. Dalam paradigma ini, fungsi negara mengalami redefinisi radikal dari sekadar fasilitator pasar atau penyedia layanan sosial menjadi entitas pelindung mutlak. Premis dasarnya adalah kesediaan masyarakat untuk menegosiasikan ulang kontrak sosial mereka, di mana sebagian kebebasan sipil ditukarkan dengan janji stabilitas, ketahanan, dan keamanan dari otoritas negara. Analisis terhadap tren global tahun 2025 menunjukkan bahwa penguatan militer, perluasan pengawasan siber (surveillance), dan kontrol ketat perbatasan bukan lagi sekadar kebijakan sektoral, melainkan prioritas utama yang mendikte arah kebijakan luar negeri dan domestik di seluruh dunia.

Genealogi Ideologi Negara Keamanan: Dari Krisis Menuju Leviathan Baru

Akar dari ideologi “Security-First” dapat ditelusuri dari kegagalan institusi internasional dalam memitigasi risiko-risiko sistemik yang muncul di dekade 2020-an. Laporan tren global menunjukkan bahwa dunia sedang bertransformasi menjadi lingkungan yang sangat kompetitif dan terfragmentasi, di mana kekuatan besar dan menengah bersaing untuk menetapkan norma-norma regional mereka sendiri. Ketidakstabilan ini menciptakan permintaan psikologis akan figur “Leviathan” modern—sebuah otoritas negara yang kuat dan tak terbantahkan, yang mampu memberikan rasa aman di tengah badai geopolitik dan lingkungan.

Negara-negara kini mulai mengadopsi model yang disebut sebagai “Statism 2.0”. Berbeda dengan statisme tradisional yang sering kali kaku, Statism 2.0 bersifat lincah, transaksional, dan sangat terintegrasi dengan sektor teknologi tinggi. Fokus utamanya adalah memastikan ketahanan nasional melalui intervensi langsung dalam ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat. Masyarakat, yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi privasi dan kebebasan individu, mulai menunjukkan pergeseran sikap. Dalam survei yang dilakukan pada pertengahan 2025, mayoritas publik menyatakan preferensi yang jelas terhadap keamanan dan regulasi, bahkan jika hal tersebut menghambat inovasi atau membatasi pilihan pribadi.

Evolusi Prioritas Kebijakan Global: Perbandingan Paradigma

Dimensi Kebijakan Era Neoliberalisme (Pre-2020) Era Security-First (2025+)
Fokus Ekonomi Efisiensi pasar dan perdagangan bebas Ketahanan rantai pasok dan otonomi strategis
Peran Negara Regulator minimalis dan “wasit” pasar Aktor pasar aktif dan pemegang saham strategis
Privasi vs Keamanan Perlindungan data pribadi sebagai hak fundamental Pengawasan data sebagai kebutuhan keamanan nasional
Kebijakan Perbatasan Mobilitas global dan integrasi regional Militerisasi perbatasan dan penyaringan ketat
Teknologi Inovasi terbuka dan pertumbuhan cepat Keamanan AI dan kedaulatan digital

Pergeseran ini mengindikasikan bahwa otoritas negara tidak lagi dipandang sebagai ancaman terhadap kebebasan, melainkan sebagai satu-satunya benteng yang mampu menghadapi ancaman hibrida. Ancaman hibrida ini mencakup segala hal, mulai dari serangan siber terhadap infrastruktur kritis hingga penggunaan disinformasi massal untuk merusak kohesi sosial. Dalam konteks ini, negara keamanan bukan sekadar pilihan politik, melainkan mekanisme pertahanan eksistensial dalam dunia yang dianggap semakin “Stormy” atau penuh badai.

Kapitalisme Negara Transaksional: Intervensi Strategis di Sektor Teknologi

Salah satu manifestasi paling nyata dari ideologi “Security-First” adalah kemunculan kembali kapitalisme negara di jantung ekonomi barat, khususnya di Amerika Serikat. Pada tahun 2025, terlihat pergeseran dramatis dari pemberian hibah sederhana menuju kepemilikan saham langsung dan kesepakatan pembagian pendapatan antara pemerintah dan korporasi raksasa. Fenomena ini menandai berakhirnya era di mana ekonomi dan keamanan nasional beroperasi di jalur yang terpisah.

