Mendefinisikan Ikon Intelektual Abad ke-20

Jean-Paul Sartre (1905-1980) adalah figur sentral dalam sejarah pemikiran abad ke-20. Reputasinya yang monumental tidak hanya dibangun di atas karya-karya filosofisnya yang inovatif, tetapi juga dari perannya yang tak kenal lelah sebagai seorang “intelektual publik” (intellectuel engagé) yang secara aktif terlibat dalam isu-isu politik dan sosial pada masanya. Ia adalah tokoh terkemuka dalam gerakan eksistensialisme dan fenomenologi di Prancis, dan gagasan-gagasannya telah menyebar jauh melampaui batas-batas filsafat, memengaruhi berbagai bidang seperti sosiologi, teori kritis, dan studi pascakolonial.

Tulisan ini menyajikan potret komprehensif tentang kehidupan dan karya Sartre, menyoroti bagaimana pengalaman pribadi, pemikiran filosofis, dan komitmen politiknya saling terjalin dalam sebuah jalinan yang rumit. Tidak seperti banyak filsuf lain yang memisahkan teori dari praksis, Sartre secara konsisten berupaya mewujudkan ide-idenya melalui tulisan dan tindakannya. Tulisan ini akan mengupas tuntas perjalanan intelektualnya, fondasi-fondasi pemikirannya, manifestasi filosofis dalam karya sastranya, evolusinya menjadi seorang aktivis politik, dan warisannya yang abadi, serta kritik-kritik yang ditujukan kepadanya.

Jejak Langkah Menuju Eksistensialisme: Biografi Intelektual

Masa Kecil dan Pendidikan Formatif

Jean-Paul Charles Aymard Sartre lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis. Ia adalah anak tunggal dari Jean-Baptiste Sartre, seorang perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweitzer. Kehidupannya mengalami perubahan drastis pada usia yang sangat muda, ketika ayahnya meninggal saat ia masih berusia satu tahun. Setelah kematian suaminya, Anne-Marie kembali ke rumah orang tuanya, di mana Sartre dibesarkan oleh ibunya dan kakeknya, Karl Schweitzer. Sartre menggambarkan masa kecilnya sebagai masa yang tidak bahagia, di mana ia merasa terisolasi dan memiliki sedikit teman dekat. Kakeknya digambarkan sebagai sosok yang “ketat dan mendominasi,” dan rasa kesepian ini mendorong Sartre untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan, membaca dan menulis. Keterlibatan dini dengan sastra dan filsafat ini menjadi dasar bagi kecerdasan dan kemampuan menulisnya yang luar biasa, yang bahkan membuatnya dijuluki sebagai “anak ajaib”.

Pengalaman masa kecilnya yang soliter dan rasa ‘berbeda’ yang mungkin muncul dari kondisi mata kirinya yang juling tampaknya membentuk fondasi psikologis bagi pemikiran filosofisnya di kemudian hari. Kondisi di mana ia tidak dapat mengandalkan struktur eksternal, seperti sosok ayah yang stabil atau kelompok teman sebaya, untuk validasi atau identitas, memaksanya untuk membangun dirinya sendiri dari dalam. Kecintaannya pada membaca dan menulis menjadi sebuah tindakan otonom yang memungkinkan dia mendefinisikan dirinya sendiri, jauh dari pengaruh eksternal. Oleh karena itu, gagasan inti dari filosofi Sartre bahwa manusia “dihukum untuk bebas” dan harus menciptakan esensinya sendiri dapat dilihat sebagai formalisasi filosofis dari pengalaman pribadinya dalam membangun identitasnya dalam isolasi dan di bawah tekanan.

Minat Sartre dalam filsafat secara formal muncul setelah membaca esai Henri Bergson, “Time and Free Will”. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di École Normale Supérieure (ENS), sebuah institusi pendidikan tinggi yang bergengsi di Paris. Di sana, ia menyerap ide-ide dari berbagai pemikir besar, termasuk Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Søren Kierkegaard, Edmund Husserl, dan Martin Heidegger. Selama masa studinya di ENS, ia dikenal sebagai salah satu “penggoda terkuat” di antara teman-temannya, bahkan terlibat dalam lelucon media yang menyebabkan skandal dan pengunduran diri direktur sekolah.

