Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap politik di seluruh Asia telah menyaksikan munculnya kekuatan transformatif yang tidak terduga dan sulit dikendalikan: Generasi Z (Gen Z). Didefinisikan secara longgar sebagai individu yang lahir antara pertengahan 1990-an dan awal 2010-an, kelompok demografis ini telah menunjukkan bahwa mereka tidak lagi pasif dalam menghadapi status quo politik dan sosial. Gelombang protes yang mereka pimpin, dari Himalaya hingga Asia Tenggara, telah menciptakan pola regional yang koheren, menantang elit kekuasaan, dan memaksa negara-negara untuk menghadapi kerapuhan sistem pemerintahan mereka.

Fenomena ini dicirikan oleh penggunaan media digital yang canggih dan struktur desentralisasi, yang membedakannya secara fundamental dari mobilisasi politik generasi sebelumnya. Alih-alih mengandalkan figur otoritas atau partai politik tradisional, gerakan-gerakan ini tumbuh dari komunitas digital, memanfaatkan teknologi untuk mengorganisir, menyebarkan pesan, dan membangun solidaritas yang melintasi batas-batas geografis dan etnis. Dampaknya tidak terbatas pada penggulingan pemimpin; gerakan-gerakan ini juga telah memicu perdebatan yang sebelumnya tabu, memobilisasi kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan menyoroti kelemahan sistem yang rapuh.

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai gelombang protes yang relevan dengan Gen Z di Asia. Laporan ini secara spesifik berfokus pada studi kasus yang menyoroti peran eksplisit Gen Z dan gerakan yang terjadi setelah tahun 2019, termasuk Nepal (2025), Bangladesh (2024), Sri Lanka (2022), Thailand (2020-2021), dan Myanmar (2021-sekarang). Dengan menggunakan kerangka kerja komparatif, laporan ini akan mengidentifikasi benang merah yang mengikat gerakan-gerakan ini, mengeksplorasi pemicu, tuntutan, taktik, respons pemerintah, serta dampak jangka pendek dan panjangnya. Dengan demikian, laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang sebuah fenomena regional yang lebih besar dan implikasinya di masa depan.

Akar Masalah Bersama: Frustrasi yang Meluas

Gerakan protes Gen Z di Asia tidak muncul dalam ruang hampa. Meskipun setiap demonstrasi memiliki pemicu langsung yang unik, sebuah pemeriksaan yang lebih cermat mengungkapkan serangkaian akar masalah yang berulang dan saling terkait, yang mencerminkan frustrasi yang meluas dan sistemik.

Korupsi dan Nepotisme Elit

Akar masalah paling menonjol yang berulang di hampir semua studi kasus adalah frustrasi yang mendalam terhadap korupsi dan nepotisme elit. Di Nepal, kemarahan publik memuncak akibat tren “Nepo Kid” di TikTok dan Instagram, di mana anak-anak politisi memamerkan kekayaan mereka secara terbuka di tengah kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang meluas. Kontras yang mencolok ini memicu kemarahan publik yang sudah lama terpendam, menggarisbawahi rasa bahwa sistem tersebut tidak adil dan hanya menguntungkan segelintir orang.

Pola serupa terlihat di Bangladesh, di mana protes yang dipicu oleh pengembalian kuota pekerjaan bagi keturunan pejuang kemerdekaan dipandang sebagai bentuk patronase politik yang korup yang digunakan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan rezim yang sedang berkuasa. Di Sri Lanka, gerakan protes yang dikenal sebagai “Aragalaya” secara langsung menargetkan “sistem korup” yang diwakili oleh keluarga Rajapaksa yang berkuasa, yang dituduh melakukan kesalahan manajemen ekonomi dan memperkaya diri sendiri. Kesamaan ini menunjukkan bahwa, bagi Gen Z di Asia, korupsi bukanlah masalah abstrak; itu adalah realitas sehari-hari yang menghalangi prospek masa depan mereka.

