MAKNA TRADISI HARI RAYA ASYURA DI LABUHANBATU
I. Pendahuluan: Signifikansi Asyura dalam Konteks Islam dan Indonesia
Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, memiliki signifikansi historis dan spiritual yang mendalam dalam agama Islam. Bulan Muharram sendiri merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyah dan termasuk dalam empat bulan suci yang disebutkan dalam Al-Qur’an, bersama dengan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Keistimewaan Hari Asyura tidak terlepas dari serangkaian peristiwa penting yang terjadi pada hari tersebut sepanjang sejarah Islam.
Pada Hari Asyura, Allah SWT menerima taubat Nabi Adam AS, menyelamatkan Nabi Musa AS dan kaumnya dari kejaran Firaun, serta menurunkan wahyu kepada Nabi Musa AS Selain itu, tradisi juga mencatat bahwa pada hari ini terjadi penciptaan langit dan bumi, gunung-gunung, bintang-bintang, Arsy, Lauh Mahfudz, Qolam, Jibril, dan malaikat lainnya. Nabi Ibrahim AS juga dilahirkan dan diselamatkan dari api pada hari ini, Nabi Idris AS dan Nabi Isa AS diangkat ke langit, Nabi Ayyub AS disembuhkan dari sakitnya, Nabi Dawud AS diampuni dosanya, dan Nabi Sulaiman AS dianugerahi kerajaannya yang megah. Rasulullah SAW sangat memuliakan hari ini, bahkan mewajibkan para sahabat untuk berpuasa Asyura sebelum perintah puasa Ramadhan datang. Puasa Asyura sangat dianjurkan dan diyakini dapat menghapus dosa setahun yang lalu.
Di Indonesia, perayaan Asyura melampaui sekadar ritual keagamaan; ia menjadi momen yang kaya akan implikasi historis dan spiritual, terjalin erat dengan kehidupan masyarakat Muslim. Perayaan ini mencerminkan perpaduan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal, menghasilkan beragam tradisi yang unik di berbagai daerah. Laporan ini akan secara spesifik mengkaji makna tradisi Hari Raya Asyura di Labuhanbatu, Sumatera Utara, menyoroti praktik-praktik yang khas maupun yang umum dengan nuansa lokal, untuk memahami bagaimana nilai-nilai universal Islam diwujudkan dalam konteks budaya setempat.
II. Fondasi Historis dan Religius Hari Asyura
Hari Asyura, tanggal 10 Muharram, merupakan titik penting dalam narasi Islam, ditandai oleh peristiwa-peristiwa yang membentuk dasar bagi praktik dan tradisi yang dilakukan umat Muslim.
Peristiwa Kunci dan Narasi yang Terkait dengan 10 Muharram
Salah satu narasi paling menonjol yang terkait dengan Hari Asyura adalah kisah Nabi Nuh AS dan bahtera penyelamatnya. Setelah banjir besar yang melanda bumi, bahtera Nabi Nuh berlabuh di Bukit Judi tepat pada Hari Asyura. Nabi Nuh dan para pengikutnya, yang saat itu merasa lapar karena persediaan makanan menipis, mengumpulkan sisa-sisa bahan makanan yang ada—seperti gandum, kacang-kacangan, beras, dan biji-bijian lainnya—lalu memasaknya menjadi satu hidangan bubur. Peristiwa ini menjadi asal-usul tradisi memasak Bubur Asyura, melambangkan rasa syukur atas keselamatan dan keberkahan yang diberikan Allah SWT.
Peristiwa penting lainnya adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kekejaman Firaun. Pada Hari Asyura, Allah SWT membelah Laut Merah, memungkinkan Nabi Musa dan kaumnya menyeberang dengan selamat, sementara Firaun dan bala tentaranya ditenggelamkan. Sebagai bentuk syukur, Nabi Musa berpuasa pada hari itu. Tradisi puasa ini kemudian diteruskan oleh Rasulullah SAW, yang bahkan menganjurkan puasa pada tanggal 9 dan 11 Muharram sebagai pembeda dari praktik puasa Yahudi.
Selain itu, Hari Asyura juga dipercaya sebagai hari di mana taubat Nabi Adam AS diterima oleh Allah SWT setelah berabad-abad memohon ampunan. Ini menyoroti Asyura sebagai hari pengampunan dan permulaan baru. Berbagai peristiwa kenabian lainnya, seperti kelahiran dan penyelamatan Nabi Ibrahim dari api, pengangkatan Nabi Idris dan Nabi Isa ke langit, penyembuhan Nabi Ayyub, pengampunan Nabi Dawud, dan penganugerahan kerajaan kepada Nabi Sulaiman, juga dikaitkan dengan Hari Asyura, menegaskan keagungan dan rahmat ilahi pada hari tersebut.
