Memahami Kaharingan sebagai Jati Diri Suku Dayak

Kaharingan adalah sebuah kepercayaan adat atau agama asli yang dianut oleh masyarakat suku Dayak, terutama di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Indonesia. Istilah “Kaharingan” sendiri berasal dari kata dalam bahasa Dayak Kuno, yaitu “haring”, yang memiliki arti “hidup” atau “kehidupan”. Asal kata ini mencerminkan esensi dari kepercayaan itu sendiri, yaitu jalan kehidupan. Kepercayaan ini tidak hanya terbatas pada suku-suku seperti Katingan, Lawangan, Ma’anyan, Ngaju, dan Ot Danum, tetapi juga mencakup berbagai kelompok Dayak lainnya.

Selain Kaharingan, kepercayaan ini juga dikenal dengan sebutan-sebutan lain yang sarat makna historis, seperti Agama Helo (agama lama), Agama Huran (agama kuno), atau Agama Tato-hiang (agama nenek moyang). Sebutan-sebutan ini menunjukkan bahwa Kaharingan bukanlah fenomena baru, melainkan sebuah sistem keyakinan yang telah mengakar dan diwariskan secara turun-temurun jauh sebelum agama-agama besar lainnya masuk ke wilayah Nusantara. Ia merupakan fondasi spiritual dan budaya yang mendefinisikan identitas asli masyarakat Dayak.

Signifikansi Filosofis dan Kultural

Lebih dari sekadar agama, Kaharingan berfungsi sebagai falsafah hidup yang memandu penganutnya untuk mencapai harmoni dan keseimbangan. Prinsip utamanya adalah menjaga keselarasan antara manusia dengan sesamanya, antara manusia dengan roh-roh suci dan leluhur, serta antara manusia dengan lingkungan alam. Pandangan ini termanifestasi dalam lambang keimanan mereka, yaitu Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Simbol ini menggambarkan hubungan interdependen antara dunia spiritual dan duniawi, mengingatkan penganutnya bahwa kehidupan di dunia bersifat sementara dan harus dijalani dengan seimbang sebagai persiapan menuju kehidupan setelah kematian.

Filosofi ini juga melahirkan kearifan lokal yang luar biasa dalam pelestarian alam. Masyarakat Dayak penganut Kaharingan memiliki aturan dan tabu yang ketat mengenai cara memperlakukan hutan hujan, hewan, dan sumber daya alam. Mereka percaya bahwa melanggar aturan ini akan merusak keseimbangan alam dan membawa dampak buruk bagi komunitas yang bergantung padanya. Ini adalah manifestasi dari sebuah ekoteologi yang telah mapan, di mana spiritualitas dan konservasi lingkungan saling terkait erat. Kaharingan, dengan demikian, bukan hanya sekadar kepercayaan, melainkan sumber pembentukan karakter dan jati diri yang mengakar kuat pada identitas dan budaya Dayak.

Landasan Teologi dan Kosmologi: Antara Monoteisme dan Pluralitas

Konsep Ketuhanan Ranying Hatalla Langit

Pada inti teologi Kaharingan terdapat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang dikenal dengan sebutan Ranying Hatalla Langit. Ia dipandang sebagai Maha Pencipta dan Maha Penentu segala sesuatu, termasuk alam semesta, tujuh lapis langit dan bumi, serta seluruh makhluk hidup. Meskipun Ranying Hatalla Langit adalah pusat dari teologi mereka, penyebutan untuk Tuhan dapat bervariasi di antara sub-suku Dayak, seperti Suwara (Dayak Meratus), Yustu Ha Lattala (Dayak Dusun), atau Moho Tara Danum Diang (Dayak Siang dan Ot Danum).

Perkembangan konsep ketuhanan ini menunjukkan adanya adaptasi yang strategis. Pada masa awal Republik Indonesia, khususnya era Orde Baru, ideologi negara Pancasila dengan prinsip pertamanya, Ketuhanan yang Maha Esa, menempatkan Kaharingan pada posisi yang sulit. Kepercayaan ini, yang pada dasarnya memiliki sistem politeistik dengan banyak dewa, dianggap sebagai “animisme yang belum sempurna” atau bahkan “ateisme”. Stigma ini sangat berbahaya karena terkait erat dengan ideologi komunis yang dilarang saat itu. Menyadari ancaman ini, tokoh-tokoh Dayak, termasuk Tjilik Riwut, secara proaktif mempertegas dan memformalkan konsep monoteisme Ranying Hatalla Langit sejak tahun 1953. Langkah ini merupakan sebuah respons yang disengaja untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan politik dan memastikan kelangsungan hidup kepercayaan mereka. Dengan demikian, penguatan konsep monoteistik dalam Kaharingan bukanlah sekadar perkembangan internal, melainkan sebuah langkah strategis untuk memperoleh legitimasi dan perlindungan dari negara.

