Kehidupan, karya, dan pemikiran Abū ʿAlī al-Ḥasan ibn al-Ḥasan ibn al-Haytham (sekitar 965 – 1040 M), dikenal di dunia Barat dengan nama Latinnya, Alhazen, sosok polimatik dari Era Keemasan Islam ini sering dijuluki “Bapak Optik Modern” karena kontribusinya yang revolusioner terhadap sains penglihatan dan cahaya. Namun, warisan intelektualnya melampaui satu bidang spesifik. Lebih dari sekadar penemu, Ibn al-Haytham adalah seorang arsitek metodologi ilmiah yang merevolusi cara para ilmuwan berinteraksi dengan pengetahuan, menempatkan observasi dan eksperimentasi sebagai pusat dari penyelidikan ilmiah.

Laporan ini berargumen bahwa kontribusi monumental Ibn al-Haytham tidak hanya terletak pada penemuan-penemuan spesifiknya, melainkan pada pergeseran epistemologis fundamental yang ia usung. Melalui perpaduan unik antara eksperimentasi, penalaran matematis, dan kritik radikal terhadap otoritas, ia meletakkan fondasi bagi metodologi ilmiah modern, menjadikannya jembatan intelektual yang krusial antara sains kuno dan revolusi ilmiah di Eropa. Pendekatannya yang berbasis bukti secara sistematis menantang tradisi spekulatif yang telah mengakar selama berabad-abad, membuka jalan bagi sains empiris yang menjadi ciri khas dunia modern.

Kisah Hidup: Jalan dari Jabatan Publik Menuju Penemuan Ilmiah

Awal Kehidupan dan Perjalanan Intelektual

Lahir di Basra, yang saat itu merupakan bagian dari Emirat Buyid di Irak, sekitar tahun 965 M, Ibn al-Haytham memulai karier awalnya sebagai seorang vizier atau pejabat publik di tanah kelahirannya. Dia dikenal karena pengetahuannya yang mendalam tentang matematika terapan, yang terbukti dari rencananya untuk meregulasi aliran Sungai Nil. Namun, selama masa mudanya, ia merasa kecewa dengan berbagai pandangan agama yang saling bertentangan dan memutuskan untuk meninggalkan jabatan administrasinya demi mendedikasikan hidupnya untuk mengejar ilmu pengetahuan murni. Reputasinya yang luar biasa di bidang matematika dan fisika segera menyebar hingga menarik perhatian Al-Hakim bi-Amr Allah, Khalifah Fatimiyah di Kairo, yang kemudian mengundangnya ke Mesir.

Insiden Sungai Nil dan Konsekuensi Historisnya

Atas undangan Khalifah, Ibn al-Haytham tiba di Kairo, yang saat itu menjadi pusat intelektual. Dia ditugaskan untuk mengimplementasikan sebuah proyek besar untuk meregulasi banjir Sungai Nil. Setelah melakukan kunjungan lapangan dan inspeksi menyeluruh di daerah Aswan, ia menyimpulkan bahwa proyek ambisius tersebut tidak mungkin dilakukan dengan teknologi pada masanya. Mengetahui sifat Khalifah Al-Hakim yang terkenal eksentrik dan kejam, Ibn al-Haytham khawatir akan nyawanya dan membuat keputusan yang berani untuk berpura-pura gila. Tindakan ini berhasil menyelamatkannya dari kemarahan sang Khalifah, tetapi membawanya ke dalam tahanan rumah selama sekitar 10 tahun, dari tahun 1011 hingga 1021 M.

Ironisnya, periode penahanan ini menjadi momen paling krusial dalam karier intelektualnya. Kehilangan kebebasan fisik dan pekerjaan publiknya justru memberinya waktu dan isolasi yang dibutuhkan untuk fokus secara intensif pada penelitiannya. Dalam kondisi inilah, ia menulis salah satu mahakarya terbesarnya,  Kitāb al-Manāẓir. Kondisi yang mungkin dianggap sebagai puncak penderitaan pribadi justru menjadi katalisator bagi terobosan intelektual yang luar biasa. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana krisis pribadi, ketika dihadapi dengan ketekunan, dapat menjadi prasyarat untuk pencapaian ilmiah yang paling signifikan.