Tantangan Ekonomi: Pengangguran dan Ketimpangan

Masalah ekonomi struktural menjadi bahan bakar utama bagi kemarahan Gen Z. Di Nepal, tingkat pengangguran kaum muda berada di atas 20%, dan negara tersebut sangat bergantung pada remitansi pribadi yang menyumbang sekitar sepertiga dari produk domestik bruto (PDB). Kondisi ini menciptakan rasa putus asa yang mendalam dan terbatasnya prospek bagi kaum muda yang ingin membangun karier di negara asal mereka. Protes di Bangladesh dilandasi oleh fenomena “pertumbuhan tanpa lapangan kerja” (jobless growth), di mana pertumbuhan ekonomi tidak menciptakan lapangan kerja berkualitas yang cukup untuk lulusan muda, meninggalkan mereka tanpa harapan untuk mencapai stabilitas ekonomi. Hal serupa juga terjadi di Sri Lanka, di mana krisis ekonomi akut menyebabkan kekurangan bahan bakar dan pemadaman listrik harian, secara langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari setiap warga negara.

Dalam konteks yang lebih luas, berbagai analisis menunjukkan bahwa Gen Z merasa “terasing dari struktur pemerintahan” dan meyakini bahwa “sistemnya curang”. Mereka menyaksikan para elit menjalani gaya hidup mewah, yang membuat rasa ketidaksetaraan menjadi lebih nyata dan tak tertahankan.

Krisis Kepercayaan terhadap Institusi Tradisional

Ketidakpuasan Gen Z melampaui isu-isu ekonomi dan politik; ini adalah pergeseran psikologis dan sosiologis yang lebih dalam. Munculnya fenomena “quiet quitting” di tempat kerja —di mana karyawan Gen Z secara pasif menolak untuk melakukan pekerjaan di luar deskripsi mereka sebagai bentuk protes terhadap ketidakseimbangan kehidupan-kerja, kurangnya apresiasi, dan gaya kepemimpinan yang tidak adaptif—dapat dilihat sebagai pendahulu dari aktivisme politik mereka. Perilaku ini menunjukkan bahwa Gen Z tidak lagi bersedia untuk berinvestasi secara emosional atau memberikan lebih dari yang diminta kepada institusi yang mereka yakini tidak menghargai mereka atau nilai-nilai mereka.

Pola yang sama dapat diamati dalam protes politik mereka, di mana mereka menolak struktur kepemimpinan hierarkis dan memilih gerakan “tanpa pemimpin” atau “desentralisasi”. Oleh karena itu, aktivisme politik Gen Z adalah manifestasi publik dari krisis kepercayaan yang lebih dalam dan menyeluruh terhadap otoritas tradisional. Protes jalanan adalah bentuk makro dari

quiet quitting di tingkat nasional, yang menunjukkan keengganan untuk berinvestasi dalam sistem yang mereka yakini curang dan tidak responsif. Pemicu langsung seperti larangan media sosial di Nepal atau RUU Ekstradisi di Hong Kong sering kali hanya menjadi katalis yang menyulut “bom waktu” frustrasi yang telah tertanam lama.

Studi Kasus Komprehensif: Gerakan-gerakan Utama

Nepal (2025): “Revolusi Gen Z”

Protes di Nepal pada tahun 2025 secara luas disebut sebagai “Revolusi Gen Z.” Pemicu langsungnya adalah larangan pemerintah terhadap 26 platform media sosial pada tanggal 4 September 2025, yang dilihat sebagai upaya untuk membungkam perbedaan pendapat politik. Namun, gerakan ini dengan cepat berubah menjadi pemberontakan yang lebih besar terhadap korupsi, nepotisme, dan kesulitan ekonomi yang meluas. Demonstrasi menargetkan secara khusus “Nepo Kids” yang memamerkan gaya hidup mewah mereka secara daring, menyoroti jurang yang menganga antara para elit yang berkuasa dan populasi muda yang berjuang.