Intervensi terhadap Intel Corporation menjadi studi kasus utama dalam transformasi ini. Pemerintah Amerika Serikat, melalui kesepakatan yang diresmikan pada Agustus 2025, mengambil alih 9,9% saham ekuitas di Intel dengan nilai investasi mencapai $8,9 miliar. Langkah ini bukan sekadar bailout, melainkan upaya strategis untuk mengamankan kapasitas produksi semikonduktor domestik yang sangat krusial bagi sistem pertahanan dan kecerdasan buatan. Pemerintah secara efektif menjadi “pemegang saham emas” yang, meskipun secara resmi bersifat pasif, memiliki pengaruh signifikan terhadap arah jangka panjang perusahaan.

Detail Intervensi Ekuitas Pemerintah dalam Industri Strategis (2025)

Perusahaan Mekanisme Intervensi Nilai Investasi / Persyaratan Justifikasi Keamanan Nasional
Intel Kepemilikan Saham Umum (9,9%) $8,9 Miliar (kombinasi dana CHIPS Act & Secure Enclave) Mengamankan produksi chip militer dan infrastruktur AI
Nvidia & AMD Revenue Sharing Deal (15%) 15% pendapatan dari penjualan chip H20/MI308 ke China Kontrol atas teknologi ganda dan penggalangan dana pertahanan
U.S. Steel Golden Share Hak Veto dalam keputusan akuisisi dan operasional Perlindungan industri baja nasional dari kontrol asing
MP Materials Kepemilikan Terbesar (Pentagon) Partisipasi ekuitas melalui Departemen Pertahanan Mengamankan rantai pasok mineral tanah jarang (rare earth)

Kebijakan ini mencerminkan pendekatan yang sangat transaksional, di mana akses pasar atau lisensi ekspor diberikan sebagai imbalan atas konsesi finansial dan strategis bagi negara. Kesepakatan dengan Nvidia dan AMD, di mana mereka harus menyerahkan 15% dari pendapatan penjualan chip tertentu ke China kepada pemerintah AS, menunjukkan bagaimana instrumen keamanan digunakan untuk mengekstraksi nilai ekonomi langsung.16 Para kritikus berpendapat bahwa ini adalah bentuk “perpajakan kreatif” yang mengaburkan batas hukum antara kontrol ekspor dan penggalangan pendapatan negara, namun dari perspektif “Security-First”, hal ini dianggap sebagai kompensasi yang adil atas risiko keamanan nasional yang ditimbulkan oleh perdagangan teknologi tinggi dengan rival geopolitik.

Implikasi dari model ekonomi baru ini sangat luas. Perusahaan-perusahaan kini tidak lagi hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham pribadi, tetapi juga kepada agenda keamanan negara. “Risk-sharing” antara publik dan privat menjadi norma baru, di mana negara menyerap risiko ekonomi besar untuk memastikan bahwa kapabilitas industri yang vital tidak runtuh di bawah tekanan pasar global. Namun, hal ini juga membuka risiko terhadap inefisiensi, favoritisme politik, dan erosi disiplin pasar yang selama ini menjadi mesin inovasi di Barat.

Pengawasan Siber dan Tata Kelola AI: Privasi dalam Timbangan Keamanan

Dalam era “Security-First”, ranah digital menjadi garda terdepan dalam pengawasan negara. Masyarakat global, yang semakin menyadari ancaman siber yang didukung oleh kecerdasan buatan, menunjukkan kecenderungan yang meningkat untuk menerima regulasi negara yang ketat terhadap data dan algoritma. Survei tahun 2025 mengungkapkan bahwa 80% warga Amerika Serikat lebih memprioritaskan keamanan AI daripada kecepatan pengembangannya. Angka ini mencerminkan ketakutan mendalam akan potensi AI untuk digunakan dalam serangan siber massal, disinformasi, atau kegagalan sistemik yang tidak terkendali.