Kehidupan Akhir di Kairo

Ibn al-Haytham baru dibebaskan dari tahanan rumah setelah kematian Al-Hakim pada tahun 1021 M. Ia menghabiskan sisa hidupnya di Kairo, di dekat Masjid Al-Azhar, mencari nafkah dengan menyalin naskah dan mengajar. Selama periode ini, ia terus menghasilkan banyak karya penting di berbagai bidang ilmu. Ibn al-Haytham meninggal di Kairo sekitar tahun 1040 M, pada usia sekitar 75 tahun. Ia meninggalkan warisan yang luar biasa, dengan lebih dari 200 karya, di mana setidaknya 50 di antaranya masih bertahan hingga saat ini.

Mahakarya Revolusioner: Kitāb al-Manāẓir dan Revolusi Optik

Kitāb al-Manāẓir (bahasa Arab: كتاب المناظر), yang umumnya diterjemahkan sebagai Book of Optics atau Book of Vision, adalah sebuah risalah tujuh jilid yang merupakan inti dari warisan intelektual Ibn al-Haytham. Ditulis selama periode 1011-1021 M, karya ini tidak hanya mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah lama diyakini, tetapi juga membangun sebuah kerangka kerja baru yang menjadi fondasi bagi optik modern.

Menentang Teori Kuno: Dari Ekstramisi ke Intromisi

Sebelum Ibn al-Haytham, teori penglihatan yang dominan didasarkan pada model yang diajukan oleh para matematikawan Yunani, seperti Euclid dan Ptolemy, yang dikenal sebagai teori ekstramisi atau emisi. Teori ini menyatakan bahwa penglihatan terjadi ketika mata memancarkan sinar atau radiasi ke objek yang kemudian ‘menerima’ informasi visual.

Ibn al-Haytham secara sistematis menolak teori ini melalui argumen logis dan bukti eksperimental yang tak terbantahkan. Ia menunjukkan bahwa jika mata memancarkan sinar, maka mata tidak akan terasa sakit saat menatap sumber cahaya yang sangat terang, seperti matahari. Selain itu, teori ekstramisi tidak dapat menjelaskan mengapa kita tidak dapat melihat di ruang yang benar-benar gelap. Sebaliknya, Ibn al-Haytham mengusulkan teori intromisi yang revolusioner, yang menyatakan bahwa penglihatan terjadi ketika cahaya memantul dari suatu objek dan kemudian masuk ke mata. Pergeseran paradigma ini adalah salah satu yang paling fundamental dalam sejarah sains.

Tabel 2 berikut mengilustrasikan perbedaan mendasar antara kedua teori ini dan menyoroti peran sentral verifikasi empiris dalam pendekatan Ibn al-Haytham.

Karakteristik Teori Ekstramisi (Euclid, Ptolemy) Teori Intromisi (Ibn al-Haytham)
Mekanisme Penglihatan Mata memancarkan sinar ke objek. Cahaya memantul dari objek dan masuk ke mata.
Sumber Kebenaran Logika spekulatif dan tradisi filosofis. Verifikasi eksperimental dan observasi sistematis.
Penjelasan Fenomena Tidak dapat menjelaskan mengapa mata sakit saat melihat cahaya terang atau mengapa penglihatan tidak mungkin di ruang gelap. Secara akurat menjelaskan fenomena optik sehari-hari dan konsisten dengan hasil eksperimen.
Warisan Mendominasi pemikiran ilmiah selama berabad-abad. Meletakkan fondasi bagi optik modern, studi anatomi mata, dan psikologi visual.

Eksperimen Cahaya: Perambatan, Refleksi, dan Refraksi

Untuk membuktikan teorinya, Ibn al-Haytham melakukan eksperimen yang cermat dan sistematis. Ia adalah ilmuwan pertama yang secara sistematis menggunakan dan menganalisis fenomena camera obscura (“ruang gelap,” yang ia sebut Albeit Almuzlim) sebagai alat eksperimental. Melalui eksperimennya dengan lubang jarum, ia secara visual mendemonstrasikan bahwa cahaya merambat dalam garis lurus. Ia mengamati bahwa gambar dari dunia luar yang terproyeksikan di dinding dalam ruangan gelap terbalik, sebuah bukti langsung dari perambatan cahaya lurus. Penemuan ini menjadi dasar bagi teknologi fotografi modern.

