Ringkasan Eksekutif
Tulisan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai kebijakan deregulasi ekonomi yang telah diterapkan di Indonesia, mengevaluasi evolusinya dari era Orde Baru hingga periode Reformasi. Deregulasi, yang didefinisikan sebagai penghapusan atau pengurangan peraturan yang dianggap membebani atau tidak efisien, telah menjadi instrumen krusial dalam menanggapi tantangan dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini, yang awalnya merupakan respons reaktif terhadap guncangan ekonomi eksternal pada era Orde Baru, telah bertransformasi menjadi upaya proaktif dan terstruktur di era Reformasi untuk meningkatkan daya saing global.
Temuan kunci menunjukkan bahwa meskipun deregulasi berhasil secara kuantitatif dalam memobilisasi modal dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, kegagalannya dalam hal pengawasan dan penegakan hukum secara historis telah menciptakan kerapuhan struktural. Kelonggaran deregulasi perbankan pada tahun 1980-an tanpa disertai pengawasan yang memadai menjadi salah satu faktor internal yang berkontribusi pada krisis moneter 1997-1998. Selain itu, deregulasi pada masa itu tidak mampu membendung praktik monopoli dan kapitalisme kroni yang justru merugikan persaingan sehat dan memperlebar kesenjangan sosial.
Tantangan struktural, seperti resistensi birokrasi dan tumpang tindih regulasi, terus menghambat efektivitas implementasi kebijakan di era Reformasi. Tulisan ini berargumentasi bahwa kesuksesan deregulasi di masa depan tidak hanya bergantung pada penyederhanaan peraturan, tetapi secara fundamental pada perbaikan institusional, penguatan tata kelola, dan harmonisasi regulasi yang holistik.
Secara fundamental, kebijakan deregulasi merupakan proses penghapusan, pengurangan, atau perbaikan peraturan yang dianggap tidak efisien, berbiaya tinggi, atau menghambat laju perekonomian. Tujuannya yang utama adalah untuk mengurangi beban biaya administrasi bagi negara dan pelaku bisnis, mendorong terciptanya persaingan yang lebih sehat, dan menarik investasi—baik dari dalam maupun luar negeri.
Perjalanan deregulasi di Indonesia, yang telah berlangsung selama beberapa dekade, mencerminkan adaptasi dan respons pemerintah terhadap dinamika ekonomi global dan domestik. Tulisan ini mengemukakan tesis bahwa deregulasi di Indonesia, yang dipicu oleh guncangan eksternal dan kebutuhan untuk mencari sumber pertumbuhan baru, telah menjadi instrumen krusial dalam transformasi ekonomi. Namun, implementasinya secara historis diwarnai oleh ketidakseimbangan antara liberalisasi kebijakan dan penguatan institusional, yang menciptakan keberhasilan jangka pendek sekaligus kerapuhan struktural jangka panjang.
Analisis ini akan membahas secara kronologis perjalanan deregulasi ekonomi Indonesia, membagi ulasan ke dalam dua era utama: Orde Baru dan Reformasi. Tulisan ini akan menggali motivasi di balik setiap gelombang kebijakan, menganalisis dampak yang dihasilkan, mengidentifikasi tantangan yang dihadapi, dan membandingkannya dengan pengalaman serupa di kawasan Asia Tenggara.
Deregulasi Era Orde Baru (1983-1997) – Respons terhadap Guncangan Eksternal
Konteks Historis: Akhir Era Oil Boom dan Kebutuhan Diversifikasi
Periode Orde Baru pada awalnya menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat, didorong oleh peningkatan pendapatan dari komoditas minyak dan gas bumi di tahun 1970-an. Lonjakan harga minyak yang dipicu oleh Revolusi Iran pada tahun 1979 membuat harga per barel mencapai puncaknya pada 1980. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk mengambil peran intervensionis yang lebih besar dalam perekonomian, mendanai pembangunan infrastruktur, sosial, dan industri.
Namun, situasi ini berubah drastis di awal tahun 1980-an ketika harga minyak dunia anjlok dari US28menjadiUS12 per barel. Kejatuhan harga ini secara langsung mengancam pendapatan negara yang sangat bergantung pada ekspor migas. Pemerintah terpaksa menghadapi kekeringan sumber keuangan, yang membuat pendanaan pembangunan menjadi sulit dan utang luar negeri meningkat. Dalam konteks inilah, deregulasi muncul sebagai respons pragmatis dan mendesak. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk mencari sumber devisa baru di luar migas dan memobilisasi dana swasta untuk mengisi kekosongan fiskal. Pendekatan ini menunjukkan bahwa deregulasi pada masa itu tidak lahir dari keyakinan ideologis terhadap pasar bebas, melainkan dari kebutuhan reaktif untuk mengatasi krisis fiskal yang dipicu oleh guncangan eksternal.
