Definisi dan Etimologi “Sunda Wiwitan”
Sunda Wiwitan, secara etimologis, adalah sebuah frasa dalam bahasa Sunda yang memiliki makna mendalam. Kata “Sunda” mengacu pada identitas etnis dan geografis, sedangkan “Wiwitan” berarti “awal”, “pertama”, “mula”, “jati”, atau “pokok”. Secara harfiah, “Sunda Wiwitan” dapat diartikan sebagai “Sunda yang asli” atau “asal mula Sunda”. Kepercayaan ini merupakan sistem keyakinan asli masyarakat Sunda di Indonesia. Para penganutnya menyatakan bahwa ajaran ini telah menjadi bagian dari cara hidup mereka sejak zaman kuno, jauh sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam ke wilayah Jawa Barat. Oleh karena itu, Sunda Wiwitan dianggap sebagai fondasi spiritualitas dan budaya orang Sunda.
Kerangka Historis dan Geografis
Secara historis, akar kepercayaan Sunda Wiwitan dapat ditelusuri kembali ke masa kerajaan-kerajaan kuno di Jawa Barat, seperti Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda. Meskipun banyak masyarakat Sunda kemudian menganut agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen, sebagian dari mereka tetap teguh mempertahankan tradisi spiritual leluhur ini. Penganut ajaran Sunda Wiwitan saat ini dapat ditemukan di berbagai komunitas adat di Jawa Barat bagian barat dan Banten. Beberapa lokasi utama meliputi Kanekes di Lebak, Banten (dikenal dengan Suku Baduy), Ciptagelar dari Kasepuhan Banten Kidul di Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga di Tasikmalaya, dan Cigugur di Kabupaten Kuningan. Keberadaan mereka yang tersebar ini menunjukkan bagaimana kepercayaan ini telah bertahan dan beradaptasi di tengah mayoritas penganut agama lain.
Dari Masa Lampau ke Konteks Modern
Narasi Sejarah dan Tokoh Kunci
Salah satu tokoh sentral dalam sejarah modern Sunda Wiwitan adalah Sadewa Alibasa Koesoema Widajayaningrat, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Madrais. Ia dianggap sebagai sosok yang memperkenalkan dan melestarikan ajaran ini pada masa lalu. Namun, sejarah Pangeran Madrais juga diliputi kontroversi. Beberapa catatan menyebutkan bahwa ia merupakan keturunan dari salah satu Walisongo, namun ajarannya dianggap berlawanan dengan Sunan Gunung Jati. Terdapat pula versi yang menyebutkan kelahirannya dari hubungan di luar nikah yang kemudian disiasati oleh sang ayah dengan menyebutnya sebagai keturunan makhluk gaib. Di sisi lain, para penganut Sunda Wiwitan meyakini bahwa manusia pertama, Nabi Adam, adalah leluhur mereka, yang dianggap berasal dari Baduy. Pandangan ini menunjukkan adanya upaya untuk membangun narasi yang setara dengan agama-agama Abrahamik, menempatkan kepercayaan mereka pada pijakan yang universal dan kuno.
Transformasi Nama dan Legalitas
Sejarah komunitas Sunda Wiwitan diwarnai oleh perjuangan panjang untuk mendapatkan pengakuan dan menghilangkan stigma. Pada masa kolonial Belanda, kelompok ini sempat dilabeli sebagai ‘Agama Djawa Soenda’ (ADS). Pemberian nama ini, yang dilakukan oleh pihak luar, mencerminkan upaya kategorisasi dan kontrol oleh pemerintah kolonial. Setelah kemerdekaan, ADS dibubarkan dan komunitas ini menghadapi stigma negatif dari masyarakat.
Sebagai respons proaktif, komunitas ini beberapa kali mengubah dan menginstitusionalisasi nama mereka. Nama Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU) muncul sebagai entitas kelembagaan , dan belakangan, sebutan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) menjadi identitas yang melekat. Perubahan nama yang berulang-ulang ini merupakan sebuah strategi adaptasi kultural dan legal yang canggih. Ini bukan sekadar formalitas, tetapi sebuah cara bagi komunitas untuk membangun identitas baru yang positif (komunitas adat yang mempertahankan budaya leluhur ) dan mendapatkan pengakuan resmi dari negara, termasuk terdaftar di pemerintah sejak tahun 1982. Proses ini memperlihatkan ketahanan identitas yang tidak menyerah pada tekanan, melainkan bernegosiasi dengan narasi dominan tanpa mengorbankan esensi ajaran mereka.