Hubungan Intelektual Abadi: Kemitraan dengan Simone de Beauvoir

Pada tahun 1929, selama masa studinya di ENS, Sartre bertemu dengan Simone de Beauvoir, seorang mahasiswa di Sorbonne yang kemudian dikenal sebagai filsuf, penulis, dan feminis. Keduanya menjalin kemitraan seumur hidup yang melampaui batas-batas hubungan romantis konvensional. Mereka bersepakat pada sebuah hubungan terbuka yang dicirikan oleh kebebasan pribadi dan penolakan terhadap kepemilikan, sebuah komitmen yang mereka sebut sebagai “kemitraan seumur hidup”. Hubungan mereka bukan sekadar detail biografi, melainkan sebuah eksperimen hidup yang secara langsung mewujudkan gagasan eksistensialis mereka tentang kebebasan dan keaslian.

Dengan menolak norma-norma sosial yang dominan, seperti monogami dalam pernikahan, mereka secara sadar memilih untuk mendefinisikan hubungan mereka sendiri. Tindakan ini merupakan perwujudan langsung dari prinsip “eksistensi mendahului esensi,” di mana mereka tidak membiarkan esensi “pasangan” yang telah ditentukan oleh masyarakat membatasi eksistensi dan kebebasan mereka. Kemitraan mereka juga mencerminkan perjuangan melawan bad faith , yaitu penipuan diri dengan mengikuti aturan eksternal yang tidak mencerminkan pilihan otentik mereka. Mereka memilih jalan yang otentik, di mana kebebasan dan tanggung jawab individu dipertahankan. Kemitraan mereka berlangsung selama lebih dari 50 tahun, ditandai dengan kolaborasi intelektual dan dukungan emosional, hingga kematian Sartre pada tahun 1980 dan de Beauvoir pada tahun 1986.

Tahun Peristiwa Penting dalam Kehidupan Karya Utama yang Diterbitkan
1905 Lahir di Paris.
1929 Bertemu Simone de Beauvoir di École Normale Supérieure.
1938 Nausea (novel)
1939 The Wall (kumpulan cerita pendek)
1940-1941 Ditangkap dan menjadi tawanan perang selama sembilan bulan.
1943 Being and Nothingness (karya filosofis) The Flies (drama)
1944 No Exit (drama)
1945 Mendirikan jurnal Les Temps modernes. The Roads to Freedom (novel seri)
1946 Existentialism is a Humanism (esay) Anti-Semite and Jew (esay)
1951 Terjadi perpecahan publik dengan Albert Camus.
1956 Secara publik mengutuk invasi Soviet ke Hungaria.
1960 Critique of Dialectical Reason (karya filosofis)
1964 Menolak Hadiah Nobel Sastra. The Words (biografi masa kecil)
1968 Berpartisipasi dalam demonstrasi Paris.
1980 Meninggal di Paris.

Fondasi Filosofis: Ontologi dan Fenomenologi Eksistensialisme

Prinsip Utama: Eksistensi Mendahului Esensi (L’existence précède l’essence)

Ini adalah klaim sentral dari eksistensialisme ateistik Sartre. Secara tradisional, filsafat berpendapat bahwa esensi—sifat atau tujuan—suatu benda mendahului keberadaannya. Sartre menolak pandangan ini untuk manusia. Ia mengilustrasikan ini dengan perumpamaan pemotong kertas. Untuk sebuah pemotong kertas, esensinya—yaitu, fungsinya untuk memotong kertas—telah ditentukan oleh pembuatnya sebelum ia dibuat. Eksistensinya datang setelah esensinya. Sartre berpendapat, karena tidak ada “Tuhan” sebagai pencipta, manusia tidak memiliki esensi yang telah ditentukan sebelumnya. “Manusia pertama-tama eksis, bertemu dengan dirinya sendiri, muncul di dunia—dan mendefinisikan dirinya kemudian”. “Manusia tidak lain adalah apa yang ia buat dari dirinya sendiri”. Oleh karena itu, eksistensi individu adalah yang paling utama, dan melalui pilihan dan tindakannya, ia membangun esensinya sendiri.

