Selama lebih dari empat dekade, arsitektur ekonomi global didasarkan pada keyakinan fundamental bahwa pasar yang bebas dari campur tangan negara adalah mekanisme paling efisien untuk mendistribusikan modal dan mendorong kemakmuran manusia. Namun, memasuki pertengahan dekade ketiga abad ke-21, dunia sedang menyaksikan pembalikan tren yang dramatis. Fenomena yang kini disebut sebagai Statism 2.0 menandai kembalinya negara sebagai aktor sentral dalam mendikte arah industri, mengamankan rantai pasok, dan memproteksi keunggulan teknologi nasional. Dari Washington hingga Beijing, dan dari Brussel hingga Jakarta, “tangan besi” pemerintah kembali digunakan untuk membentuk pasar melalui subsidi besar-besaran, kebijakan industri sektoral, dan penegakan kedaulatan digital yang asertif.

Pergeseran paradigma ini bukan sekadar respons reaktif terhadap krisis sementara, melainkan sebuah transformasi struktural dalam pemikiran ekonomi politik. Statism 2.0 berakar pada pengakuan bahwa mekanisme pasar bebas telah gagal mengatasi tantangan eksistensial seperti krisis iklim, ketimpangan yang ekstrem, dan kerentanan keamanan nasional yang timbul dari ketergantungan rantai pasok global yang terlalu ramping. Dalam konteks ini, kapitalisme negara tidak lagi dipandang sebagai anomali bagi kemajuan, melainkan sebagai alat yang lebih efektif untuk menavigasi dunia yang penuh dengan ketidakpastian geopolitik dan disrupsi teknologi.

Genealogi Pergeseran Paradigma: Dari Laissez-Faire ke Intervensi Strategis

Untuk memahami kebangkitan Statism 2.0, sangat penting untuk meninjau kegagalan sistemik yang meruntuhkan konsensus neoliberal. Era neoliberalisme, yang dimulai pada akhir 1970-an, menekankan pada deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan. Premis utamanya adalah bahwa efisiensi alokatif hanya dapat dicapai jika negara mundur dari aktivitas ekonomi produktif dan membatasi perannya hanya pada penyediaan kerangka regulasi yang minimal. Namun, krisis keuangan global 2008 menjadi celah pertama dalam fondasi ini, menunjukkan bahwa pasar keuangan yang tidak teregulasi dapat memicu keruntuhan sistemik yang mengharuskan intervensi negara dalam skala masif untuk melakukan penyelamatan.

Transformasi ini semakin dipercepat oleh pandemi COVID-19, yang menyingkap kerapuhan dari rantai pasok global “just-in-time” yang dioptimalkan hanya untuk efisiensi biaya. Ketika negara-negara menyadari bahwa mereka tidak dapat memproduksi alat pelindung diri dasar atau obat-obatan kritis di dalam negeri, konsep kedaulatan ekonomi kembali menjadi prioritas utama. Pergeseran ini didokumentasikan dengan jelas oleh IMF yang mencatat peningkatan signifikan dalam intervensi kebijakan industri sejak tahun 2009, dengan percepatan tajam setelah tahun 2020.

Periode Dominasi Paradigma Karakteristik Utama Peran Negara
1980 – 2008 Neoliberalisme / Laissez-faire Efisiensi biaya, globalisasi tanpa batas, deregulasi. Wasit pasar; penyedia infrastruktur dasar.
2008 – 2020 Masa Transisi Penyelamatan perbankan, skeptisisme terhadap globalisasi. Penyelamat krisis (Bailout); regulator makroprudensial.
2020 – Sekarang Statism 2.0 Resiliensi, otonomi strategis, transisi hijau, proteksi teknologi. Arsitek ekonomi; investor aktif; pelindung industri strategis.

Dalam model Statism 2.0, pemerintah tidak hanya mengintervensi saat terjadi kegagalan pasar, tetapi secara proaktif “membentuk” pasar (market shaping) untuk mencapai tujuan sosial dan nasional yang lebih luas. Hal ini mencakup percepatan transisi energi untuk memitigasi perubahan iklim serta penguatan kapasitas manufaktur domestik untuk teknologi kunci seperti semikonduktor, yang kini dianggap sebagai “minyak baru” bagi ekonomi digital.