Sinkretisme dan Asimilasi
Meskipun penganut Sunda Wiwitan mengklaim ajarannya adalah kepercayaan asli, terdapat bukti bahwa ajaran ini telah mengalami sinkretisme dengan elemen-elemen dari agama Hindu dan, pada tingkat tertentu, Islam. Sebagai contoh, dalam perayaan Seren Taun di Cigugur, upacara dapat juga berlangsung di gereja Katolik, yang menunjukkan adanya akomodasi dan toleransi yang unik. Namun, pengaruh ini tidak terjadi secara pasif. Beberapa narasi historis bahkan menyebutkan kontroversi mengenai ajaran Pangeran Madrais yang dianggap memiliki “perselingkuhan” dengan pihak Belanda, yang konon bertujuan untuk memasukkan pengaruh Katolik ke wilayah Kuningan. Kontroversi semacam ini menyoroti bagaimana narasi historis sering kali digunakan untuk menantang atau menguatkan legitimasi suatu kepercayaan di mata publik.
Kosmologi dan Teologi: Struktur Semesta dan Konsep Ketuhanan
Konsep Monoteisme Sang Hyang Kersa
Inti dari kepercayaan Sunda Wiwitan adalah sebuah sistem monoteisme purba yang berpusat pada satu Tuhan tertinggi. Entitas ilahi tertinggi ini disebut Sang Hyang Kersa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Konsep ini setara dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan juga dirujuk dengan nama-nama lain yang menggambarkan keagungan-Nya, seperti Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Keyakinan ini menunjukkan bahwa Sunda Wiwitan memiliki fondasi teologis yang kuat dan bukan sekadar kepercayaan animisme.
Struktur Tiga Alam Semesta
Kosmologi Sunda Wiwitan membagi alam semesta menjadi tiga dunia utama yang saling terkait.
- Buana Nyungcung (Alam Atas): Merupakan alam tertinggi dan paling suci, tempat bersemayamnya Sang Hyang Kersa.
- Buana Panca Tengah (Alam Tengah): Adalah dunia tempat tinggal manusia dan makhluk hidup lainnya, yaitu bumi. Alam ini juga dikenal sebagai alam kurung atau kurungna rasa.
- Buana Larang (Alam Bawah): Merupakan dunia terlarang yang setara dengan neraka, tempat bagi roh jahat dan makhluk rendah.
Di antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah, terdapat 18 lapisan alam yang disusun dari yang paling suci ke yang kurang suci. Pembagian ini memperlihatkan sebuah sistem teologis yang terperinci dan berlapis.
Panteon dan Hierarki Ilahi
Selain Sang Hyang Kersa, Sunda Wiwitan juga menghormati entitas lain, terutama Dewi Sri atau Sanghyang Sri, yang dikenal sebagai dewi padi dan kesuburan. Ia sangat dihormati dalam upacara-upacara pertanian, seperti Seren Taun, sebagai wujud syukur atas hasil panen. Namun, kepercayaan ini tidak hanya meminjam dewa-dewi dari agama lain secara acak. Sebaliknya, secara teologis, Sunda Wiwitan menempatkan dewa-dewa besar Hindu seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa dalam hierarki yang jelas sebagai bawahan atau subordinates dari Sang Hyang Kersa. Penempatan ini menunjukkan bahwa ajaran Sunda Wiwitan memiliki struktur teologi yang mandiri dan canggih, bukan sekadar sinkretisme yang naif. Ini merupakan mekanisme asimilasi yang bertujuan untuk mempertahankan supremasi entitas ilahi asli mereka, sekaligus memberikan ruang bagi unsur-unsur budaya lain yang masuk.
