Eskalasi krisis lingkungan global telah menggeser paradigma ekologi dari ranah diskusi saintifik murni menuju episentrum politik tingkat tinggi dan diplomasi internasional. Perubahan iklim bukan lagi sekadar narasi tentang kenaikan suhu permukaan bumi atau pencairan gletser, melainkan telah bermutasi menjadi instrumen kekuasaan yang mendefinisikan ulang hubungan antara negara maju dan negara berkembang. Dalam panggung geopolitik abad ke-21, kebijakan iklim sering kali menjadi medan tempur di mana retorika penyelamatan planet berbenturan keras dengan realitas ekonomi nasional. Fenomena ini memunculkan perdebatan sengit mengenai apa yang disebut sebagai imperialisme hijau, sebuah kondisi di mana standar lingkungan global yang dipromosikan oleh negara-negara maju dipandang sebagai mekanisme baru untuk membatasi pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan mempertahankan struktur hegemoni yang sudah ada.

Pergeseran Paradigma: Dari Ekologi ke Politik Kekuasaan

Transformasi isu lingkungan menjadi isu politik utama berakar pada kesadaran bahwa solusi terhadap perubahan iklim memerlukan perombakan mendasar terhadap struktur ekonomi-sosial-politik dunia. Teori politik hijau atau green politics muncul dengan prinsip dasar ekosentrisme, yang menolak pandangan antroposentrisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sistem nilai. Pandangan ekosentris menekankan bahwa semua makhluk hidup tertanam dalam hubungan ekologis yang saling ketergantungan, sehingga dominasi manusia atas alam harus diakhiri demi keseimbangan sistem bumi. Namun, penerapan teori ini dalam hubungan internasional sering kali mengungkap ketidakadilan struktural yang mendalam. Fokus utama politik hijau sering kali tertuju pada ketidakadilan yang melekat dalam ekonomi kapitalis modern, yang secara historis didorong oleh pertumbuhan ekonomi eksponensial di negara-negara maju selama dua abad terakhir.

Dalam tinjauan politik hijau, krisis lingkungan saat ini dianggap sebagai konsekuensi langsung dari kegagalan negara-negara modern yang memprioritaskan akumulasi modal di atas daya dukung ekosistem. Oleh karena itu, politik hijau menawarkan alternatif melalui desentralisasi kekuasaan dan pengarusutamaan kearifan lokal untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Meskipun tujuan kehadirannya dalam hubungan internasional adalah untuk menjelaskan krisis ekologi dan mengupayakan kelangsungan hidup yang seimbang, dalam praktiknya, agenda ini sering kali dikooptasi oleh kepentingan negara-negara kuat untuk mengatur tata perilaku negara-negara pinggiran. Ketegangan ini tercermin dalam prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) yang diformalisasikan di Rio de Janeiro, yang mengakui adanya tanggung jawab bersama namun memberikan beban yang berbeda berdasarkan kapasitas dan kontribusi historis masing-masing negara terhadap polusi global.

Imperialisme Hijau: Evolusi Kolonialisme dalam Selubung Lingkungan

Konsep imperialisme hijau, yang juga sering diistilahkan sebagai eko-imperialisme atau kolonialisme lingkungan, merujuk pada persepsi bahwa negara-negara maju menggunakan agenda lingkungan untuk mencampuri urusan internal negara berkembang. Secara historis, imperialisme klasik melibatkan ekstraksi sumber daya alam secara fisik untuk memicu revolusi industri di Eropa dan Amerika Utara. Saat ini, bentuk imperialisme tersebut bertransformasi menjadi “regulasi hijau” yang membatasi ruang gerak negara berkembang untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka sendiri demi kepentingan industrialisasi domestik. Sejak akhir tahun 1980-an, istilah ini telah digunakan oleh elit Dunia Ketiga untuk menggambarkan kekhawatiran mereka terhadap laporan-laporan internasional yang dianggap memaksakan preferensi lingkungan negara kaya tanpa mempertimbangkan kebutuhan mendesak untuk pengentasan kemiskinan di negara miskin.