Negara-negara merespons dengan menciptakan kerangka kerja hukum yang memberikan otoritas luas untuk memantau dan mengintervensi ruang digital. Di Uni Eropa, AI Act yang mulai berlaku penuh memberikan mandat untuk pengawasan ketat terhadap sistem “risiko tinggi”, termasuk biometrik dan infrastruktur kritis. Sementara itu, di Amerika Serikat, muncul kebijakan pengawasan yang lebih agresif seperti “Continuous Vetting”. Sistem ini bukan sekadar pemeriksaan latar belakang satu kali, melainkan pemantauan konstan terhadap data perbankan, metadata telepon, aktivitas media sosial, dan geolokasi individu yang dianggap memiliki profil risiko tertentu.

Persepsi Publik Terhadap Kompromi Keamanan vs Privasi (2025)

Isu Tata Kelola AI Tingkat Dukungan Publik (%) Interpretasi Tren
Prioritas Keamanan di atas Kecepatan Inovasi 80% Konsensus luas untuk memperlambat kemajuan demi keselamatan
Kebutuhan Regulasi Pemerintah terhadap Swasta 54% Mayoritas menginginkan negara sebagai pengawas utama AI
Dukungan Pengujian oleh Pakar Independen 72% Ketidakpercayaan terhadap evaluasi internal perusahaan teknologi
Penerimaan terhadap Pengawasan Data Massal 55% (Perkiraan) Banyak yang menyerah pada realitas “ubiquitous surveillance”

Penerimaan publik terhadap pengawasan digital ini sering kali bersifat pasif; masyarakat merasa bahwa hidup di dunia yang serba digital berarti privasi telah menjadi istilah yang kuno. Konsep “default public” atau kehidupan publik secara standar menjadi norma baru, di mana mereka yang tidak memiliki profil digital yang dapat dilacak justru dianggap mencurigakan atau antisosial.9 Fenomena ini memperkuat posisi negara keamanan, karena data menjadi bahan bakar utama bagi algoritma prediksi ancaman.

Namun, ketergantungan pada teknologi keamanan ini menciptakan kerentanan baru. Seiring dengan peningkatan volume data yang dikelola untuk kebutuhan AI, kompleksitas jaringan juga meningkat drastis. Sebanyak 91% pemimpin keamanan melaporkan bahwa mereka terpaksa melakukan kompromi dalam mengelola risiko cloud hibrida demi memenuhi tuntutan operasional. Selain itu, munculnya serangan ransomware yang didukung AI, yang meningkat dari 41% pada 2024 menjadi 58% pada 2025, menunjukkan bahwa perlombaan senjata digital antara negara keamanan dan aktor jahat semakin intensif. Dalam konteks ini, negara keamanan dipaksa untuk terus memperluas jangkauan pengawasannya, menciptakan siklus di mana kebutuhan akan keamanan memicu pengawasan yang lebih dalam secara permanen.

Militerisasi Perbatasan dan Securitization Imigrasi

Kontrol perbatasan fisik telah menjadi simbol paling kuat dari ideologi “Security-First”. Dalam dunia yang dihantui oleh ketakutan akan migrasi massal akibat konflik dan perubahan iklim, perbatasan tidak lagi dipandang sebagai titik transisi ekonomi, melainkan sebagai garis pertahanan nasional. Kebijakan imigrasi pada tahun 2025 dicirikan oleh apa yang disebut sebagai “fetisisme perbatasan”, di mana pengeluaran miliaran dolar untuk militerisasi perbatasan dilakukan bahkan ketika arus migrasi berada pada tingkat terendah secara historis.

Di Amerika Serikat, Memorandum Kebijakan PM-602-0192 yang dikeluarkan pada Desember 2025 memerintahkan penghentian total adjudikasi permohonan suaka dan membekukan semua proses imigrasi bagi warga negara dari 19 negara yang diklasifikasikan sebagai “berisiko tinggi”. Kebijakan ini mewakili penutupan fungsional dari sistem suaka tradisional, menggantikannya dengan rezim keamanan yang mengedepankan kecurigaan sistematis. Penggunaan teknologi pengawasan canggih, seperti drone dan sensor biometrik di sepanjang perbatasan, menciptakan “benteng digital” yang sulit ditembus.