Kajian tentang Ke-ada-an: Être-en-soi (Being-in-itself) dan Être-pour-soi (Being-for-itself)

Dalam karya magnum opusnya, Being and Nothingness (1943), Sartre membedakan dua mode keberadaan atau “ke-ada-an” yang fundamental.

  • Être-en-soi (Being-in-itself): Ini adalah keberadaan benda-benda non-sadar, seperti batu atau pemotong kertas. Ia bersifat padat, lengkap, dan statis, tanpa kesadaran akan dirinya sendiri. Keberadaannya “hanya ada” tanpa tujuan atau makna internal.
  • Être-pour-soi (Being-for-itself): Ini adalah keberadaan kesadaran manusia. Ia dicirikan oleh kebebasan dan “ketiadaan” (nothingness). Kesadaran adalah “ketiadaan” yang menihilkan dirinya sendiri, yang berarti ia dapat menjauhkan diri dari keberadaan bendawi (en-soi) dan membayangkan kemungkinan-kemungkinan. Kesadaran adalah “apa yang bukan” dan “bukan apa adanya,” karena ia selalu melampaui kondisi saat ini dan tidak dapat disamakan dengan objek manapun.

Paradoks Kebebasan dan Tanggung Jawab

Prinsip “eksistensi mendahului esensi” adalah tesis utama Sartre tentang kondisi manusia: kita tidak memiliki tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini didukung oleh ontologinya yang membedakan antara en-soi dan pour-soi, di mana manusia adalah pour-soi, sebuah kesadaran yang merupakan “kekosongan” atau “ketiadaan”. Kekosongan ini adalah sumber kebebasan radikal manusia, karena kita tidak terikat pada esensi yang telah ditetapkan. Namun, kebebasan ini, menurut Sartre, datang dengan kecemasan (angst) dan tanggung jawab yang luar biasa. Kecemasan ini adalah kesadaran akan tanggung jawab penuh atas setiap pilihan yang kita buat.

Penipuan Diri dan Keaslian: Konsep Bad Faith (Mauvaise Foi)

Untuk menghindari kecemasan dari kebebasan dan tanggung jawab, manusia sering kali melakukan bad faith.  Bad faith adalah fenomena psikologis di mana individu “bertindak tidak otentik, dengan menyerah pada tekanan eksternal masyarakat untuk mengadopsi nilai-nilai palsu dan menolak kebebasan bawaan mereka sebagai manusia”. Sartre menganggapnya sebagai kelemahan moral yang harus diatasi, kontras dengan “keaslian” (authenticity). Contoh klasik yang ia berikan adalah seorang pelayan kafe yang tindakannya “terlalu pelayan”. Ia secara sadar menipu dirinya sendiri untuk menjadi sebuah objek, sebuah  en-soi, bukan seorang subjek yang bebas, untuk menghindari kecemasan dari kebebasannya. Dengan kata lain, bad faith adalah tindakan menipu diri sendiri dengan berpura-pura memiliki esensi yang telah ditentukan, dan dengan demikian, seseorang mengabaikan kebebasan radikalnya.

Relasi Antarmanusia: “Neraka adalah Orang Lain” (L’enfer, c’est les autres)

Perjuangan ontologis ini mencapai puncaknya dalam hubungan interpersonal, di mana “Tatapan” (The Look) dari orang lain berupaya mengubah kita menjadi objek. Frasa terkenal ini berasal dari dramanya, No Exit. Ini bukan berarti orang lain selalu menyiksa, tetapi bahwa kita tidak dapat menghindari penilaian dan tatapan mereka yang “mengonsumsi”. Tatapan orang lain memaksa kita untuk melihat diri kita sebagai objek, membatasi kebebasan kita dan menciptakan perjuangan ontologis yang abadi. Hal ini adalah esensi dari “Neraka adalah orang lain,” di mana kebebasan satu orang menjadi “neraka” bagi yang lain karena objektivikasi yang konstan.