Selain itu, ia juga merumuskan hukum refleksi dengan akurasi, membuktikan bahwa sudut datang cahaya sama dengan sudut pantulnya. Dalam studinya tentang refraksi, ia mengamati bagaimana cahaya membengkok saat melewati medium yang berbeda, seperti udara, air, dan kaca. Ia dengan benar menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi karena kecepatan cahaya melambat saat memasuki medium yang lebih padat. Wawasannya bahkan mengantisipasi apa yang kemudian dikenal sebagai Prinsip Waktu Tersingkat Fermat, di mana ia menyatakan bahwa cahaya selalu mengambil jalur yang paling “mudah dan cepat”.

Anatomi Mata dan Sisi Kognitif Penglihatan

Ibn al-Haytham tidak hanya melihat mata sebagai organ fisik yang pasif, tetapi sebagai sebuah sistem optik yang terintegrasi. Ia melakukan studi mendalam tentang anatomi mata dan memberikan nama pada beberapa bagian mata yang masih digunakan hingga saat ini, seperti lensa, retina, dan kornea.

Pemikirannya melampaui fisika. Ia berpendapat bahwa penglihatan tidak hanya terjadi di mata, tetapi juga di otak. Menurutnya, penglihatan bersifat  subjektif dan dipengaruhi oleh pengalaman pribadi. Ia mengemukakan bahwa proses visual melibatkan analisis kognitif yang mengintegrasikan  ingatan, penalaran, dan persepsi untuk membentuk citra yang koheren. Pendekatan ini adalah lompatan besar dari teori kuno yang memandang penglihatan sebagai proses mekanis belaka. Dengan demikian, Ibn al-Haytham dapat dianggap sebagai salah satu pelopor awal dalam apa yang sekarang dikenal sebagai  psikologi visual dan neuroscience. Ia meletakkan dasar bagi pemahaman modern bahwa penglihatan adalah pengalaman yang kompleks, melibatkan baik aspek fisik maupun mental.

Metodologi dan Pemikiran Ilmiah: Fondasi Empirisme dan Epistemologi

Bagian terpenting dari warisan Ibn al-Haytham adalah pendekatannya yang radikal terhadap ilmu pengetahuan, yang membentuk cetak biru untuk metodologi modern.

Kritik terhadap Otoritas: “Musuh dari Semua yang Ia Baca”

Ibn al-Haytham tidak hanya mengoreksi kesalahan-kesalahan para pendahulunya, tetapi juga menanamkan budaya skeptisisme yang sehat. Dalam karyanya yang berpengaruh, al-Shukūk ʿalā Baṭlamyūs (Doubts Concerning Ptolemy), ia secara berani mengkritik inkonsistensi yang ia temukan dalam karya-karya Ptolemy yang monumental, termasuk Almagest, Planetary Hypotheses, dan Optics.

Kritik ini bukan sekadar sanggahan teknis, melainkan pernyataan filosofis tentang sumber kebenaran. Ibn al-Haytham sendiri menyatakan, “Tugas seseorang yang mempelajari tulisan-tulisan ilmuwan, jika tujuannya adalah untuk belajar kebenaran, adalah menjadikan dirinya musuh dari semua yang ia baca.” Ia menekankan bahwa kebenaran harus dicari demi kebenaran itu sendiri, dibuktikan dengan demonstrasi dan bukti, bukan berdasarkan asumsi atau otoritas manusia. Ia memandang model ilmiah harus mencerminkan realitas (pendekatan  realis), bukan sekadar menjadi alat yang nyaman untuk perhitungan (pendekatan instrumentalis). Pergeseran ini merupakan inti dari revolusi epistemologisnya: menggantikan dogmatisme dengan empirisme kritis, yang menuntut verifikasi dan penalaran yang ketat di atas kepercayaan buta pada tradisi.

Integrasi Sains Fisik dan Matematika

Ibn al-Haytham adalah salah satu ilmuwan pertama yang secara eksplisit menggabungkan sains fisik (natural sciences) dengan matematika (mathematical sciences) dalam penelitiannya. Baginya, matematika adalah  burhan (alat verifikasi) untuk fenomena yang diobservasi. Ia percaya bahwa sebuah teori ilmiah harus memiliki dasar matematis yang kokoh untuk dapat diakui kebenarannya.