Konsep | Sunda Wiwitan | Hindu Klasik | Catatan Analisis |
Tuhan Tertinggi | Sang Hyang Kersa / Batara Tunggal (Monoteistik) | Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) (Politeistik) | Sunda Wiwitan menempatkan dewa Hindu sebagai bawahan Sang Hyang Kersa, menegaskan supremasi teologi mereka sendiri. |
Struktur Alam | Buana Nyungcung, Buana Panca Tengah, Buana Larang. Terdapat 18 lapisan di antara dua alam. | Swarga Loka, Bhur Loka, Bhu Loka. | Kosmologi Sunda Wiwitan bersifat vertikal dan berlapis, memiliki kesamaan simbolis namun dengan penamaan dan konsep lokal yang berbeda. |
Dewa/Dewi | Dewi Sri (sentral, agraris) , Dewa-dewa Hindu (bawahan). | Trimurti (sentral) , Dewi Sri (sebagai perwujudan Wisnu). | Sunda Wiwitan memuliakan Dewi Sri sebagai entitas sentral pertanian, sedangkan dewa-dewa Hindu lainnya diintegrasikan dalam hierarki yang lebih rendah. |
Ajaran dan Prinsip Hidup: Pilar Etika Komunitas
Filosofi Moral dari Kitab Suci
Kitab suci Sunda Wiwitan adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Naskah ini adalah teks didaktik yang memuat panduan agama dan moral, aturan, serta pelajaran hidup. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memiliki karakter universal dan tetap relevan di era modern, seperti ajaran untuk menghormati sesama manusia, mencari guru yang beretika dan berilmu tinggi, serta senantiasa menjaga diri dari perilaku buruk. Kitab ini menjadi fondasi etika yang memandu kehidupan spiritual dan sosial penganutnya.
Panduan Moral Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa
Prinsip dasar Sunda Wiwitan berpusat pada dua konsep utama yang mengatur perilaku dan hubungan sosial.
- Cara Ciri Manusia: Merupakan lima elemen fundamental kehidupan manusia. Ini mencakup Welas Asih (kasih sayang dan welas asih), Undak Usuk (tata sosial dan kekeluargaan), Tata Krama (aturan perilaku dan sopan santun), Budi Bahasa dan Budaya (bahasa dan kebudayaan), serta Wiwaha Yudha Naradha (kewaspadaan atau kecurigaan terhadap pengaruh asing atau tak dikenal). Prinsip terakhir ini mencerminkan konservatisme yang melekat dalam kehidupan tradisional untuk menolak pengaruh yang tidak sejalan dengan tradisi mereka.
- Cara Ciri Bangsa: Menyatakan bahwa meskipun manusia memiliki kesamaan dasar, mereka juga mengekspresikan keragaman dalam penampilan (Rupa), adat istiadat (Adat), bahasa (Bahasa), tulisan (Aksara), dan budaya (Budaya).
Konsep Tapa: Ibadah sebagai Laku Nyata
Konsep tapa (pertapaan) dalam Sunda Wiwitan memiliki penafsiran yang berbeda dari praktik spiritual pada umumnya. Alih-alih samadi atau berdiam diri di tempat sunyi, tapa dimaknai sebagai ngabara-tapa-keun, yaitu “banyak kerja dan sedikit bicara”. Sebagai contoh, tapa bagi Suku Baduy adalah bekerja di ladang dan menanam padi sebagai bentuk ibadah. Keimanan mereka kepada Tuhan terwujud secara nyata dalam tindakan mereka menjaga hutan, sungai, dan gunung untuk hidup dalam harmoni.
Pandangan hidup ini menekankan bahwa spiritualitas tidak hanya berpusat pada ritual atau hafalan, tetapi pada keterlibatan aktif dan bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan alam dan kesejahteraan bersama. Penafsiran ini menunjukkan bagaimana ajaran Sunda Wiwitan sangat relevan dengan etika lingkungan dan produktivitas, menjadikannya sebuah pandangan hidup yang praktis dan berorientasi pada ekologi, yang membedakannya secara fundamental dari banyak ajaran spiritual lainnya.
Prinsip | Deskripsi | Contoh Implementasi |
Welas Asih | Saling mengasihi dan menguatkan hubungan. | Prinsip silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasihi, mengasah keterampilan, dan peduli satu sama lain) diterapkan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis. |
Tata Krama | Aturan perilaku dan sopan santun dalam interaksi sosial. | Salam Sampurasun yang berarti “keselamatan untuk kita semua” dan dijawab dengan Rampes atau Rahayu yang berarti “keselamatan”. |
Wiwaha Yudha Naradha | Kewaspadaan terhadap pengaruh asing atau tak dikenal. | Komunitas terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar, namun tetap berpegang teguh pada etika dan ajaran leluhur. |
Ritual, Upacara, dan Seni
Seren Taun: Puncak Syukur dan Kultural
Upacara Seren Taun merupakan salah satu ritual terpenting dalam kepercayaan Sunda Wiwitan. Perayaan ini adalah festival panen tahunan dan ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil bumi yang melimpah, yang telah eksis sejak tahun 1368. Upacara ini menampilkan kekayaan budaya yang signifikan dan sering kali menarik ribuan pengunjung. Rangkaian upacara di Cigugur, Kuningan, sangat beragam, termasuk Menyalakan Damar Sewu yang melambangkan tidak melupakan arah dan tujuan hidup, Upacara Dadung untuk ritual penyeimbangan alam, Tarian Tarawangsa yang bertujuan meningkatkan penghayatan tentang ketuhanan, dan Ngareremokeun, upacara perkawinan benih padi yang dilakukan dengan sakral pada malam hari. Ada pula Tari Buyung yang melukiskan pentingnya sumber mata air.
