Ugamo Malim, sebuah kepercayaan lokal yang berakar kuat di Tanah Batak, Sumatera Utara, bukan sekadar entitas religius, melainkan warisan spiritual dan budaya yang mendalam. Kepercayaan ini telah bertahan selama berabad-abad, beradaptasi dengan berbagai gelombang sejarah, mulai dari masuknya agama-agama besar hingga modernisasi. Tulisan ini mengkaji secara komprehensif Ugamo Malim, menelusuri definisi, sejarah, teologi, ritual, hingga tantangan yang dihadapinya di era kontemporer.
Definisi dan Terminologi Kunci
Penting untuk membedakan antara terminologi yang digunakan dalam kepercayaan ini. Parmalim adalah sebutan untuk penganut atau pengikut ajaran, sementara Ugamo Malim merujuk pada kelembagaan atau sistem agama itu sendiri. Asal kata Parmalim berasal dari bahasa Batak yang menggabungkan kata Par (pengikut) dan Malim (suci), yang secara harfiah berarti “pengikut ajaran kesucian Hamalimon”. Penjelasan ini menunjukkan bahwa identitas penganutnya terikat erat dengan konsep kesucian. Namun, ada pula interpretasi lain yang menyebut Malim berasal dari bahasa Melayu muallim yang berarti ahli agama , atau dari bahasa Batak yang berarti “lebih terang”.
Inti dari ajaran ini disebut Hamalimon, yang merujuk pada kesucian dan menjadi fondasi bagi nilai-nilai serta praktik keagamaan sehari-hari. Penganutnya memandang diri mereka sebagai penjaga dan pewaris kesucian tersebut, yang menegaskan identitas personal mereka sebagai Parmalim, yakni orang suci. Berbagai istilah ini tidak sekadar menunjukkan perbedaan nama, melainkan merefleksikan sebuah identitas spiritual yang berpusat pada nilai-nilai etika dan moral. Menjadi seorang Parmalim adalah manifestasi dari menjalankan Ugamo Malim, yang berlandaskan pada Hamalimon. Hal ini mengindikasikan bahwa identitas spiritual mereka bersifat substantif, bukan sekadar nominal.
Kedudukan dalam Kebudayaan Batak Toba
Ugamo Malim merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan suku Batak dan diyakini sebagai warisan spiritual yang kaya. Hubungan antara kepercayaan ini dengan adat istiadat sangatlah erat. Di Tanah Batak, keharmonisan hidup tidak hanya ditentukan oleh agama, tetapi juga oleh tradisi Dalihan Na Tolu (tiga tungku), yang menjadi fondasi sistem sosial dan hukum.
Secara demografis, Ugamo Malim merupakan sebuah kepercayaan minoritas. Jumlah penganutnya diperkirakan antara 5.500 hingga 10.000 jiwa, yang tersebar di sekitar 50 komunitas di seluruh Indonesia. Meskipun demikian, pusat utama dari kepercayaan ini berlokasi di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba. Keberadaan kelompok yang secara kuantitatif kecil ini, namun secara kualitatif memiliki peran sentral dalam menjaga identitas budaya Batak, menciptakan sebuah paradoks yang menarik. Peran Parmalim melampaui angka demografisnya, karena ia berfungsi sebagai penjaga warisan sejarah, budaya, dan nilai-nilai luhur yang dianggap otentik bagi suku Batak, bahkan oleh mereka yang tidak menganut kepercayaan ini. Ini menunjukkan bagaimana identitas kultural dan identitas religius dapat saling melengkapi dalam konteks masyarakat yang plural.
Latar Belakang Historis dan Spiritual
Ugamo Malim memiliki akar sejarah yang jauh lebih tua daripada agama-agama besar yang kini mendominasi Indonesia. Kepercayaan ini tidak hanya diwariskan dari generasi ke generasi, tetapi juga mengalami transformasi signifikan sebagai respons terhadap perubahan zaman.