Masalah yang kini dikenal sebagai Alhazen’s Problem, yang ia bahas secara rinci dalam Kitāb al-Manāẓir, adalah contoh sempurna dari integrasi ini. Masalahnya bersifat  fisik: bagaimana menentukan titik pada cermin cembung atau cekung di mana sebuah sinar cahaya akan memantul dari suatu objek ke mata pengamat? Solusinya, bagaimanapun, adalah matematis dan sangat canggih: ia menyelesaikannya dengan menggunakan metode irisan kerucut (conic sections), sebuah pendekatan yang melampaui apa yang telah dicapai oleh para pendahulunya. Hal ini menempatkannya sebagai seorang  fisiko-matematikawan, sosok yang menghubungkan abstraksi matematis dengan fenomena fisik. Pendekatan ini menjadi cetak biru bagi fisikawan modern seperti Galileo dan Newton, yang juga membangun ilmu pengetahuan di atas fondasi kuantitatif yang sama.

Fondasi Metodologi Ilmiah Modern

Para sejarawan sains sepakat bahwa Ibn al-Haytham adalah pelopor metodologi ilmiah modern, yang ia kembangkan berabad-abad sebelum ilmuwan Renaisans. Metodenya, yang dikenal sebagai  al-istiqrāʾ wa al-tajribah (metode induktif dan eksperimental), secara konsisten mengikuti empat tahapan kunci dalam penelitiannya :

  1. Observasi: Mengamati fenomena fisik dengan cermat, seperti perambatan cahaya di ruangan gelap.
  2. Hipotesis: Merumuskan penjelasan teoretis untuk fenomena yang diamati.
  3. Eksperimen: Merancang dan melakukan percobaan terkontrol untuk menguji dan memverifikasi hipotesis.
  4. Kesimpulan: Menarik kesimpulan berdasarkan hasil eksperimen dan penalaran logis, yang kemudian dapat diuji kembali.

Perbedaan kunci antara metodologi Ibn al-Haytham dan pendahulunya terletak pada tujuan eksperimen. Bagi banyak ilmuwan kuno, eksperimen hanya digunakan untuk observasi atau demonstrasi. Namun, bagi Ibn al-Haytham, eksperimen adalah alat esensial untuk memverifikasi atau menyanggah hipotesis. Pergeseran kritis ini secara efektif mengubah sains dari ranah spekulasi filosofis menjadi disiplin ilmu yang ketat dan berbasis empirisme.

Wawasan Filosofis: Sains dan Teologi

Meskipun Ibn al-Haytham menekankan empirisme, epistemologinya tetap berakar kuat dalam kerangka pemikiran Islam. Ia percaya bahwa hukum alam (sunnatullah) adalah refleksi dari hukum Tuhan. Ia berpendapat bahwa kebenaran yang dicapai melalui sains dan akal tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran yang diungkapkan dalam ajaran agama, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, Sang Pencipta. Ini memberikan landasan filosofis yang kokoh untuk pengejaran ilmu pengetahuan, melihatnya bukan sebagai kegiatan yang terpisah dari spiritualitas, tetapi sebagai sarana untuk memahami penciptaan Tuhan.

Spektrum Pengetahuan: Kontribusi di Luar Optik

Meskipun dikenal sebagai ahli optik, Ibn al-Haytham adalah seorang polimatik sejati dengan kontribusi yang meluas ke berbagai disiplin ilmu.

Matematika

Dalam matematika, ia memberikan kontribusi signifikan dalam bidang geometri dan teori bilangan. Dalam geometri, ia mengkaji ulang  Postulat Paralel Euclid, sebuah masalah yang tak terpecahkan selama berabad-abad, dan memperkenalkan konsep gerak ke dalam geometri untuk menyelesaikannya. Ia juga mempelajari “bulan sabit Alhazen” dan mencoba memecahkan masalah kuno tentang kuadratur lingkaran. Dalam teori bilangan, ia bekerja pada  angka sempurna dan mengantisipasi konsep-konsep modern seperti Teorema Wilson dan Teorema Sisa Cina dalam pemecahan masalah kongruensi.