Karya Sastra sebagai Manifestasi Filosofis

Sartre menggunakan karya-karya sastranya—novel dan drama—sebagai kendaraan untuk mengeksplorasi dan mengilustrasikan ide-ide filosofisnya kepada audiens yang lebih luas. Pendekatan ini menunjukkan bahwa bagi Sartre, seni dan filsafat adalah dua sisi dari mata uang yang sama dalam pencarian makna. Ia percaya bahwa prosa abstrak dari filsafat akademis tidak cukup untuk menyampaikan pengalaman “realitas itu sendiri,” dan sastra, dengan narasi dan karakternya, dapat membawa pembaca secara langsung ke dalam pengalaman eksistensial, membuatnya lebih nyata dan dapat diakses.

Novel: Nausea (La Nausée, 1938)

Nausea adalah novel filosofis pertama Sartre yang diterbitkan pada tahun 1938. Ditulis dalam format buku harian, novel ini mengikuti protagonisnya, Antoine Roquentin, seorang sejarawan yang tinggal di kota fiksi Bouville (kemiripan Le Havre), saat ia menghadapi perasaan “mual” (nausea) yang mendalam. Perasaan mual ini adalah kesadaran mendalam akan kontingensi dan absurditas keberadaan—bahwa benda-benda “hanya ada” tanpa alasan atau tujuan yang telah ditetapkan. Roquentin menyadari bahwa segala sesuatu ada, tetapi tidak ada alasan yang inheren mengapa ia ada. Ini adalah pengalaman pencerahan eksistensial di mana ilusi-ilusi kenyamanan sosial—sebuah bentuk dari  bad faith—terkikis habis, mengungkapkan realitas yang telanjang, absurd, dan tanpa makna.

Drama: No Exit (Huis Clos, 1944)

Drama No Exit adalah perwujudan literal dari filosofi Sartre. Tiga karakter, Joseph Garcin, Inèz Serrano, dan Estelle Rigault, dikunci di sebuah ruangan di neraka sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Alih-alih penyiksaan fisik, mereka dipaksa untuk menjadi penyiksa satu sama lain melalui “tatapan” dan penilaian mereka yang konstan. Garcin mencari validasi dari Estelle, tetapi Inèz terus-menerus menertawakan dan menghalanginya, mencegahnya dari absolution. Drama ini secara sempurna menggambarkan bagaimana objektivikasi oleh orang lain—dan perjuangan untuk menjadi subjek di hadapan kesadaran lain—menjadi sumber penderitaan abadi. Mereka “dihukum” untuk saling memandang dan menilai satu sama lain selamanya, tanpa kemungkinan melarikan diri, yang merupakan esensi dari frasa ikonik “Neraka adalah orang lain”.

Karya Non-Fiksi

Karya Sartre yang paling terkenal dan monumental adalah Being and Nothingness (L’Être et le néant, 1943). Buku ini meletakkan fondasi ontologi fenomenologis eksistensialismenya. Dalam karya ini, ia membahas secara rinci tentang ontologi kesadaran dan ketiadaan, kebebasan,  bad faith, dan hubungan dengan orang lain, meskipun beberapa kritikus mencatat keabstrakan dan penolakannya terhadap teori Freud. Karya lain yang penting adalah Existentialism is a Humanism (L’Existentialisme est un humanisme, 1946), sebuah kuliah publik yang ditujukan untuk membela eksistensialisme dari kritikus yang menuduhnya sebagai filosofi yang putus asa. Sartre berargumen bahwa eksistensialisme adalah doktrin yang justru membuat kehidupan manusia menjadi mungkin dan bahwa setiap kebenaran dan tindakan menyiratkan baik lingkungan maupun subjektivitas manusia.

Komitmen Politik dan Jeda Sejarah

Evolusi dari Filsuf menjadi Intelektual Publik (Intellectuel Engagé)

Sebelum Perang Dunia II, Sartre dianggap sebagai filsuf yang apolitis, berfokus pada analisis “inward” tentang kesadaran dan fenomenologi. Namun, pengalamannya sebagai tentara selama Perang Dunia II dan sebagai tawanan perang mempolitisasi dirinya secara mendalam. Setelah dibebaskan, ia beralih ke analisis sosial dan historis. Pada tahun 1945, ia bersama Maurice Merleau-Ponty mendirikan jurnal Les Temps modernes, yang menjadi platform utamanya untuk mengadvokasi politik kiri dan menganalisis isu-isu sosial dan politik, termasuk anti-kolonialisme, anti-semitisme, dan hak-hak sipil.