Asal-Usul Kuno
Ugamo Malim diyakini sebagai kelanjutan dari agama kuno suku Batak yang telah ada bahkan sebelum kedatangan agama Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha di Pulau Sumatera. Beberapa sumber menunjukkan bahwa tradisi spiritual ini telah ada sejak sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi, menjadikannya sebaya dengan peradaban Batak itu sendiri.
Dalam tradisi lisan dan ajaran Parmalim, dijelaskan bahwa ajaran ini diwariskan dari Tuhan (Debata Mulajadi Nabolon) melalui empat utusan (Malim Debata) yang diutus secara bertahap. Keempat utusan tersebut adalah Raja Uti, Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi, dan Simaribulubosi. Mereka memiliki kedudukan seperti nabi dalam kepercayaan ini. Keempat utusan inilah yang mengajarkan Ugamo Malim secara turun-temurun hingga masa kepemimpinan Sisingamangaraja XII.
Gerakan Perlawanan dan Institusionalisasi di Era Kolonial
Meskipun memiliki akar kuno, Parmalim secara terorganisir muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda yang dianggap merusak nilai-nilai budaya Batak. Sisingamangaraja XII, yang hidup sekitar tahun 1870 Masehi, dipandang sebagai tokoh sentral yang memprakarsai Ugamo Malim untuk membina dan melestarikan unsur-unsur agama kuno Batak dari ancaman Kristen, Islam, dan kolonialisme. Perannya sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin perjuangan fisik sangat menonjol, terutama karena ia dianggap sebagai titisan Debata Mulajadi Nabolon.
Pusat gerakan ini kemudian dikembangkan secara legal di Desa Hutatinggi, atas perintah langsung dari Sisingamangaraja XII kepada Raja Mulia Naipospos. Pilihan lokasi ini dianggap strategis karena Belanda kurang mencurigai keberadaannya. Pada tahun 1922, Raja Mulia Naipospos melanjutkan gerakannya secara legal, dan sejak saat itu Desa Hutatinggi secara resmi menjadi pusat aktivitas ritual Ugamo Malim.
Perjalanan Parmalim dari kredo kuno menjadi gerakan yang terorganisir menunjukkan bahwa kepercayaan ini bukanlah entitas statis, melainkan respons yang dinamis terhadap tekanan eksternal. Peran sentral Sisingamangaraja XII mengkristalkan identitas Parmalim sebagai sebuah agama perlawanan, yang memadukan spiritualitas dengan perjuangan mempertahankan budaya dan otonomi.
Teologi dan Kosmologi dalam Ugamo Malim
Teologi Ugamo Malim memadukan konsep monoteisme dengan kosmologi tradisional suku Batak. Meskipun penganutnya meyakini Tuhan Tunggal, mereka juga menghormati entitas spiritual lain yang memainkan peran dalam tatanan kosmos.
Konsep Ketuhanan: Debata Mulajadi Nabolon
Inti dari kepercayaan Parmalim adalah keyakinan pada satu Tuhan Tunggal yang disebut Debata Mulajadi Nabolon. Nama Mula Jadi Nabolon secara harfiah berarti “Awal dari Segala Kejadian” atau “Pencipta yang Maha Besar”. Ia diyakini sebagai Pencipta alam semesta dan segala isinya, serta memiliki sifat-sifat yang mirip dengan konsep Tuhan dalam agama-agama monoteistik, seperti menjadi hakim yang adil dan tidak memihak.
Penganut Parmalim memanggil Mulajadi Nabolon dengan sebutan Amang (Bapa) dan Ompung (Kakek/Leluhur). Cara pemanggilan ini memiliki kemiripan dengan bagaimana Bangsa Israel memanggil Jehovah sebagai Bapa dan Leluhur mereka. Misionaris Kristen di masa lalu bahkan menggunakan konsep Debata untuk menerjemahkan kata God dalam bahasa Batak, menunjukkan adanya titik temu dalam konsep ketuhanan.