Gerakan ini sangat dicirikan sebagai “tanpa pemimpin” dan terorganisir secara digital. Platform seperti Discord menjadi pusat pengambilan keputusan, yang oleh para jurnalis dijuluki sebagai “konvensi nasional” yang baru. Di server ini, lebih dari 145.000 warga berdiskusi dan mengambil keputusan secara kolektif, secara efektif menggantikan fungsi parlemen. Kelompok-kelompok seperti Hami Nepal, yang dipimpin oleh Sudan Gurung, menggunakan Instagram dan Discord untuk memobilisasi puluhan ribu kaum muda, bahkan memberikan panduan tentang cara berdemonstrasi secara damai.

Pemerintah menanggapi dengan kekerasan ekstrem, menggunakan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam yang mengakibatkan sedikitnya 74 orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Namun, represi ini hanya memperkuat gerakan, yang menyebabkan Perdana Menteri K.P. Sharma Oli mengundurkan diri dan larangan media sosial dicabut. Kekacauan yang dihasilkan juga menyebabkan pembakaran gedung-gedung pemerintah, termasuk kompleks Parlemen Singha Durbar.

Kasus Nepal menunjukkan bagaimana “kepemimpinan tanpa pemimpin” yang desentralisasi dapat dengan cepat beralih menjadi “kepemimpinan digital.” Gerakan ini efektif menarik kekuatan politik dari institusi tradisional dan menginvestasikannya pada platform komunal. Dengan memilih pemimpin interim seperti mantan Hakim Agung Sushila Karki melalui konsensus digital , para pengunjuk rasa menunjukkan pergeseran signifikan dari mobilisasi protes menjadi tata kelola alternatif. Namun, tantangan legitimasi tetap ada, karena beberapa pihak mempertanyakan validitas “pemilihan” yang didasarkan pada server digital.

Indonesia (2025): Protes Buruh dan Keadilan Sosial

Pada Agustus 2025, Jakarta dilanda demonstrasi mahasiswa yang dipicu oleh kematian seorang pengemudi ojek daring yang ditabrak oleh kendaraan polisi. Insiden ini memicu unjuk rasa di luar markas Brigade Mobil Jakarta, yang dilihat sebagai respons terhadap kekerasan polisi. Namun, seperti gerakan Gen Z lainnya, protes ini mencerminkan rasa frustrasi yang lebih dalam dan meluas. Gen Z di Indonesia merasa “terputus” dari struktur pemerintahan dan meyakini bahwa sistemnya “curang”. Lebih dari setengah pekerja di Indonesia adalah pekerja informal, dan kemarahan atas kondisi kerja yang buruk telah tumpah ke jalanan. Unjuk rasa ini merupakan bagian dari gelombang ketidakstabilan di seluruh Asia Selatan, di mana protes yang dipimpin pemuda dan Gen Z menantang elit yang berkuasa. Dalam menanggapi kemarahan publik, Presiden Prabowo Subianto menyerukan ketenangan dan menjanjikan penyelidikan “menyeluruh dan transparan” atas insiden tersebut. Namun, seruan protes tetap dilakukan meskipun ada jaminan dari presiden. Pemerintah juga dilaporkan telah mencabut beberapa tunjangan untuk meredam kemarahan publik.

Bangladesh (2024): “Revolusi Juli”

Protes di Bangladesh pada tahun 2024, yang dikenal sebagai “Revolusi Juli,” dipicu oleh keputusan pengadilan tinggi untuk mengembalikan sistem kuota pekerjaan pemerintah yang memberikan preferensi bagi keturunan pejuang kemerdekaan. Keputusan ini menyulut kemarahan yang meluas di kalangan populasi muda yang berpendidikan, yang memandang kuota tersebut sebagai bentuk patronage politik yang merusak. Tuntutan ini diperkuat oleh frustrasi yang lebih dalam terhadap korupsi, kurangnya kesempatan ekonomi, dan rezim yang semakin otoriter yang dituduh menekan perbedaan pendapat.

