Setelah kegagalan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dalam mencegah Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan pada tahun 1945 dengan mandat utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dalam struktur PBB, Dewan Keamanan (DK) merupakan organ yang memiliki kekuasaan paling signifikan untuk mengambil tindakan yang mengikat secara hukum bagi seluruh negara anggota. Namun, arsitektur kekuasaan di dalam DK didasarkan pada sebuah paradoks fundamental: lima anggota tetap (Permanent Five atau P5)—Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis, dan Inggris—diberikan hak istimewa yang dikenal sebagai hak veto. Meskipun dirancang untuk mengakomodasi realitas geopolitik pasca-Perang Dunia II, keberadaan dan penggunaan hak veto ini sering kali dianggap sebagai warisan masa lalu yang secara langsung bertentangan dengan prinsip kesetaraan kedaulatan dan menjadi hambatan utama bagi efektivitas DK PBB di masa kini.

Hak Veto PBB: Konsep, Landasan, dan Sejarah Pembentukannya

Definisi dan Sifat Hak Veto

Secara etimologis, kata “veto” berasal dari bahasa Latin yang berarti “saya menolak”. Dalam konteks PBB, hak veto adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan—Amerika Serikat (AS), China, Prancis, Rusia, dan Inggris—untuk membatalkan keputusan, ketetapan, atau rancangan resolusi yang diajukan kepada Dewan. Berbeda dengan suara negatif pada umumnya yang dipertimbangkan bersama suara setuju, satu suara veto saja sudah cukup untuk secara total membatalkan sebuah keputusan tanpa perlu melanjutkan proses pemungutan suara lebih lanjut. Kelima negara ini, yang dikenal sebagai P5, memiliki kekuasaan istimewa ini bahkan jika suatu keputusan didukung oleh mayoritas anggota DK lainnya.

Landasan Hukum Piagam PBB

Meskipun istilah “hak veto” tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB, keberadaannya secara implisit diatur dalam Bab V, Pasal 27 Ayat (3). Pasal ini menetapkan bahwa keputusan Dewan Keamanan mengenai hal-hal non-prosedural harus ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota, termasuk suara bulat dari lima anggota tetap. Ayat ini juga mensyaratkan bahwa pihak yang berselisih harus abstain dari pemungutan suara dalam keputusan yang diambil di bawah Bab VI (tentang penyelesaian sengketa secara damai).

Penafsiran dari Pasal 27 Ayat (3) ini merupakan kunci untuk memahami hak veto. Para perancang Piagam secara sengaja menciptakan ambiguitas di dalamnya. Pertanyaan krusial muncul dalam membedakan antara “masalah prosedural” dan “non-prosedural.” Pada pertemuan di San Francisco, empat negara besar (AS, Uni Soviet, Inggris, dan China) membuat sebuah daftar yang membedakan keduanya, dan menetapkan bahwa jika ada keraguan apakah suatu kasus termasuk prosedural atau non-prosedural, masalah tersebut secara otomatis akan dianggap sebagai masalah non-prosedural. Keputusan ini menunjukkan bahwa para perancang Piagam PBB secara sadar membangun sebuah mekanisme yang dapat menjamin kekuasaan mutlak bagi P5. Dengan menetapkan ambiguitas ini, P5 memastikan bahwa tidak ada tindakan yang dapat diambil terhadap mereka atau sekutu mereka tanpa persetujuan mereka, yang pada dasarnya menyubordinasikan tujuan awal Piagam—yaitu menjaga perdamaian—di bawah kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan geopolitik negara-negara kuat.