Persimpangan Jalan dengan Marxisme

Setelah perang, Sartre menjadi “fellow traveler” dari Partai Komunis Prancis (PCF), meskipun ia tidak pernah bergabung dengan partai tersebut. Ia melihat Marxisme sebagai “filosofi zaman kita” yang paling relevan untuk memahami perjuangan sosial. Namun, ia menolak determinisme kaku dari Marxisme Soviet. Dalam karyanya yang berjudul  Critique of Dialectical Reason (1960), Sartre berupaya menggabungkan Marxisme dengan eksistensialisme. Tujuannya adalah untuk “menyelamatkan” Marxisme dari dogmatisme dengan menekankan peran kebebasan individu dan praksis (tindakan) manusia dalam membentuk sejarah dan masyarakat. Ia berpendapat bahwa Marxisme harus mengenali keadaan konkret eksistensial yang berbeda dari satu kolektivitas ke kolektivitas lain, serta menghormati kebebasan individu.

Aktivisme Anti-Kolonialisme

Sartre adalah penentang vokal terhadap imperialisme dan kolonialisme, khususnya kekuasaan Prancis di Aljazair dan Perang Vietnam. Ia mengkritik keras kekerasan yang dilakukan oleh Prancis dan secara konsisten mendukung hak rakyat Aljazair untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam konteks ini, ia bahkan membenarkan kekerasan revolusioner sebagai cara bagi kaum tertindas untuk “merekonstruksi diri mereka sendiri”. Ia percaya bahwa kolonialisme adalah bentuk penindasan yang menolak kebebasan dan kemanusiaan dari masyarakat terjajah.

Perpecahan dan Penolakan: Hubungan dan Kontroversi Puncak

Sartre dan Camus: Persahabatan dan Perpisahan yang Paling Terkenal

Hubungan dekat antara dua ikon eksistensialisme Prancis ini berakhir dengan perseteruan publik yang pahit pada tahun 1950-an. Perpecahan ini berpusat pada perbedaan pandangan mereka tentang kekerasan revolusioner dan Komunisme. Camus, dengan filosofi absurdisnya, mengutuk penggunaan teror dan kekerasan. Ia berpendapat bahwa revolusi cenderung mengarah pada kediktatoran otoriter. Sebaliknya, Sartre berpendapat bahwa kekerasan adalah “kejahatan yang diperlukan” untuk menghancurkan tatanan kapitalis yang opresif dan mencapai tujuan akhir Komunisme.

Perpecahan ini menyingkapkan kontradiksi sentral dalam pemikiran Sartre: bagaimana mendamaikan kebebasan radikal individu (eksistensialisme) dengan determinisme sejarah dan kebaikan kolektif (Marxisme). Sartre, sang eksistensialis, meyakini bahwa manusia “dihukum untuk bebas” dan bertanggung jawab penuh atas tindakannya. Namun, Sartre, sang Marxis, juga meyakini bahwa tatanan sosial dan ekonomi membatasi kebebasan individu secara material. Ketika memilih untuk mendukung kekerasan revolusioner, Sartre secara efektif mengorbankan kebebasan dan kehidupan individu demi tujuan kolektif yang lebih besar. Camus melihat hal ini sebagai “kehilangan jalan,” sebuah pengkhianatan terhadap nilai kehidupan individu yang seharusnya menjadi inti dari filosofi mereka. Ketegangan ini menjadi alasan mengapa Sartre kemudian menjauh dari Marxisme Soviet, setelah invasi brutal mereka ke Hungaria pada tahun 1956.

Penolakan Hadiah Nobel Sastra 1964: Deklarasi Kebebasan Mutlak

Pada tahun 1964, Sartre dianugerahi Hadiah Nobel Sastra, tetapi ia menolaknya, menjadi penerima pertama yang melakukannya. Keputusannya didasarkan pada dua alasan utama. Secara pribadi, ia secara konsisten menolak semua penghargaan resmi, termasuk Légion d’honneur pada tahun 1945, karena ia percaya bahwa seorang penulis harus tetap bebas dan tidak boleh “diubah menjadi institusi”. Ia menyatakan bahwa tulisan harus menjadi satu-satunya alat seorang penulis.