Ketimpangan kekuasaan merupakan fondasi dari imperialisme hijau, di mana hubungan internasional tidak lagi bersifat kolaboratif yang setara, melainkan hierarkis. Negara-negara maju sering kali menetapkan agenda lingkungan global secara sepihak, yang kemudian dipaksakan melalui berbagai mekanisme seperti bantuan finansial bersyarat, standar sertifikasi perdagangan, dan pembatasan akses pasar. Kritik terhadap gerakan lingkungan modern sering kali menyoroti kemunafikan negara maju yang telah membangun kekayaan mereka melalui konsumsi fosil yang masif selama berabad-abad, namun kini menuntut negara berkembang untuk segera beralih ke teknologi hijau yang mahal dan belum tentu stabil. Sejarah mencatat bahwa negara-negara maju bertanggung jawab atas hampir 80 persen emisi karbon kumulatif global dari tahun 1850 hingga 2011, yang merupakan penyebab utama krisis iklim saat ini.

Aspek Kolonialisme Klasik Imperialisme Hijau (Abad 21)
Metode Utama Pendudukan militer dan administrasi langsung Regulasi standar lingkungan dan tarif karbon
Objek Ekstraksi Bahan mentah (rempah, mineral, tenaga kerja) Hak emisi, lahan konservasi, dan mineral kritis
Justifikasi Moral “Civilizing Mission” (Misi Peradaban) “Environmental Protection” (Perlindungan Lingkungan)
Instrumen Kontrol Monopoli perdagangan (VOC, dll) Sertifikasi (ISPO/RSPO), CBAM, EUDR
Dampak Ekonomi Deindustrialisasi wilayah koloni Hambatan pertumbuhan industri padat energi di Global South

Mekanisme imperialisme hijau sering kali melibatkan eksternalisasi biaya lingkungan dari negara inti ke negara pinggiran. Misalnya, negara-negara maju dapat mempertahankan gaya hidup konsumtif mereka dengan mengandalkan proyek penggantian rugi karbon (carbon offset) di negara-negara berkembang yang sering kali menyebabkan perampasan lahan milik masyarakat adat. Selain itu, standar lingkungan yang dirancang oleh lembaga internasional tanpa input yang memadai dari negara berkembang dapat berfungsi sebagai hambatan dagang tersembunyi (hidden protectionism), yang bertujuan untuk menjaga lapangan kerja di negara maju dan merampas keunggulan kompetitif negara-negara miskin.

Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM): Proteksionisme dalam Kedok Iklim

Salah satu instrumen yang paling nyata dari tekanan lingkungan global saat ini adalah Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diinisiasi oleh Uni Eropa. Kebijakan ini secara resmi bertujuan untuk menyamakan harga karbon antara produk domestik Uni Eropa dan produk impor, guna mencegah “kebocoran karbon” (carbon leakage). Kebocoran karbon terjadi ketika perusahaan memindahkan produksinya ke negara-negara dengan regulasi emisi yang lebih rendah untuk menghindari biaya karbon yang tinggi di Uni Eropa. Meskipun tampak sebagai upaya yang adil untuk melindungi integritas kebijakan iklim, CBAM secara praktis berfungsi sebagai tarif impor tambahan yang membebani eksportir dari negara berkembang.

CBAM akan mulai beroperasi penuh pada 1 Januari 2026, mencakup produk-produk intensif karbon seperti besi, baja, semen, aluminium, pupuk, listrik, dan hidrogen. Importer di Uni Eropa diwajibkan membeli sertifikat CBAM yang harganya mencerminkan harga emisi yang berlaku di pasar karbon Uni Eropa (EU ETS). Bagi negara berkembang yang sangat bergantung pada ekspor komoditas tersebut, kebijakan ini merupakan ancaman serius bagi pertumbuhan ekonomi mereka. Analisis menunjukkan bahwa dampak CBAM tidak merata; negara-negara dengan intensitas emisi tinggi dalam produksinya, seperti India dan Afrika Selatan, diperkirakan akan menderita kerugian ekspor yang signifikan. Di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, beban CBAM tahunan diperkirakan mencapai USD 1,7 miliar, yang merupakan tambahan biaya sebesar 14 persen dari nilai ekspor barang-barang yang terkena dampak ke Uni Eropa.