Anjuran dan Praktik yang Direkomendasikan dalam Islam
Dalam ajaran Islam, terdapat beberapa amalan sunnah yang sangat ditekankan pada Hari Asyura:
- Puasa Asyura: Ini adalah amalan yang paling ditekankan. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Untuk membedakan dengan puasa kaum Yahudi, disarankan untuk menyertakannya dengan puasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a) dan/atau 11 Muharram. Puasa ini diyakini dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.
- Sedekah dan Santunan Anak Yatim: Memberikan sedekah, khususnya kepada anak yatim, sangat dianjurkan pada Hari Asyura. Di Indonesia, hari ini bahkan sering disebut sebagai “Lebaran Anak Yatim” Anjuran ini didasari oleh hadis Nabi yang menekankan keutamaan menyayangi dan menyantuni anak yatim.
- Dzikir dan Doa Bersama: Peringatan Asyura seringkali diisi dengan kegiatan dzikir, doa bersama, dan tausiyah (ceramah keagamaan) di lingkungan pesantren atau majelis taklim. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenang perjuangan para nabi dan sahabat, serta memperkuat semangat keislaman dan keadilan.
- Jamuan Komunal (Kenduri): Berbagi makanan, terutama Bubur Asyura, adalah praktik yang meluas dan menjadi wujud syukur, kebersamaan, serta solidaritas dalam komunitas.
III. Tradisi Asyura Umum di Indonesia
Perayaan Hari Asyura di Indonesia diwarnai oleh beragam tradisi yang mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas masyarakat Muslim. Meskipun terdapat variasi regional, beberapa praktik umum dapat diidentifikasi.
Tinjauan Praktik yang Meluas
- Bubur Asyura: Mungkin merupakan tradisi Asyura yang paling ikonik di seluruh Nusantara, ditemukan di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, dan Sumatera. Bubur ini sering dibuat dari berbagai macam bahan (bisa 7, 40, 41, atau 44 jenis), termasuk biji-bijian, sayuran, rempah-rempah, dan kadang-kadang daging. Proses pembuatannya dilakukan secara gotong royong dan kemudian dibagikan kepada tetangga, fakir miskin, dan anak yatim
- Santunan Anak Yatim: Praktik ini sangat umum di berbagai wilayah Indonesia. Pemberian bantuan atau hadiah kepada anak yatim pada 10 Muharram sering disebut sebagai “Lebaran Anak Yatim”. Tradisi ini berakar kuat pada ajaran Nabi Muhammad SAW yang menekankan kasih sayang dan kepedulian terhadap kaum rentan.
- Tabuik/Tabot: Perayaan Asyura yang khas ini sangat menonjol di Pariaman, Sumatera Barat, dan Bengkulu. “Tabuik” mengacu pada replika keranda atau tandu yang dihias indah dan diarak keliling kota sebelum dilarung ke laut. Tradisi ini dibawa oleh tentara Muslim India (keturunan Syiah) pada abad ke-19 dan kini lebih bersifat budaya daripada ritual keagamaan murni.
- Zikir dan Doa Bersama: Di lingkungan pesantren dan majelis taklim, Asyura diperingati dengan pembacaan sejarah Karbala (dari perspektif Sunni), dzikir, doa, dan tausiyah. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenang perjuangan Nabi dan para sahabat, serta memperkuat semangat keislaman.
- Kenduri dan Ritual Lokal: Beberapa komunitas, terutama di Jawa dan Lombok, merayakan Asyura dengan kenduri atau selamatan yang memadukan nilai-nilai keislaman dengan budaya lokal. Contohnya adalah penyajian Tumpeng Muharram sebagai simbol doa dan rasa syukur, serta pengajian umum untuk mempererat silaturahmi dan meningkatkan keimanan.