Gelombang Deregulasi Keuangan dan Perbankan
Deregulasi ekonomi di era Orde Baru diimplementasikan melalui serangkaian paket kebijakan yang menyasar sektor keuangan dan perbankan.
- Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun 83): Kebijakan ini menjadi tonggak awal deregulasi di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada bank-bank negara dalam menyalurkan kredit dan menyederhanakan sistem perbankan. Pakjun 83 membebaskan bank-bank negara untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan pinjaman, serta menghapuskan ketentuan pagu kredit.
- Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88): Kebijakan ini dianggap sebagai “kebijakan yang paling booming” dalam sejarah perbankan Indonesia. Pakto 88 secara fundamental meliberalisasi sektor perbankan dengan memberikan kemudahan perizinan untuk pendirian bank swasta baru, pembukaan kantor cabang, dan pembentukan bank campuran. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penghimpunan dana masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekspor non-migas.
Meskipun kebijakan ini berhasil secara kuantitatif dengan menyebabkan “ledakan” jumlah bank dan jaringan operasionalnya, yang pada gilirannya melipatgandakan dana pihak ketiga dan kredit yang disalurkan , namun terdapat konsekuensi yang tidak terduga. Deregulasi yang terlalu cepat dan tanpa diiringi pengawasan yang memadai menyebabkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter “kehilangan kendali”. Hal ini menjadi fondasi bagi kerapuhan sistem perbankan yang sangat rentan terhadap guncangan di masa depan.
Berikut adalah tabel yang merangkum paket-paket deregulasi utama pada era Orde Baru:
Tabel 1: Kronologi dan Rincian Paket Deregulasi Ekonomi Orde Baru
Nama Paket Kebijakan | Tanggal | Sektor | Tujuan Utama | Kebijakan Kunci |
Paket Kebijakan 1 Juni 1983 (Pakjun 83) | 1 Juni 1983 | Perbankan | Memberi ruang gerak lebih kepada bank negara, menyederhanakan sistem perbankan. | Menghapus pagu kredit, membebaskan bank menentukan suku bunga deposito dan pinjaman. |
Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) | 27 Oktober 1988 | Perbankan | Meningkatkan pengerahan dana masyarakat dan memfasilitasi ekspor non-migas. | Mempermudah perizinan pendirian bank swasta baru, kantor cabang, dan bank campuran. |
Paket Kebijakan 24 Desember 1987 | 24 Desember 1987 | Pasar Modal, Investasi Asing | Menarik investasi asing dan mengembangkan pasar modal. | Merelaksasi peraturan pasar modal dan penanaman modal asing. |
Dampak dan Konsekuensi Deregulasi Orde Baru
Keberhasilan dan Transformasi Ekonomi Jangka Pendek
Secara makro, deregulasi pada era Orde Baru terbukti positif dalam menciptakan iklim usaha yang baru dan lebih kondusif. Langkah ini berhasil memobilisasi dana masyarakat dan meningkatkan kredit perbankan secara signifikan. Peningkatan jumlah bank yang drastis juga memicu persaingan yang lebih ketat, mendorong bank-bank untuk berinovasi dan meningkatkan kualitas produk serta layanan mereka. Dengan kata lain, deregulasi mampu menciptakan reformasi struktural di bidang ekonomi dengan menggeser fokus dari pendapatan migas ke sektor swasta non-migas.
Kegagalan Struktural dan Konsekuensi Tak Terduga
Meskipun berhasil di permukaan, deregulasi Orde Baru menciptakan dua masalah struktural yang signifikan dan saling terkait.
- Krisis Moneter dan Perbankan 1997-1998: Deregulasi perbankan, khususnya Pakto 88, secara langsung berkontribusi pada kerapuhan yang memicu krisis. Kelonggaran dalam mendirikan bank baru tanpa diimbangi dengan pengawasan yang ketat terhadap prinsip kehati-hatian menyebabkan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter “kehilangan kendali”. Hal ini diperburuk oleh perilaku bank yang agresif dan kurangnya mekanisme pengawasan yang memadai. Deregulasi yang dirancang untuk mengatasi krisis ekonomi pada awal 1980-an justru menciptakan kerapuhan sistemik yang rentan terhadap guncangan eksternal berikutnya, seperti krisis keuangan Asia. Ini menunjukkan bahwa deregulasi tanpa pengawasan yang kuat pada dasarnya adalah bom waktu.