Awalnya damai, gerakan yang dipimpin mahasiswa ini berubah menjadi “gerakan non-kooperasi total” setelah pemerintah merespons dengan kekerasan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru tajam, dan pemutusan internet. Namun, eskalasi kekerasan justru memperkuat tekad para pengunjuk rasa, yang kemudian bersatu dalam perjuangan yang lebih luas melawan rezim yang mereka sebut “fasis.” Puncak dari gerakan ini adalah pengunduran diri Perdana Menteri Sheikh Hasina, yang telah menjadi penguasa terlama di negara itu, dan pelariannya dari negara.

Sri Lanka (2022): “Aragalaya”

Gerakan “Aragalaya” (“Perjuangan”) di Sri Lanka pada tahun 2022 dipimpin oleh kaum muda yang sangat tidak puas dengan krisis ekonomi parah yang disebabkan oleh kesalahan manajemen pemerintah. Pemicu utamanya adalah kekurangan bahan bakar, inflasi yang melonjak, dan pemadaman listrik harian, yang melumpuhkan kehidupan sehari-hari. Tuntutan utama gerakan ini adalah pengunduran diri keluarga Rajapaksa, yang dipandang sebagai simbol korupsi dan nepotisme yang telah mengikis institusi dan menguras ekonomi negara.

Gerakan ini sangat bergantung pada aktivisme digital, dengan tagar seperti #GoHomeGota yang menjadi viral meskipun pemerintah berupaya memblokir media sosial. Meskipun pemerintah merespons dengan metode otoriter, termasuk menyatakan keadaan darurat dan menggunakan kekerasan, protes berhasil memaksa Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri dan melarikan diri dari negara. Hasil jangka panjangnya mencerminkan demografi para pengunjuk rasa, dengan pemilihan umum yang menghasilkan masuknya rekor jumlah perempuan dan anggota parlemen pertama kali ke dalam pemerintahan.

Thailand (2020-2021): Gerakan Pro-Demokrasi

Protes di Thailand dipicu oleh pembubaran partai politik Future Forward pada tahun 2020 dan ketidakpuasan terhadap dominasi militer dan ekonomi yang dipegang oleh aliansi antara monarki, militer, dan pengusaha besar. Tuntutan utama adalah pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, penyusunan konstitusi baru, dan yang paling signifikan dan sebelumnya tabu, reformasi monarki.

Gerakan ini sangat inventif dan menggunakan taktik non-kekerasan kreatif, seperti protes bertema Harry Potter dan meme. Taktik-taktik ini memungkinkan para demonstran untuk mendiskusikan topik tabu, seperti reformasi monarki, di ruang publik dengan cara yang sulit bagi pihak berwenang untuk mengkriminalisasi. Gerakan ini juga menunjukkan aliansi unik antara Gen Z yang digital-native dengan veteran politik “Kaos Merah,” menciptakan sinergi lintas generasi melawan musuh bersama. Meskipun protes berhasil menantang status quo, rezim tetap tangguh, dan tidak ada perubahan politik besar yang terjadi, menunjukkan bahwa taktik kreatif tidak selalu cukup untuk menggulingkan struktur kekuasaan yang mapan.

Myanmar (2021-Sekarang): Gerakan Pembangkangan Sipil dan Perlawanan Bersenjata

Pemicu langsung protes di Myanmar adalah kudeta militer pada 1 Februari 2021, yang menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis. Protes dimulai sebagai gerakan pembangkangan sipil (CDM) yang mencakup mogok massal oleh ratusan ribu pegawai negeri dan demonstran. Taktik non-kekerasan kreatif digunakan secara luas, seperti memukul panci dan wajan untuk mengusir roh jahat, memblokir jalan dengan menumpahkan bawang, dan menyebarkan  longyi tradisional untuk menghalangi tentara, yang takut akan takhayul kuno.