Data dari OECD menunjukkan bahwa tanpa CBAM, kebijakan pengetatan pasar karbon di Uni Eropa memang dapat menyebabkan sedikit kebocoran karbon ke luar negeri. Namun, dengan penerapan CBAM, arus perdagangan akan bergeser ke produsen yang “lebih bersih”, yang biasanya berada di negara-negara maju dengan akses teknologi rendah karbon. Hal ini menciptakan fragmentasi pasar internasional, di mana produk-produk rendah karbon mengalir ke pasar negara maju seperti Uni Eropa, sementara produk-produk dengan emisi tinggi terkonsentrasi di pasar negara berkembang yang memiliki daya beli dan standar lingkungan lebih rendah. Kondisi ini justru berisiko menjadi kontraproduktif terhadap tujuan iklim global karena hanya memindahkan masalah polusi ke wilayah yang kurang mampu menanganinya secara teknis maupun finansial.

Hambatan Non-Tarif dan Tekanan terhadap Sektor Perkebunan

Selain tarif karbon, instrumen lingkungan lainnya seperti EU Deforestation Regulation (EUDR) telah menjadi sumber ketegangan diplomatik utama, khususnya antara Uni Eropa dengan produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia. EUDR mewajibkan setiap komoditas yang masuk ke pasar Uni Eropa untuk membuktikan bahwa produk tersebut tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020. Meskipun tujuan pelestarian hutan sangat krusial bagi mitigasi perubahan iklim, implementasi EUDR dipandang sebagai hambatan perdagangan non-tarif (NTMs) yang diskriminatif dan memberatkan petani kecil.

Di Indonesia, implementasi EUDR menyebabkan penurunan impor sawit oleh Uni Eropa sebesar 23,8 persen pada tahun 2024-2025, yang memberikan tekanan signifikan terhadap volume ekspor dan meningkatkan biaya kepatuhan bagi para pelaku industri. Tantangan utama terletak pada tuntutan ketertelusuran (traceability) yang mengharuskan penggunaan teknologi canggih seperti blockchain dan citra satelit untuk membuktikan asal-usul lahan. Bagi jutaan petani kecil sawit, biaya untuk memenuhi standar teknis ini sangat tinggi dan sering kali tidak terjangkau tanpa dukungan finansial yang memadai dari pemerintah atau pembeli internasional. Fenomena ini memperkuat narasi imperialisme hijau, di mana standar yang ditetapkan di Brussels secara langsung mempengaruhi hajat hidup rakyat di pelosok Kalimantan atau Sumatera tanpa adanya konsultasi yang bermakna sebelumnya.

Indikator Dampak EUDR Statistik/Fakta Terkait Indonesia (2024-2025) Implikasi Geopolitik
Volume Impor Sawit UE Turun 23,8% (Year-over-Year) Melemahnya daya saing sawit RI dibanding minyak nabati lain
Biaya Kepatuhan Peningkatan biaya logistik dan sertifikasi traceability Margin keuntungan petani kecil semakin tertekan
Luas Sertifikasi ISPO Mencapai 6,2 juta hektar (awal 2025) Upaya domestik yang sering kali belum diakui penuh oleh UE
Respon Pasar Pengalihan ekspor ke Afrika dan Timur Tengah Fragmentasi pasar antara pasar premium (hijau) dan non-premium
Status IEU-CEPA Substansi perjanjian rampung pada pertengahan 2025 NTMs tetap menjadi hambatan meskipun tarif sudah nol

Kekecewaan negara berkembang semakin memuncak ketika mereka melihat standar lingkungan yang ketat ini tidak diiringi dengan bantuan teknologi atau kompensasi finansial yang dijanjikan. Menteri Perdagangan Indonesia bahkan secara terbuka menyatakan bahwa Uni Eropa menggunakan isu lingkungan untuk menghambat perdagangan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan praktik proteksionisme yang dibungkus dengan narasi keberlanjutan. Meskipun Indonesia-EU CEPA telah mencapai kesepakatan substansial pada tahun 2025 dengan penghapusan tarif hingga hampir nol persen untuk mayoritas produk, keberadaan NTMs seperti EUDR dan CBAM tetap menjadi “dinding tak terlihat” yang menghalangi akses penuh produk Indonesia ke pasar Eropa.