Kosmologi dan Entitas Spiritual
Meskipun berlandaskan monoteisme, teologi Parmalim juga mencakup entitas spiritual lain yang diyakini sebagai manifestasi dari kekuatan Mulajadi Nabolon. Kosmologi Batak mengenal konsep tiga dunia: dunia atas, dunia tengah (bumi), dan dunia bawah. Beberapa entitas penting yang dihormati dalam kepercayaan ini antara lain Debata Natolu (tiga dewa) yang terdiri dari Batara Guru, Debata Sori, dan Mangala Bulan. Selain itu, mereka juga menghormati Siboru Deak Parujar (pemberi pengetahuan dan keturunan), Naga Padoha Niaji (penguasa dalam tanah), dan Saniang Naga Laut (penguasa air dan kesuburan).
Konsep Spiritual: Jiwa dan Roh
Ugamo Malim memiliki konsep yang jelas mengenai jiwa dan roh. Terdapat tiga konsep utama yang dianut :
- Tondi: Jiwa atau roh yang dimiliki setiap manusia.
- Sahala: Jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki oleh seseorang, terutama tokoh spiritual.
- Begu: Jiwa atau roh orang yang sudah meninggal.
Dalam ritual Sipaha Lima, penganut Parmalim meyakini bahwa sahala marsangap dan sahala martua (roh-roh para Malim) turun ke bumi (Benua Tonga) untuk memberkati umat. Selain itu, sahala ama dan sahala ina (leluhur) di Benua Ginjang (khayangan) juga diyakini menerima persembahan umat.
Namun, perbedaan mendasar antara sahala dan begu sering kali disalahpahami oleh penganut agama lain. Praktik penghormatan terhadap roh leluhur sering kali distereotipkan sebagai pelbeguan (penyembahan setan) oleh umat Kristen atau musyrik (menyekutukan Tuhan) oleh umat Islam. Hal ini merupakan salah satu akar utama diskriminasi yang dihadapi oleh komunitas Parmalim, yang memandang entitas spiritual ini sebagai bagian dari kosmologi yang utuh, yang tetap berada di bawah kekuasaan Mulajadi Nabolon.
Pusaka Suci dan Simbolisme Ikonografis
Kepercayaan Parmalim memiliki pusaka suci yang berfungsi sebagai panduan hidup dan tempat ibadah yang kaya akan makna simbolis. Ini menunjukkan struktur keagamaan yang terorganisir, bukan sekadar kepercayaan verbal.
Kitab-Kitab Suci
Kitab suci utama dalam Ugamo Malim disebut Pustaha Habonaron. Selain itu, terdapat beberapa kitab lain yang memuat ajaran spesifik :
- Kitab Batara Guru: Berisi rahasia penciptaan bumi dan manusia, serta kodrat kehidupan.
- Kitab Debata Sorisohaliapan: Mengatur tatanan hidup, norma, dan aturan adat istiadat yang harus diikuti manusia.
- Kitab Mangala Bulan: Menggambarkan kekuatan Tuhan dan berisi ajaran tentang seni bela diri Batak.
- Kitab Pengobatan: Mengandung ilmu untuk menjaga kesehatan dan cara agar tetap dekat dengan Tuhan.
- Kitab Falsafah Batak: Berisi adat istiadat, budaya, hukum, aksara, seni tari, dan seni musik.
Pembagian kitab-kitab ini menunjukkan bahwa ajaran Parmalim mencakup seluruh aspek kehidupan, dari penciptaan dan teologi hingga aturan sosial, kesehatan, dan seni. Keragaman ini mencerminkan sifat holistik dari kepercayaan yang terintegrasi penuh dengan kebudayaan Batak.
Bale Pasogit: Arsitektur dan Simbolisme
Tempat ibadah utama komunitas Parmalim adalah Bale Pasogit, yang berpusat di Desa Hutatinggi, Toba. Kompleks ini terdiri dari empat bangunan utama dengan arsitektur khas Batak (gorga): Bale Partonggoan (balai doa), Bale Parpiataan (balai sakral), Bale Pangaminan (balai pertemuan), dan Bale Parhobasan (balai dapur).
Ciri ikonografis yang paling menonjol dari Bale Pasogit adalah lambang tiga ekor ayam yang berada di atapnya. Lambang ini memiliki makna simbolis yang mendalam:
- Ayam Hitam melambangkan kebenaran (kebenaran).