Astronomi

Karya-karya astronominya, seperti Hayʾat al-ʿālam (On the Configuration of the World) dan al-Shukūk ʿalā Baṭlamyūs (Doubts concerning Ptolemy), menunjukkan pendekatan kritisnya terhadap model-model Ptolemy yang telah lama diyakini. Ia juga memberikan penjelasan yang benar secara optik untuk fenomena atmosfer seperti  senja dan pelangi. Berdasarkan pengamatannya terhadap fenomena senja, ia bahkan memperkirakan kedalaman atmosfer bumi sekitar 15 km. Selain itu, ia menjelaskan ilusi optik matahari dan bulan yang tampak lebih besar saat berada di cakrawala sebagai fenomena psikologis, bukan fisik.

Tabel 1 berikut memberikan ringkasan kontribusi utamanya di berbagai bidang, menyoroti luasnya jangkauan intelektualnya.

Bidang Ilmu Karya/Konsep Kunci Signifikansi
Optik Kitāb al-Manāẓir (7 jilid), Teori Intromisi, Kamera Obscura, Eksperimen Refleksi & Refraksi. Menggantikan teori kuno dengan model yang benar dan berbasis bukti, meletakkan fondasi optik modern.
Matematika Alhazen’s Problem, Studi Teori Bilangan, Geometri (bulan sabit Alhazen, postulat paralel). Mengintegrasikan matematika canggih (irisan kerucut) untuk memecahkan masalah fisik dan mengantisipasi teorema-teorema modern.
Astronomi al-Shukūk ʿalā Baṭlamyūs, penjelasan fenomena atmosfer (senja, pelangi), ilusi optik. Menantang otoritas Ptolemy, mengaplikasikan optik untuk menjelaskan fenomena kosmik secara akurat.
Kedokteran & Psikologi Studi Anatomi Mata, Penglihatan sebagai Proses Kognitif. Memberi nama pada bagian-bagian mata (lensa, retina), dan mengidentifikasi penglihatan sebagai proses yang terjadi di otak, bukan hanya di mata.

Warisan Abadi: Dampak pada Sains Global dan Pengakuan Modern

Pengaruh di Era Renaisans Eropa

Warisan intelektual Ibn al-Haytham mengalir ke Eropa melalui terjemahan Latin dari Kitāb al-Manāẓir, yang dikenal sebagai Opticae Thesaurus. Karyanya menjadi referensi utama bagi para intelektual abad pertengahan dan Renaisans, yang menjadikannya sebagai fondasi untuk sains optik di dunia Barat.

Para sejarawan mencatat keterkaitan langsung antara pemikiran Ibn al-Haytham dengan para sarjana terkemuka Eropa. Ilmuwan Inggris, Roger Bacon, sangat dipengaruhi oleh karyanya di bidang optik dan secara eksplisit menerapkan metodologi eksperimental yang diajarkan oleh Ibn al-Haytham. Demikian pula, Witelo menerjemahkan dan memperluas karya-karyanya, sementara Johannes Kepler menggunakan studinya tentang anatomi mata untuk menyusun teorinya sendiri. Bahkan, karya-karyanya yang berkaitan dengan hubungan antara aljabar dan geometri diyakini telah memengaruhi pemikiran René Descartes dan Isaac Newton.

Tabel 3 berikut menunjukkan hubungan historis antara Ibn al-Haytham dan para ilmuwan Renaisans, menyoroti perannya yang sering diabaikan sebagai jembatan intelektual yang vital.

Ilmuwan Eropa Bidang Pengaruh Contoh Pengaruh
Roger Bacon (c. 1214–1294 M) Optik, Metode Ilmiah Mengembangkan gagasan tentang kaca pembesar dan eksperimentasi sistematis berdasarkan karya Ibn al-Haytham.
Witelo (c. 1230–?) Optik, Matematika Menerjemahkan dan mengomentari karya Ibn al-Haytham, membantu transmisi ilmunya ke Eropa.
Johannes Kepler (1571–1630 M) Optik, Astronomi Membangun teori penglihatan dan refraksi di atas fondasi yang diletakkan oleh Ibn al-Haytham.
René Descartes (1596–1650 M) Geometri Analitik Karyanya tentang hubungan antara aljabar dan geometri terinspirasi oleh studi Ibn al-Haytham tentang irisan kerucut.
Isaac Newton (1643–1727 M) Fisika, Optik Hukum inersia dan prinsip waktu tersingkatnya memiliki akar konseptual dalam pemikiran Ibn al-Haytham.

