Laut Cina Selatan (LCS), sebuah kawasan yang telah menjadi episentrum ketegangan geopolitik global. Konflik di wilayah ini didorong oleh tumpang tindih klaim kedaulatan yang dipicu oleh kekayaan sumber daya alam dan posisinya sebagai jalur perdagangan maritim yang sangat vital. Tulisan ini menguraikan empat pilar utama yang membentuk kompleksitas LCS: potensi ekonomi dan strategisnya, landasan hukum dan klaim, dinamika militerisasi, serta peran dan kedudukan Indonesia di tengah persaingan ini.

LCS menopang hampir sepertiga dari seluruh perdagangan maritim global, dengan nilai tahunan yang mencapai triliunan dolar. Selain itu, kawasan ini menyimpan cadangan minyak dan gas substansial yang menjadi incaran banyak negara. Namun, potensi ini dibayangi oleh sengketa teritorial, terutama klaim “Sembilan Garis Putus-Putus” Tiongkok yang tidak memiliki dasar hukum yang diakui secara internasional. Meskipun Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) pada tahun 2016 telah menyatakan klaim Tiongkok tidak sah, Beijing secara tegas menolak putusan tersebut, sebuah sikap yang mengancam tatanan hukum internasional.

Konflik ini telah memicu militerisasi yang masif, dengan Tiongkok membangun pangkalan militer di pulau-pulau buatan, yang pada gilirannya memicu dilema keamanan dan perlombaan senjata. Kehadiran kekuatan ekstra-regional, terutama Amerika Serikat, semakin mengubah konflik regional menjadi arena persaingan kekuatan global, yang memperumit upaya diplomatik untuk mencapai stabilitas.

Indonesia, meskipun bukan negara pengklaim teritorial, menghadapi tantangan langsung di Laut Natuna Utara. Respons Indonesia mencerminkan pendekatan ganda: diplomasi tegas dan penyiagaan kekuatan militer untuk mempertahankan kedaulatan. Tulisan ini menyimpulkan bahwa stabilitas di LCS hanya dapat tercapai melalui penghormatan terhadap hukum internasional, transparansi, dan komitmen multilateral dari semua pihak yang terlibat, termasuk Tiongkok, ASEAN, dan kekuatan ekstra-regional.

Pendahuluan: Laut Cina Selatan sebagai Episentrum Geopolitik Global

Laut Cina Selatan (LCS) telah lama diidentifikasi sebagai salah satu titik panas geopolitik paling penting di dunia. Kawasan perairan ini bukan hanya sekadar jalur laut, tetapi juga merupakan persimpangan kepentingan ekonomi, keamanan, dan politik bagi banyak negara, baik yang berada di kawasan maupun di luarnya. Sengketa di LCS bersifat kompleks dan berlapis, melibatkan klaim kedaulatan yang tumpang tindih, persaingan untuk menguasai sumber daya alam yang melimpah, dan dinamika kekuatan militer yang terus meningkat. Analisis ini akan mengupas secara sistematis dimensi-dimensi tersebut, menyoroti bagaimana setiap pilar saling mempengaruhi dan membentuk lanskap strategis di LCS, serta bagaimana posisi dan peran Indonesia di dalamnya.

Pilar Pertama: Potensi Ekonomi dan Strategis LCS

Kedudukan strategis LCS tidak dapat dipisahkan dari nilai ekonomi dan sumber daya alam yang dikandungnya. Kawasan ini merupakan tulang punggung ekonomi global yang tak tergantikan.

Jalur Perdagangan Global yang Tak Tergantikan

Laut Cina Selatan berfungsi sebagai koridor maritim vital yang menghubungkan perekonomian Asia Timur, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Eropa. Volume lalu lintas pelayaran yang melintasi perairannya sangat masif, menopang hampir sepertiga dari seluruh perdagangan maritim global. Tulisan yang berbeda memberikan estimasi nilai perdagangan yang melintasi LCS per tahun dengan angka yang bervariasi, dari $3 triliun hingga  $5,3 triliun.