Amerika Serikat: Reindustrialisasi dan Paradigma Middle-Out

Di bawah pemerintahan Biden, Amerika Serikat telah melakukan salah satu eksperimen kebijakan industri terbesar dalam sejarah modernnya, yang sering disebut sebagai “Bidenomics”. Visi ini didasarkan pada pengakuan bahwa model ekonomi “trickle-down” telah gagal mengangkat kelas menengah dan justru memperlebar kesenjangan pendapatan serta merusak basis manufaktur Amerika. Sebagai gantinya, AS kini menerapkan strategi yang tumbuh dari “tengah keluar dan bawah ke atas”, yang menempatkan investasi negara sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi diri sendiri.

Instrumen Legislatif sebagai Senjata Ekonomi

Statism 2.0 di Amerika Serikat dioperasionalkan melalui tiga pilar legislatif utama yang bersama-sama memobilisasi triliunan dolar dalam pengeluaran publik dan insentif sektor swasta:

  1. Inflation Reduction Act (IRA): Undang-undang ini mewakili investasi iklim terbesar dalam sejarah AS. Melalui kombinasi subsidi, kredit pajak, dan jaminan pinjaman, IRA bertujuan untuk menciptakan rantai pasok energi bersih domestik yang kuat, mulai dari penambangan mineral kritis hingga manufaktur baterai dan kendaraan listrik.
  2. CHIPS and Science Act: Dengan anggaran sebesar $280 miliar, undang-undang ini bertujuan untuk membawa kembali manufaktur semikonduktor ke tanah Amerika. Kebijakan ini didorong oleh kekhawatiran keamanan nasional atas dominasi Tiongkok dan ketergantungan pada Taiwan untuk chip canggih yang digunakan dalam segala hal, mulai dari smartphone hingga jet tempur.
  3. Infrastructure Investment and Jobs Act (IIJA): Investasi besar pada infrastruktur fisik dan digital untuk memastikan bahwa ekonomi Amerika memiliki fondasi yang diperlukan untuk mendukung reindustrialisasi masif.

Data hingga awal tahun 2025 menunjukkan bahwa intervensi negara ini sangat efektif. Kontribusi konstruksi manufaktur terhadap PDB mencapai level tertinggi yang pernah dicatat, dan lapangan kerja di sektor konstruksi mencapai rekor tertinggi sejak pencatatan modern dimulai pada tahun 1939. Di sektor energi bersih, total investasi mencapai $176 miliar pada akhir tahun 2023, meningkat 40% setelah pengesahan IRA dan CHIPS Act. Lebih dari 15.000 lapangan kerja baru di sektor produksi semikonduktor secara langsung dikaitkan dengan kebijakan ini.

Efektivitas dan Kritik “Semua Bagel”

Keberhasilan awal Statism 2.0 di Amerika Serikat tidak lepas dari kritik. Salah satu kritik yang paling menonjol adalah apa yang disebut oleh Ezra Klein sebagai “everything bagel critique”—sebuah fault-finding yang menyatakan bahwa pemerintah AS mencoba mencapai terlalu banyak tujuan sekaligus melalui kebijakan industrinya. Misalnya, untuk mendapatkan subsidi chip, perusahaan seringkali harus menyertakan persyaratan terkait upah serikat pekerja, penyediaan penitipan anak bagi karyawan, dan komitmen terhadap keadilan rasial. Meskipun tujuan-tujuan ini mulia, para kritikus berpendapat bahwa beban regulasi tambahan ini dapat memperlambat kecepatan implementasi dan meningkatkan biaya proyek, yang pada akhirnya dapat merusak daya saing internasional industri tersebut.

Selain itu, terdapat pergeseran signifikan dalam penegakan hukum antimonopoli. Administrasi Biden melalui FTC dan DOJ telah meninggalkan fokus tradisional pada “kesejahteraan konsumen” (harga rendah) dan beralih kembali ke pencegahan konsentrasi kekuatan pasar itu sendiri yang dianggap merusak demokrasi dan inovasi. Hal ini menandai kembalinya kedaulatan negara atas korporasi multinasional raksasa, dengan penekanan pada perlindungan pekerja dan usaha kecil dari dominasi platform digital.