Nasionalisme Sumber Daya: Perlawanan Indonesia Melalui Hilirisasi Nikel

Dalam menghadapi tekanan ekonomi global dan ambisi emisi nol bersih, Indonesia telah mengambil langkah berani melalui kebijakan nasionalisme sumber daya, khususnya dalam industri nikel. Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia menyadari bahwa nikel merupakan komponen kunci dalam produksi baterai kendaraan listrik (EV), yang menjadi tulang punggung transisi energi global. Sejak pelarangan ekspor bijih nikel mentah pada tahun 2020, Indonesia telah berupaya memaksa investor asing untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri guna menciptakan nilai tambah ekonomi.

Kebijakan hilirisasi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap status Indonesia selama 40 tahun terakhir sebagai spesialis pengekspor bahan mentah dengan pendapatan negara yang minim. Namun, langkah ini memicu konflik hukum di tingkat internasional, di mana Uni Eropa meluncurkan gugatan terhadap Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena merasa akses industri mereka terhadap bahan baku nikel terhambat. Di sini, ketegangan antara retorika dan realitas terlihat sangat jelas: negara maju menuntut akses bebas terhadap sumber daya strategis negara berkembang untuk mendukung industri hijau mereka, namun pada saat yang sama mereka mengenakan hambatan perdagangan terhadap produk olahan dari negara berkembang tersebut.

Meskipun hilirisasi memberikan dampak positif terhadap PDB (yang meningkat dari sekitar 20% menjadi lebih dari 21% di sektor pengolahan), tantangan internal tetap besar. Pertumbuhan pesat industri smelter nikel di wilayah seperti Sulawesi Tengah juga membawa dampak lingkungan yang serius, termasuk polusi udara dan air serta ketergantungan pada energi batubara untuk operasional smelter. Indonesia terjebak dalam dilema: untuk menjadi pemimpin dalam industri hijau global, ia masih harus mengandalkan energi fosil yang murah guna menjaga daya saing biaya produksinya. Hal ini menimbulkan kritik dari berbagai organisasi lingkungan bahwa hilirisasi nikel berisiko meninggalkan kerusakan lingkungan permanen yang justru bertentangan dengan semangat keberlanjutan.

Kegagalan Janji Finansial: Retorika $100 Miliar dan Beban Utang

Inti dari ketidakadilan iklim global terletak pada kegagalan negara-negara maju untuk memenuhi komitmen finansial mereka. Janji untuk memobilisasi USD 100 miliar per tahun bagi negara berkembang, yang disepakati sejak COP15 di Kopenhagen pada tahun 2009, baru tercapai secara nominal pada tahun 2022—terlambat dua tahun dari target awal. Meskipun pada tahun 2022 total pendanaan mencapai USD 115,9 miliar, analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa sebagian besar dana tersebut (hampir 80%) diberikan dalam bentuk pinjaman publik dan bukan hibah. Hal ini menciptakan paradoks di mana negara-negara miskin dipaksa berutang untuk menanggulangi krisis yang bukan disebabkan oleh aktivitas industri mereka sendiri.

Kritik terhadap arsitektur keuangan global, termasuk IMF dan Bank Dunia, semakin tajam. Lembaga-lembaga ini sering kali menyematkan persyaratan atau kondisionalitas “hijau” pada pinjaman mereka, yang dalam banyak kasus justru memperburuk kesenjangan sosial. Misalnya, pinjaman dari Resilience and Sustainability Trust (RST) milik IMF sering kali mensyaratkan kebijakan penghematan (austerity) seperti pemotongan subsidi energi dan privatisasi sektor publik, yang memicu kenaikan harga listrik dan bahan bakar bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Para kritikus menyebut fenomena ini sebagai “pencucian hijau terhadap penghematan” (greenwashing austerity), di mana krisis iklim digunakan sebagai dalih untuk memaksakan kebijakan neoliberal yang menguntungkan modal asing.