Disparitas dalam estimasi nilai perdagangan ini, terlepas dari sumber datanya, secara kolektif menegaskan nilai strategis LCS yang tak terbantahkan. Perbedaan angka tersebut tidak mengurangi bobot argumen, melainkan justru memperkuatnya. Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari metodologi yang digunakan, nilai ekonomi yang dipertaruhkan sangatlah besar. Disparitas ini juga dapat mengindikasikan kurangnya data terstandardisasi di kawasan ini, yang justru menambah kerumitan dalam setiap keputusan geopolitik yang diambil. Nilai ekonomi yang luar biasa ini menjadikan LCS sebagai faktor utama dalam agenda politik luar negeri setiap negara, karena gangguan sekecil apa pun di jalur ini dapat memberikan dampak langsung pada perekonomian global. Jepang, sebagai negara kepulauan yang sangat bergantung pada impor energi dan bahan baku, melihat LCS sebagai jalur perdagangan vital yang sangat rentan terhadap gangguan, sehingga stabilitas di kawasan ini sangat penting bagi keamanan nasionalnya.

Kekayaan Sumber Daya Alam yang Diperebutkan

Di samping peran perdagangannya, LCS kaya akan sumber daya alam yang menjadi pemicu utama sengketa. Kawasan ini menyimpan cadangan minyak dan gas alam yang signifikan. Berdasarkan estimasi dari U.S. Energy Information Agency, LCS memiliki cadangan terbukti dan mungkin sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam. Meskipun sebagian besar cadangan ini terletak di area yang tidak terlalu dipersengketakan, klaim yang tumpang tindih atas pulau dan terumbu karang yang kaya sumber daya tetap menjadi sumber ketegangan. Tiongkok, sebagai salah satu konsumen minyak terbesar di dunia, memperkirakan cadangan hidrokarbon di bawah laut jauh lebih tinggi daripada estimasi Amerika Serikat, meskipun jumlah tersebut tetap relatif kecil dibandingkan dengan total permintaan Tiongkok.

Klaim Tiongkok atas cadangan yang “jauh lebih tinggi” daripada estimasi yang dikonfirmasi oleh lembaga AS menunjukkan bahwa motivasi ekonomi di LCS tidak hanya didasarkan pada cadangan yang telah terbukti, tetapi juga pada spekulasi dan ambisi nasional. Dengan melebih-lebihkan potensi sumber daya, Tiongkok dapat membenarkan klaim ekspansifnya kepada publik domestiknya yang semakin nasionalis, yang mengharapkan pemerintahnya untuk secara tegas melindungi kepentingan negara. Klaim yang dilebih-lebihkan ini berfungsi sebagai alat geopolitik untuk menekan negara lain agar berkolaborasi atau mundur dari wilayah yang dipersengketakan. Oleh karena itu, konflik ini bukan hanya tentang siapa yang menguasai sumber daya yang sudah diketahui, tetapi juga tentang kontrol atas potensi sumber daya yang belum dieksplorasi.

Selain minyak dan gas, LCS juga merupakan sumber daya perikanan yang vital, menopang mata pencarian bagi perikanan skala kecil (artisanal) di kawasan. Kekayaan ini menambah kompleksitas sengketa, di mana insiden-insiden yang melibatkan nelayan dan kapal penjaga pantai sering terjadi.

Tabel 1: Potensi Ekonomi Utama Laut Cina Selatan

Jenis Sumber Daya Estimasi Nilai & Keterangan Sumber
Perdagangan Maritim $3 triliun hingga $5,3 triliun per tahun, menyumbang hampir sepertiga perdagangan maritim global
Cadangan Minyak & Gas Estimasi AS: 11 miliar barel minyak & 190 triliun kaki kubik gas terbukti & mungkin
Cadangan Baru Tiongkok 100 juta ton ladang minyak yang baru ditemukan oleh CNOOC Ltd.

Pilar Kedua: Landasan Konflik, Klaim, dan Kerangka Hukum

Sengketa di LCS berakar pada tumpang tindih klaim teritorial yang saling bertentangan, yang diperumit oleh interpretasi yang berbeda terhadap hukum laut internasional.

Negara-negara Pengklaim dan Klaim Tumpang Tindih

Klaim teritorial di LCS melibatkan sejumlah negara dan wilayah, yaitu Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Taiwan juga memiliki klaim yang tumpang tindih dengan Tiongkok. Klaim ini berfokus pada gugusan pulau utama, yaitu Kepulauan Spratly dan Paracel. Penting untuk dicatat bahwa tidak semua klaim memiliki bobot atau agenda yang sama. Sebagai contoh, Brunei, meskipun merupakan negara pengklaim, adalah satu-satunya yang tidak menduduki fitur-fitur laut atau memiliki kehadiran militer di kawasan tersebut. Pendekatan Brunei yang lebih non-konfrontatif menunjukkan adanya gradasi dalam intensitas sengketa, yang sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan militer dan kebijakan luar negeri masing-masing negara.