Tiongkok: Evolusi Kapitalisme Negara dan “New Quality Productive Forces”

Tiongkok telah lama menjadi pemimpin dalam penggunaan instrumen negara untuk menggerakkan ekonomi, namun strategi mereka di bawah konsep Statism 2.0 telah berevolusi menjadi jauh lebih canggih. Menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi tradisional dan tekanan geopolitik dari Barat, Beijing memperkenalkan konsep “New Quality Productive Forces” (Kekuatan Produktif Berkualitas Baru) sebagai mesin pertumbuhan baru yang didorong oleh inovasi teknologi radikal.

Inovasi sebagai Inti dari Kekuatan Negara

“New Quality Productive Forces” bukan sekadar slogan kebijakan, melainkan strategi untuk menyelesaikan kontradiksi sosial utama dalam era baru Tiongkok. Fokusnya adalah pada transisi dari model pertumbuhan yang bergantung pada tenaga kerja murah dan industri berat tradisional menuju ekonomi yang didorong oleh teknologi tinggi, efisiensi tinggi, dan kualitas tinggi. Komponen kunci dari strategi ini mencakup:

  • Kemandirian Teknologi: Tiongkok bertujuan untuk mencapai kekuatan penuh dalam sains dan teknologi melalui sistem “seluruh bangsa” (whole-nation system) yang dipimpin oleh Partai Komunis. Ini melibatkan koordinasi masif antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta.
  • Transformasi Digital dan Hijau: Industri tradisional sedang direvitalisasi melalui kecerdasan buatan (AI), data besar, dan Internet of Things (IoT). Pada tahun 2024, Tiongkok memiliki hampir 10.000 bengkel digital dan pabrik cerdas yang telah meningkatkan efisiensi produksi hingga 30%.
  • Kedaulatan Data: Tiongkok memandang data sebagai faktor produksi baru yang setara dengan tanah dan modal. Penggunaan data yang dioptimalkan diharapkan dapat menciptakan skala ekonomi baru dan model bisnis yang inovatif.
Sektor Strategis Tiongkok Capaian Tahun 2024/2025 Posisi Global
Kendaraan Listrik (EV) Produksi > 13 Juta Unit Peringkat 1 selama 10 tahun berturut-turut.
Energi Surya Membangun 75% ladang surya baru dunia Dominasi total rantai pasok global.
Industri Robotika Instalasi robot industri > 50% global Pemimpin dalam otomatisasi manufaktur.
Chip / Sirkuit Terpadu Pertumbuhan output 22,2% Ekspansi masif kapasitas domestik.

Integrasi Partai-Bisnis sebagai Pedang Bermata Dua

Satu aspek unik dari Statism 2.0 di Tiongkok adalah integrasi yang semakin dalam antara negara dan perusahaan swasta. Penelitian menunjukkan bahwa subsidi negara dialokasikan secara preferensial kepada perusahaan manufaktur yang memiliki hubungan politik kuat dengan Partai, seperti adanya “Party Cells” (Sel Partai) di dalam manajemen perusahaan atau pimpinan yang memegang jabatan publik. Hubungan simbiotik ini memastikan bahwa perusahaan berkontribusi pada prioritas strategis negara, seperti pertumbuhan PDB lokal dan keamanan nasional.

Namun, ketergantungan pada koneksi politik ini juga membawa risiko. Data menunjukkan bahwa efektivitas subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal cenderung menurun seiring dengan meningkatnya keterkaitan politik perusahaan, yang menunjukkan adanya inefisiensi dan potensi perilaku rent-seeking. Meskipun demikian, Beijing tetap berkomitmen pada model ini sebagai satu-satunya cara untuk menantang dominasi teknologi Barat dan mencapai visi “Made in China 2025” serta rencana lima tahun ke-15 (2026-2030).

Uni Eropa: Pergeseran Menuju Otonomi Strategis dan Pasar Hijau

Uni Eropa, yang secara historis merupakan pendukung setia liberalisme pasar dan persaingan bebas, kini sedang mengalami transformasi paradigma yang paling signifikan sejak pembentukan Pasar Tunggal. UE menyadari bahwa untuk bertahan dalam perlombaan industri antara AS dan Tiongkok, blok tersebut harus meninggalkan pendekatan industri yang pasif dan horizontal dan beralih ke kebijakan industri yang aktif, asertif, hijau, dan sektoral.