Namun, ketika represi militer menjadi mematikan dan brutal, menggunakan kekuatan fatal, tembakan, dan penyiksaan terhadap para pengunjuk rasa , gerakan ini bertransisi menjadi perlawanan bersenjata. Kaum muda Gen Z, termasuk mantan mahasiswa, guru, dan dokter, membentuk pasukan gerilya seperti People’s Defense Force (PDF). Mereka sekarang terlibat dalam perang saudara, menggunakan taktik gerilya untuk mengontrol hampir setengah wilayah negara. Pergeseran dari protes damai ke perlawanan bersenjata ini menunjukkan bahwa bagi sebagian Gen Z, kegagalan jalur politik non-kekerasan dapat mengarah pada keputusan strategis untuk mengangkat senjata.

Media Digital sebagai Senjata Utama: Taktik Gen Z yang Unik

Aktivisme Gen Z di Asia tidak dapat dipahami tanpa mengakui peran sentral media digital. Teknologi tidak hanya memfasilitasi komunikasi; itu telah menjadi medium untuk taktik, organisasi, dan bahkan identitas kolektif.

Peran Media Sosial dalam Mobilisasi Desentralisasi

Media sosial adalah tulang punggung gerakan-gerakan ini, menyediakan alat yang vital untuk mobilisasi dan komunikasi. Platform seperti Telegram dan LIHKG di Hong Kong, dan Discord di Nepal, memungkinkan mobilisasi yang cepat dan anonim tanpa hierarki terpusat, menyulitkan pemerintah untuk mengidentifikasi dan menangkap pemimpin. Model “tanpa pemimpin” ini adalah pilihan taktis yang disengaja. Gerakan tersebut belajar dari pengalaman sebelumnya, seperti “Revolusi Payung” di Hong Kong pada tahun 2014, yang gagal karena terlalu bergantung pada figur pemimpin yang dapat dengan mudah ditangkap.

Pemanfaatan model “Be Water,” yang diadopsi dari protes Hong Kong dan digunakan kembali di Myanmar , adalah metafora strategis yang melampaui sekadar slogan. Ini adalah taktik yang disengaja untuk menghindari penindasan, di mana aksi protes dapat dengan cepat berpindah lokasi, beradaptasi dengan kondisi, dan menjadi tidak terduga bagi pihak berwenang. Ini adalah manifestasi dari “kecerdasan taktis” yang muncul dari organisasi desentralisasi yang tidak dapat dipecah dengan memenjarakan satu atau dua individu. Penggunaan VPN di Nepal juga menunjukkan ketahanan digital para demonstran dalam menghadapi sensor dan larangan pemerintah.

Penggunaan Memes, Seni, dan Budaya Pop

Gerakan protes Gen Z secara unik merangkul elemen-elemen budaya pop untuk menyebarkan pesan mereka. Di Myanmar, seniman, penyair, dan kartunis menjadi target militer karena karya mereka dianggap memiliki kekuatan untuk memobilisasi massa. Di Thailand, gerakan protes menggunakan meme  Hamtaro dan tema Harry Potter untuk mengolok-olok pemerintah dan mendiskusikan topik politik yang sangat berbahaya, seperti reformasi monarki. Di Nepal, para demonstran menggunakan bendera Jolly Roger dari manga One Piece, yang mencerminkan tema pemberontakan dan kebebasan.

Pemanfaatan meme, seni, dan budaya pop bukan sekadar taktik komunikasi; itu adalah strategi untuk “menormalisasi” pembangkangan dan menurunkan risiko bagi partisipan. Ketika pemerintah menerapkan undang-undang drakonian, seperti lèse-majesté di Thailand atau larangan media sosial di Nepal , untuk mengkriminalisasi perbedaan pendapat, aktivis Gen Z menanggapi dengan menggunakan humor dan referensi yang dapat menyembunyikan pesan politik kritis secara implisit. Strategi ini memungkinkan mereka untuk menarik partisipasi massal, karena mengurangi risiko penangkapan dan menciptakan rasa komunitas yang kuat, di mana “membuat lelucon adalah cara orang biasa menantang penguasa”.