Sejarah Lahirnya Hak Veto: Dari Konferensi Dumbarton Oaks hingga Piagam San Francisco

Gagasan tentang sebuah organisasi internasional yang berdedikasi untuk menjaga perdamaian dan keamanan global mulai muncul pada tahun 1944. Perwakilan dari China, Inggris, Uni Soviet, dan AS bertemu di Konferensi Dumbarton Oaks di Washington D.C. untuk merumuskan struktur organisasi tersebut. Salah satu proposal utama dari konferensi ini adalah pembentukan Dewan Keamanan yang terdiri dari sebelas anggota, lima di antaranya akan menjadi anggota tetap.  Namun, metode pemungutan suara dalam Dewan Keamanan, khususnya mengenai hak veto, menjadi isu yang paling memicu perdebatan sengit. Masalah ini tidak dapat diselesaikan di Dumbarton Oaks dan baru menemui titik terang di Konferensi Yalta pada 11 Februari 1945. Di sana, para “Big Three” (Roosevelt, Churchill, dan Stalin) dan kemudian “Big Five” (setelah ditambah Prancis dan China) bersikeras untuk memiliki hak veto.

Hak veto dapat dipahami sebagai “imbalan” atau “harga” yang harus dibayar oleh komunitas internasional agar para pemenang Perang Dunia II bersedia berpartisipasi penuh dalam organisasi perdamaian global. Pemberian hak istimewa ini didasarkan pada argumen bahwa kelima negara ini memikul “tanggung jawab utama” untuk perdamaian dan keamanan internasional karena kekuatan militer dan ekonomi mereka. Pengalaman dari kegagalan Liga Bangsa-Bangsa, yang tidak mampu mencegah Perang Dunia II karena ketidakikutsertaan negara-negara kuat dan ketidakmampuan untuk menegakkan keputusannya, menjadi pelajaran berharga bagi para perancang Piagam PBB. Mereka memandang partisipasi P5 sebagai elemen krusial untuk mencegah terulangnya kegagalan LBB. Ini menunjukkan bahwa PBB, pada dasarnya, tidak didirikan di atas prinsip kesetaraan, melainkan di atas realitas politik yang mengakui dominasi kekuatan besar.

Negara Anggota Tetap Total Veto yang Digunakan (hingga 2023) Pola Penggunaan Kunci
Rusia (Uni Soviet) 123 Paling sering digunakan pada era Perang Dingin untuk memblokir penerimaan anggota baru dan resolusi terkait konflik, termasuk referendum Krimea 2014 dan invasi Ukraina 2022.
Amerika Serikat 89 Paling sering digunakan sejak 1945, lebih dari separuhnya digunakan untuk melindungi Israel dari resolusi yang mengkritiknya.
Inggris 32 Digunakan secara signifikan pada era Perang Dingin.
Prancis 18 Digunakan secara signifikan pada era Perang Dingin.
China 18 Menggunakan veto lebih sering sejak 1990-an untuk melindungi kepentingan nasional dan sekutu.

Hak Veto sebagai Pedang Bermata Dua bagi Perdamaian Internasional

Argumen yang Mendukung Keberadaan Hak Veto

Meskipun menuai banyak kritik, hak veto juga memiliki argumen yang mendukung keberadaannya. Salah satu argumen utama adalah bahwa veto berfungsi sebagai alat kontrol dan keseimbangan kekuasaan dalam Dewan Keamanan. Tujuan dari mekanisme ini adalah untuk mencegah pengambilan keputusan sepihak yang dapat mengancam kepentingan nasional P5 dan, yang lebih penting, memicu ketegangan geopolitik atau bahkan perang besar. Dengan memberikan hak veto, para perancang Piagam PBB berharap dapat mencegah negara-negara besar untuk mengambil tindakan yang dapat memprovokasi konflik global. Selain itu, adanya ancaman veto juga dapat mendorong diplomasi dan negosiasi yang lebih intens di antara negara-negara anggota untuk mencapai konsensus. Karena satu suara veto dapat menggagalkan seluruh resolusi, negara-negara cenderung berupaya mencapai kesepakatan terlebih dahulu daripada mengajukan rancangan yang berisiko diveto.