Net-Zero Industry Act dan Otonomi Strategis

Tanggapan utama Eropa terhadap Statism 2.0 global adalah Net-Zero Industry Act (NZIA). Undang-undang ini menetapkan target ambisius agar setidaknya 40% dari kebutuhan tahunan UE untuk teknologi bersih (seperti panel surya, turbin angin, baterai, dan hidrogen) diproduksi secara domestik pada tahun 2030. NZIA bertujuan untuk mengurangi ketergantungan strategis pada pemasok tunggal, terutama Tiongkok, yang saat ini mendominasi rantai pasok banyak komponen transisi energi.

Eropa juga mulai menggunakan kekuatan pasarnya melalui mekanisme regulasi yang ketat. Mulai Desember 2025, lelang energi terbarukan di negara anggota UE harus menyertakan kriteria “non-harga” hingga 30% dari volume lelang. Kriteria ini mencakup standar keberlanjutan, keamanan siber, dan ketahanan rantai pasok. Langkah ini dirancang secara eksplisit untuk memberikan keuntungan kompetitif bagi produsen Eropa yang mematuhi standar tinggi lingkungan dan sosial, serta untuk menghalangi produk impor murah yang bersubsidi tinggi.

Tantangan Kohesi dan Pendanaan Bersama

Meskipun arah kebijakannya jelas, UE menghadapi kendala unik karena strukturnya yang terdiri dari banyak negara berdaulat. Saat ini, negara-negara kaya seperti Jerman dan Prancis memiliki kapasitas fiskal yang jauh lebih besar untuk memberikan bantuan negara (state aid) kepada industri mereka sendiri dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya. Hal ini menciptakan risiko “perpecahan” dalam pasar tunggal, di mana investasi industri hanya terkonsentrasi di wilayah yang sudah maju secara ekonomi.

Untuk mengatasi tantangan ini, terdapat dorongan kuat untuk menciptakan instrumen pendanaan bersama di tingkat Eropa. Profesor Adam A. dan para ahli lainnya menyarankan perlunya mekanisme pembiayaan baru yang dapat memastikan level playing field bagi semua perusahaan di seluruh blok, tanpa memperlebar kesenjangan pembangunan antar wilayah. Statism 2.0 di Eropa, oleh karena itu, merupakan upaya penyeimbangan yang rumit antara integrasi politik yang lebih dalam dan perlindungan kepentingan industri nasional.

Dinamika Global: Pusaran Retaliasi dan Lomba Subsidi

Fenomena Statism 2.0 telah menciptakan dinamika baru dalam hubungan internasional yang didominasi oleh kompetisi daripada kolaborasi. IMF dan lembaga lainnya mencatat bahwa subsidi kini telah menggantikan tarif sebagai instrumen utama proteksi industri. Namun, subsidi ini jarang bersifat netral; mereka sering kali memicu respons berantai dari mitra dagang.

Retaliasi “Tit-for-Tat”

Data dari New Industrial Policy Observatory menunjukkan bahwa terdapat probabilitas sebesar 74% bahwa subsidi besar dari satu kekuatan ekonomi akan dibalas dengan kontra-subsidi dari kekuatan lain dalam waktu satu tahun. Hal ini menciptakan siklus “tit-for-tat” yang dapat mengarah pada fragmentasi pasar global. Sejak 2023 hingga Mei 2025 saja, nilai subsidi internasional baru yang berlaku mencapai $1,5 triliun.

Sektor Motif Utama Intervensi Instrumen Dominan Risiko
Energi Terbarukan Mitigasi Iklim & Keamanan Energi Subsidi Produksi & Kredit Pajak Overkapasitas dan distorsi harga global.
Semikonduktor Keamanan Nasional & Dominasi Teknologi Hibah R&D & Pinjaman Lunak Fragmentasi rantai pasok teknologi tinggi.
Pertanian Ketahanan Pangan Dukungan Produsen & Harga Terjamin Hambatan bagi petani di negara berkembang.
Mineral Kritis Resiliensi Rantai Pasok Kontrol Ekspor & Kemitraan Strategis Monopoli pasokan dan konflik geopolitik.