Jenis Pendanaan Karakteristik Utama Dampak bagi Negara Berkembang
Hibah (Grants) Dana tanpa kewajiban pengembalian Sangat terbatas; paling efektif untuk adaptasi lokal
Pinjaman Lunak (Concessional Loans) Bunga rendah, jangka panjang Menambah beban utang luar negeri dalam jangka panjang
Kredit Karbon (Carbon Credits) Pembayaran berbasis hasil penyerapan emisi Berisiko memicu perampasan lahan (green grab)
Investasi Swasta (FDI) Motivasi keuntungan murni Sering kali terkonsentrasi di sektor ekstraktif
Loss and Damage Fund Kompensasi atas kerusakan yang terjadi Komitmen masih sangat jauh dari kebutuhan riil (miliaran vs triliunan)

Kesenjangan finansial ini sangat kontras dengan kerugian ekonomi riil yang diderita oleh negara berkembang. Di Afrika, biaya kerusakan akibat perubahan iklim diperkirakan mencapai antara USD 289 miliar hingga USD 440 miliar per tahun, sementara total kebutuhan pendanaan untuk tetap berada di jalur ketahanan iklim mencapai USD 194 miliar per tahun. Namun, dana yang tersedia melalui mekanisme internasional seperti Loss and Damage Fund yang disepakati di COP27 masih sangat minim dan tidak sebanding dengan skala bencana yang dihadapi oleh negara-negara di Global South.

Inisiatif Bridgetown: Upaya Reformasi Arsitektur Keuangan Global

Sebagai tanggapan atas ketidakadilan sistem keuangan internasional, Perdana Menteri Barbados Mia Mottley meluncurkan Bridgetown Initiative. Inisiatif ini merupakan cetak biru transformatif yang bertujuan merombak cara dunia membiayai aksi iklim, terutama bagi negara-negara kepulauan kecil dan berkembang yang paling rentan. Bridgetown menyerukan agar sistem keuangan global tidak lagi memperlakukan pendanaan iklim sebagai bentuk amal, melainkan sebagai investasi strategis untuk stabilitas global.

Tiga pilar utama dari Bridgetown Initiative 3.0 meliputi:

  1. Penyediaan Likuiditas: Meminta IMF untuk memperluas akses ke dana darurat tanpa persyaratan penghematan yang ketat dan memasukkan klausul bencana alam dalam instrumen pinjaman, yang memungkinkan penangguhan pembayaran utang saat terjadi bencana iklim.
  2. Peningkatan Pinjaman MDB: Mendesak Bank Pembangunan Multilateral untuk meningkatkan kapasitas pinjaman mereka sebesar USD 1 triliun melalui peningkatan toleransi risiko dan penggunaan jaminan donor.
  3. Mobilisasi Modal Swasta: Mengusulkan pembentukan Climate Mitigation Trust senilai USD 5 triliun untuk mendanai proyek-proyek mitigasi di negara berkembang dengan menurunkan biaya modal melalui jaminan publik atau Hak Penarikan Khusus (SDR).

Inisiatif ini sangat penting karena mencoba memutus siklus di mana investasi dalam ketahanan iklim justru menambah rasio utang terhadap PDB suatu negara, yang pada gilirannya menurunkan peringkat kredit mereka dan membuat akses terhadap modal masa depan semakin mahal. Namun, tantangan utama tetap terletak pada kemauan politik negara-negara G7 untuk melepaskan sebagian kontrol mereka atas tata kelola lembaga-lembaga seperti Bank Dunia dan IMF, yang sejak awal didesain tanpa melibatkan negara-negara berkembang yang saat itu masih berada di bawah penjajahan.

Perampasan Hijau (Green Grab): Konflik Lahan dalam Skema Karbon

Salah satu dampak paling mengkhawatirkan dari ambisi emisi nol bersih adalah maraknya fenomena perampasan hijau atau green grabbing. Dalam upaya mereka untuk mencapai target netralitas karbon, banyak korporasi dan negara maju beralih ke pasar karbon sukarela untuk mengimbangi emisi mereka melalui proyek konservasi hutan atau reboisasi di Global South. Meskipun secara teori hal ini merupakan solusi berbasis alam (nature-based solutions), dalam realitasnya sering kali terjadi marginalisasi terhadap masyarakat adat yang telah menjadi penjaga hutan selama generasi ke generasi.