Argumen yang Menentang Hak Veto dan Implikasi Negatifnya

Di sisi lain, kritik terhadap hak veto jauh lebih kuat dan beragam. Banyak pihak menganggap bahwa hak veto adalah peninggalan Perang Dunia II yang sudah tidak relevan dengan tatanan dunia yang semakin global dan demokratis. Keberadaannya secara fundamental bertentangan dengan asas “kesetaraan kedaulatan” (sovereign equality) yang menjadi salah satu prinsip dasar PBB, karena ia menempatkan kelima anggota tetap pada posisi yang lebih tinggi dan istimewa dibandingkan dengan negara-negara anggota lainnya.

Dampak paling signifikan dari hak veto adalah kemampuannya untuk melumpuhkan Dewan Keamanan, terutama dalam menghadapi krisis global yang memerlukan respons cepat. Ketika satu dari lima negara menggunakan veto, proses pengambilan keputusan menjadi buntu, yang secara efektif menghalangi DK PBB untuk mengambil tindakan yang didukung oleh mayoritas. Hal ini dapat memperpanjang penderitaan manusia dalam konflik bersenjata dan menghambat upaya perdamaian. Penggunaan hak veto sering kali dianggap tidak bertujuan untuk menjaga perdamaian dunia, melainkan untuk melindungi kepentingan nasional yang sempit dan mempertahankan hegemoni negara-negara kuat.

Kritik terhadap hak veto bukanlah fenomena baru, melainkan telah ada sejak dekade awal PBB. Presiden Sukarno dari Indonesia, dalam pidatonya yang terkenal “To Build the World Anew” di hadapan Majelis Umum PBB pada tahun 1960, mengecam struktur PBB yang kolot dan mengkritik hak veto yang mencerminkan “peta ekonomi, militer, dan kekuatan dunia tahun 1945” yang tidak lagi relevan dengan kebangkitan negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka. Sukarno berpendapat bahwa nasib umat manusia tidak bisa lagi ditentukan oleh segelintir bangsa besar dan kuat, dan ia mendesak perombakan total Piagam PBB. Sebagai respons langsung terhadap kegagalan PBB dalam mengindahkan sarannya dan dalam menghadapi realitas bahwa pemegang veto mendukung “proyek” Malaysia yang ditentangnya, Sukarno memutuskan untuk membawa Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada Januari 1965. Sikap ini menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap veto adalah isu struktural yang sudah mengakar sejak dekade pertama berdirinya organisasi.

Hak veto juga menciptakan fenomena yang dapat digambarkan sebagai “moral hazard,” di mana anggota P5 memiliki kekuasaan mutlak untuk bertindak sebagai “polisi” dunia, tetapi pada saat yang sama, mereka kebal dari konsekuensi tindakan mereka sendiri. Ketika salah satu anggota tetap terlibat langsung dalam suatu konflik, seperti invasi Rusia ke Ukraina, mereka dapat menggunakan veto untuk memblokir resolusi yang mengutuk tindakan mereka. Hal ini secara fundamental mengkhianati tujuan PBB dan menunjukkan bahwa organisasi ini tidak berdaya ketika konflik melibatkan salah satu anggota terkuatnya.

Manifestasi Hak Veto dalam Konflik Kontemporer: Studi Kasus Mendalam

Penggunaan hak veto bukan sekadar masalah teoretis, tetapi memiliki dampak nyata dalam praktik diplomasi dan resolusi konflik. Berikut adalah beberapa studi kasus kunci yang mengilustrasikan manifestasi dari hak istimewa ini dalam dinamika geopolitik global.

Hak Veto Amerika Serikat dalam Konflik Palestina-Israel

Amerika Serikat adalah negara yang paling sering menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi yang mengkritik atau merugikan sekutunya, Israel. Sejak tahun 1945, AS telah menggunakan veto sebanyak 89 kali, dan lebih dari separuh dari jumlah tersebut—tepatnya 45 veto—digunakan untuk menolak resolusi yang berkaitan dengan pendudukan Israel di wilayah Palestina atau perlakuan terhadap rakyat Palestina.