Pengakuan dan Relevansi di Abad Modern

Hingga saat ini, Ibn al-Haytham diakui sebagai “Bapak Optik Modern” dan, bagi banyak sejarawan, sebagai “Ilmuwan Sejati Pertama” di dunia. Keberanian intelektualnya dalam menentang otoritas dan penekanannya pada verifikasi empiris telah menjadi standar emas dalam praktik ilmiah.

Prinsip-prinsip yang ia temukan, seperti perambatan cahaya lurus dan mekanisme camera obscura, menjadi dasar bagi pengembangan teknologi optik modern yang esensial, seperti kamera, teleskop, mikroskop, dan teknologi pencitraan digital. Warisannya tidak hanya bersifat historis, tetapi juga secara langsung membentuk dunia teknologi dan ilmiah yang kita huni saat ini, menjadikannya figur yang relevansinya terus berlanjut hingga lebih dari seribu tahun setelah kematiannya.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, laporan ini menyintesis temuan-temuan utama, menegaskan kembali bahwa warisan Ibn al-Haytham yang paling abadi bukanlah sekadar daftar penemuan, melainkan pergeseran mendasar dalam epistemologi sains. Ia menggeser sains dari spekulasi teoretis yang didominasi oleh tradisi Yunani ke verifikasi empiris yang ketat. Ia adalah sosok yang dengan berani menggeser sains dari penghormatan buta terhadap otoritas ke skeptisisme kritis yang didasarkan pada bukti dan penalaran. Lebih dari itu, ia memimpin transisi dari pemisahan ilmu ke integrasi multidisiplin, di mana fisika, matematika, astronomi, dan bahkan psikologi saling terhubung untuk menjelaskan fenomena alam semesta secara lebih holistik.

Dengan demikian, Ibn al-Haytham tidak hanya sekadar mengoreksi kesalahan optik; ia menyediakan sebuah blueprint yang mendefinisikan kembali cara ilmu pengetahuan seharusnya dipraktikkan. Ia berdiri sebagai salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah sains, seorang arsitek sejati dari metode ilmiah yang kita kenal dan gunakan hingga hari ini. Pemikirannya yang mendalam, pendekatannya yang berani, dan komitmennya pada kebenaran menjadikannya teladan bagi para ilmuwan di sepanjang zaman, baik di masanya maupun di masa depan.

 

Daftar Pustaka :