Analisis Komparatif dan Pola Regional

Meskipun setiap gerakan protes memiliki konteks politik yang unik, analisis komparatif mengungkapkan kesamaan yang signifikan.

Lokasi Tahun Pemicu Utama Akar Masalah Taktik Kunci Hasil Jangka Pendek
Nepal 2025 Larangan medsos Korupsi, Nepotisme, Ketidaksetaraan ekonomi Digital (Discord, Instagram), Protes Kekerasan Pengunduran diri PM, Pembakaran Parlemen
Indonesia 2025 Kematian pengemudi ojek daring akibat kekerasan polisi Ketidaksetaraan ekonomi, Kondisi kerja, Keadilan sosial Aksi massa di jalanan, unjuk rasa mahasiswa Presiden menyerukan ketenangan, penyelidikan menyeluruh diperintahkan
Bangladesh 2024 Kuota kerja pemerintah Korupsi, Otokrasi, Ketidaksetaraan ekonomi Non-kooperasi, Aksi Massa PM melarikan diri, Pembentukan pemerintahan sementara
Sri Lanka 2022 Krisis ekonomi Korupsi, Nepotisme, Krisis ekonomi Aktivisme digital (hashtag), Protes massal Presiden mengundurkan diri
Thailand 2020-2021 Pembubaran partai politik Dominasi militer, Monarki, Ketidaksetaraan Kreativitas/Seni/Meme, Milk Tea Alliance Rezim tetap bertahan
Myanmar 2021-sekarang Kudeta militer Otokrasi militer Pembangkangan Sipil (CDM), Perlawanan Bersenjata Konflik internal

Kesamaan dan Perbedaan Utama

Kesamaan:

  • Akar Masalah Bersama: Frustrasi yang meluas terhadap korupsi, nepotisme, dan ketidaksetaraan ekonomi adalah benang merah yang mengikat semua gerakan ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan prospek masa depan bagi kaum muda menjadi bahan bakar utama.
  • Katalis Kecil, Amarah Besar: Pemicu langsung sering kali bersifat kecil namun menyulut kemarahan yang sudah terpendam selama bertahun-tahun (misalnya, larangan media sosial, kuota pekerjaan). Ini menunjukkan bahwa para elit kekuasaan sering kali gagal memahami kedalaman ketidakpuasan yang tersembunyi.
  • Ketergantungan pada Media Digital: Semua gerakan ini sangat bergantung pada media digital untuk mobilisasi, desentralisasi, dan diseminasi pesan. Media sosial berfungsi sebagai ruang publik alternatif di mana perbedaan pendapat dapat berkembang dan taktik dapat dikoordinasikan tanpa hierarki formal.

Perbedaan:

  • Respons Pemerintah: Ada spektrum respons yang luas, dari yang relatif lunak (Sri Lanka) hingga yang brutal dan mematikan (Bangladesh, Myanmar). Di Nepal, kekerasan awal berubah menjadi penyesuaian politik (pengunduran diri PM), tetapi di Myanmar, respons militer yang mematikan mendorong protes dari non-kekerasan menjadi perlawanan bersenjata.
  • Hasil Akhir: Hasilnya sangat bervariasi. Protes di Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka berhasil menggulingkan pemerintah lama, meskipun dengan tingkat kekerasan yang berbeda. Sebaliknya, meskipun Gerakan Pro-Demokrasi Thailand berhasil menantang status quo secara publik, mereka belum berhasil menggulingkan rezim yang sudah mapan. Sementara itu, di Myanmar, protes telah berubah menjadi konflik internal yang berlarut-larut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun pemicu dan taktik serupa, konteks politik domestik dan respons rezim sangat menentukan hasil akhir.