Asal-Usul dan Ambiguitas Klaim “Sembilan Garis Putus-Putus” Tiongkok

Klaim “Sembilan Garis Putus-Putus” (Nine-Dash Line) adalah landasan utama klaim Tiongkok atas hampir seluruh wilayah LCS. Secara historis, klaim ini pertama kali muncul dalam peta Tiongkok pada tahun 1930-an sebagai respons terhadap klaim kolonial Prancis di kawasan tersebut. Peta awal menampilkan “sebelas garis putus-putus” dan kemudian dikurangi menjadi sembilan pada tahun 1952 setelah negosiasi dengan Vietnam.

Klaim ini memiliki sifat yang sangat ambigu. Tiongkok tidak pernah secara jelas mendefinisikan koordinat yang tepat dari garis tersebut, yang membuatnya tidak memiliki dasar hukum yang sah menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Ambiguitas ini bukanlah kelemahan, melainkan sebuah strategi yang disengaja. Dengan mempertahankan klaim yang tidak terdefinisi, Tiongkok dapat mempertahankan fleksibilitas dan menghindari komitmen hukum yang mengikat yang mungkin membatasi cakupan klaimnya. Alih-alih menjadi klaim hukum, garis ini berfungsi lebih sebagai alat politik dan propaganda domestik untuk menegaskan apa yang Tiongkok sebut sebagai “kedaulatan tak terbantahkan” atas LCS, sebuah istilah yang digunakan untuk meredam sentimen nasionalisme domestik.

Kerangka Hukum Internasional (UNCLOS) dan Putusan PCA 2016

UNCLOS 1982 adalah kerangka hukum internasional yang mengatur semua kegiatan maritim. Konvensi ini menetapkan hak-hak maritim suatu negara, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang membentang hingga 200 mil laut dari garis pantai.

Pada tahun 2013, Filipina mengajukan gugatan arbitrase terhadap Tiongkok ke Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag. Putusan yang dikeluarkan pada 12 Juli 2016 menjadi tonggak penting dalam sengketa ini. PCA menyimpulkan bahwa:

  1. Klaim Tiongkok atas “hak historis” di wilayah yang dikelilingi oleh Sembilan Garis Putus-Putus bertentangan dengan UNCLOS dan tidak memiliki dasar hukum.
  2. Tidak ada fitur laut yang diklaim Tiongkok, seperti terumbu karang dan karang, yang dapat menghasilkan ZEE 200 mil laut.
  3. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat.

Namun, Tiongkok menolak putusan tersebut secara tegas, menyebutnya sebagai “batal dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat” (null and void). Penolakan terang-terangan ini mengindikasikan krisis yang lebih dalam pada tatanan hukum internasional yang berbasis aturan. Penolakan ini menunjukkan bahwa bagi Tiongkok, kedaulatan dan kepentingan nasional berada di atas komitmen hukum internasional. Kurangnya mekanisme penegakan yang efektif dalam UNCLOS membuat putusan ini tidak memiliki kekuatan nyata, sehingga membiarkan politik kekuasaan untuk mendominasi. Hal ini menciptakan preseden berbahaya di mana negara-negara kuat dapat menolak putusan pengadilan internasional tanpa konsekuensi, yang mengikis relevansi prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan antarnegara dan mengarah pada ketidakstabilan regional dan global.

Tabel 2: Pihak Pengklaim dan Basis Klaim di Laut Cina Selatan

Pihak Pengklaim Klaim Teritorial Basis Klaim Utama
Tiongkok Hampir seluruh LCS (90%) Sembilan Garis Putus-Putus & klaim historis
Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Pulau, terumbu karang, dan ZEE UNCLOS 1982 & klaim historis
Taiwan Kepulauan Spratly & Paracel Eleven-Dash Line & klaim historis

Pilar Ketiga: Dinamika Geopolitik dan Militerisasi Kawasan

Sengketa di LCS telah melampaui ranah diplomasi dan hukum, berkembang menjadi arena persaingan geopolitik yang intens yang ditandai dengan militerisasi masif.