- Monopoli dan Kapitalisme Kroni: Ironisnya, meskipun bertujuan untuk meningkatkan persaingan, sistem ekonomi Orde Baru justru membiakkan praktik monopoli dan kapitalisme kroni. Monopoli yang terbentuk pada masa itu tidak didasarkan pada efisiensi pasar atau keunggulan teknologi, melainkan dari “hadiah politik” yang diberikan penguasa kepada kroni-kroninya. Contoh klasik dari kegagalan ini adalah kasus Badan Penyangga Perdagangan Cengkeh (BPPC). BPPC diberikan hak monopsoni untuk menjadi satu-satunya pembeli cengkeh dari petani, yang pada praktiknya merugikan petani dan konsumen. Kegagalan deregulasi dalam menciptakan pasar yang adil merupakan kegagalan institusional, bukan kegagalan kebijakan semata. Tanpa lembaga pengawas persaingan yang independen (seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU, yang baru lahir pasca-1998) dan sistem hukum yang imparsial, deregulasi hanya mempercepat konsentrasi kekuasaan ekonomi pada segelintir kelompok yang dekat dengan penguasa, sehingga kesenjangan sosial melebar.
Deregulasi Era Reformasi – Menghadapi Globalisasi dan Transisi Demokrasi
Konteks dan Pergeseran Paradigma
Deregulasi ekonomi pasca-1998 didorong oleh komitmen pemerintah pasca-krisis kepada lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan partisipasi aktif dalam forum perdagangan global seperti WTO, APEC, dan AFTA. Pada periode ini, konsepsi deregulasi mengalami pergeseran filosofis dari pendekatan kuantitatif (seberapa banyak aturan yang dihapus) menjadi kualitatif (perbaikan, harmonisasi, dan efisiensi peraturan). Tujuannya yang utama adalah untuk meningkatkan daya saing nasional dan iklim investasi dengan menciptakan kemudahan berusaha.
Kebijakan Strategis Era Reformasi
Pemerintah di era Reformasi telah meluncurkan serangkaian kebijakan strategis untuk mengatasi tantangan ekonomi, di antaranya:
- Paket Kebijakan Deregulasi: Sejak tahun 2016, pemerintah era Presiden Joko Widodo memperkenalkan serangkaian paket kebijakan (seperti Paket XII) yang fokus pada penyederhanaan prosedur untuk memulai usaha, perizinan, dan perpajakan. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong iklim usaha yang lebih baik sesuai dengan amanat Nawa Cita.
- Omnibus Law (UU Cipta Kerja): UU ini merupakan puncak dari upaya deregulasi yang bertujuan merombak lebih dari 70 undang-undang dan 1.200 pasal yang dianggap menghambat investasi, serta mengatasi fenomena hiper-regulasi dan tumpang tindih aturan yang tidak efisien.
Berbeda dengan Orde Baru, deregulasi di era Reformasi dipandang sebagai bagian dari reformasi struktural yang lebih luas, termasuk reformasi perpajakan dan ketenagakerjaan. Ini menunjukkan pemahaman yang lebih matang bahwa deregulasi harus bersifat holistik, terstruktur, dan didukung oleh penegakan hukum yang kuat untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Tabel 2: Fokus dan Dampak Kebijakan Deregulasi Era Reformasi
Nama Kebijakan | Tahun | Sektor | Tujuan Kunci | Dampak yang Diharapkan |
Paket Kebijakan Deregulasi XII | 2016 | Perizinan, Perpajakan, Investasi | Menyederhanakan prosedur untuk memulai usaha dan meningkatkan iklim investasi. | Kemudahan berusaha, peningkatan daya saing nasional, penciptaan lapangan kerja. |
Omnibus Law (UU Cipta Kerja) | 2020 | Investasi, Ketenagakerjaan, Lingkungan, dll. | Merombak regulasi yang tumpang tindih untuk menarik investasi. | Peningkatan investasi asing langsung, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi. |
Reformasi Struktural Berkelanjutan | Berlanjut | Pajak, Ketenagakerjaan, Birokrasi | Memperkuat pondasi ekonomi, meningkatkan produktivitas, dan daya saing. | Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan, diversifikasi dari komoditas. |
Tantangan dan Implikasi Jangka Panjang
Resistensi Birokrasi dan Tumpang Tindih Regulasi
Meskipun cetak biru kebijakan deregulasi di era Reformasi telah dirancang dengan matang, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah resistensi internal dari sistem birokrasi itu sendiri. Selain itu, Indonesia menghadapi fenomena hyper-regulation dan disharmoni regulasi yang seringkali multi-tafsir, tidak efektif, dan berbiaya tinggi. Ombudsman RI juga menemukan bahwa masalah tumpang tindih regulasi, seperti benturan antara rezim kawasan dan perizinan, masih menjadi hambatan signifikan bagi pelaku usaha.