Intervensi ini juga menunjukkan pergeseran dari logika pertumbuhan menuju logika keamanan. Sebelum tahun 2020, tujuan utama kebijakan industri adalah penciptaan lapangan kerja dan inovasi horizontal. Sekarang, motif utamanya adalah mitigasi kerentanan domestik dan perlindungan terhadap risiko geopolitik. Hal ini bahkan mencakup penyediaan dukungan finansial kepada perusahaan asing agar mau membangun pabrik di dalam negeri, sebuah taktik yang sebelumnya dianggap tidak lazim namun kini menjadi standar untuk mengamankan ekosistem industri lokal.

Akhir Era Perusahaan Multinasional yang Lebih Kuat dari Negara?

Salah satu pertanyaan paling krusial dalam era Statism 2.0 adalah apakah kekuatan negara sedang kembali melampaui kekuatan perusahaan multinasional (MNC) raksasa. Selama dekade 1990-an dan 2000-an, MNC sering kali dianggap memiliki pengaruh politik yang lebih besar daripada banyak negara kecil karena kontrol mereka atas modal, teknologi, dan data. Namun, tahun 2025 menunjukkan bahwa negara-negara besar mulai menegaskan kembali otoritas mereka dengan cara yang belum pernah terlihat dalam setengah abad terakhir.

Penegakan Antimonopoli dan Kedaulatan Digital

Negara-negara kini menggunakan hukum antimonopoli bukan hanya untuk menjaga harga tetap rendah bagi konsumen, tetapi sebagai alat kedaulatan untuk membatasi kekuatan politik korporasi. Departemen Kehakiman AS (DOJ) dan 38 negara bagian telah berhasil menggugat Google atas monopoli layanan pencarian, dengan trial perbaikan yang berakhir pada Mei 2025 yang berpotensi memaksa pemecahan struktur perusahaan tersebut. Demikian pula, FTC terus mengejar Meta (pemilik Instagram dan WhatsApp) dengan tujuan divestasi paksa guna memulihkan persaingan di pasar media sosial.

Di ruang digital, kedaulatan data telah menjadi batas baru kekuasaan negara. Negara-negara seperti India, Brasil, dan Tiongkok kini mewajibkan lokalisasi data, yang berarti perusahaan teknologi tidak lagi dapat menyimpan data warga negara tersebut di pusat data global yang tak tersentuh oleh hukum lokal. Kegagalan mematuhi aturan ini bukan hanya berarti denda, tetapi hilangnya akses ke pasar-pasar terbesar di dunia. Hal ini memaksa MNC untuk bernegosiasi dengan negara sebagai entitas yang setara, bukan lagi sebagai aktor yang dapat mendikte persyaratan.

Dilema Korporasi sebagai Superpower

Meskipun negara sedang menguat, perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Microsoft, dan Amazon masih memiliki kapitalisasi pasar yang melebihi PDB negara-negara maju seperti Italia atau Kanada. Kekuatan ini memberi mereka kemampuan untuk melakukan “arbitrase regulasi”—memindahkan operasi ke yurisdiksi dengan peraturan yang lebih longgar. Namun, dalam konteks Statism 2.0, taktik ini menjadi semakin sulit karena negara-negara besar (AS, Tiongkok, UE) mulai menyelaraskan standar mereka, seperti melalui inisiatif OECD tentang pajak minimum global untuk memastikan korporasi membayar pajak di mana nilai diciptakan.

Ketegangan ini paling nyata di sektor Kecerdasan Buatan (AI). Di satu sisi, negara-negara ingin mengekang dominasi “Big 5” (Apple, Microsoft, Amazon, Alphabet, Meta) dalam input AI kritis seperti data dan daya komputasi. Di sisi lain, pemerintah ragu untuk terlalu keras membatasi perusahaan-perusahaan ini karena mereka dianggap sebagai aset strategis dalam “Perang Dingin baru” di bidang teknologi melawan pesaing global. Negara kini berada dalam posisi di mana mereka harus menyeimbangkan antara perlindungan persaingan domestik dan pemeliharaan “juara nasional” yang mampu bersaing di panggung dunia.

Implikasi bagi Global South: Risiko Terjebak dalam Transisi Dua Kecepatan

Kebangkitan Statism 2.0 di negara-negara maju membawa tantangan eksistensial bagi negara-negara berkembang (Global South). Ketika negara-negara kaya menggunakan kekuatan fiskal mereka untuk memberikan subsidi masif, mereka secara efektif menarik investasi menjauh dari negara-negara berkembang yang tidak memiliki kapasitas anggaran untuk bersaing dalam perlombaan subsidi tersebut.