Strategi Militerisasi Tiongkok di Laut Cina Selatan

Tiongkok telah secara agresif melakukan reklamasi lahan di beberapa fitur laut, mengubah terumbu karang dan beting menjadi pulau buatan yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Fasilitas ini mencakup pos penjagaan, landasan udara, pelabuhan, sistem radar, dan pertahanan rudal di Kepulauan Paracel dan Spratly. Pembangunan pangkalan militer yang besar-besaran, seperti di Mischief Reef, memungkinkan Tiongkok untuk memproyeksikan kekuatan militernya jauh dari daratan utama, yang dianggap sebagai ancaman langsung oleh negara-negara lain di kawasan.

Tindakan Tiongkok ini memicu apa yang dikenal sebagai “dilema keamanan” (security dilemma). Tindakan yang diklaim Tiongkok sebagai upaya defensif untuk melindungi klaim kedaulatannya, seperti pembangunan pangkalan dan peningkatan kapasitas angkatan laut, dipandang sebagai tindakan agresif dan ancaman oleh negara-negara tetangga. Akibatnya, negara-negara lain merespons dengan meningkatkan kemampuan pertahanan mereka sendiri, yang mengarah pada eskalasi militer dan perlombaan senjata. Siklus ini menciptakan lingkaran setan di mana upaya satu negara untuk meningkatkan keamanannya justru membuat negara lain merasa tidak aman, yang pada akhirnya meningkatkan risiko konflik bersenjata.

Peran Kekuatan Ekstra-Regional: Keterlibatan Amerika Serikat dan Sekutu

Konflik LCS bukan lagi hanya masalah regional, melainkan telah menjadi arena persaingan antara Tiongkok dan Amerika Serikat. AS secara rutin melakukan operasi Kebebasan Navigasi (FONOPs) di perairan yang disengketakan. Alasan utama yang dikemukakan AS adalah untuk menegaskan hak lintas damai dan kebebasan navigasi sesuai dengan hukum internasional.

Namun, kehadiran AS di LCS merupakan manifestasi dari dua tujuan yang saling tumpang tindih: menegakkan hukum internasional dan memproyeksikan kekuatan untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok. Meskipun operasi ini sering kali memicu konfrontasi langsung dengan kapal-kapal Tiongkok, seperti insiden yang melibatkan USS Higgins di dekat Scarborough Shoal , kehadiran ini juga berfungsi untuk membangun koalisi tandingan dan memberikan dukungan kepada sekutu seperti Filipina dan Jepang. Keterlibatan AS mengubah konflik regional menjadi arena persaingan kekuatan besar, meningkatkan risiko eskalasi dari insiden kecil menjadi konflik yang lebih luas, dan memperumit upaya diplomatik ASEAN untuk menyelesaikan sengketa secara mandiri.

Tabel 3: Kronologi Insiden dan Tonggak Diplomatik Utama

Tahun Peristiwa Deskripsi Sumber
2016 Putusan PCA Mahkamah Arbitrase Permanen menolak klaim historis Tiongkok atas nine-dash line.
2016 Insiden Natuna Kapal Angkatan Laut Indonesia menembak kapal nelayan Tiongkok yang melanggar perairan ZEE Indonesia.
2018 Negosiasi CoC ASEAN dan Tiongkok memulai negosiasi Code of Conduct (CoC) di LCS.
2020 Insiden Natuna Kapal Bakamla Indonesia mengusir kapal Coast Guard Tiongkok yang beroperasi di ZEE Laut Natuna Utara.
2025 FONOPs AS Kapal perusak AS, USS Higgins, melakukan operasi Kebebasan Navigasi di dekat Scarborough Shoal.

 

Pilar Keempat: Kedudukan dan Peran Indonesia

Indonesia, meskipun tidak terlibat dalam sengketa teritorial atas kepulauan di LCS, memiliki kepentingan yang signifikan dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas regional, terutama di perairan Laut Natuna Utara.

Posisi Politik Luar Negeri Indonesia

Indonesia mengadopsi kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” dan tidak mengklaim wilayah yang diperebutkan di LCS. Posisi ini memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran krusial sebagai “pemimpin alami” ASEAN, memediasi konflik di antara para pihak yang bertikai. Salah satu upaya mediasi yang dilakukan adalah melalui “diplomasi jalur II” (track II diplomacy) pada tahun 1988, yang berhasil menyatukan semua negara pengklaim dalam lokakarya untuk mengelola potensi konflik. Indonesia juga berperan penting dalam mendorong negosiasi Deklarasi Perilaku Para Pihak (DOC) pada tahun 2002 dan negosiasi Kode Etik (CoC) yang sedang berlangsung.