Trimurti Lokal: Konsep Raja Telu Hatambuang

Meskipun memfokuskan pada satu Tuhan tertinggi, Kaharingan juga memiliki konsep tiga dewa utama yang disebut Sangiang Utama atau Raja Telu Hatambuang. Ketiga dewa ini adalah Raja Tunggal Sihumang sebagai Pencipta, Mantir Mamalihing Bungai sebagai pengatur Kehidupan, dan Ranjing Tembung Telun sebagai perwujudan Penghancur atau Perubahan. Konsep ini menunjukkan sebuah sistem panteon yang kompleks di bawah naungan Ranying Hatalla Langit.

Ketika Kaharingan berintegrasi ke dalam Hindu Dharma, konsep ini disamakan fungsinya dengan Trimurti Hindu, yaitu Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa kesamaan ini bersifat fungsional dan politis, bukan teologis. Sumber-sumber penelitian secara eksplisit menyatakan bahwa nama-nama dewa dan ajaran dari kedua sistem kepercayaan tersebut “sama sekali tidak ada kesamaan”. Perbedaan fundamental ini menciptakan ketegangan identitas yang signifikan. Integrasi yang terjadi pada tahun 1980, meskipun penting untuk mendapatkan pengakuan negara, secara substansi tidak menyatukan dua sistem kepercayaan yang berbeda. Hal ini menjelaskan mengapa ada ketidakcocokan yang mendalam antara rohaniwan Kaharingan (Basir) dan Hindu (Pedanda) dalam hal ajaran, yang menunjukkan bahwa integrasi tersebut lebih merupakan sebuah perkawinan administratif daripada penyatuan spiritual.

Kosmologi dan Pandangan Alam Semesta

Kosmologi Kaharingan memandang alam semesta sebagai entitas yang hidup dan terbagi menjadi beberapa lapisan. Secara umum, terdapat tiga alam utama: Dunia Atas (Lewu Tatau), yang merupakan tempat arwah-arwah yang telah disucikan; Dunia Bawah, yang dihuni oleh kekuatan gaib dan makhluk halus; dan Dunia Tengah, tempat di mana manusia menjalani kehidupan fana. Keyakinan akan adanya roh-roh alam (ganan) yang mendiami berbagai objek seperti batu, pohon, dan hutan adalah hal yang umum. Selain itu, roh leluhur dianggap sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari, yang dapat memberikan bimbingan dan perlindungan. Burung Enggang atau Rangkong Badak, misalnya, dianggap sebagai manifestasi Ranying Hatalla yang melambangkan keseimbangan antara roh suci dan kehidupan manusia.

Tujuan akhir dari perjalanan arwah setelah kematian adalah mencapai Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, yang secara harfiah berarti “alam atas yang tak terputus tulang”. Pencapaian alam ini adalah puncak dari keyakinan Kaharingan, yang memerlukan upacara tingkat akhir yang sangat kompleks yang disebut  Tiwah. Upacara ini berfungsi sebagai jembatan spiritual untuk mengantar arwah ke tempat keabadiannya, memastikan mereka tidak bergentayangan di dunia tengah.

Pilar Keimanan (Lime Sarahan)

Ajaran dasar Kaharingan dirangkum dalam lima pengakuan keimanan, yang dikenal sebagai Lime Sarahan atau “lima pengakuan”. Pilar-pilar ini mencerminkan hubungan esensial antara manusia dan alam semesta yang ilahi:

  1. Ranying Hatalla Langit Katamparan: Pengakuan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segalanya dan sumber pertama dari keberadaan.
  2. Langit Katambuan: Keyakinan bahwa langit adalah atap dan tumpuan bagi makhluk di bumi, serta sumber penerangan.
  3. Petak Tapajakan: Keyakinan bahwa bumi adalah tempat berpijak dan tempat manusia menerima balasan atas perbuatan baik maupun buruk.
  4. Nyalung Kapanduian: Keyakinan pada air sebagai anugerah Tuhan untuk mensucikan diri, baik secara fisik maupun spiritual.
  5. Kalata Padadukan: Pengakuan bahwa kehidupan di dunia ini hanya bersifat sementara, sehingga manusia harus fokus pada Tuhan daripada godaan duniawi.

