Fenomena Leviathan berdiri sebagai salah satu metafora paling kuat dan bertahan lama dalam sejarah pemikiran manusia, sebuah entitas yang melampaui batas-batas teologi purba untuk menjadi pilar dalam filsafat politik modern, kritik sosial kontemporer, dan estetika media populer. Secara etimologis, istilah “Leviathan” berakar dari bahasa Ibrani Livyatan yang secara harfiah merujuk pada sesuatu yang melingkar, memutar, atau berliku. Nama ini tidak sekadar mendeskripsikan ciri fisik seekor ular laut atau naga, melainkan melambangkan kekuatan primordial yang tak terkendali yang selalu mengancam untuk menelan tatanan dunia.3 Penelusuran mendalam terhadap evolusi Leviathan menunjukkan pergeseran makna yang signifikan, dari manifestasi kemarahan alam dan ketuhanan menjadi simbol konstruksi kekuasaan manusia yang paling absolut.

Landasan Mitologis dan Teologis: Leviathan sebagai Chaoskampf

Eksistensi Leviathan dalam tradisi Abrahamik tidak muncul dari ruang hampa, melainkan merupakan kelanjutan dari narasi Chaoskampf yang lebih luas di Timur Dekat kuno. Motif ini menggambarkan perjuangan heroik antara kekuatan ketertiban (kosmos) melawan kekuatan kekacauan (khaos) yang sering kali dipersonifikasikan sebagai naga laut atau ular raksasa. Dalam konteks Mesopotamia dan Kanaan, Leviathan memiliki kembaran dalam sosok Lôtān, ular berkepala tujuh yang menjadi pelayan dewa laut Yammu dan dikalahkan oleh dewa Baal Hadad dalam Siklus Baal. Kemiripan antara Lôtān dan Leviathan menunjukkan adanya transmisi budaya yang mendalam, di mana atribut makhluk mitologis tersebut diserap ke dalam teologi Alkitab untuk menunjukkan kedaulatan Tuhan atas segala bentuk ancaman kosmik.

Di dalam Alkitab Ibrani, kemunculan Leviathan diatur secara strategis untuk menggarisbawahi berbagai aspek hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Kitab Ayub 41 memberikan gambaran yang paling mendetail, melukiskan sebuah monster dengan kulit bersisik yang berfungsi sebagai perisai tak tembus senjata, napas yang menghembuskan api, dan kekuatan yang membuat para pahlawan sekalipun gemetar ketakutan. Dalam narasi Ayub, Leviathan berfungsi sebagai alat pengajaran bagi manusia tentang keterbatasan mereka; jika manusia tidak mampu menaklukkan Leviathan, bagaimana mungkin mereka berani menantang keadilan Tuhan yang menciptakannya?. Sebaliknya, dalam Mazmur 104, Leviathan digambarkan dengan nada yang lebih jinak sebagai bagian dari keragaman ciptaan yang diciptakan Tuhan untuk “bermain” di lautan, memberikan dimensi keagungan yang tidak selalu bersifat mengancam.

Sumber Tradisi Identitas dan Peran Leviathan Makna Teologis/Mitologis
Mitologi Ugarit Lôtān (ular berkepala tujuh) Musuh primordial yang dikalahkan oleh Baal Hadad
Kitab Ayub 41 Makhluk bersisik, bernapas api, tak tertandingi Simbol kemahakuasaan Tuhan atas alam semesta.
Mazmur 74 Monster laut dengan banyak kepala Musuh spiritual yang dihancurkan oleh Tuhan demi umat-Nya.
Kitab Yesaya 27:1 “Ular yang melarikan diri,” “Ular yang melingkar” Metafora bagi kekuatan politik penindas seperti Babel.
Tradisi Talmud Ikan raksasa eskatologis Hidangan pesta bagi orang benar di masa depan.