Insiden dan Respon di Laut Natuna Utara

Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim teritorial di LCS, bagian dari klaim “Sembilan Garis Putus-Putus” Tiongkok tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna. Hal ini memicu beberapa insiden, seperti penembakan kapal nelayan Tiongkok pada tahun 2016 dan konfrontasi antara kapal Bakamla Indonesia dan kapal penjaga pantai Tiongkok pada tahun 2020.

Respons Indonesia terhadap pelanggaran ini mencerminkan pendekatan ganda, yaitu kombinasi diplomasi dan deterensi. Secara diplomatik, Indonesia menolak klaim historis Tiongkok karena tidak memiliki dasar hukum dan secara resmi melayangkan protes keras. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga meningkatkan patroli maritim dan membangun pangkalan militer di Natuna sebagai langkah untuk mempertahankan kedaulatan. Peningkatan militer ini berfungsi sebagai alat deterensi untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam melindungi wilayahnya. Pendekatan ini adalah respons pragmatis terhadap taktik “zona abu-abu” ( gray zone tactics) yang sering digunakan Tiongkok, di mana kapal-kapal sipil seperti kapal nelayan atau kapal penjaga pantai digunakan untuk menegaskan klaim. Taktik ini menempatkan negara lain dalam posisi sulit: respons militer akan memicu eskalasi yang tidak diinginkan, sementara respons pasif akan mengikis kedaulatan secara bertahap. Dengan strategi ganda ini, Indonesia menunjukkan bahwa prinsip “bebas aktif” telah berevolusi menjadi pendekatan yang lebih tegas dan multidimensi dalam menghadapi ancaman nyata terhadap kedaulatan nasional.

Pilar Kelima: Dampak dan Tantangan Lingkungan

Di tengah sengketa geopolitik, dampak terhadap lingkungan hidup di Laut Cina Selatan sering kali terabaikan. Padahal, kerusakan lingkungan adalah konsekuensi langsung dari ambisi geopolitik dan militerisasi kawasan.

Konsekuensi Reklamasi Pulau Buatan

Pembangunan pulau-pulau buatan yang masif oleh Tiongkok untuk tujuan militer telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Proses reklamasi ini menghancurkan terumbu karang yang merupakan habitat penting bagi keanekaragaman hayati laut. Kerusakan ini bukan sekadar efek samping yang tidak disengaja; itu adalah biaya yang dibayar oleh seluruh kawasan sebagai konsekuensi dari perlombaan untuk menguasai dan memperkuat klaim teritorial. Lingkungan menjadi korban tak bersuara dalam persaingan geopolitik, di mana aspek keberlanjutan diabaikan demi keuntungan strategis jangka pendek.

Ancaman Overfishing dan Penangkapan Ikan Ilegal

Laut Cina Selatan juga menghadapi ancaman serius dari penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) dan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing). Data menunjukkan bahwa sumber daya perikanan di LCS telah menurun drastis, diperkirakan mencapai 70% hingga 95% sejak tahun 1950-an.

Penangkapan ikan ilegal oleh armada kapal Tiongkok tidak hanya merupakan aktivitas ekonomi ilegal, tetapi juga berfungsi sebagai taktik untuk menegaskan klaim teritorial. Kapal-kapal nelayan ini sering kali diikuti oleh kapal penjaga pantai Tiongkok, yang mengaburkan batas antara aktivitas sipil dan penegasan kedaulatan. Hal ini menciptakan dilema strategis dan hukum bagi negara-negara lain. Dalam konteks ini, keberhasilan Indonesia di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti, dalam menindak tegas kapal-kapal  IUU fishing menunjukkan bahwa penegakan hukum yang tegas dapat efektif dalam mengatasi ancaman ini. Namun, masalah  overfishing dan IUU fishing tetap menjadi tantangan besar yang memerlukan kerja sama regional dan internasional.

Kesimpulan

Sengketa Laut Cina Selatan adalah tantangan multidimensi yang kompleks, didorong oleh potensi ekonomi yang besar dan diperumit oleh dinamika geopolitik, klaim hukum yang ambigu, dan kerusakan lingkungan. Analisis menunjukkan bahwa solusi tidak dapat dicapai hanya dengan satu pendekatan.