Kelima pilar ini membentuk dasar filosofis dan teologis yang komprehensif, mengikat penganut Kaharingan pada sebuah pandangan dunia yang holistik.

Pilar Institusional: Kitab Suci, Simbol, dan Organisasi

Panaturan: Kitab Suci yang Terdigitalisasi

Kitab suci utama dalam agama Kaharingan adalah Panaturan. Nama ini berasal dari kata “Naturan” dalam bahasa Sangiang yang berarti “menuturkan” atau “menyilsilahkan” penciptaan dan fungsinya bagi manusia. Panaturan diyakini sebagai wahyu dari Ranying Hatalla Langit, yang pada awalnya disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi.

Pada tahun 1971, ajaran-ajaran lisan ini mulai disusun ke dalam sebuah buku pedoman. Kitab ini berisi legenda suci, mitos, adat istiadat, dan hukum adat suku Dayak, terutama dari suku Dayak Ngaju dan Ot Danum. Penerbitan pertamanya dilakukan pada tahun 1973 dan kemudian direvisi. Perkembangan modern menunjukkan bahwa Panaturan tidak hanya terbatas dalam bentuk cetak; ia telah didigitalisasi dan tersedia dalam bentuk aplikasi ponsel. Upaya ini menunjukkan adaptasi agama Kaharingan terhadap modernisasi dan teknologi, sebagai langkah strategis untuk melestarikan ajaran bagi generasi mendatang di tengah arus globalisasi.

Batang Garing: Simbol Pohon Kehidupan

Simbol sentral dalam Kaharingan adalah Batang Garing, atau Pohon Kehidupan. Simbol ini berbentuk tombak dengan tiga cabang di setiap sisinya, beberapa mengarah ke atas dan sebagian ke bawah. Bagian atasnya dihiasi dengan burung Enggang dan matahari, yang mewakili Ranying Hatalla, sementara bagian bawahnya memiliki dua wadah yang melambangkan kehidupan di bumi. Secara keseluruhan, simbol ini mencerminkan inti dari keyakinan Kaharingan: perlunya keseimbangan dan keharmonisan antara kehidupan manusia, roh-roh, dan lingkungan alam. Batang Garing bukan hanya ornamen, tetapi menjadi identitas visual yang kuat bagi penganut Kaharingan, sering ditemukan sebagai motif pada bangunan, pakaian, dan benda-benda ritual.

Organisasi dan Tempat Ibadah

Penganut Kaharingan melaksanakan ibadah dan ritual di tempat yang disebut Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Ini adalah pusat komunal tempat mereka berkumpul untuk beribadah dan mengadakan berbagai upacara keagamaan. Untuk mengurus kepentingan keagamaan, terdapat Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK), yang berperan penting dalam mengadvokasi hak-hak penganut dan menjaga kemurnian ajaran. Organisasi ini juga berperan dalam mendirikan lembaga pendidikan dan mempromosikan kegiatan keagamaan, seperti peresmian Balai Induk Kaharingan di Palangka Raya.

Siklus Kehidupan dan Ritual Adat: Manifestasi Filosofi dalam Praktik

Ritual Kelahiran dan Penamaan (Nahunan)

Upacara Nahunan adalah ritual penting dalam siklus kehidupan Kaharingan yang dilakukan untuk memberikan nama dan perlindungan spiritual kepada bayi yang berusia 1 hingga 2 tahun. Upacara ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan ucapan terima kasih kepada bidan yang membantu proses kelahiran. Selama ritual, bayi dimandikan dengan air yang telah disucikan dan diberikan nama. Darah hewan kurban, seperti ayam atau babi, sering digunakan dalam ritual ini untuk membersihkan bayi dari hal-hal negatif dan melindunginya dari roh jahat. Upacara ini dianggap sakral karena diyakini dapat membentuk karakter manusia dan memastikan keselamatan serta rezeki yang melimpah dari Tuhan.

Ritual Perkawinan

Pernikahan dalam Kaharingan dianggap sebagai upacara yang sakral, di mana ajaran Ranying Hatalla Langit menjadi landasannya. Prosesi pernikahan melibatkan beberapa tahapan penting, dimulai dari  Hakumbang Auh (lamaran awal), Maja Misek (meminang), hingga Mananggar Janji (penetapan waktu dan tempat upacara). Salah satu tahapan kunci adalah Manyaki Panganten, di mana kedua mempelai disucikan dengan darah ayam atau babi. Prosesi ini, yang dipimpin oleh rohaniwan, bertujuan untuk membersihkan pasangan dari hal-hal buruk dan memastikan keharmonisan rumah tangga yang baru mereka bangun.