Di Republik Demokratik Kongo (DRC), sekitar 103 juta hektar lahan—mewakili hampir setengah dari total luas negara tersebut—telah dipetakan untuk proyek karbon. Laporan dari Rainforest Foundation UK mengungkapkan bahwa banyak dari kesepakatan ini dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan komunitas lokal dan sering kali mencerminkan pola ekstraktif yang sama dengan penebangan kayu atau pertambangan masa lalu. Masyarakat adat sering kali kehilangan akses ke wilayah leluhur mereka, dilarang bertani atau berburu, dan tidak menerima manfaat ekonomi yang dijanjikan dari penjualan kredit karbon tersebut.

Ketidakadilan ini diperparah dengan rendahnya integritas lingkungan dari kredit karbon yang diperdagangkan. Studi menunjukkan bahwa sebagian besar proyek karbon hutan gagal membuktikan “tambahan” (additionality), yang berarti mereka tidak benar-benar mencegah deforestasi yang belum tentu terjadi. Akibatnya, perusahaan-perusahaan di negara maju dapat terus melepaskan emisi dengan “hati nurani yang bersih” karena merasa telah menanam pohon di sisi lain dunia, sementara masyarakat lokal di Afrika atau Amerika Selatan kehilangan hak kedaulatan atas tanah mereka demi solusi iklim yang sering kali hanya bersifat kosmetik.

Dilema Transisi Energi: Kegagalan Kemitraan JETP

Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP) awalnya dipandang sebagai model revolusioner untuk membantu negara-negara berkembang seperti Afrika Selatan, Indonesia, dan Vietnam keluar dari ketergantungan pada batubara. Namun, memasuki tahun 2025, program ini menghadapi krisis kepercayaan yang besar. Tantangan utama muncul dari struktur pendanaan yang didominasi oleh pinjaman komersial daripada hibah, serta penarikan dukungan secara mendadak oleh negara-negara kunci seperti Amerika Serikat pada Maret 2025.

Di Indonesia, skema JETP senilai USD 20 miliar mengalami kebuntuan karena porsi hibah yang sangat minim, sementara komitmen untuk memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) membutuhkan biaya sosial dan ekonomi yang sangat besar. Penarikan diri Amerika Serikat dari kemitraan dengan Indonesia, Vietnam, dan Afrika Selatan di bawah administrasi Trump yang kembali berkuasa pada 2025, telah merusak momentum dekarbonisasi multilateral. AS kini lebih memprioritaskan penjualan gas alam cair (LNG) ke pasar Asia, yang secara mendasar bertentangan dengan tujuan transisi energi yang diharapkan dalam JETP.

Negara JETP Ketergantungan Batubara Status Transisi (2025) Hambatan Utama
Afrika Selatan ~80% dari total listrik Krisis energi & utang Eskom Pemadaman bergilir yang parah dan ketimpangan sosial
Indonesia ~62% dari total listrik Target pensiun dini PLTU diturunkan Dana hibah minim; sektor captive power yang sulit dikontrol
Vietnam Tinggi, namun energi terbarukan tumbuh cepat Revisi rencana tenaga listrik ke arah EBT Penahanan aktivis lingkungan dan birokrasi yang kaku

Kegagalan JETP menunjukkan bahwa janji “transisi yang berkeadilan” sering kali hanyalah retorika diplomasi. Tanpa adanya dukungan finansial yang stabil dan transfer teknologi yang nyata, negara-negara berkembang dipaksa untuk memilih antara keberlanjutan lingkungan atau keamanan energi nasional mereka. Indonesia, misalnya, kini lebih berhati-hati dalam menggunakan dana JETP dan mulai mengalihkan fokusnya pada pengembangan energi bersih secara mandiri atau melalui kemitraan baru dengan negara-negara yang tidak memberikan persyaratan politik yang memberatkan.