Jebakan Dual Trap di Amerika Latin dan Asia

Negara-negara di Amerika Latin menghadapi apa yang disebut sebagai “dual trap”: spesialisasi dalam sektor rendah produktivitas dengan emisi karbon tinggi, sambil tetap terpapar pada volatilitas perdagangan global dan fragmentasi teknologi. Perlombaan global untuk mineral kritis seperti lithium dan tembaga mengancam akan mengunci negara-negara kaya sumber daya ini ke dalam model ekstraktif baru yang memiliki keterkaitan lokal yang lemah, mirip dengan era kolonialisme sumber daya namun dalam jubah “transisi hijau”.

Selain itu, kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa bertindak sebagai pajak tidak langsung bagi eksportir di negara berkembang. Tanpa akses ke teknologi dekarbonisasi bersubsidi yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan Utara, produsen di Selatan menghadapi biaya kepatuhan yang sangat tinggi, yang dapat memangkas ekspor mereka ke pasar maju sebesar 1,4% hingga 2,4%.

Menuju Kebijakan Industri Progresif

Untuk menghadapi dominasi Statism 2.0 di Utara, para ahli menyarankan agar Global South mengembangkan agenda kebijakan industri mereka sendiri yang lebih progresif dan berorientasi pada kedaulatan:

  1. Kesepakatan Baru FDI: Memanfaatkan kepemilikan mineral kritis untuk menegosiasikan kerangka investasi yang mencakup persyaratan transfer teknologi, konten lokal, dan standar lingkungan yang tinggi.
  2. Regionalisme Produktif: Memperdalam perdagangan intra-regional untuk membangun otonomi produktif. Contohnya adalah menggunakan pasar kendaraan listrik regional sebagai platform untuk diversifikasi industri manufaktur lokal.
  3. Kedaulatan Digital: Mengatur aliran data digital agar tidak diekstraksi sebagai “bahan mentah” oleh platform teknologi Utara tanpa kompensasi atau kontrol lokal yang memadai.
  4. Redefinisi Institusional: Membangun arsitektur kebijakan industri yang melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan buruh, untuk memastikan bahwa akumulasi modal diarahkan pada tujuan keberlanjutan dan kesejahteraan bersama, bukan hanya keuntungan korporasi.

Negara-negara seperti India telah mulai menunjukkan asertivitas ini melalui pajak digital dan kewajiban keterbukaan algoritma bagi MNC teknologi, menunjukkan bahwa Statism 2.0 juga dapat menjadi alat bagi negara berkembang untuk menuntut kesetaraan dalam sistem ekonomi global.

Risiko Fiskal dan Keberlanjutan: Sisi Gelap dari Intervensi Negara

Meskipun Statism 2.0 menawarkan solusi bagi banyak krisis, ia membawa risiko ekonomi makro yang signifikan. Intervensi negara dalam skala triliunan dolar memerlukan pengeluaran publik yang sangat besar pada saat utang global sudah berada pada level rekor setelah pandemi.

Inefisiensi Alokatif dan Beban Utang

IMF memperingatkan bahwa kebijakan industri seringkali “sangat sensitif terhadap kondisi awal” dan dapat menyebabkan inefisiensi jika tidak dirancang dengan tepat. Misalnya, subsidi energi yang luas dapat mengurangi ketergantungan pada impor fosil, namun juga dapat menarik faktor produksi (modal dan tenaga kerja) menjauh dari sektor-sektor non-target yang mungkin lebih produktif, sehingga menurunkan produktivitas agregat ekonomi secara keseluruhan.

Jenis Instrumen Biaya Fiskal Potensi Distorsi Keefektifan (Estimasi IMF)
Subsidi Langsung (Cash) Sangat Tinggi Tinggi (Rent-seeking) Moderat, tergantung desain.
Kredit Pajak (Tax Credits) Tinggi Moderat Tinggi untuk menarik investasi swasta.
Jaminan Kredit Rendah (Kewajiban Kontinjensi) Moderat Efektif untuk proyek infrastruktur.
Pengadaan Publik (Procurement) Sedang Rendah-Moderat Sangat efektif untuk “membentuk” pasar awal.