Eskatologi Yahudi dalam Talmud dan Midrash menambahkan lapisan kompleksitas pada narasi ini. Dikisahkan bahwa pada awalnya Tuhan menciptakan sepasang Leviathan, jantan dan betina. Namun, menyadari bahwa keturunan mereka dapat menghancurkan dunia, Tuhan membunuh yang betina dan mengasinkannya sebagai persediaan untuk jamuan bagi orang-orang saleh saat kedatangan Mesias. Kulit Leviathan nantinya akan digunakan untuk membangun tenda-tenda yang bersinar terang di Yerusalem, sebuah transformasi dari simbol ketakutan menjadi simbol pemenuhan janji ilahi. Insight yang muncul di sini adalah bahwa dalam teologi purba, Leviathan mewakili batas antara yang sakral dan yang profan, di mana kekuatan yang paling menakutkan sekalipun pada akhirnya harus tunduk dan melayani rencana ketuhanan.

Transformasi Politik: Leviathan Thomas Hobbes (1651)

Puncak de-divinisasi atau sekularisasi metafora Leviathan terjadi pada abad ke-17 melalui karya monumental filsuf Thomas Hobbes. Ditulis di tengah kehancuran sosial akibat Perang Saudara Inggris, Hobbes menggunakan nama monster alkitabiah ini untuk merujuk pada “Negara” atau “Persemakmuran” (Commonwealth). Bagi Hobbes, Leviathan adalah “Tuhan yang Fana” (Mortal God), sebuah entitas buatan yang diciptakan manusia melalui kontrak sosial untuk mengakhiri anarki dan menjamin keamanan.

Keadaan Alamiah dan Kontrak Sosial

Argumen Hobbes berangkat dari analisis materialis terhadap psikologi manusia. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh keinginan akan kekuasaan dan ketakutan akan kematian yang tragis. Tanpa adanya otoritas pusat, manusia hidup dalam “Keadaan Alamiah” (State of Nature), sebuah kondisi hipotetis di mana terjadi “perang setiap orang melawan setiap orang” (war of all against all). Dalam kondisi ini, tidak ada ruang bagi industri, seni, atau masyarakat, dan kehidupan manusia digambarkan sebagai “menyendiri, miskin, menjijikkan, kasar, dan singkat”.

Untuk keluar dari kekacauan ini, nalar manusia mendorong mereka untuk membuat kontrak sosial. Individu-individu setuju secara sukarela untuk menyerahkan hak-hak alami mereka—hak untuk memerintah diri sendiri—kepada seorang Berdaulat (Sovereign), baik itu satu orang (monarki) atau majelis (parlemen). Model kedaulatan Hobbes bersifat absolut; sekali kekuasaan diserahkan, subjek tidak memiliki hak untuk memberontak karena sovereign mewakili kehendak kolektif mereka demi perdamaian.

Hobbes menegaskan bahwa kedaulatan harus tak terbagi. Oleh karena itu, ia menolak pembagian kekuasaan antara gereja dan negara, berargumen bahwa sovereign harus memegang otoritas sipil sekaligus keagamaan untuk mencegah konflik internal yang dipicu oleh interpretasi doktrin yang berbeda. Frontispiece atau ilustrasi sampul buku Leviathan yang terkenal memperlihatkan sosok raksasa yang memegang pedang (kekuasaan sekuler) dan tongkat uskup (kekuasaan spiritual), dengan tubuh yang terdiri dari ribuan rakyat kecil, melambangkan kesatuan fungsional negara tersebut.

Bagian Buku Leviathan Fokus Utama Konsep Kunci
Bagian I: Tentang Manusia Psikologi dan Epistemologi Sifat materialis, nafsu dan kebencian, nalar.
Bagian II: Tentang Persemakmuran Teori Politik Kontrak sosial, kedaulatan absolut, hak sovereign.
Bagian III: Persemakmuran Kristen Hubungan Gereja-Negara Tunduknya otoritas agama pada hukum sipil.
Bagian IV: Kerajaan Kegelapan Kritik terhadap Kebodohan Penolakan terhadap filsafat Aristoteles dan doktrin salah.