Situasi ini menciptakan sebuah paradoks, di mana upaya deregulasi yang bertujuan merampingkan aturan justru seringkali menciptakan peraturan baru dan kesulitan harmonisasi antar-lembaga, terutama di tingkat pemerintah daerah. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada keberadaan aturan, tetapi pada proses pembentukan dan harmonisasi hukum yang belum efektif, yang pada akhirnya mengikis tujuan deregulasi itu sendiri.
Perbandingan Regional: Pelajaran dari Asia Tenggara
Pengalaman Indonesia dalam deregulasi keuangan dan dampaknya pada krisis 1997-1998 tidaklah unik. Negara-negara tetangga seperti Thailand juga mengalami krisis yang dipicu oleh deregulasi keuangan yang tidak terkontrol, yang menyebabkan “gelembung kredit” dan pinjaman bermasalah. Situasi ini menunjukkan bahwa kerapuhan sistem perbankan akibat deregulasi merupakan pola regional.
Menariknya, respons pasca-krisis antara Indonesia dan Malaysia berbeda secara fundamental. Indonesia memilih jalan liberalisasi ekonomi yang lebih dalam, sementara Malaysia menerapkan kebijakan yang lebih protektif dan intervensionis dengan kontrol modal. Perbandingan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu “resep” universal untuk menghadapi krisis. Pilihan Indonesia untuk meliberalisasi perekonomian mempercepat integrasinya ke pasar global, namun juga mengeksposnya pada tantangan persaingan yang lebih ketat. Data ekonomi menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah naik kelas menjadi negara berpenghasilan menengah-atas , pertumbuhan ekonominya masih tertinggal di belakang Malaysia dan Singapura. Hal ini mengindikasikan bahwa deregulasi saja tidak cukup; reformasi institusional, tata kelola yang kuat, dan perbaikan fundamental lainnya diperlukan untuk mengejar ketertinggalan.
Kesimpulan
Perjalanan kebijakan deregulasi ekonomi di Indonesia adalah sebuah narasi yang panjang dan berliku. Dari respons reaktif terhadap krisis fiskal pada era Orde Baru hingga upaya proaktif untuk meningkatkan daya saing di era Reformasi, deregulasi telah menjadi mesin pertumbuhan yang penting bagi ekonomi nasional. Namun, keberhasilan ini selalu diimbangi oleh tantangan yang berulang, terutama dalam hal pengawasan, penegakan hukum, dan resistensi birokrasi.
Pelajaran krusial dari sejarah menunjukkan bahwa deregulasi tanpa diiringi dengan penguatan institusi dan tata kelola yang baik akan menghasilkan kerapuhan dan memperparah ketidakseimbangan ekonomi. Kegagalan pengawasan pada era Orde Baru berkontribusi pada krisis, sementara kegagalan institusional pada masa yang sama melanggengkan praktik monopoli dan kapitalisme kroni.
Untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, kebijakan deregulasi di masa depan harus berfokus pada:
- Pendekatan Holistik: Mengintegrasikan deregulasi kebijakan dengan reformasi institusional, termasuk perbaikan birokrasi, sistem hukum, dan mekanisme pengawasan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Menjamin proses deregulasi yang transparan dan berbasis aturan hukum yang kuat untuk mencegah praktik-praktik yang merugikan publik.
- Harmonisasi Regulasi: Menyelesaikan masalah tumpang tindih peraturan di tingkat pusat dan daerah untuk menciptakan kepastian hukum yang diperlukan oleh investor.
- Inklusivitas: Memastikan bahwa kebijakan tidak hanya menguntungkan pelaku bisnis besar, tetapi juga menciptakan peluang yang adil bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan mengurangi kesenjangan ekonomi.