Contoh terbaru yang paling menonjol adalah veto AS terhadap resolusi gencatan senjata di Gaza. AS telah memveto resolusi tersebut sebanyak lima kali, dengan alasan bahwa Dewan perlu membiarkan diplomasi AS berjalan dan bahwa rancangan resolusi tersebut tidak mendukung hak Israel untuk membela diri. Veto ini secara efektif telah menghalangi upaya kolektif internasional untuk menghentikan kekerasan dan memberikan bantuan kemanusiaan tanpa batas di Gaza.

Dampak dari penggunaan veto AS sangat signifikan. Veto ini telah menyulitkan Palestina untuk memperjuangkan hak-haknya di forum internasional dan mengurangi legitimasi perjuangan mereka. Hal ini juga dianggap sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi bersama untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah, karena tindakan AS membatalkan suara negara-negara lain yang mendukung Palestina.

Hak Veto Rusia dalam Konflik Suriah dan Ukraina

Rusia telah menggunakan hak vetonya secara strategis untuk melindungi sekutunya dan kepentingannya di berbagai konflik. Dalam Perang Saudara Suriah, Rusia menggunakan veto lebih dari selusin kali untuk menolak resolusi yang menekan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad, termasuk resolusi yang menyerukan penyelidikan atas penggunaan senjata kimia. Penggunaan veto ini secara efektif melumpuhkan kemampuan DK PBB untuk mengambil tindakan lebih lanjut terhadap pemerintah Suriah, yang berdampak langsung pada berlarut-larutnya konflik dan krisis kemanusiaan.

Pada tahun 2014, Rusia memveto rancangan resolusi untuk memblokir referendum Krimea. Veto ini mengakibatkan DK PBB gagal menghentikan referendum yang dianggap tidak sah oleh komunitas internasional, yang pada akhirnya menyebabkan status hukum Krimea menjadi tidak jelas. Contoh paling mencolok adalah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022, di mana Rusia menggunakan veto untuk memblokir resolusi yang mengutuk agresinya sendiri. Kasus ini menunjukkan secara gamblang bagaimana hak veto dapat digunakan untuk melindungi tindakan agresi militer yang bertentangan dengan Piagam PBB itu sendiri.

Hak Veto Tiongkok dalam Isu Hak Asasi Manusia dan Geopolitik

Tiongkok, sering kali bekerja sama dengan Rusia, cenderung menggunakan hak vetonya untuk melindungi negara-negara yang memiliki kepentingan ekonomi atau aliansi dengannya. Pada tahun 2007, Tiongkok memveto resolusi yang mengkritik pelanggaran hak asasi manusia oleh junta militer Myanmar dengan alasan bahwa isu tersebut adalah urusan internal Myanmar dan bukan ranah Dewan Keamanan PBB.

Contoh lainnya adalah ketika Tiongkok dan Rusia bersekutu untuk memveto sanksi tambahan terhadap Korea Utara pada tahun 2022 setelah negara tersebut melakukan uji coba rudal balistik. Mereka beralasan bahwa sanksi tambahan tidak akan efektif dan hanya akan memperburuk kondisi kemanusiaan di Korea Utara. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana kepentingan geopolitik dan ekonomi sering kali menjadi prioritas di atas isu-isu kemanusiaan dan perdamaian global.

Tanggal Negara Pemegang Veto Isu/Konflik Resolusi yang Diveto Dampak Singkat
2014 Rusia Referendum Krimea Rancangan resolusi untuk memblokir referendum Kegagalan PBB menghentikan referendum; status hukum Krimea tidak jelas.
2017 Amerika Serikat Konflik Palestina-Israel Resolusi menolak pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel Resolusi gagal disahkan; menghambat perjuangan Palestina di forum internasional.
2018 Rusia Perang Saudara Suriah Resolusi yang menuntut penyelidikan atas penggunaan senjata kimia Mencegah PBB mengambil tindakan lebih lanjut terhadap pemerintah Suriah.
2022 Rusia Invasi ke Ukraina Resolusi yang mengutuk invasi dan menuntut penarikan pasukan Melumpuhkan DK PBB dari mengambil tindakan terhadap agresinya sendiri.
2023 Amerika Serikat Konflik Israel-Palestina Resolusi gencatan senjata di Gaza Menghalangi upaya kolektif internasional untuk menghentikan kekerasan dan memberikan bantuan kemanusiaan.