Dampak Ekonomi dan Sosial dari Kebijakan Perbatasan “Security-First”

Sektor Terdampak Bentuk Kebijakan / Tindakan Konsekuensi yang Teramati
Tenaga Kerja Pembekuan visa kerja dan deportasi massal Kelangkaan staf di sektor kesehatan, pertanian, dan konstruksi
Inovasi & STEM Usulan kenaikan biaya H-1B menjadi $100.000 Relokasi tim R&D ke luar negeri dan hilangnya talenta global
Hak Asasi Manusia “Hold and Review” aplikasi yang sudah disetujui Ketidakpastian hukum ekstrem dan risiko pemisahan keluarga
Keamanan Publik Militerisasi zona perbatasan dan keterlibatan Garda Nasional Peningkatan ketegangan sosial dan biaya pembayar pajak yang tinggi

Analisis ekonomi menunjukkan adanya paradoks dalam kebijakan ini. Meskipun dilakukan atas nama keamanan nasional, pembatasan imigrasi yang drastis justru melemahkan fondasi ekonomi negara keamanan itu sendiri. Setiap pekerja yang dideportasi diperkirakan merugikan ekonomi antara $50.000 hingga $150.000 dalam hal produktivitas yang hilang. Selain itu, kebijakan ini memicu inflasi melalui gangguan rantai pasok dan kenaikan biaya tenaga kerja di sektor-sektor vital seperti pangan dan perawatan lansia. Namun, dalam logika “Security-First”, stabilitas demografis dan kontrol keamanan dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi murni.

Selain itu, kebijakan perbatasan ini sering kali tumpang tindih dengan pengawasan digital. Visa-holders kini tunduk pada sistem pemantauan yang memungkinkan pencabutan visa secara instan berdasarkan algoritma yang buram. Hal ini menciptakan kelas penduduk yang memiliki hak terbatas dan selalu berada di bawah bayang-bayang otoritas negara, memperkuat narasi bahwa keamanan hanya bisa dicapai melalui eksklusi dan kontrol yang tak henti-hentinya.

Polarisasi Gender: Retaknya Kohesi Sosial di Bawah Tekanan Ideologis

Keamanan sebuah negara tidak hanya bergantung pada militer dan teknologi, tetapi juga pada stabilitas sosial internalnya. Namun, pada tahun 2025, muncul risiko baru yang signifikan: polarisasi gender yang mendalam. Data dari berbagai negara menunjukkan adanya jurang ideologis yang melebar antara pria muda dan wanita muda, yang berpotensi merusak konsensus nasional yang diperlukan untuk mendukung kebijakan keamanan jangka panjang.

Di Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Korea Selatan, wanita muda cenderung bergerak tajam ke arah liberalisme, sementara pria muda tetap berada di spektrum konservatif atau bahkan bergerak lebih jauh ke kanan. Di Amerika Serikat, celah ideologis antara pria dan wanita usia 18-30 tahun kini mencapai 30 poin persentase—lima kali lebih lebar dibandingkan tahun 2000. Fenomena ini didorong oleh persepsi yang berbeda mengenai ancaman dan keadilan sosial; pria muda sering kali merasa terancam oleh perubahan status ekonomi dan kebijakan kesetaraan gender, sementara wanita muda memandang penguatan hak-hak mereka sebagai komponen integral dari keamanan manusia.

Indikator Polarisasi Gender dan Representasi Politik (2025)

Wilayah / Kelompok Tren Ideologis Utama Status Representasi dalam Jabatan Strategis (%)
Wanita Muda (18-24) Cenderung Liberal / Pro-Kesetaraan (Kabinet Global) 22,9%
Pria Muda (18-24) Cenderung Konservatif / Resistensi terhadap Feminis (Kabinet Global) 77,1%
Kementerian Pertahanan Didominasi oleh perspektif maskulin konvensional 13,0% Wanita
Kementerian Keuangan Fokus pada stabilitas makro dan keamanan energi 16,4% Wanita

Polarisasi ini menciptakan tantangan serius bagi negara keamanan. Ketika dua kelompok besar masyarakat tidak lagi berbagi pandangan dunia yang sama, kemampuan negara untuk memobilisasi dukungan publik terhadap kebijakan strategis menjadi terbatas. Di Korea Selatan, misalnya, resistensi pria muda terhadap kebijakan pemberdayaan wanita telah menjadi isu politik utama yang memengaruhi hasil pemilu dan kebijakan sosial. Di tingkat global, dominasi pria dalam jabatan menteri kunci—seperti pertahanan, urusan luar negeri, dan keuangan—menunjukkan bahwa arsitektur negara keamanan masih sangat dipengaruhi oleh perspektif yang tradisional dan sering kali konfliktual.