Insight filosofis dari karya Hobbes adalah bahwa ia mengubah Leviathan dari monster yang menentang Tuhan menjadi monster yang “meniru” Tuhan demi keselamatan manusia. Ini menandai pergeseran paradigma di mana perlindungan tidak lagi diharapkan dari intervensi supernatural, melainkan dari struktur politik yang rasional dan terorganisir.

Leviathan dalam Sinema: Kritik Sosial dan Putus Asa Modern

Di abad ke-21, nama Leviathan kembali muncul sebagai simbol penindasan dalam film karya sutradara Rusia, Andrey Zvyagintsev, yang dirilis pada tahun 2014. Film ini merupakan perpaduan antara kritik terhadap korupsi di Rusia kontemporer dengan alegori alkitabiah tentang Ayub dan teori politik Hobbes. Melalui narasi yang kelam, Zvyagintsev mengeksplorasi apa yang terjadi ketika “Leviathan” Hobbesian tidak lagi melindungi rakyatnya, melainkan memangsa mereka.

Sinopsis dan Alusi Alkitabiah

Film ini berlatar di sebuah kota pesisir yang terisolasi di Laut Barents. Nikolai (Kolya), seorang mekanik lokal, berjuang melawan Vadim, wali kota korup yang ingin menyita tanah dan rumah leluhur Kolya melalui proses hukum yang manipulatif. Kolya mencoba melawan dengan bantuan Dima, seorang pengacara dari Moskow yang membawa bukti-bukti kejahatan masa lalu sang wali kota untuk melakukan pemerasan balik. Namun, strategi ini justru memicu kehancuran total bagi Kolya.

Zvyagintsev menggunakan referensi eksplisit terhadap Kitab Ayub. Kolya mengalami penderitaan yang bertubi-tubi: pengkhianatan istrinya dengan Dima, kematian tragis sang istri yang misterius, dan pemenjaraan dirinya sendiri atas tuduhan pembunuhan yang tidak dilakukannya. Berbeda dengan kisah Ayub di Alkitab yang berakhir dengan pemulihan, kisah Kolya berakhir dengan keputusasaan total—rumah miliknya dihancurkan untuk membangun sebuah gereja mewah bagi elit kekuasaan.

Simbolisme Visual dan Kritik Kelembagaan

Salah satu gambar paling ikonik dalam film ini adalah kerangka paus raksasa yang terdampar di pantai, sebuah simbol visual bagi Leviathan yang telah mati atau membusuk. Hal ini mencerminkan sistem sosial yang tidak lagi memiliki jiwa keadilan, hanya tersisa struktur kaku yang menindas. Zvyagintsev juga memberikan kritik tajam terhadap aliansi antara Gereja Ortodoks Rusia dan negara. Sang Uskup digambarkan sebagai penasihat spiritual bagi Wali Kota Vadim, memberikan pembenaran religius bagi tindakan korupnya dengan argumen bahwa “semua kekuasaan berasal dari Tuhan”.

Film ini memicu kontroversi besar di Rusia. Menteri Kebudayaan saat itu, Vladimir Medinsky, mengkritik film tersebut karena dianggap memfitnah budaya nasional dan terlalu berfokus pada sisi gelap kehidupan Rusia, seperti konsumsi vodka yang berlebihan dan ketiadaan karakter positif. Namun, secara internasional, film ini diakui sebagai mahakarya yang menangkap universalitas dari perjuangan “orang kecil” melawan mesin birokrasi yang “Kafkaesque”.

Karakter/Simbol Makna dalam Film Korelasi dengan Tema Leviathan
Wali Kota Vadim Personifikasi Negara yang tiran Leviathan Hobbesian yang menyalahgunakan absolutisme.
Uskup lokal Korupsi otoritas spiritual Penggabungan kekuasaan pedang dan tongkat uskup (Hobbes).
Kerangka Paus Kematian harapan dan keadilan Leviathan Alkitabiah yang menjadi sisa-sisa bisu.
Pembacaan Vonis Birokrasi yang dingin dan otomatis Ketidakberdayaan individu di hadapan hukum negara.