Gerakan dan Usulan Reformasi Hak Veto Dewan Keamanan PBB

Tantangan Struktural dan Politik dalam Proses Reformasi

Meskipun kritik terhadap hak veto terus bergema, upaya untuk mereformasinya menghadapi tantangan yang sangat besar. Rintangan terbesar adalah keengganan dari kelima anggota tetap DK PBB untuk melepaskan status istimewa mereka. Analisis menunjukkan bahwa hambatan utama bagi reformasi adalah “sifat angkuh, egois, dan tidak adanya kemauan” dari para pemegang veto untuk mempertahankan hegemoni dan kepentingan nasional mereka.

Secara prosedural, reformasi Piagam PBB adalah proses yang sangat sulit. Amandemen Piagam memerlukan persetujuan dari dua pertiga (2/3) negara anggota PBB dan ratifikasi dari semua anggota tetap DK PBB. Ini menciptakan siklus yang mustahil: negara-negara yang memiliki kekuatan untuk memblokir reformasi adalah negara-negara yang paling tidak ingin reformasi terjadi. Logika yang mengatur proses reformasi PBB sangat cacat karena memberikan P5 kontrol penuh atas masa depan organisasi, yang secara efektif memblokir perubahan substantif apa pun.

Selain itu, ancaman veto yang tidak pernah digunakan, yang dikenal sebagai “pocket veto,” juga menjadi penghalang besar. Efek ini terjadi ketika rancangan resolusi atau usulan reformasi yang berpotensi ditentang oleh P5 tidak pernah diajukan, karena negara-negara lain sudah tahu bahwa upaya tersebut akan sia-sia. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan veto jauh lebih besar dari sekadar mekanisme pemungutan suara; itu adalah alat hegemoni yang membungkam oposisi sebelum sempat bersuara.

Usulan-Usulan Kunci dari Berbagai Kelompok Negara

Meskipun tantangannya besar, berbagai kelompok negara dan akademisi telah mengajukan usulan reformasi yang kreatif dan beragam:

  • Inisiatif G4 (Jerman, Jepang, India, Brasil): Kelompok ini secara kolektif menuntut penambahan kursi permanen di Dewan Keamanan PBB. Mereka berpendapat bahwa komposisi Dewan harus lebih mencerminkan realitas geopolitik abad ke-21, di mana negara-negara seperti mereka memiliki kapasitas dan kemauan untuk berkontribusi pada pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
  • Deklarasi Prancis-Meksiko: Salah satu usulan yang paling inovatif datang dari Prancis dan Meksiko. Mereka meluncurkan “Deklarasi Politik tentang Penangguhan Hak Veto dalam Kasus Kekejaman Massal” pada tahun 2015. Inisiatif ini mengajak para anggota tetap untuk secara sukarela menahan diri dari penggunaan veto dalam situasi yang melibatkan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang dalam skala besar. Mereka berpendapat bahwa veto bukanlah sebuah hak istimewa, melainkan sebuah tanggung jawab internasional untuk bertindak. Per Juli 2022, deklarasi ini telah didukung oleh lebih dari 104 negara anggota, menunjukkan adanya keinginan luas dari komunitas internasional untuk membatasi veto dalam krisis kemanusiaan.
  • Kelompok L.69: Terdiri dari sekelompok negara berkembang, termasuk negara-negara dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia, Kelompok L.69 telah berulang kali menyerukan dimulainya negosiasi berbasis teks (text-based negotiations) untuk mereformasi DK PBB secara komprehensif. Mereka mendukung posisi Afrika yang menyerukan penambahan kursi permanen untuk benua tersebut dan berpendapat bahwa veto harus dihapuskan atau diperluas ke semua anggota, termasuk anggota tetap yang baru.