Tantangan Utama:

  • Penolakan Hukum: Penolakan Tiongkok terhadap putusan PCA 2016 melemahkan tatanan hukum internasional dan menciptakan preseden berbahaya.
  • Perlambatan Diplomasi: Negosiasi Kode Etik (CoC) yang telah berjalan selama bertahun-tahun masih belum membuahkan hasil, sebagian karena perbedaan fundamental dalam interpretasi UNCLOS dan kurangnya kesatuan di antara negara-negara ASEAN.
  • Kompetisi Kekuatan: Keterlibatan kekuatan ekstra-regional meningkatkan risiko eskalasi dan mempersulit upaya penyelesaian yang berfokus pada solusi regional.

 

Daftar Pustaka :

  1. Mengelola Ketegangan Laut Cina Selatan: Kolaborasi Strategis dan Kepentingan Nasional, diakses September 18, 2025, https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/04/21/politik-luar-negeri-tekanan-domestik-laut-cina-selatan
  2. Ketegangan Laut China Selatan: Analisis Geopolitik dan Dampak Konflik Kawasan, diakses September 18, 2025, https://www.kompasiana.com/anakontesasari2386/67546088c925c43c2679df42/ketegangan-laut-china-selatan-analisis-geopolitik-dan-dampak-konflik-kawasan
  3. Dampak Konflik Sengketa Laut Cina Selatan Terhadap Keamanan Negara Berdasarkan Hukum Internasional, diakses September 18, 2025, https://rayyanjurnal.com/index.php/jleb/article/download/2757/pdf
  4. KEPENTINGAN NASIONAL JEPANG DALAM SENGKETA LAUT CHINA SELATAN | Diplomacy and Global Security Journal : Jurnal Mahasiswa Magister Hubungan Internasional, diakses September 18, 2025, https://ejournal.fisip.unjani.ac.id/index.php/DGSJ/article/view/2883
  5. Sengketa Laut Cina Selatan: Analisis Realis Terhadap Perebutan Kekuasaan, Respon Regional, Dan Implikasi Geopolitik, diakses September 18, 2025, https://jurnalsyntaxadmiration.com/index.php/jurnal/article/download/1041/1457/9186
  6. China Ancam Filipina soal Laut China Selatan, AS Turun Tangan – CNBC Indonesia, diakses September 18, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20250915074342-4-666878/china-ancam-filipina-soal-laut-china-selatan-as-turun-tangan
  7. Laut China Selatan: Pentingnya Sumber Daya Alam – geotimes, diakses September 18, 2025, https://geotimes.id/opini/laut-china-selatan-pentingnya-sumber-daya-alam/
  8. South China Sea Energy Exploration and Development, diakses September 18, 2025, https://amti.csis.org/south-china-sea-energy-exploration-and-development/
  9. Status pemanfaatan sumber daya ikan pelagis besar di WPP 711 Laut Cina Selatan, diakses September 18, 2025, https://www.fao.org/fishery/ar/openasfa/e8a9917f-2ec9-4a91-b4c2-4e2da1cd5808
  10. Inilah 5 Negara yang Klaim Laut China Selatan, China Terluas hingga Hampir 90%, diakses September 18, 2025, https://international.sindonews.com/read/1569259/40/inilah-5-negara-yang-klaim-laut-china-selatan-china-terluas-hingga-hampir-90-1747641948
  11. Negara-negara yang baru-baru ini ikut mengklaim | Laut China Selatan | Konflik dan Diplomasi di Laut, diakses September 18, 2025, https://projects.voanews.com/south-china-sea/indonesian/recent/
  12. KONFLIK LAUT CHINA SELATAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KAWASAN, diakses September 18, 2025, https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/buku_tim/buku-tim-public-25.pdf
  13. Tiongkok Rilis Peta Baru, Sembilan Garis Putus di Laut China Selatan – Metro TV, diakses September 18, 2025, https://www.metrotvnews.com/read/NxGC5eWy-tiongkok-rilis-peta-baru-sembilan-garis-putus-di-laut-china-selatan
  14. MAP Spotlight: Nine-Dash Line – ICAS – Institute for China-America Studies, diakses September 18, 2025, https://chinaus-icas.org/research/map-spotlight-nine-dash-line/
  15. KAJIAN VALIDITAS KLAIM CHINA ATAS WILAYAH LAUT CINA SELATAN INDONESIA, diakses September 18, 2025, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/view/1986