Ritual Kematian dan Pemakaman

Prosesi kematian dalam Kaharingan merupakan serangkaian tahapan yang kompleks. Tahap awal melibatkan pemandian jenazah dan penguburan sementara. Proses ini diikuti oleh upacara yang bertujuan untuk menyerahkan jenazah kepada dewa penunggu kuburan. Namun, upacara pemakaman yang paling penting dan sakral adalah Tiwah.

Upacara Tiwah: Ritual Puncak Transisi Arwah Tiwah adalah upacara kematian tingkat akhir yang bertujuan untuk mengantar arwah orang yang telah meninggal ke surga, yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang. Ini adalah prosesi yang rumit, mahal, dan memakan waktu lama, seringkali berlangsung hingga 30 hari. Ritual ini melibatkan penggalian kembali sisa-sisa jasad, pembersihan tulang-belulang, dan penempatannya di makam khusus yang disebut  Sandung.

Biaya upacara Tiwah bisa mencapai ratusan juta rupiah, terutama karena kebutuhan untuk mengorbankan banyak hewan seperti kerbau, sapi, babi, dan ayam. Biaya yang sangat tinggi ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi penganut Kaharingan. Beban ekonomi ini sering kali menjadi penyebab utama terjadinya konversi agama. Penelitian menunjukkan bahwa banyak penganut Kaharingan beralih ke agama lain, seperti Kristen, karena faktor ekonomi yang tidak memadai untuk menyelenggarakan ritual adat yang begitu mahal. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelangsungan hidup Kaharingan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan keyakinan, tetapi juga oleh kemampuan penganutnya untuk mempertahankan praktik ritual yang biayanya sangat besar.

Ritual Pendamping dan Peran Rohaniwan

Selama upacara Tiwah, dikenal sebuah tradisi unik bernama Babukung atau Habukung. Ini adalah tarian topeng yang lucu dan riang yang bertujuan untuk menghibur keluarga yang sedang berduka. Tarian ini dilakukan oleh para penari yang memakai topeng seram bermotif Sababuka, namun gerakannya dibuat jenaka.

Rohaniwan Kaharingan dikenal dengan sebutan Basir atau Pisor. Mereka adalah pemimpin spiritual yang bertugas memimpin setiap upacara keagamaan, memberikan tuntunan, dan menjadi pelayan bagi umat. Mereka menggunakan bahasa ritual yang sakral, yaitu bahasa Sangiang, yang juga dikenal sebagai bahasa Tuhan. Selain itu, terdapat ritual penyembuhan yang disebut  Balian atau Manyangiang, yang dipimpin oleh seorang dukun (Balian) untuk mengobati berbagai penyakit dengan memanggil roh leluhur dan roh suci. Ritual ini menunjukkan kepercayaan yang mendalam terhadap dunia spiritual sebagai sumber kesembuhan dan kesejahteraan.

Perjuangan Eksistensi: Dinamika Politik dan Sosial

Diskriminasi dan Ketiadaan Pengakuan (Pra-1980)

Sejarah Kaharingan di Indonesia ditandai oleh perjuangan panjang untuk mendapatkan pengakuan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Kaharingan tidak termasuk dalam enam agama resmi yang diakui oleh negara. Penganutnya sering dianggap “atheis” dan bahkan disamakan dengan komunisme, ideologi yang sangat ditakuti pada era tersebut. Konsekuensi dari ketiadaan pengakuan ini adalah diskriminasi yang meluas, di mana penganut Kaharingan mengalami kesulitan dalam mengakses layanan sipil dasar, seperti pencatatan pernikahan dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Integrasi ke dalam Hindu Dharma (1980)

Pada tahun 1980, untuk mengatasi tekanan hukum dan diskriminasi, Kaharingan mengambil langkah strategis dengan mengintegrasikan diri ke dalam Hindu Dharma. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan pragmatis untuk mendapatkan status hukum dan hak-hak sipil yang setara dengan penganut agama lain. Integrasi ini memungkinkan penganut Kaharingan mencantumkan “Hindu” pada kolom agama di KTP mereka, sehingga mempermudah akses mereka terhadap layanan negara.