Kesimpulan

Hak veto di Dewan Keamanan PBB adalah sebuah instrumen yang lahir dari realitas geopolitik pasca-Perang Dunia II, dirancang untuk mengakomodasi kekuatan para pemenang perang dan mencegah terulangnya kegagalan Liga Bangsa-Bangsa. Namun, dalam perkembangannya, hak istimewa ini telah menyimpang dari tujuan awalnya dan menjadi penghambat utama bagi efektivitas PBB dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tinjauan mendalam menunjukkan bahwa veto digunakan secara strategis oleh para anggota tetap untuk melindungi kepentingan nasional dan sekutu mereka, bahkan ketika tindakan tersebut bertentangan dengan aspirasi perdamaian global. Hal ini terlihat jelas dari pola penggunaan veto oleh AS dalam isu Palestina-Israel, Rusia dalam konflik Suriah dan Ukraina, serta Tiongkok dalam kasus hak asasi manusia dan aliansi ekonomi.

Penggunaan veto telah menciptakan kebuntuan, melumpuhkan kemampuan Dewan Keamanan untuk bertindak, dan secara fundamental mengikis kredibilitas PBB. Paradoks yang paling mencolok adalah bahwa negara-negara yang memikul tanggung jawab utama untuk menjaga perdamaian justru kebal terhadap konsekuensi dari tindakan mereka sendiri. Hambatan struktural untuk reformasi, seperti perlunya persetujuan dari para pemegang veto itu sendiri, menjadikan upaya perubahan menjadi sangat sulit, jika tidak mustahil.

Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk mengatasi problematik hak veto dan meningkatkan efektivitas DK PBB:

  1. Adopsi Deklarasi Prancis-Meksiko: Komunitas internasional harus secara proaktif mendorong para anggota tetap untuk mengadopsi dan mematuhi Deklarasi Prancis-Meksiko yang menyerukan penangguhan penggunaan veto dalam kasus kekejaman massal. Meskipun bersifat sukarela, adopsi deklarasi ini akan menjadi langkah signifikan untuk mengembalikan kredibilitas moral PBB dalam melindungi populasi rentan.
  2. Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas: Perlu adanya mekanisme yang lebih transparan di mana setiap penggunaan veto harus disertai dengan penjelasan yang jelas dan terperinci di hadapan Majelis Umum PBB, sebagai bentuk akuntabilitas terhadap seluruh anggota PBB.

Proyeksi Masa Depan

Masa depan PBB, khususnya Dewan Keamanan, akan terus diuji oleh dinamika geopolitik yang terus berubah. Bangkitnya kekuatan baru, polarisasi antara blok-blok, dan meningkatnya konflik regional akan menempatkan PBB di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tanpa reformasi yang signifikan, hak veto akan terus menjadi sumber kebuntuan dan ketidakpercayaan dalam tatanan global. Meskipun penghapusan hak veto tampaknya sulit diwujudkan dalam waktu dekat, langkah-langkah progresif untuk membatasinya dan meningkatkan akuntabilitasnya adalah hal yang sangat penting untuk memastikan PBB tetap relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan abad ke-21.

 

Daftar Pustaka :