Untuk memberikan gambaran yang lebih terstruktur mengenai tradisi-tradisi ini, berikut adalah tabel yang merangkum praktik umum Hari Asyura di Indonesia beserta signifikansi umumnya:
Tabel 1: Tradisi Asyura Umum di Indonesia dan Signifikansi Umumnya
Tradisi Utama | Deskripsi Praktik | Signifikansi Umum (Religius, Sosial, Kultural) | Wilayah Relevan (jika spesifik) |
Puasa Asyura | Berpuasa pada 10 Muharram, seringkali dengan 9 dan/atau 11 Muharram. | Religius: Penghapusan dosa setahun, mengikuti sunnah Nabi, bentuk syukur. | Seluruh Indonesia |
Bubur Asyura | Memasak bubur secara komunal dari berbagai bahan, lalu dibagikan. | Religius: Syukur atas keselamatan Nabi Nuh. Sosial: Mempererat silaturahmi, gotong royong, berbagi. Kultural: Pelestarian warisan kuliner. | Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Madura, Sumatera |
Santunan Anak Yatim | Memberikan bantuan atau hadiah kepada anak yatim. | Religius: Mengikuti anjuran Nabi, kepedulian terhadap sesama. Sosial: Solidaritas sosial, “Lebaran Anak Yatim”. | Seluruh Indonesia |
Tabuik/Tabot | Mengarak replika keranda/tandu yang dihias, lalu dilarung ke laut. | Historis/Kultural: Mengenang peristiwa Karbala (perspektif Syiah), kini lebih budaya. | Pariaman (Sumatera Barat), Bengkulu |
Zikir dan Doa Bersama | Mengadakan majelis dzikir, doa, dan tausiyah. | Religius: Mengenang sejarah Islam, memperkuat keimanan, syiar Islam. Sosial: Mempererat ukhuwah Islamiyah. | Pesantren dan Majelis Taklim di berbagai daerah |
Kenduri dan Ritual Lokal | Selamatan dengan tumpeng Muharram dan pengajian umum. | Religius: Doa dan rasa syukur. Sosial: Silaturahmi, kebersamaan. Kultural: Perpaduan nilai Islam dan budaya lokal. | Jawa, Lombok |
Ekspor ke Spreadsheet
Tabel ini memberikan kerangka dasar untuk memahami bagaimana Hari Asyura diperingati di Indonesia, sebelum mendalami kekhasan tradisi di Labuhanbatu.
IV. Makna Tradisi Asyura di Labuhanbatu
Labuhanbatu, sebagai bagian dari Sumatera Utara, tidak hanya mengadopsi tradisi Asyura yang umum di Indonesia, tetapi juga menampilkan manifestasi lokal yang unik, mencerminkan perpaduan nilai-nilai keislaman dengan warisan budaya dan sosial masyarakatnya.
A. Manifestasi Lokal yang Unik
Masyarakat Labuhanbatu memiliki tradisi peringatan Asyura yang khas, yang mungkin tidak ditemukan di daerah lain, menunjukkan kekayaan adaptasi budaya-agama.
B. Tradisi Umum dengan Nuansa LokalSelain manifestasi unik, tradisi Asyura yang umum di Indonesia juga diperingati di Labuhanbatu dengan sentuhan dan penekanan lokal.
Bubur Asyura di Labuhanbatu (Konteks Sumatera Utara)
Meskipun detail spesifik tentang Bubur Asyura di Labuhanbatu tidak secara eksplisit disebutkan, praktik di wilayah Sumatera Utara lainnya, seperti Kabupaten Langkat, dapat memberikan gambaran yang relevan mengingat kedekatan geografis. Bubur Asyura umumnya dimasak dalam porsi yang sangat besar, seringkali untuk seluruh desa. Bahan-bahan yang digunakan sangat beragam, bisa mencapai 44 jenis, meliputi beras, singkong, kentang, santan, ikan teri, ikan asin, ayam, dan berbagai rempah-rempah.
Proses memasak Bubur Asyura merupakan upaya komunal yang melibatkan gotong royong masyarakat setempat, berlangsung sepanjang hari dari pagi hingga matahari terbenam. Siapapun yang ingin membantu dipersilakan bergabung tanpa batasan. Setelah matang, bubur ini didoakan oleh seorang ustaz sebelum dibagikan kepada komunitas.
Signifikansi sosial dari tradisi memasak dan berbagi Bubur Asyura sangat menonjol. Ini adalah kesempatan yang kuat untuk mempererat tali silaturahmi dan memupuk semangat sosial di antara warga. Tradisi ini mewujudkan nilai-nilai kerjasama, solidaritas, dan rasa Syukur.