- Ayam Putih melambangkan kesucian (kesucian).
- Ayam Merah melambangkan kekuatan atau kekuasaan (kekuatan atau kekuasaan).
Secara keseluruhan, ketiga warna ini merepresentasikan partondion (keimanan) yang pertama kali diturunkan oleh Debata kepada Bangsa Batak. Simbolisme ini memperkuat keyakinan bahwa iman mereka adalah warisan ilahi yang otentik, diwakili secara visual oleh arsitektur tempat ibadah mereka.
Tabel 1: Ringkasan Kitab-Kitab Suci Ugamo Malim
Nama Kitab Suci | Isi dan Makna |
Pustaha Habonaron | Kitab suci utama yang menjadi panduan hidup, mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. |
Kitab Batara Guru | Berisi rahasia penciptaan bumi dan manusia serta kodrat kehidupan. |
Kitab Debata Sorisohaliapan | Mengatur tatanan hidup dan norma, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. |
Kitab Mangala Bulan | Mencerminkan kekuatan Tuhan dan berisi pengetahuan seni bela diri Batak. |
Kitab Pengobatan | Berisi ilmu untuk menjaga kesehatan, menyembuhkan penyakit, dan cara mendekatkan diri kepada Tuhan. |
Kitab Falsafah Batak | Mengatur adat istiadat, budaya, hukum, aksara, seni tari, dan musik. |
Ritual dan Praktik Keagamaan
Kehidupan penganut Parmalim diatur oleh serangkaian ritual yang terstruktur, yang disebut Patik. Ritual-ritual ini tidak hanya sekadar praktik keagamaan, tetapi juga sebuah manifestasi dari hubungan spiritual antara umat, Tuhan, dan siklus kehidupan.
Tujuh Aturan Dasar Ugamo Malim
Ada tujuh aturan dasar (patik) yang wajib diikuti oleh setiap penganut Ugamo Malim :
- Martutuaek: Ritual kelahiran.
- Pasahat Tondi: Ritual kematian.
- Mararisabtu: Ibadah mingguan yang dilaksanakan setiap hari Sabtu.
- Mardebata: Ibadah pribadi yang dilakukan sesuai niat individu.
- Mangan Mapaet: Ritual memohon pengampunan dosa.
- Sipaha Sada: Perayaan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi.
- Sipaha Lima: Perayaan persembahan atau kurban.
Selain ketujuh aturan tersebut, penganut Parmalim juga memiliki pantangan dalam hal makanan, seperti daging babi, anjing, dan darah.
Ibadah dan Perayaan Tahunan
Hari suci bagi Parmalim adalah Sabtu, di mana mereka beristirahat dari segala rutinitas duniawi untuk beribadah dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Debata Mulajadi Nabolon. Sebelum perayaan besar, umat Parmalim melakukan ritual Mangan Mapaet sebagai bentuk pertobatan dan mohon ampunan dosa, dengan mengonsumsi makanan yang pahit, asam, pedas, dan asin.
Dua perayaan tahunan utama adalah Sipaha Sada dan Sipaha Lima. Sipaha Sada merupakan perayaan tahun baru Batak yang juga memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi. Perayaan ini melibatkan persembahan sesaji (pele) dan kurban sebagai wujud syukur. Sementara itu, Sipaha Lima adalah ritual syukuran atas hasil panen yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
Pelaksanaan ritual Sipaha Lima dibagi menjadi tiga tahapan selama tiga hari :
- Parsahadatan (Pembukaan): Hari pertama, diisi dengan pemanjatan doa dan ikrar kepada Mulajadi Nabolon.
- Pameleon (Persembahan Sesaji): Puncak ritual yang berlangsung pada hari kedua, di mana penganut mengenakan pakaian upacara lengkap dan melakukan persembahan kurban, seperti kerbau atau lembu.
- Panantion (Penutup): Hari ketiga, diisi dengan mendengarkan ceramah, nasihat dari pemimpin, dan pembagian daging kurban.