Di Tiongkok, biaya kebijakan industri diperkirakan mencapai 4% dari PDB antara tahun 2011 dan 2023. Bagi negara dengan ruang fiskal terbatas, pengeluaran semacam ini mewakili biaya peluang (opportunity cost) yang sangat besar, di mana dana yang sama sebenarnya dapat digunakan untuk reformasi struktural yang memiliki tingkat pengembalian lebih tinggi namun kurang memiliki daya tarik politik instan.

Selain itu, terdapat risiko overkapasitas global. Di sektor-sektor seperti panel surya dan kendaraan listrik, intervensi negara yang masif telah menyebabkan produksi melampaui permintaan global, yang memicu jatuhnya harga secara drastis. Meskipun ini menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek, hal ini mengancam keberlangsungan hidup perusahaan manufaktur di seluruh dunia yang tidak mampu bersaing dengan harga yang ditekan secara artifisial oleh subsidi negara lain.

Masa Depan Statism 2.0: Tatanan Ekonomi Dunia yang Terfragmentasi?

Fenomena Statism 2.0 menandai berakhirnya era globalisasi yang lancar dan dimulainya era “globalisasi yang dijaga” atau “de-risking”. Dalam tatanan baru ini, kedaulatan negara dan keamanan nasional akan terus menjadi lensa utama dalam pengambilan keputusan ekonomi. Namun, tatanan ini tetap membawa ketidakpastian besar.

Kebutuhan akan Koordinasi Multilateral Baru

Lembaga-lembaga internasional seperti WTO sedang menghadapi krisis relevansi karena aturan mereka dirancang untuk era neoliberal yang kini sudah ditinggalkan. Dibutuhkan kerangka kerja multilateral baru yang dapat mengakomodasi kebutuhan negara untuk mengejar tujuan sosial dan iklim tanpa memicu perang dagang yang destruktif. Prinsip-prinsip seperti transparansi subsidi, resiproksitas dalam akses pasar, dan pencegahan perlombaan subsidi “race to the bottom” harus segera dirumuskan di tingkat global maupun regional.

Dunia mungkin tidak akan kembali ke sistem perdagangan yang sepenuhnya bebas, namun stabilitas dapat dicapai melalui “koordinasi antar-blok”. Misalnya, AS dan UE telah mulai menyelaraskan kebijakan subsidi hijau mereka untuk menghindari persaingan internal yang tidak perlu. Demikian pula, blok-blok regional seperti RCEP di Asia atau kemitraan strategis di Global South dapat menjadi wadah untuk mengelola ketegangan yang timbul dari kebijakan industri nasional masing-masing.

Kesimpulan

Statism 2.0 bukan sekadar kembalinya “tangan besi” yang kaku, melainkan sebuah evolusi negara menjadi aktor ekonomi yang lebih cerdas, asertif, dan strategis dalam menghadapi krisis global yang tumpang tindih. Dari subsidi hijau di Amerika Serikat hingga transformasi berkualitas tinggi di Tiongkok, dan dari otonomi strategis di Eropa hingga asertivitas kedaulatan di Global South, negara-negara sedang membuktikan bahwa dalam era ketidakpastian, pasar membutuhkan arahan yang kuat dari otoritas publik untuk mencapai tujuan kolektif.

Era di mana perusahaan multinasional dapat beroperasi secara otonom di atas hukum negara mulai memudar. Melalui regulasi antimonopoli yang agresif, kedaulatan data, dan kontrol atas teknologi kritis, negara sedang merebut kembali peran mereka sebagai pengatur utama aktivitas ekonomi. Namun, kemenangan negara ini bukanlah tanpa biaya. Risiko fiskal yang meningkat, potensi overkapasitas global, dan ancaman fragmentasi perdagangan permanen menuntut adanya kepemimpinan global yang mampu menyeimbangkan ambisi nasional dengan stabilitas tatanan dunia.

Akhirnya, keberhasilan Statism 2.0 tidak akan diukur dari seberapa besar subsidi yang diberikan, melainkan dari seberapa efektif negara dapat menciptakan ekonomi yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh warganya. Dalam dunia yang kini didikte oleh “tangan besi” negara, tantangan terbesarnya adalah memastikan bahwa kekuatan tersebut digunakan untuk membangun masa depan bersama, bukan hanya untuk memperdalam parit persaingan geopolitik yang akan merugikan semua pihak dalam jangka panjang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 + 7 =
Powered by MathCaptcha