Aspek gotong royong dalam persiapan Bubur Asyura, di mana penduduk desa secara kolektif menyumbangkan waktu, tenaga, dan sumber daya, lebih dari sekadar metode logistik. Ini adalah manifestasi nyata dari modal sosial. Tindakan memasak bersama, berbagi cerita, dan kemudian mendistribusikan makanan memperkuat jaringan sosial yang ada dan membangun yang baru, mengubah ikatan komunitas yang abstrak menjadi pengalaman nyata yang hidup. Doa atas makanan selanjutnya menyucikan upaya komunal ini. Tradisi Bubur Asyura berfungsi sebagai ritual tahunan yang kuat untuk memperbarui dan memperkuat modal sosial komunitas, memupuk kepercayaan, timbal balik, dan identitas kolektif, yang sangat penting untuk ketahanan dan kesejahteraan komunitas.
Santunan Anak Yatim di Labuhanbatu
Tradisi memberikan santunan (sumbangan/dukungan) kepada anak yatim pada 10 Muharram juga diamati di Labuhanbatu. Praktik ini sejalan dengan pemahaman yang lebih luas di Indonesia tentang Asyura sebagai “Lebaran Anak Yatim”. Ini menekankan ajaran Islam untuk peduli terhadap kaum rentan dan kurang beruntung, menerjemahkan kebajikan religius menjadi tindakan sosial langsung.
Keterlibatan pelaksana tugas bupati dalam acara santunan anak yatim di Labuhanbatu menunjukkan pergeseran melampaui filantropi murni akar rumput atau organisasi keagamaan. Hal ini mengindikasikan adanya institusionalisasi tindakan amal ini, di mana pemerintah daerah secara aktif berpartisipasi dan mendukung aspek kesejahteraan sosial dari Asyura. Integrasi tokoh pemerintah ke dalam tradisi sosial-keagamaan dapat meningkatkan jangkauan dan dampak kegiatan amal, berpotensi melegitimasi dan memperkuat tradisi tersebut dalam lingkup sipil yang lebih luas. Hal ini juga menunjukkan bagaimana perayaan keagamaan dapat berfungsi sebagai platform untuk keterlibatan sipil dan inisiatif kesejahteraan publik.
Berikut adalah tabel yang merangkum tradisi Asyura spesifik di Labuhanbatu beserta praktik dan maknanya:
C. Makna Berlapis
Tradisi Asyura di Labuhanbatu memiliki makna yang berlapis, mencakup dimensi religius, sosial, dan kultural yang saling terkait.
Makna Religius
- Ketaatan dan Peringatan: Pelaksanaan puasa, doa, dan penceritaan kembali kisah-kisah kenabian (Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Adam) berfungsi untuk memperdalam ketaatan individu dan mengenang momen-momen penting dalam sejarah Islam.
- Pencarian Berkah dan Pengampunan: Puasa Asyura diyakini dapat menghapus dosa-dosa tahun sebelumnya, dan berbagai ritual bertujuan untuk “ngalap berkah” (menerima berkah) untuk tahun yang akan datang.
- Rasa Syukur: Banyak tradisi, terutama memasak dan berbagi Bubur Asyura secara komunal, merupakan ekspresi rasa syukur kepada Allah SWT atas keselamatan, berkah, dan rezeki yang diberikan.
Makna Sosial
- Penguatan Ikatan Komunitas (Silaturahmi): Kegiatan memasak bersama, makan bersama, dan berkumpul dalam peringatan Asyura secara signifikan memperkuat hubungan sosial dan ikatan kekerabatan.
- Memupuk Solidaritas dan Gotong Royong: Upaya kolaboratif dalam menyiapkan Bubur Asyura dan tindakan berbagi makanan menjadi contoh nyata dari kerjasama dan solidaritas dalam komunitas.
- Amal dan Kepedulian Sosial: Santunan anak yatim dan distribusi makanan menyoroti komitmen komunitas terhadap kesejahteraan sosial, memastikan bahwa mereka yang kurang beruntung juga disertakan dan didukung.
Makna Kultural
- Pelestarian Warisan Leluhur: Tradisi seperti “Air Asyura di atas Pintu” dan “Suroan” secara eksplisit terkait dengan warisan leluhur dan diturunkan dari generasi ke generasi, berfungsi sebagai mekanisme vital untuk pelestarian budaya.
- Perpaduan Ajaran Islam dengan Adat Lokal: Integrasi narasi Islam dengan tradisi Jawa lokal (Suroan) atau ritual lokal yang unik (Air Asyura) menunjukkan sinkretisme budaya yang dinamis. Di sini, prinsip-prinsip agama universal diekspresikan melalui bentuk-bentuk budaya yang dilokalkan.