Namun, integrasi ini juga menciptakan masalah baru. Di tingkat organisasi, penganut Kaharingan sering kali merasa dimarjinalisasi, karena jabatan-jabatan penting dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) cenderung didominasi oleh penganut Hindu Bali. Selain itu, secara fundamental, penggabungan ini mengaburkan identitas asli Kaharingan karena ada perbedaan yang signifikan antara ajaran dan ritual mereka dengan Hindu Dharma. Konsep kitab suci Panaturan diganti dengan Weda, dan anak-anak penganut Kaharingan dipaksa belajar agama Hindu di sekolah. Ini menimbulkan keresahan dan ketidakadilan, memperkuat perasaan bahwa integrasi tersebut lebih merupakan kompromi politik daripada penyatuan spiritual yang tulus.

Dampak Putusan MK 2017 dan Gerakan Otonomi

Titik balik penting terjadi pada tahun 2017 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Putusan ini secara hukum memberikan legitimasi bagi aliran kepercayaan untuk dicantumkan pada dokumen kependudukan. Keputusan ini berdampak besar pada penganut Kaharingan, karena hak-hak sipil mereka, seperti pencatatan perkawinan dan pengisian kolom KTP, menjadi lebih terjamin.

Putusan MK mengubah sifat perjuangan Kaharingan dari defensif menjadi afirmatif. Jika sebelumnya mereka berjuang untuk mendapatkan hak-hak dasar yang terhalang oleh sistem yang diskriminatif, kini mereka berjuang untuk menegaskan identitas mereka secara spesifik. Alih-alih puas dengan kategori umum “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa” atau terus bernaung di bawah Hindu, Majelis Agama Kaharingan (MBAHK) mengajukan permohonan kepada Komnas HAM pada tahun 2018 agar Kaharingan diakui sebagai agama otonom yang terpisah dari Hindu. Gerakan ini mencerminkan keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengakuan yang spesifik, mandiri, dan setara, serta menunjukkan bahwa perjuangan mereka untuk mempertahankan jati diri masih terus berlanjut.

Tantangan Kontemporer dan Upaya Pelestarian di Era Modern

Tantangan Internal dan Eksternal

Meskipun telah mendapatkan legitimasi hukum, Kaharingan masih menghadapi berbagai tantangan. Secara internal, terdapat isu kurangnya pemahaman mendalam tentang ajaran di kalangan penganut muda. Ajaran yang diwariskan secara tradisional dan lisan seringkali tidak memadai untuk membentengi iman mereka di tengah arus modern.

Secara eksternal, tantangan terbesar adalah konversi agama. Seperti yang telah disebutkan, faktor ekonomi menjadi pemicu utama, di mana mahalnya biaya ritual adat seperti  Tiwah membuat sebagian penganut beralih ke agama lain yang menawarkan bantuan ekonomi dan beban spiritual yang lebih ringan. Selain itu, stigma sosial dan anggapan negatif dari pemeluk agama-agama besar masih sering terjadi, di mana ritual adat Kaharingan kerap dianggap “musyrik” atau “kafir”.

Upaya Pelestarian

Untuk mengatasi tantangan ini, berbagai upaya pelestarian telah dilakukan. Lembaga pendidikan, seperti Pendidikan Guru Agama Hindu Kaharingan, didirikan untuk menginternalisasi nilai-nilai agama melalui jalur formal. Organisasi keagamaan seperti Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan juga gencar mengadvokasi hak-hak penganut dan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mempromosikan kepercayaan mereka.

Promosi budaya juga menjadi strategi penting. Ritual-ritual besar seperti Tiwah kini diakui sebagai warisan budaya takbenda dan bahkan dimasukkan dalam kalender acara pariwisata, yang bertujuan untuk memperkenalkan dan melestarikan tradisi ini kepada khalayak yang lebih luas. Selain itu, penggunaan teknologi melalui digitalisasi kitab suci Panaturan juga merupakan langkah maju untuk memastikan bahwa ajaran leluhur tetap hidup dan relevan bagi generasi mendatang.

Kesimpulan

Sebagai sebuah kepercayaan adat yang mengakar kuat pada identitas suku Dayak, Kaharingan telah melalui perjalanan yang penuh tantangan dan adaptasi. Dari ketiadaan pengakuan dan diskriminasi, hingga integrasi politik yang problematis ke dalam Hindu Dharma, dan kini perjuangan untuk otonomi penuh, dinamika Kaharingan mencerminkan keteguhan penganutnya dalam mempertahankan jati diri.