Implikasi Strategis dan Pandangan Masa Depan

Dampak terhadap Stabilitas Politik

Gelombang protes Gen Z telah menunjukkan bahwa institusi politik tradisional di banyak negara Asia sangat rapuh. Kekuatan yang tidak terorganisir dan terdesentralisasi di jalanan memiliki potensi untuk menyebabkan “kehancuran total tata kelola sipil,” seperti yang terlihat di Nepal. Protes-protes ini juga telah memaksa para pemimpin lama untuk mengundurkan diri atau beradaptasi, menggarisbawahi bahwa legitimasi politik tidak lagi hanya berasal dari kotak suara atau struktur kekuasaan tradisional.

Potensi “Efek Domino” di Asia

Banyak pengamat khawatir gelombang protes ini dapat menyebar ke negara tetangga, menciptakan ketidakstabilan regional. Laporan ini menunjukkan bahwa “bahan-bahan” untuk ketidakstabilan ini ada di seluruh Asia, termasuk populasi muda yang besar, pengangguran yang tinggi, ketidaksetaraan, dan korupsi. Namun, penyebaran ini tidak akan terjadi dalam bentuk revolusi yang identik. Sebaliknya, hal itu akan bermanifestasi sebagai “efek limpahan” digital, di mana taktik, filosofi, dan rasa solidaritas (Milk Tea Alliance) menyebar, memberdayakan gerakan-gerakan lokal untuk menantang otoritas mereka sendiri. Jaringan digital memungkinkan gerakan-gerakan untuk belajar dari keberhasilan dan kegagalan satu sama lain, mengadaptasi taktik seperti “Be Water” dan penggunaan meme untuk konteks lokal.

Tantangan Translasi Protes Jalanan menjadi Perubahan Politik Jangka Panjang

Meskipun protes dapat berhasil dalam jangka pendek, mereka sering kali gagal mengubah sistem secara fundamental. Menggulingkan seorang pemimpin jauh lebih mudah daripada menciptakan reformasi politik yang berkelanjutan. Laporan ini menunjukkan dilema sentral dari gerakan desentralisasi: kekuatan mereka dalam mobilisasi dan perusakan juga merupakan kelemahan mereka dalam tata kelola.

Misalnya, di Nepal, kekosongan kekuasaan yang diciptakan oleh protes memicu kekacauan, di mana legitimasi pemerintah baru yang dipilih secara digital dipertanyakan. Bahkan pemimpin yang dipilih oleh gerakan, seperti Sushila Karki, menghadapi tantangan segera. Di Sri Lanka, para demonstran tetap tidak puas dengan pengganti yang dipilih oleh Parlemen, menunjukkan bahwa perubahan kepemimpinan tidak secara otomatis menyelesaikan masalah sistemik. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan-gerakan ini, meskipun efektif dalam menghancurkan, sering kali kurang memiliki agenda programatik yang jelas dan struktur politik yang kredibel untuk membangun kembali. Masa depan gerakan-gerakan ini bergantung pada kemampuan Gen Z untuk menerjemahkan “kemarahan mentah” mereka menjadi “agen solusi”.  Pemerintah di seluruh Asia harus mengakui bahwa represi tidak akan berhasil dalam jangka panjang. Upaya untuk membatasi ekspresi digital, seperti yang terlihat di Nepal, justru akan mengobarkan api yang sudah ada. Sebaliknya, pemerintah harus beradaptasi dan terlibat dengan Gen Z, menanggapi keluhan mereka terhadap korupsi, menciptakan peluang ekonomi, dan membangun kembali kepercayaan pada institusi. Kegagalan untuk melakukannya berisiko menciptakan gelombang ketidakstabilan yang lebih besar di masa depan, karena generasi yang terhubung secara digital ini tidak hanya berjuang untuk pekerjaan, tetapi juga untuk martabat, keadilan, dan kedaulatan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 86 = 87
Powered by MathCaptcha