Ritual Harian dan Komunikatif
Selain upacara besar, praktik ritual harian juga menjadi bagian integral dari kehidupan penganut Sunda Wiwitan. Ritual Sajen (persembahan) dilakukan sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas karunia Sang Hyang Kersa dan para leluhur. Ritual ini juga dianggap sebagai simbol yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam dan Pencipta. Ibadah harian lainnya adalah Olah Rasa, yang dilakukan setiap pagi dan petang sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui penghayatan batin.
Seni sebagai Perlawanan Kultural
Seni dan kerajinan, seperti pantun, kidung , dan seni batik , memiliki peran penting dalam pelestarian dan pewarisan ajaran Sunda Wiwitan. Namun, seni ini juga menjadi alat yang ampuh untuk perlawanan. Perempuan adat Sunda Wiwitan telah menggunakan batik sebagai “karya kebudayaan yang menjadi bentuk perlawanan kultural atas diskriminasi” yang mereka hadapi.
Para penganutnya menghadapi berbagai stigma negatif, namun mereka memilih untuk melawan dengan kreativitas budaya. Juwita Djatikusumah, seorang tokoh adat di Cigugur, menegaskan filosofi ini dengan mengatakan, “Kami menjawab diskriminasi dengan karya, bukan teriak-teriak”. Melalui pameran budaya, tarian, dan kreasi batik yang menceritakan kehidupan mereka, komunitas ini berhasil meruntuhkan stigma dan membangun narasi positif tentang identitas mereka. Pendekatan non-konfrontasional ini adalah sebuah strategi yang bernuansa, menunjukkan bagaimana sebuah kelompok marginal dapat mempertahankan eksistensinya dan melawan hegemoni dengan kekuatan budaya dan kreativitas, alih-alih kekerasan atau konfrontasi terbuka.
Posisi dan Perjuangan di Era Modern
Tantangan dan Diskriminasi
Di era modern, komunitas Sunda Wiwitan terus menghadapi berbagai tantangan, terutama stigma negatif dan diskriminasi. Mereka sering merasa “disisihkan” dan disalahpahami oleh masyarakat luas. Diskriminasi ini terwujud dalam berbagai bentuk, seperti kesulitan dalam mengakses layanan administrasi kependudukan (pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan buku nikah). Selain itu, mereka juga menghadapi konflik perebutan lahan adat di Kuningan, di mana putusan pengadilan dinilai cacat hukum dan tidak memperhatikan sejarah kepemilikan adat mereka. Konflik-konflik ini mengikis hak-hak mereka sebagai masyarakat adat.
Perjuangan Legal dan Sosial
Meskipun menghadapi kesulitan, komunitas ini telah mencapai beberapa kemenangan penting dalam ranah legal. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 yang mengizinkan penghayat kepercayaan untuk mencantumkan keyakinan mereka di KTP dan Kartu Keluarga tanpa perlu menyebutkan nama spesifik aliran mereka. Putusan ini dipandang sebagai kemenangan besar yang menjamin hak konstitusional mereka dan menghilangkan diskriminasi dalam pelayanan publik. Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 72 Tahun 2022 yang secara eksplisit mengakui dan melindungi hak kebebasan beragama dan berkepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan.
Meskipun demikian, terdapat kesenjangan yang nyata antara pengakuan hukum (de jure) dan realitas sosial (de facto). Tulisan menunjukkan bahwa implementasi di lapangan masih bermasalah, dan diskriminasi birokrasi masih menjadi hambatan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa perjuangan komunitas ini tidak berakhir dengan adanya undang-undang, melainkan bergeser ke ranah sosial-kultural untuk mengubah persepsi dan praktik yang sudah mengakar di masyarakat dan birokrasi.