Tabel 2: Perbandingan Ritual Tahunan Utama Parmalim
Aspek | Sipaha Sada | Sipaha Lima |
Tujuan Utama | Memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi. | Mengucapkan syukur atas hasil panen tahunan. |
Waktu Pelaksanaan | Bulan pertama dalam kalender Batak (sekitar Maret). | Bulan kelima dalam kalender Batak (sekitar Juni-Juli). |
Elemen Kunci | Persembahan sesaji pele dan kurban ayam atau kambing. | Persembahan kurban kerbau atau lembu, dilakukan dalam tiga tahapan. |
Pakaian & Aturan | Pakaian upacara lengkap. | Pakaian upacara lengkap. |
Simbolisme | Simbol kemenangan iman atas iblis. | Ungkapan syukur kepada alam. |
Keterikatan ritual-ritual ini dengan siklus alamiah, seperti tahun baru dan musim panen, menunjukkan sebuah teologi yang tidak abstrak, melainkan terikat erat dengan realitas ekologis dan mata pencaharian komunitas Batak. Hal ini sejalan dengan konsep teologi alamiah (natural theology) yang diyakini dalam kepercayaan Parmalim.
Peran Ihutan (pemimpin spiritual) sangat sentral dalam pelaksanaan ritual. Ia bertindak sebagai “wakil dari Raja Nasiakbagi” dan menjadi satu-satunya yang diperkenankan manortor (menari) di depan sesaji. Sementara jemaat lainnya hanya melakukan mangatea (menyembah dengan sepuluh jari) dalam posisi duduk. Posisi ini mengukuhkan Ihutan sebagai mediator spiritual antara umat dan Debata Mulajadi Nabolon. Peran ini juga menjelaskan mengapa polemik suksesi Ihutan yang pernah terjadi bukan hanya masalah organisasi, melainkan sebuah perselisihan mendasar tentang sumber legitimasi otoritas spiritual.
Dinamika Sosial dan Tantangan Kontemporer
Komunitas Parmalim, sebagai kelompok minoritas, menghadapi berbagai dinamika sosial, baik dari dalam maupun luar, yang menguji ketahanan ajaran dan keberadaan mereka.
Struktur Organisasi Komunitas
Secara struktural, Ugamo Malim memiliki hierarki kepemimpinan yang terorganisir. Tingkatan tertinggi dipimpin oleh seorang Ihutan. Di bawahnya, terdapat Ulu Punguan yang memimpin kelompok regional (Punguan) yang tersebar di berbagai wilayah. Ulu Punguan dipilih melalui musyawarah oleh jemaat Parmalim, menunjukkan adanya mekanisme pengambilan keputusan yang kolektif.
Perpecahan Internal dan Isu Kepemimpinan
Pada tahun 2017, komunitas Parmalim mengalami perpecahan menjadi dua kubu besar, satu dipimpin oleh Monang Naipospos, dan yang lainnya oleh Poltak Naipospos. Perbedaan mendasar antara kedua kubu ini terletak pada metode suksesi Ihutan (melalui garis keturunan vs. lainnya) dan lokasi wajib pelaksanaan ritual Sipaha Lima (wajib di Huta Tinggi vs. bisa di tempat lain).
Perpecahan ini dapat dilihat sebagai sebuah manifestasi dari pergulatan internal untuk mempertahankan identitas. Perdebatan tentang suksesi dan lokasi ritual menyentuh inti dari tradisi dan dogma mereka, yaitu bagaimana cara terbaik untuk mempertahankan otentisitas ajaran. Konflik ini, pada dasarnya, adalah sebuah dialektika antara tradisi (sacred space di Hutatinggi dan garis keturunan) dan adaptasi (Sipaha Lima di luar Huta Tinggi).
Diskriminasi dan Toleransi
Penganut Parmalim kerap menghadapi diskriminasi dan stigma dari masyarakat. Salah satu stereotip yang paling umum adalah sebutan sipele begu (penyembah setan), yang berakar dari kesalahpahaman tentang praktik penghormatan roh leluhur. Diskriminasi ini juga merambah ke sektor pendidikan dan pekerjaan, di mana mereka sering kali dipaksa memilih agama lain untuk mengisi kolom di dokumen administratif, atau terdiskriminasi jika mengosongkan kolom tersebut.