Masa depan Kaharingan akan ditentukan oleh kemampuannya untuk menyeimbangkan tradisi dan modernisasi. Tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan, seperti mahalnya ritual adat dan stigma yang masih ada, harus diatasi dengan solusi yang kreatif. Perjuangan untuk pengakuan sebagai agama otonom pasca-Putusan MK 2017 merupakan langkah krusial yang menunjukkan bahwa Kaharingan tidak lagi hanya berjuang untuk bertahan, melainkan untuk menegaskan posisinya sebagai entitas spiritual yang mandiri dan setara. Pada akhirnya, Kaharingan bukan hanya bagian dari sejarah masa lalu, melainkan manifestasi dari pluralisme spiritual Indonesia yang hidup dan terus berkembang.

Tabel 1: Perbandingan Konseptual Kaharingan dan Hindu Dharma

Aspek Konsep Kaharingan Konsep Hindu Dharma Keterangan Perbedaan/Persamaan
Konsep Ketuhanan Monoteisme: Ranying Hatalla Langit, sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pencipta. Monoteisme: Brahman sebagai realitas tertinggi, dengan konsep Trimurti sebagai manifestasiNya. Kedua kepercayaan memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, namun penyebutan dan manifestasinya berbeda.
Dewa-Dewi Utama Raja Telu Hatambuang: Raja Tunggal Sihumang (Pencipta), Mantir Mamalihing Bungai (Pemelihara), dan Ranjing Tembung Telun (Penghancur/Perubahan). Trimurti: Brahma (Pencipta), Wisnu (Pemelihara), dan Syiwa (Penghancur). Terdapat kesamaan fungsional antara kedua konsep, namun nama dan ajaran spesifiknya berbeda secara fundamental.
Kitab Suci Panaturan, yang disusun dari tradisi lisan, mitos, dan hukum adat Dayak. Weda, yang terdiri dari empat bagian utama dan diyakini sebagai wahyu Ilahi. Kitab suci keduanya berbeda, meskipun ada upaya untuk menyamakan atau mengintegrasikan Panaturan ke dalam konteks Hindu.
Rohaniwan Basir atau Pisor, yang memimpin upacara, berkomunikasi dengan roh, dan menggunakan bahasa Sangiang. Pedanda, yang memimpin upacara dan menggunakan mantra-mantra dalam bahasa Sanskerta. Keduanya memiliki pemimpin spiritual yang berbeda, dengan bahasa dan ajaran yang tidak selaras.
Ritual Utama Tiwah (ritual kematian tingkat akhir) dan Babukung (tarian hiburan dalam duka). Upacara Yadnya (kurban suci), dengan berbagai jenis seperti Manusa Yadnya, Dewa Yadnya, dan lainnya. Meskipun ada praktik kurban hewan yang sama (Yadnya), ritual utama dan tujuannya memiliki ciri khas budaya yang berbeda.

Tabel 2: Rincian Upacara Adat Utama Kaharingan

Nama Upacara Tujuan Perlengkapan Kunci Makna Filosofis
Nahunan Memberikan nama dan perlindungan spiritual pada bayi. Ayam dan babi (untuk kurban), manik-manik, rotan, tanggui layah (topi bidan), sesajen. Ungkapan syukur atas kelahiran dan upaya untuk membentuk karakter baik serta menjalin hubungan dengan alam spiritual sejak dini.
Perkawinan Menyatukan pasangan secara sakral. Rambat (tas rotan), sumpit, rotan (uei ije kadereh), ayam jantan, lilis lamiang. Memastikan keharmonisan rumah tangga melalui ritual penyucian dan ikatan yang sah di mata Tuhan dan leluhur.
Tiwah Mengantar arwah orang yang meninggal ke surga (Lewu Tatau). Kerbau, sapi, babi (kurban), Sandung (makam khusus), Sapundu (patung tiang kurban). Puncak dari siklus kehidupan yang memastikan arwah mencapai tempat keabadian, membebaskannya dari dunia fana.
Habukung Menghibur keluarga yang berduka saat upacara Tiwah. Topeng Bukung bermotif Sababuka dengan gaya lucu dan riang. Meringankan beban emosional keluarga yang berduka dan mengusir roh jahat, menunjukkan bahwa kematian tidak hanya tentang kesedihan tetapi juga transisi.
Balian/Manyangiang Ritual pengobatan dan penyembuhan penyakit. Sesajen, alat musik katambung, beras. Komunikasi dengan roh leluhur dan roh suci untuk memulihkan kesehatan, menunjukkan ketergantungan pada dunia spiritual untuk kesejahteraan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

71 − 70 =
Powered by MathCaptcha