- Ekspresi Syukur dan Harapan: Bahan-bahan simbolis dalam Bubur Asyura dan ritual yang terkait dengan “Air Asyura” menyampaikan harapan kolektif untuk kemakmuran, perlindungan, dan kesejahteraan di tahun baru.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang simbolisme dalam salah satu tradisi paling menonjol, yaitu Bubur Asyura, berikut adalah tabel yang menguraikan makna di balik bahan-bahan dan komponennya:
Tabel 3: Bahan Simbolis dan Makna dalam Bubur Asyura
Bahan/Komponen | Makna Simbolis | Konteks Historis/Filosofis Terkait | |
Tujuh/Empat Puluh/Empat Puluh Satu/Empat Puluh Empat Jenis Bahan | Keberagaman cobaan dan rintangan hidup; kelengkapan berkah; simbol persatuan dari berbagai sisa makanan. | Kisah Nabi Nuh yang mengumpulkan sisa makanan setelah banjir; 40 peristiwa penting dalam Islam; melambangkan keberkahan setiap hari dalam seminggu (angka tujuh). | |
Bubur Merah dan Putih (versi Jawa/Madura) | Merah melambangkan darah dan perjuangan (terutama terkait Karbala); putih melambangkan kesucian, harapan, dan doa yang bersih. | Peristiwa wafatnya Husein bin Ali di Karbala; simbol kesucian dan harapan. | |
Ayam dan Kuah Kuning | Kesejahteraan dan kemakmuran; keberuntungan dan rezeki lancar. | Warna kuning dalam budaya Jawa sering dikaitkan dengan keberuntungan. | |
Perkedel, Tahu Goreng, Telur Dadar | Keseimbangan dalam hidup; keragaman hidup yang harus disyukuri. | Melengkapi hidangan sebagai simbol keragaman. | |
Kerupuk dan Bawang Goreng | Keceriaan (kerupuk renyah); kearifan lokal dan sentuhan rasa yang memperkaya kehidupan (bawang goreng). | Elemen pelengkap yang memberikan tekstur dan rasa. | |
Daun Salam dan Serai | Aura positif dan ketenangan; penambah aroma. | Dipercaya membawa ketenangan dan sesuai dengan semangat reflektif bulan Suro. |
Tabel ini menunjukkan bagaimana setiap komponen dalam Bubur Asyura tidak hanya berfungsi sebagai bahan makanan, tetapi juga membawa narasi filosofis dan historis yang kaya, menjadikannya lebih dari sekadar hidangan kuliner.
V. Tantangan dan Dinamika yang Berkembang
Perayaan Asyura di Indonesia, termasuk di Labuhanbatu, tidak luput dari dinamika dan perdebatan, terutama dalam upaya menyeimbangkan antara praktik keagamaan yang diwariskan dan interpretasi teologis yang beragam.
Diskusi tentang Perdebatan atau Interpretasi yang Berbeda Mengenai Praktik Tertentu
- Perdebatan “Lebaran Anak Yatim”: Meskipun praktik menyantuni anak yatim pada 10 Muharram sangat luas dan dianggap mulia, penamaan hari ini sebagai “Lebaran Anak Yatim” masih menjadi subjek perdebatan di kalangan ulama Islam di Indonesia. Beberapa ulama menentang istilah ini, sementara yang lain mempertahankan tradisi tersebut berdasarkan hadis-hadis yang menganjurkan kepedulian terhadap anak yatim. Hal ini menunjukkan adanya wacana internal yang berkelanjutan dalam komunitas Muslim mengenai interpretasi dan legitimasi praktik-praktik populer.
- Kekhawatiran “Bid’ah”: Beberapa sumber juga mencatat kekhawatiran tentang “bid’ah” (inovasi yang tidak berakar pada sunnah Nabi) terkait tindakan spesifik pada Hari Asyura. Contohnya termasuk shalat dan dzikir khusus yang disebut shalat Asyura, mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, menyemir rambut, atau membuat makanan khusus yang tidak biasa. Kekhawatiran ini mengindikasikan adanya ketegangan antara ekspresi keimanan budaya populer dan interpretasi teologis yang lebih ketat.