COP30 Belém: Mempertegas Prinsip CBDR di Jantung Amazon

Pertemuan COP30 yang berlangsung di Belém, Brasil, pada akhir tahun 2025 menjadi momen krusial bagi negara-negara berkembang untuk menyuarakan kembali hak atas pembangunan mereka. Di tengah hutan Amazon yang menjadi simbol perjuangan iklim, kelompok negara BASIC (Brasil, Afrika Selatan, India, China) menegaskan bahwa arsitektur Perjanjian Paris tidak boleh diubah untuk memindahkan tanggung jawab emisi historis kepada negara berkembang. China dan India secara vokal mengingatkan bahwa negara maju harus memimpin dalam pengurangan emisi dan memenuhi komitmen keuangan mereka sebelum menuntut target yang lebih ambisius dari Global South.

Negosiasi di Belém berpusat pada penetapan New Collective Quantified Goal (NCQG) untuk pembiayaan iklim pasca-2025. Negara-negara berkembang menuntut agar target pendanaan ditingkatkan dari USD 100 miliar menjadi triliunan dolar, mencerminkan kebutuhan riil untuk adaptasi dan mitigasi. Namun, skeptisisme tetap tinggi mengingat rekam jejak janji-janji sebelumnya yang sering kali diingkari. Selain itu, isu perampasan lahan untuk kredit karbon dan dampak negatif dari hambatan perdagangan seperti CBAM menjadi agenda utama diskusi yang menunjukkan bahwa keadilan iklim bukan hanya soal angka emisi, tetapi soal kedaulatan dan martabat bangsa.

Sintesis dan Rekomendasi: Menuju Keadilan Iklim yang Sejati

Ketegangan antara negara maju dan berkembang dalam politik iklim mencerminkan krisis kepercayaan yang mendalam pada sistem internasional. Retorika emisi nol bersih sering kali menjadi tabir bagi kebijakan yang memperpanjang dominasi ekonomi Global North. Imperialisme hijau, melalui mekanisme tarif karbon, regulasi deforestasi sepihak, dan skema utang untuk pendanaan iklim, telah menjadi alat baru yang membatasi ruang kebijakan negara berkembang untuk menyejahterakan rakyatnya.

Untuk mewujudkan keadilan iklim yang sejati, diperlukan perubahan paradigma yang radikal:

  1. Pengakuan Hutang Ekologis: Negara-negara maju harus mengakui tanggung jawab historis mereka bukan hanya secara moral, tetapi melalui kompensasi finansial berbasis hibah yang signifikan dan transfer teknologi rendah karbon secara cuma-cuma kepada negara berkembang.
  2. Harmonisasi Standar Perdagangan: Kebijakan seperti CBAM dan EUDR tidak boleh diterapkan secara sepihak. Harus ada mekanisme dukungan teknis dan finansial bagi produsen di negara berkembang untuk mencapai standar tersebut, serta pengakuan terhadap skema sertifikasi domestik seperti ISPO.
  3. Kedaulatan Energi dan Sumber Daya: Komunitas internasional harus menghormati hak negara berkembang untuk melakukan hilirisasi industri sebagai strategi pengentasan kemiskinan, selama proses tersebut diiringi dengan bantuan untuk meminimalkan dampak lingkungan di tingkat lokal.
  4. Reformasi Finansial Global: Mengadopsi prinsip-prinsip Bridgetown Initiative untuk merombak IMF dan Bank Dunia agar lebih responsif terhadap kebutuhan negara-negara rentan tanpa membebani mereka dengan utang yang mencekik.
  5. Perlindungan Hak Lokal dan Adat: Skema mitigasi berbasis lahan harus menempatkan masyarakat adat sebagai pemimpin dan penerima manfaat utama, dengan perlindungan hukum yang tegas terhadap praktik perampasan lahan atas nama konservasi.

Hanya dengan mengintegrasikan keadilan sosial ke dalam setiap kebijakan iklim, dunia dapat mencapai target lingkungan global secara berkelanjutan. Jika standar lingkungan terus digunakan sebagai senjata politik untuk membatasi pertumbuhan ekonomi negara lain, maka transisi hijau hanya akan dipandang sebagai bentuk baru kolonialisme yang akan terus ditentang oleh mayoritas populasi dunia di Global South. Realitas krisis iklim memerlukan solidaritas global yang tulus, bukan hegemoni yang dibungkus dengan retorika keselamatan planet.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

39 + = 40
Powered by MathCaptcha