Selain itu, ia memiliki alasan politik yang kuat. Sartre tidak ingin digolongkan dalam konflik antara Timur dan Barat. Ia merasa Hadiah Nobel cenderung diberikan kepada penulis dari Barat atau “pemberontak dari Timur”. Ia tidak ingin reputasi radikalnya “dibersihkan” oleh pihak Kanan Prancis dengan menerima hadiah dari institusi Barat yang mapan.

Keputusan Sartre untuk menolak Hadiah Nobel bukanlah sekadar penolakan politik, melainkan sebuah tindakan filosofis yang performatif, perwujudan tertinggi dari eksistensialisme dalam hidupnya. Prinsip inti eksistensialisme Sartre adalah bahwa “eksistensi mendahului esensi”. Manusia menciptakan dirinya sendiri melalui tindakan dan pilihannya. Menerima Hadiah Nobel akan memberikan esensi baru kepada Sartre—”Jean-Paul Sartre, Pemenang Nobel”—sebuah esensi yang didefinisikan secara eksternal dan berpotensi membatasi. Dengan menolak hadiah, Sartre secara aktif menolak esensi yang diberikan ini, menegaskan kembali bahwa esensinya tidak dapat ditetapkan oleh institusi eksternal, melainkan hanya oleh kebebasan dan tindakannya sendiri. Ini adalah tindakan otentik yang menentang  bad faith dan berfungsi sebagai contoh hidup dari filosofinya bagi para pembacanya.

Warisan dan Kritik Terhadap Sartre

Pengaruh dan Kontribusi

Pemikiran Sartre, khususnya konsep “eksistensi mendahului esensi,” secara fundamental mengubah cara pandang manusia terhadap kebebasan, tanggung jawab, dan penciptaan makna. Ia berhasil membuat filsafat relevan dengan kehidupan sehari-hari dan masalah-masalah paling mendesak pada zamannya. Karyanya telah membuka jalan bagi pemikiran di bidang teori kritis dan studi pascakolonial, dan ia tetap menjadi figur yang diperdebatkan dan dipelajari dalam humaniora.

Kritik terhadap Pemikiran Sartre

Meskipun pengaruhnya luas, pemikiran Sartre tidak luput dari kritik. Dari psikoanalisis, kritikus seperti Richard Wollheim berpendapat bahwa kritik Sartre terhadap teori alam bawah sadar Freud didasarkan pada salah tafsir. Dari sudut pandang Marxisme ortodoks, ia dikritik oleh Marxisme struktural (seperti Louis Althusser) karena terlalu menekankan kebebasan individu dan mengabaikan struktur sosial dan ekonomi. Akhirnya, dari sudut pandang religius, para pemikir mengkritik pandangan Sartre bahwa keberadaan Tuhan membatasi kebebasan manusia, berargumen bahwa kebebasan sejati dapat ditemukan dalam hubungan dengan Tuhan, bukan melalui penolakannya.

Kesimpulan

Jean-Paul Sartre bukan sekadar filsuf, melainkan sebuah fenomena budaya yang mencerminkan gejolak intelektual dan politik abad ke-20. Ia berhasil membuat filsafat relevan dengan kehidupan sehari-hari dan masalah-masalah paling mendesak pada zamannya. Ia adalah seorang penulis serbabisa yang menggunakan novel, drama, dan esai untuk menyuarakan ontologi yang mendefinisikan kembali hubungan manusia dengan dunia. Dari kehidupannya yang tidak konvensional dengan Simone de Beauvoir hingga penolakannya yang berprinsip atas Hadiah Nobel, Sartre membuktikan bahwa pemikiran dan tindakan tidak dapat dipisahkan. Warisannya tetap relevan karena tantangan yang diajukan—untuk menghadapi kebebasan kita, bertanggung jawab atas pilihan kita, dan menciptakan makna dalam dunia yang tidak bermakna—adalah tantangan yang abadi bagi kondisi manusia. Melalui dialektika antara kehidupan dan karyanya, Sartre memberikan contoh hidup tentang arti menjadi seorang eksistensialis yang otentik: sebuah perjuangan terus-menerus untuk menciptakan diri sendiri, bahkan ketika dihadapkan pada absurditas dan tatapan orang lain.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7 + 1 =
Powered by MathCaptcha