Adanya perdebatan seputar “Lebaran Anak Yatim” dan kekhawatiran tentang “bid’ah” menunjukkan proses negosiasi yang dinamis antara ortodoksi Islam dan praktik budaya lokal. Komunitas seringkali mengadopsi tradisi yang selaras dengan konteks sosial dan historis mereka, namun praktik-praktik ini terkadang dipandang secara kritis oleh para ulama yang menganjurkan interpretasi yang lebih murni. Dialog yang berkelanjutan ini membentuk evolusi tradisi keagamaan, mendorong komunitas untuk membenarkan, memodifikasi, atau meninggalkan praktik-praktik tertentu berdasarkan pemahaman mereka tentang teks-teks keagamaan dan relevansi budaya. Hal ini menggarisbawahi interaksi kompleks antara otoritas keagamaan, kesalehan populer, dan adaptasi budaya.
Bagaimana Tradisi Beradaptasi atau Dipertahankan dalam Konteks Modern
Meskipun ada perdebatan dan pengaruh modernisasi, banyak tradisi Asyura, termasuk Bubur Asyura dan santunan anak yatim, terus dipertahankan secara aktif dan bahkan diinstitusionalisasikan. Hal ini terlihat dari keterlibatan sekolah, yayasan, atau pemerintah daerah dalam pelaksanaannya. Keberlanjutan ini menunjukkan keinginan kuat dalam komunitas untuk melestarikan warisan budaya dan agama mereka.
Sifat komunal dari banyak tradisi, seperti Bubur Asyura, memperkuat ketahanannya. Tradisi-tradisi ini terus berfungsi sebagai platform penting untuk kohesi sosial dan transmisi nilai-nilai antar generasi.
Dalam dunia yang semakin individualistik dan digital, kegigihan dan bahkan dukungan institusional untuk tradisi Asyura komunal seperti Bubur Asyura dan Santunan Anak Yatim menunjukkan nilai abadi mereka. Ritual-ritual ini memberikan kesempatan nyata untuk interaksi tatap muka, upaya kolektif, dan pengalaman bersama, yang sangat penting untuk menjaga ikatan komunitas yang mungkin terkikis dalam masyarakat modern. Tradisi-tradisi ini berfungsi sebagai jangkar sosial yang vital, menawarkan narasi tandingan terhadap kecenderungan isolasi modernitas dengan secara aktif memupuk identitas kolektif, dukungan timbal balik, dan kesinambungan antar generasi.
VI. Kesimpulan: Relevansi Abadi Asyura di Labuhanbatu
Tradisi Hari Asyura di Labuhanbatu mencerminkan kekayaan makna yang mendalam, meliputi devosi religius, solidaritas sosial, dan pelestarian budaya. Praktik-praktik unik seperti “Air Asyura di atas Pintu” dan “Suroan,” bersama dengan perayaan Bubur Asyura dan Santunan Anak Yatim yang lebih umum, membentuk sebuah mozaik yang kaya. Perayaan-perayaan ini sarat dengan makna syukur, peringatan sejarah kenabian, pencarian berkah ilahi, pemupukan kohesi komunitas melalui gotong royong dan silaturahmi, serta pemenuhan tanggung jawab sosial terhadap mereka yang kurang beruntung.
Tradisi Asyura di Labuhanbatu bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ekspresi aktif dari identitas lokal. Ajaran Islam terjalin erat dengan adat istiadat pribumi dan warisan budaya yang beragam dari penduduknya, seperti pengaruh Jawa. Tradisi-tradisi ini berfungsi sebagai mekanisme penting untuk memperkuat ikatan sosial, mempromosikan harmoni antar-etnis, dan mewariskan nilai-nilai inti komunitas dari generasi ke generasi. Hal ini memastikan relevansi abadi iman dan budaya di tengah dinamika masyarakat yang terus berkembang.
Mengingat komposisi multi-etnis Labuhanbatu dan beragam asal-usul tradisi Asyura di sana (Suroan Jawa, ritual lokal yang unik, praktik umum Indonesia), perayaan-perayaan ini berfungsi sebagai “jangkar budaya” yang signifikan. Mereka menyediakan ritme tahunan bersama dan landasan umum bagi anggota komunitas yang beragam untuk berinteraksi, memperkuat identitas kolektif, dan mengungkapkan nilai-nilai bersama, melampaui potensi perpecahan etnis atau agama. Perayaan Asyura di Labuhanbatu adalah contoh kuat tentang bagaimana hari raya keagamaan dapat bertindak sebagai kekuatan pemersatu dalam masyarakat yang beragam, berkontribusi pada stabilitas sosial dan pembangunan identitas lokal bersama yang berkelanjutan.