Namun, di tengah tantangan tersebut, komunitas Parmalim justru menunjukkan sikap toleransi yang luar biasa. Mereka sangat menghargai agama lain dan percaya bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Sikap ini terlihat dari bagaimana mereka melanjutkan ibadah mereka tanpa merasa terganggu oleh suara azan yang keras dari masjid terdekat. Sikap toleransi ini tidak hanya sebuah nilai, tetapi juga strategi bertahan hidup bagi kelompok minoritas, yang memungkinkan mereka membangun jembatan sosial dan meredakan stigma.
Status Hukum dan Tantangan Administrasi Negara
Perjalanan Parmalim dalam mendapatkan pengakuan hukum dari negara mencerminkan perjuangan panjang penghayat kepercayaan di Indonesia.
Perjuangan Pengakuan Legal: Sebelum Putusan MK
Sebelum tahun 2017, Parmalim dan kepercayaan lokal lainnya tidak diakui secara legal sebagai agama oleh negara. Mereka ditempatkan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang secara implisit mengkategorikan mereka sebagai “budaya” dan bukan “agama”. Situasi ini menyebabkan kesulitan administratif, di mana kolom agama di KTP dikosongkan. Kekosongan ini pada gilirannya memicu diskriminasi sosial, terutama dalam hal mencari pekerjaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016
Sebuah titik balik penting terjadi pada 7 November 2017, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Putusan ini memberikan legitimasi yang kuat bagi penghayat kepercayaan untuk mencantumkan identitas mereka di dokumen kependudukan, termasuk KTP dan Kartu Keluarga. Tokoh Parmalim, Monang Naipospos, menyambut baik putusan ini dan berharap dapat diterapkan secara seragam di seluruh instansi pemerintah.
Tantangan Implementasi dan Implikasi Pasca-Putusan
Meskipun merupakan kemenangan hukum yang signifikan, putusan MK belum menjadi solusi yang sempurna. Tantangan implementasi masih terjadi, termasuk:
- Identitas yang dicantumkan secara seragam sebagai “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME,” tanpa mencantumkan nama spesifik kepercayaan, seperti Parmalim.
- Kurangnya kolom khusus untuk nama kepercayaan di Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118/2017.
- Implementasi yang belum seragam di tingkat daerah.
- Diskriminasi yang masih berlanjut di sektor swasta, yang enggan mempekerjakan individu dengan identitas “Penghayat Kepercayaan”.
Kemenangan di Mahkamah Konstitusi, meskipun krusial untuk memenuhi hak-hak sipil dasar, telah melahirkan tantangan identitas baru. Label generik yang diberikan oleh negara dapat mengikis identitas spesifik dari komunitas seperti Parmalim. Ini adalah dilema yang kompleks: antara diakui secara umum oleh negara atau mempertahankan identitas spesifik yang berisiko memicu diskriminasi.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian mendalam ini, dapat disimpulkan bahwa Ugamo Malim adalah sebuah kepercayaan yang sangat kompleks dan multidimensional. Ia bermula sebagai tradisi leluhur kuno yang kemudian berevolusi menjadi gerakan perlawanan dan kini berjuang sebagai agama minoritas yang gigih. Teologinya unik, berpusat pada Tuhan Tunggal (Mulajadi Nabolon) namun terintegrasi dengan kosmologi dan penghormatan terhadap roh leluhur. Ritualnya yang terstruktur dan terikat erat dengan siklus alam menunjukkan sebuah teologi yang tidak abstrak, melainkan terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Komunitas ini menghadapi tantangan internal (perpecahan) yang mencerminkan perjuangan untuk mendefinisikan otentisitasnya, serta tantangan eksternal (diskriminasi) yang mengancam eksistensinya. Namun, mereka telah menunjukkan ketahanan dan toleransi yang luar biasa sebagai strategi adaptasi dan bertahan hidup. Meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi 2017 memberikan kepastian hukum, tantangan implementasi dan isu homogenisasi identitas masih menjadi persoalan yang harus dihadapi.