Erosi kohesi sosial ini diperparah oleh penyebaran disinformasi yang memanfaatkan isu-isu gender untuk memecah belah masyarakat. Jika tidak dikelola, polarisasi ini dapat menciptakan ketidakstabilan domestik yang justru menjadi ancaman keamanan itu sendiri, membuktikan bahwa pendekatan “Security-First” yang terlalu fokus pada ancaman luar sering kali mengabaikan kerapuhan yang ada di dalam rumah sendiri.

“Green Imperialism”: Keamanan Iklim vs Kedaulatan Global South

Krisis iklim telah mendorong negara-negara maju untuk mengadopsi regulasi lingkungan yang ketat sebagai bagian dari strategi keamanan nasional mereka. Namun, dari perspektif negara-negara berkembang (Global South), kebijakan ini sering kali dipandang sebagai “Green Imperialism” atau imperialisme hijau. Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) menjadi titik pusat konflik ini pada tahun 2025.

EUDR mewajibkan bukti bahwa komoditas seperti minyak sawit, kopi, dan kayu tidak berkontribusi terhadap deforestasi. Meskipun tujuannya mulia—melindungi ekosistem global yang krusial bagi stabilitas iklim—mekanisme implementasinya dianggap sebagai bentuk ekstrateritorialitas yang melanggar kedaulatan negara lain. Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia telah meluncurkan perlawanan sistematis terhadap regulasi ini, menyebutnya sebagai diskriminasi dagang dan beban yang tidak adil bagi petani kecil.

Konflik Standar Lingkungan: EUDR dan Resistensi Global South

Aspek Konflik Posisi Uni Eropa (Proponen) Posisi Global South (Resisten)
Justifikasi Melindungi “Common Concern of Humankind” (Iklim) Mempertahankan kedaulatan sumber daya nasional
Mekanisme Traceability melalui geolokasi dan citra satelit Keluhan atas biaya kepatuhan yang tinggi (10-30% pendapatan)
Dampak Pasar Menghapus deforestasi dari rantai pasok EU Risiko eksklusi petani kecil hingga 50% kasus
Tindakan Balasan Bantuan teknis dan simplifikasi (April 2025) Gugatan WTO, penguatan standar lokal (ISPO/MSPO), diversifikasi ke BRICS

Ketegangan ini menunjukkan bahwa dalam ideologi “Security-First”, keamanan iklim bagi negara maju dapat menjadi ancaman keamanan ekonomi bagi negara berkembang. Resistensi dari Global South tidak hanya dilakukan melalui jalur hukum di WTO, tetapi juga melalui pergeseran aliansi geopolitik. Indonesia, misalnya, semakin meningkatkan kerja sama dengan negara-negara BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Eropa yang dianggap restriktif.

Hal ini mengilustrasikan bahwa negara keamanan di satu wilayah dapat menciptakan ketidakstabilan di wilayah lain melalui “imperialisme peraturan”. Pertarungan atas standar hijau ini akan menjadi salah satu dinamika utama dalam hubungan internasional selama dekade mendatang, di mana akses pasar digunakan sebagai senjata untuk memaksakan kepatuhan terhadap norma-norma lingkungan yang ditetapkan secara sepihak.

Multipolaritas dan Fragmentasi: Masa Depan Tatanan Global

Lanskap global tahun 2025 ditandai dengan berakhirnya unipolaritas pasca-Perang Dingin dan munculnya tatanan yang multipolar dan terfragmentasi. Dalam lingkungan ini, institusi internasional tradisional seperti Dewan Keamanan PBB dan organisasi perdagangan dunia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan relevansinya. Sebaliknya, negara-negara semakin mengandalkan aliansi regional dan kemitraan strategis yang sempit untuk menjamin keamanan mereka.