Strategi Bertahan di Era Globalisasi
Komunitas Sunda Wiwitan memiliki filosofi adaptasi yang kuat, yaitu ngindung ka waktu mibapa ka jaman (menginduk pada waktu, membapa pada zaman), yang berarti mereka berpegang teguh pada nilai-nilai leluhur namun tetap beradaptasi dengan kemajuan zaman. Mereka mencoba menyeimbangkan keterbukaan terhadap modernisasi dengan tetap teguh pada tradisi. Namun, kemajuan teknologi, seperti penetrasi smartphone dan televisi, juga membawa tantangan baru, terutama dalam mengurangi kontak sosial dan kepekaan terhadap lingkungan di kalangan generasi muda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan tetua adat tentang hilangnya etika dan kearifan lokal jika tidak dikelola dengan bijak.
Analisis Komparatif dan Kesimpulan
. Perbandingan Filosofis dengan Kepercayaan Lain
- Sunda Wiwitan vs. Kejawen: Keduanya adalah kepercayaan lokal sinkretik yang menghormati alam dan leluhur. Namun, Sunda Wiwitan memiliki struktur kosmologi dan hierarki dewa yang lebih terperinci, dengan penekanan pada hubungan trilogis (Pikukuh Tilu) antara Tuhan, manusia, dan alam. Kejawen, di sisi lain, lebih berfokus pada keselarasan batin dan spiritualitas Jawa yang personal. Konsepmanunggal ing kawula gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan) dalam Kejawen juga menemukan paralel dalam ajaran Sunda Wiwitan, di mana menyatukan budi, rasa, dan pikir dapat membawa seseorang bersatu dengan Tuhan.
- Sunda Wiwitan vs. Parmalim: Kedua ajaran ini adalah kepercayaan monoteistik yang telah berjuang untuk pengakuan di Indonesia. Perbedaan esensial terletak pada entitas ilahi tertinggi (Sang Hyang Kersa dalam Sunda Wiwitan vs Ompu Mulajadi Nabolon dalam Parmalim) dan ritualnya yang khas. Ajaran Parmalim juga sangat kental dengan adat Batak, sementara Sunda Wiwitan berakar pada budaya Sunda.
Aspek | Sunda Wiwitan | Kejawen | Parmalim |
Konsep Ketuhanan | Monoteistik: Sang Hyang Kersa | Monoteistik/Sinkretik, meyakini keesaan Tuhan | Monoteistik: Ompu Mulajadi Nabolon |
Kitab Suci/Naskah | Sanghyang Siksa Kandang Karesian | Banyak sumber, seperti Serat Wedhatama | Tidak ada informasi spesifik dalam sumber. |
Inti Ajaran | Hubungan trilogis Tuhan-Manusia-Alam (Pikukuh Tilu) , etika laku. | Keselarasan batin, spiritualitas Jawa, dan etika sosial. | Penekanan pada adat istiadat dan tradisi Batak. |
Ritual Utama | Seren Taun, Sajen, Olah Rasa. | Selametan, Nyekar (ziarah kubur), Ngebleng (tirakat). | Parmingotan Hatutubu ni Tuhan, Pameleon Bolon. |
Kesimpulan
Berdasarkan analisis, Sunda Wiwitan adalah sistem kepercayaan yang kompleks, bukan sekadar animisme atau sinkretisme tanpa struktur. Teologinya memiliki fondasi monoteistik yang kuat, etika yang berorientasi pada tindakan nyata (terutama dalam pelestarian alam), dan strategi resiliensi yang kreatif dalam menghadapi tantangan zaman. Kasus unik di Kampung Adat Urug, Bogor, memberikan gambaran bahwa identitas Sunda Wiwitan dapat hidup berdampingan dengan agama Islam, di mana ia dimaknai sebagai etnis atau tradisi budaya yang dijaga, bukan sebagai agama yang terpisah.
Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat akar rumput, masyarakat memiliki cara-cara kreatif untuk mengelola pluralisme identitas, yang mungkin lebih efektif daripada kategorisasi formal yang dipaksakan oleh negara. Meskipun telah ada kemenangan hukum seperti putusan MK dan Pergub, perjuangan komunitas ini masih terus berlanjut di ranah sosiokultural untuk mencapai pengakuan yang seutuhnya dan meruntuhkan stigma yang sudah mengakar. Oleh karena itu, masa depan Sunda Wiwitan akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk terus menyeimbangkan tradisi leluhur dengan tuntutan modernisasi, serta pada peran pemerintah dan masyarakat dalam menghargai keberagaman sebagai bagian integral dari warisan bangsa.