  1. Hak Veto Pada Perserikatan Bangsa-Bangsa Dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, accessed on September 24, 2025, https://ejurnal.politeknikpratama.ac.id/index.php/jhpis/article/download/3801/3576/11765
  2. Apa yang Dimaksud dengan Hak Veto PBB dan Negara yang Memilikinya – CNN Indonesia, accessed on September 24, 2025, https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20231218115512-561-1038616/apa-yang-dimaksud-dengan-hak-veto-pbb-dan-negara-yang-memilikinya
  3. Kedudukan Hak Veto oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Dalam Perlindungan Peperangan, accessed on September 24, 2025, https://rayyanjurnal.com/index.php/aurelia/article/viewFile/2783/pdf
  4. bab ii hak veto negara anggota tetap dk pbb – repo unpas, accessed on September 24, 2025, http://repository.unpas.ac.id/562/2/BAB%20II.pdf
  5. History of the United Nations | Naciones Unidas, accessed on September 24, 2025, https://www.un.org/es/node/44721
  6. Dumbarton Oaks Conference – UNTERM, accessed on September 24, 2025, https://unterm.un.org/unterm2/zh/view/UNHQ/230563E543B975FB85256B370057B853
  7. Kenapa Hak Veto Hanya Dimiliki 5 Anggota Tetap DK PBB?, accessed on September 24, 2025, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20231219193726-134-1039392/kenapa-hak-veto-hanya-dimiliki-5-anggota-tetap-dk-pbb
  8. RELEVANSI HAK VETO DEWAN KEAMANAN DENGAN TUJUAN PEMBENTUKAN PERSERIKATAN BANGSA – WARUNAYAMA, accessed on September 24, 2025, https://ejournal.warunayama.org/index.php/causa/article/download/1628/1607/5382
  9. DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 11, Nomor 3, Tahun 2022 Website : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/ INKONSISTENSI HAK V, accessed on September 24, 2025, https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/download/34826/27930
  10. Hak Veto Lima Negara Melumpuhkan DK PBB, Mengapa? | tempo.co, accessed on September 24, 2025, https://www.tempo.co/internasional/hak-veto-lima-negara-melumpuhkan-dk-pbb-mengapa–85687
  11. REFORMASI HAK VETO ATAS INDIKASI ABUSE OF POWER DALAM UPAYA PERDAMAIAN DUNIA – EJournal Fakultas Hukum UKI, accessed on September 24, 2025, https://ejournal.fhuki.id/index.php/tora/article/download/571/319/2304
  12. Pandangan Sosiologis Politik terhadap Hak Veto PBB – Universitas Islam Balitar, accessed on September 24, 2025, https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/transgenera/article/download/4100/2039/15025
  13. PEMBATASAN HAK VETO DALAM DK-PBB TERKAIT … – Neliti, accessed on September 24, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/459745-veto-restrictions-in-the-united-nations-5e4a90f9.pdf
  14. (PDF) Pengapusan Hak Veto Dalam Rangka Reformasi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa – ResearchGate, accessed on September 24, 2025, https://www.researchgate.net/publication/355932275_Pengapusan_Hak_Veto_Dalam_Rangka_Reformasi_Dewan_Keamanan_Perserikatan_Bangsa-Bangsa
  15. Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno – Historia.ID, accessed on September 24, 2025, https://www.historia.id/article/problematika-hak-veto-pbb-dan-kritik-bung-karno-dw94l
  16. AS Veto Resolusi DK PBB soal Gencatan Senjata Gaza, Hamas Bilang Gini – detikNews, accessed on September 24, 2025, https://news.detik.com/internasional/d-7949475/as-veto-resolusi-dk-pbb-soal-gencatan-senjata-gaza-hamas-bilang-gini
  17. Lagi, AS Veto Resolusi PBB soal Gencatan Senjata di Gaza – YouTube, accessed on September 24, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=bPOgxs0ubKU
  18. Mengapa Reformasi Dewan Keamanan PBB Sulit Dilakukan? Telaah Realisme Pada Kasus Perang Rusia-Ukraina, accessed on September 24, 2025, https://jurnal.uai.ac.id/index.php/JAISS/article/download/2601/pdf
  19. Political Declaration on Suspension of Veto Powers in Cases of Mass Atrocities, accessed on September 24, 2025, https://www.globalr2p.org/resources/political-declaration-on-suspension-of-veto-powers-in-cases-of-mass-atrocities/
  20. 2015 08 07 Veto. Political declaration v3 – France ONU, accessed on September 24, 2025, https://onu.delegfrance.org/IMG/pdf/2015_08_07_veto_political_declaration_en.pdf
  21. United Nations Security Council Reform, accessed on September 24, 2025, https://www.mofa.go.jp/files/100059111.pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 22 = 31
Powered by MathCaptcha