  1. Profil Singkat Ibnu Haitsam: Filsuf dan Ilmuwan Optik Basrah – Tirto.id, accessed on September 18, 2025, https://tirto.id/profil-singkat-ibnu-haitsam-filsuf-dan-ilmuwan-optik-basrah-gyME
  2. Who Was Ibn al-Haytham – 1001 Inventions, accessed on September 18, 2025, https://www.1001inventions.com/ibnh-who/
  3. Who was Ibn al-Haytham, accessed on September 18, 2025, https://www.ibnalhaytham.com/discover/who-was-ibn-al-haytham/
  4. Ibn al-Haytham (965 – 1039) – Biography – MacTutor History of Mathematics, accessed on September 18, 2025, https://mathshistory.st-andrews.ac.uk/Biographies/Al-Haytham/
  5. Ibn Al-Haytham: Father of Modern Optics – PMC – PubMed Central, accessed on September 18, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6074172/
  6. Ibn al-Haytham (Alhazen) – Father of Optics – History of Islam, accessed on September 18, 2025, https://historyofislam.com/ibn-al-haytham-alhazen-father-of-optics/
  7. Ibn al-Haytham Founds Experimental Physics, Optics, and the Science of Vision, accessed on September 18, 2025, https://www.historyofinformation.com/detail.php?id=2047
  8. Kitāb al-manāẓir | work by Ibn al-Haytham – Britannica, accessed on September 18, 2025, https://www.britannica.com/topic/Kitab-al-manazir
  9. INSPIRASI ILMUAN MUSLIM FISIKA (IBNU AL-HAITHAM) DALAM MENARIK MINAT BELAJAR SISWA PADA MATERI OPTIKA, accessed on September 18, 2025, https://digilib.uinkhas.ac.id/1711/2/Buku%20IPA-229-244.pdf
  10. pmc.ncbi.nlm.nih.gov, accessed on September 18, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC6074172/#:~:text=Scientific%20Method&text=Ibn%20al%2DHaytham%20was%20quite,those%20of%20Ptolemy%20and%20Euclid.
  11. The First Scientist’s Guide to Truth: Alhazen on Critical Thinking – The Marginalian, accessed on September 18, 2025, https://www.themarginalian.org/2023/11/14/alhazen-truth/
  12. Abu Ali al-Hassan ibn al-Haytham’s Optical Insights | AramcoWorld, accessed on September 18, 2025, https://www.aramcoworld.com/articles/2023/ibn-al-haytham-testing-is-believing
  13. The first steps for learning optics: Ibn Sahl’s, Al-Haytham’s and Young’s works on refraction as typical examples – SPIE Digital Library, accessed on September 18, 2025, https://www.spiedigitallibrary.org/conference-proceedings-of-spie/9665/1/The-first-steps-for-learning-optics–Ibn-Sahls-Al/10.1117/12.2207465.full
  14. IBN AL-‐HAYTHAM THE MAN WHO DISCOVERED HOW WE SEE, accessed on September 18, 2025, https://www.ibnalhaytham.com/wp-content/uploads/2015/10/iah-workshops.pdf
  15. Ibn al-Haytham’s optical science – International Journal of Unani and Integrative Medicine, accessed on September 18, 2025, https://www.unanijournal.com/articles/350/9-2-17-570.pdf
  16. Ibn al-Haytham and the Apparatus for the Observation of the Reflection of Light, accessed on September 18, 2025, https://www.fransvanschooten.nl/alhacen.htm
  17. Ibn al-Haytham’s scientific method | The UNESCO Courier, accessed on September 18, 2025, https://courier.unesco.org/en/articles/ibn-al-haythams-scientific-method
  18. ibn al-haitham (965 – 1039) – University of St Andrews, accessed on September 18, 2025, https://mathshistory.st-andrews.ac.uk/Strick/al-haitham.pdf
  19. KONTRIBUSI ILMUWAN MUSLIM DALAM PERKEMBANGAN SAINS MODERN – Jurnal UIN Walisongo, accessed on September 18, 2025, https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/2033/pdf
  20. Value in Medieval Islamic Science: Ptolemy and Ibn al-Haytham – Research Explorer, accessed on September 18, 2025, https://research.manchester.ac.uk/en/publications/value-in-medieval-islamic-science-ptolemy-and-ibn-al-haytham
  21. The remarkable Ibn al-Haytham – Cambridge University Press, accessed on September 18, 2025, https://www.cambridge.org/core/services/aop-cambridge-core/content/view/B5421EA98632373D96CE494BDFC6F493/S0025557200190862a.pdf/the-remarkable-ibn-al-haytham.pdf
  22. Ibn al-Haytham | Arab Scientist, Mathematician & Optics Pioneer | Britannica, accessed on September 18, 2025, https://www.britannica.com/biography/Ibn-al-Haytham
  23. Ibn al-Haitham and the Development of Optical Instruments in Islamic Astronomy: Foundations of Modern Islamic Astronomy | AL – AFAQ : Jurnal Ilmu Falak dan Astronomi – Berugak Jurnal UIN Mataram, accessed on September 18, 2025, https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/afaq/article/view/11357
  24. IBNU AL-HAITSAM: SEJARAH PENEMUAN OPTIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP SAINS BARAT MODERN Halaman 2 – Kompasiana.com, accessed on September 18, 2025, https://www.kompasiana.com/zyahelqonita/551b566a8133116e0c9de61c/ibnu-al-haitsam-sejarah-penemuan-optik-dan-pengaruhnya-terhadap-sains-barat-modern?page=2&page_images=1

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + 9 =
Powered by MathCaptcha