Insight dari film Zvyagintsev menunjukkan degradasi kontrak sosial. Jika Hobbes melihat Leviathan sebagai solusi atas “perang semua melawan semua,” Zvyagintsev memperlihatkan bahwa negara itu sendiri dapat menjadi pelaku perang terhadap individu, menghancurkan kehidupan yang seharusnya ia lindungi.

Leviathan dalam Genre Horor dan Fiksi Ilmiah (1989)

Dalam spektrum yang berbeda, film Leviathan tahun 1989 arahan George P. Cosmatos mengeksplorasi tema ini melalui lensa horor fiksi ilmiah dan body horror. Dirilis bersamaan dengan film bertema bawah laut lainnya seperti The Abyss dan DeepStar Six, film ini menggunakan nama Leviathan sebagai nama kapal karam Soviet yang menyimpan rahasia mutasi genetik yang mengerikan.

Plot dan Ancaman Biologis

Sekelompok penambang perak bawah laut yang bekerja untuk Tri-Oceanic Corp menemukan kapal Leviathan di dasar samudera. Tanpa sengaja, mereka membawa kembali mutagen genetik yang dikembangkan oleh ilmuwan Soviet untuk menciptakan manusia yang bisa beradaptasi di lingkungan laut. Infeksi ini menyebar melalui konsumsi vodka yang terkontaminasi, menyebabkan tubuh manusia bermutasi menjadi organisme hibrida ikan-manusia yang mengerikan.

Monster dalam film ini adalah perwujudan fisik dari konsep “asimilasi.” Makhluk tersebut tidak hanya membunuh korbannya tetapi menyerap materi genetik dan ingatan mereka, tumbuh menjadi massa daging yang memiliki banyak wajah dan anggota tubuh. Stan Winston, desainer efek khusus legendaris, menciptakan makhluk ini sebagai “monster stew” yang menggabungkan elemen hiu, gurita, dan anatomi manusia yang terdistorsi.

Analisis Tematik

Meskipun sering dianggap sebagai tiruan dari Alien atau The Thing, film ini menyentuh ketakutan era 1980-an terhadap korporasi yang tidak berperasaan dan eksperimen sains yang melampaui batas kodrat. Korporasi dalam film ini, Tri-Oceanic Corp, memilih untuk membiarkan kru penambang mati dan meledakkan pangkalan bawah laut mereka daripada membiarkan mutagen tersebut bocor atau menanggung biaya penyelamatan.23 Ini adalah bentuk lain dari “Leviathan” sebagai kekuasaan yang mengorbankan individu demi keuntungan institusional.

Insight penting dari genre horor ini adalah perubahan sifat Leviathan dari makhluk mitis menjadi “anomali biologis.” Kekuatan yang menakutkan kini bersumber dari manipulasi manusia terhadap kode kehidupan itu sendiri, mencerminkan kecemasan modern tentang kemajuan teknologi yang tidak terkendali.

Leviathan dalam Media Populer Kontemporer

Pengaruh nama dan konsep Leviathan terus meluas ke dalam industri kreatif modern, termasuk permainan video, komik (manhwa), dan literatur fantasi, di mana ia sering kali berfungsi sebagai penanda ukuran dan kekuatan yang tak tertandingi.

Video Games: Dari Summon ke Klasifikasi Ekosistem

Dalam dunia permainan video, Leviathan biasanya muncul sebagai entitas penguasa air:

  • Final Fantasy Series: Leviathan adalah salah satu pemanggilan (summon) paling ikonik yang mewakili elemen air. Dikenal sebagai “Raja Laut,” ia sering muncul sebagai naga biru raksasa yang melepaskan serangan “Tsunami”. Dalam Final Fantasy XVI, ia menjadi fokus utama dalam DLC The Rising Tide, di mana ia digambarkan sebagai Eikon yang hilang dari sejarah.
  • Subnautica: Dalam seri ini, “Leviathan” bukan merujuk pada satu spesies, melainkan klasifikasi untuk organisme dengan ukuran raksasa. Ini mencakup Reaper Leviathan yang ganas dan menggunakan ekolokasi untuk berburu, hingga Sea Emperor Leviathan yang bijaksana dan menjadi kunci keselamatan planet dari wabah. Klasifikasi ini menunjukkan upaya manusia untuk menundukkan ketakutan purba melalui taksonomi ilmiah.
  • Ultrakill: Menampilkan Leviathan sebagai bos di lapisan Wrath, sebuah makhluk yang tercipta dari akumulasi jiwa-jiwa yang tenggelam, memberikan dimensi puitis sekaligus mengerikan pada konsep monster laut.

Manhwa dan Anime: Narasi Bertahan Hidup

Manhwa Leviathan (juga dikenal sebagai Deep Sea Water) karya Lee Gyun-tak dan Noh Mi-young menyajikan dunia di mana daratan telah tenggelam sepenuhnya. Manusia hidup di kapal-kapal raksasa dan harus berperang melawan monster laut karnivora yang mendominasi lautan. Di sini, Leviathan kembali ke fungsi aslinya sebagai predator puncak yang harus dihadapi manusia untuk bertahan hidup, dengan gaya visual yang menekankan keputusasaan dan kekerasan. Dalam anime seperti Fullmetal Alchemist atau Digimon, Leviathan sering kali dipersonifikasikan sebagai representasi dari dosa Iri Hati (Envy), menghubungkan monster fisik dengan kelemahan karakter moral manusia.

Kategori Media Contoh Manifestasi Peran dan Karakteristik
Video Game Subnautica Klasifikasi organisme ukuran raksasa (Predator & Herbivora).
Video Game Final Fantasy Eikon/Summon elemen air dengan serangan Tsunami.
Manhwa Leviathan (Deep Sea Water) Predator laut dalam dunia pasca-apokaliptik.
TV Series Supernatural Makhluk purba yang diciptakan sebelum malaikat dan manusia.
Anime Digimon (Leviamon) Salah satu dari Tujuh Raja Iblis, mewakili dosa Iri Hati.

Sintesis dan Kesimpulan: Keabadian sang Monster

Evolusi Leviathan dari naga laut mitologis menjadi struktur negara absolut, dan akhirnya menjadi subjek kritik budaya, mencerminkan perjalanan kesadaran manusia dalam menghadapi kekuatan besar. Leviathan bukan sekadar makhluk; ia adalah cermin dari ketakutan kita terhadap apa yang tidak bisa kita kendalikan dan kekaguman kita terhadap apa yang bisa kita bangun secara kolektif.

Secara filosofis, keberadaan Leviathan mengajarkan tentang keseimbangan yang rapuh antara keamanan dan kebebasan. Jika kita memberikan terlalu banyak kekuasaan pada “Leviathan” (negara), kita berisiko tertelan oleh tiraninya. Namun, jika kita menolak keberadaannya sama sekali, kita terancam kembali ke “Keadaan Alamiah” yang penuh kekacauan. Fenomena Leviathan dalam budaya populer saat ini terus mengingatkan kita bahwa di kedalaman lautan atau di koridor kekuasaan, selalu ada “monster” yang harus kita kelola—baik melalui hukum, iman, maupun keberanian individu.

Ulasan lengkap ini menunjukkan bahwa Leviathan tetap menjadi salah satu simbol paling fleksibel dalam leksikon manusia. Ia adalah pengingat akan kemahakuasaan Tuhan, penjamin perdamaian sipil, predator genetik, bos permainan video yang tangguh, dan yang paling penting, representasi dari sistem-sistem besar yang mendefinisikan batas-batas kehidupan kita. Memahami Leviathan berarti memahami bagaimana manusia berupaya memberi nama pada ketakutan mereka agar mereka bisa hidup berdampingan dengannya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 + 1 =
Powered by MathCaptcha