Sebanyak 64% pakar risiko global percaya bahwa kita akan menghadapi tatanan yang multipolar atau terfragmentasi dalam dekade mendatang, di mana kekuatan besar dan menengah akan menetapkan aturan mereka sendiri secara kompetitif. Fragmentasi ini bukan hanya soal politik, tetapi juga ekonomi. “Decoupling” atau pemisahan rantai pasok antara blok barat dan timur terus berlanjut, didorong oleh kebutuhan untuk mengurangi kerentanan terhadap sanksi dan gangguan pasokan.

Proyeksi Stabilitas Dunia dalam Tatanan Multipolar (2025-2035)

Pandangan Karakteristik Utama Implikasi Keamanan
Optimis Inklusivitas lebih besar, berkurangnya dominasi satu kekuatan Diplomasi lebih seimbang dan diversifikasi ekonomi
Pesimis Kekacauan meningkat, sulit mencapai kesepakatan global Risiko konfrontasi militer dan perang dagang yang lebih tinggi
Realitas 2025 Multipolaritas yang penuh tekanan dan persaingan model tata kelola Negara memperkuat diri sebagai “Leviathan” domestik untuk bertahan

Ketidakpastian ini memperkuat daya tarik ideologi “Security-First”. Ketika tatanan internasional tidak lagi memberikan jaminan perlindungan, negara harus menjadi pelindung mutlak bagi warganya sendiri. Namun, fragmentasi global ini juga berarti bahwa masalah-masalah yang memerlukan kerja sama kolektif—seperti pandemi di masa depan atau mitigasi iklim—menjadi jauh lebih sulit untuk diselesaikan. Penutupan diri negara-negara untuk fokus pada masalah domestik terjadi justru pada saat tantangan bersama membutuhkan sinergi multilateral yang lebih kuat.

Analisis Penutup: Menuju Otoritas yang Tak Terbantahkan?

Evaluasi terhadap tren “Security-First” di tahun 2025 membawa kita pada kesimpulan yang bernuansa mengenai masa depan otoritas negara. Kita memang sedang menyaksikan kebangkitan “Leviathan” baru, namun ini bukan sekadar kembalinya otoritarianisme klasik. Ini adalah model otoritas yang didukung oleh data, terintegrasi dengan pasar teknologi tinggi, dan sering kali didasarkan pada mandat publik yang mencari stabilitas di tengah kekacauan.

Apakah otoritas negara akan menjadi tak terbantahkan? Ada beberapa faktor yang memberikan tekanan balik terhadap tren ini:

  1. Kegagalan Ekonomi: Kebijakan yang terlalu restriktif terhadap imigrasi dan perdagangan dapat memicu krisis ekonomi yang merusak dukungan publik terhadap rezim keamanan.
  2. Polarisasi Internal: Perbedaan ideologis yang tajam antara kelompok gender dan generasi menciptakan tantangan bagi kohesi sosial yang diperlukan untuk proyek nasional yang besar.
  3. Fragmentasi Global: Ketidakmampuan untuk bekerja sama secara internasional dapat menyebabkan kegagalan dalam menangani krisis iklim, yang pada akhirnya akan menghancurkan stabilitas yang ingin dilindungi oleh negara keamanan.
  4. Resistensi Teknologi: Ketidakpercayaan publik terhadap AI dan pengawasan massal dapat memicu gerakan “civil disobedience” digital atau penarikan diri dari sistem formal.

Meskipun negara keamanan saat ini memegang kendali yang sangat kuat, keberlanjutannya akan sangat tergantung pada kemampuannya untuk memberikan hasil yang nyata—keamanan yang tidak hanya berarti ketiadaan konflik, tetapi juga ketersediaan lapangan kerja, stabilitas harga, dan lingkungan yang layak huni. Jika janji perlindungan mutlak ini gagal dipenuhi, maka legitimasi “Leviathan” baru ini akan runtuh secepat kebangkitannya. Dunia tahun 2025 telah memilih keamanan di atas kebebasan untuk saat ini, namun sejarah menunjukkan bahwa kontrak sosial semacam itu akan selalu tunduk pada negosiasi ulang ketika biaya pengabdian kepada negara mulai melebihi manfaat perlindungan yang diberikannya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

79 + = 80
Powered by MathCaptcha