  16. China protes peringatan putusan Arbitrase 2016 soal Laut China Selatan – ANTARA News, diakses September 18, 2025, https://www.antaranews.com/berita/4962781/china-protes-peringatan-putusan-arbitrase-2016-soal-laut-china-selatan
  17. PERAN INDONESIA DALAM MENJAGA WILAYAH LAUT NATUNA …, diakses September 18, 2025, https://jurnal.lemhannas.go.id/index.php/jkl/article/download/135/55
  18. PUTUSAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN … – UI Scholars Hub, diakses September 18, 2025, https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1229&context=jhp
  19. Territorial Disputes in the South China Sea | Global Conflict Tracker, diakses September 18, 2025, https://www.cfr.org/global-conflict-tracker/conflict/territorial-disputes-south-china-sea
  20. ANALISA RESPON INDONESIA TERHADAP MILITERISASI TIONGKOK DI LAUT CHINA SELATAN MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN JOKO WIDODO 2014-2019, diakses September 18, 2025, https://journal.unpas.ac.id/index.php/paradigmapolistaat/article/download/1911/995/8608
  21. Melalui Operasi Kebebasan Navigasi di LCS, AS Pertajam Konflik dengan Cina, diakses September 18, 2025, https://theglobal-review.com/melalui-operasi-kebebasan-navigasi-di-laut-cina-selatan-as-pertajam-konflik-kawasan-dengan-china/
  22. Kapal Perang AS Tantang Klaim China di Laut China Selatan, Ketegangan Memanas, diakses September 18, 2025, https://jurnalpatrolinews.co.id/internasional/kapal-perang-as-tantang-klaim-china-di-laut-china-selatan-ketegangan-memanas/
  23. ASEAN, China and the COC Negotiation: How Unrelevant is Historic Rights?, diakses September 18, 2025, https://www.scspi.org/en/dtfx/asean-china-and-coc-negotiation-how-unrelevant-historic-rights
  24. Presiden: Pertahankan Kedaulatan RI di Natuna – Badan Pendidikan dan Pelatihan Kemhan RI, diakses September 18, 2025, https://www.kemhan.go.id/badiklat/2016/06/23/presiden-pertahankan-kedaulatan-ri-di-natuna.html
  25. Priority Areas of Cooperation – ASEAN Main Portal, diakses September 18, 2025, https://asean.org/our-communities/asean-political-security-community/peaceful-secure-and-stable-region/situation-in-the-south-china-sea/priority-areas-of-cooperation/
  26. Saat Bakamla dan Coast Guard China Bersitegang di Laut Natuna Utara… – KOMPAS.com, diakses September 18, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2020/09/15/06205561/saat-bakamla-dan-coast-guard-china-bersitegang-di-laut-natuna-utara?page=all
  27. Mengenal 9 Garis Putus-putus Tiongkok dan Klaim Laut China Selatan | Batamnews.co.id, diakses September 18, 2025, https://www.batamnews.co.id/berita-14168-mengenal-9-garis-putusputus-tiongkok-dan-klaim-laut-china-selatan.html
  28. Indonesia meningkatkan patroli maritim di tengah meningkatnya ketegangan di Laut Natuna Utara – Indo-Pacific Defense FORUM, diakses September 18, 2025, https://ipdefenseforum.com/id/2024/12/indonesia-meningkatkan-patroli-maritim-di-tengah-meningkatnya-ketegangan-di-laut-natuna-utara/
  29. Banyak Kesalahpahaman tentang Insiden Kapal Cina di Natuna – Universitas Gadjah Mada, diakses September 18, 2025, https://ugm.ac.id/id/berita/18911-banyak-kesalahpahaman-tentang-insiden-kapal-cina-di-natuna/
  30. Dampak Positif Dan Negatif Reklamasi Bagi Pesisir Pantai | PDF – Scribd, diakses September 18, 2025, https://id.scribd.com/document/459594381/Dampak-Positif-dan-Negatif-Reklamasi-Bagi-Pesisir-Pantai-docx
  31. Improving China’s maritime law enforcement operations against overfishing in the South China Sea—Based on a comparison with the Indonesian law enforcement system against IUU Fishing – PubMed Central, diakses September 18, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11999143/

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 + 1 =
Powered by MathCaptcha