Hukuman mati, sebagai salah satu bentuk sanksi pidana tertua dan terberat, senantiasa menjadi isu yang mengundang perdebatan mendalam di seluruh dunia. Kontroversi yang menyelimutinya tidak hanya terbatas pada dimensi yuridis, tetapi juga merambah ranah filosofis, moral, dan politik. Di satu sisi, argumen retributif dan efek jera sering digunakan untuk membenarkan keberadaannya, sementara di sisi lain, prinsip-prinsip hak asasi manusia universal menjadi dasar tuntutan penghapusan total.
Indonesia, sebagai negara yang mempertahankan praktik hukuman mati, berada di tengah pusaran perdebatan ini. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah hukum yang unik melalui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Aturan baru ini dinilai sebagai “jalan tengah” yang signifikan, mencoba menjembatani pandangan kelompok abolisionis yang menentang hukuman mati dengan kelompok retensionis yang mendukungnya. Tulisan ini akan menyajikan analisis mendalam mengenai dinamika hukum pidana mati di Indonesia, menelaah argumen pro dan kontra yang mendasarinya, serta membandingkan kebijakan Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara, untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan bernuansa.
Dinamika Hukum Pidana Mati di Indonesia: Dari Doktrin Klasik ke Reformasi Modern
Sejarah dan Evolusi Pidana Mati di Indonesia
Hukuman mati di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, berlanjut dari era kolonial Belanda. Dalam KUHP lama (Wetboek van Strafrecht), hukuman mati ditempatkan sebagai pidana pokok yang terberat, sejajar dengan pidana penjara, kurungan, dan denda. Pelaksanaan hukuman mati diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam keadaan tertentu. Secara filosofis, keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum ini didasarkan pada teori retribusi (just retribution) dan efek jera (deterrence effect), yang memandang hukuman sebagai pembalasan yang setimpal atas kejahatan kejam, sekaligus sebagai instrumen untuk mencegah masyarakat lain melakukan kejahatan serupa.
Analisis KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023): Sebuah Kompromi Politik dan Yuridis
Pembaruan hukum pidana Indonesia melalui KUHP baru pada tanggal 2 Januari 2023 membawa perubahan mendasar dalam kebijakan pidana mati. Perubahan ini secara filosofis dan yuridis berbeda dari konsep yang dianut KUHP lama. Jika sebelumnya hukuman mati dianggap sebagai “pidana pokok,” dalam KUHP baru ia dikategorikan sebagai “pidana yang bersifat khusus” dan “selalu diancamkan secara alternatif”. Pergeseran ini merupakan upaya untuk menyesuaikan sistem hukum nasional dengan perkembangan global yang semakin mengedepankan hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup.
Inti dari reformasi ini adalah pengenalan mekanisme masa percobaan (probationary period). Pasal 100 KUHP Baru mengamanatkan hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Masa percobaan ini berfungsi sebagai tenggat waktu di mana perilaku terpidana akan dievaluasi. Kriteria yang menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan ini adalah “rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri” atau “peran terdakwa dalam tindak pidana”. Ketentuan ini wajib dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Selama masa percobaan, jika terpidana menunjukkan “sikap dan perbuatan yang terpuji,” pidana matinya dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika terpidana tidak menunjukkan perilaku yang terpuji dan tidak ada harapan untuk perbaikan, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Kebijakan ini mencerminkan sebuah strategi yang kompleks. Di satu sisi, ia menunjukkan kemajuan sistem hukum Indonesia yang mengakomodasi kritik internasional tentang pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup, dengan memberikan kesempatan kedua kepada terpidana. Di sisi lain, ia mempertahankan kedaulatan hukum Indonesia dan menolak tekanan total untuk menghapus hukuman mati. Namun, kebijakan ini menciptakan tantangan implementasi yang signifikan. Tidak ada kejelasan hukum mengenai standar “sikap dan perbuatan yang terpuji,” yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan perpanjangan penderitaan psikologis bagi terpidana yang menunggu kepastian eksekusi selama 10 tahun atau lebih. Penderitaan ini dapat dianggap sebagai bentuk “penyiksaan” yang melanggar hak asasi manusia, menunjukkan bahwa “jalan tengah” ini, meskipun terlihat progresif, masih mengandung kompleksitas dan potensi masalah yang serius.
Perdebatan Fundamental: Argumen Pro dan Kontra Hukuman Mati
Perdebatan mengenai hukuman mati di Indonesia tidak hanya terjadi di kalangan akademisi dan praktisi hukum, tetapi juga di masyarakat luas, yang mencerminkan pertarungan antara berbagai nilai dan keyakinan.
Argumen Pendukung (Retensionis)
Pihak yang mendukung penerapan hukuman mati (retensionis) bersandar pada beberapa argumen utama. Yang pertama dan paling kuat adalah konsep efek jera (deterrence effect). Argumen ini menyatakan bahwa hukuman mati dapat mencegah individu lain melakukan kejahatan serupa karena ketakutan akan sanksi terberat yang ada. Dukungan publik untuk hukuman mati, terutama untuk kejahatan luar biasa seperti narkotika dan korupsi, sangat kuat. Survei di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat, sekitar 49.2%, mengharapkan hukuman mati sebagai sanksi yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan, terutama korupsi.
Argumen kedua adalah retribusi dan keadilan. Teori ini memandang pidana mati sebagai pembalasan yang setimpal (just retribution) bagi pelaku kejahatan yang sangat kejam, seperti pembunuhan berencana atau terorisme. Bagi korban dan keluarganya, hukuman mati dapat memberikan rasa keadilan yang dirasa tidak dapat dipulihkan oleh hukuman lain. Selain itu, hukuman mati dianggap sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dengan secara permanen menyingkirkan individu yang sangat berbahaya dari kehidupan sosial.
Argumen Penentang (Abolisionis)
Sebaliknya, pihak yang menentang (abolisionis) hukuman mati mengajukan argumen yang berlandaskan pada prinsip-prinsip universal. Argumen pertama adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hukuman mati dianggap melanggar hak untuk hidup (right to life), sebuah hak yang tidak dapat dicabut (non-derogable right) yang dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional, termasuk Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Kedua, ada risiko kesalahan peradilan. Tidak ada sistem hukum yang sempurna, dan risiko mengeksekusi orang yang tidak bersalah adalah pelanggaran etika terbesar. Sebuah hukuman yang tidak dapat diperbaiki tidak dapat diterima dalam sistem peradilan [7].
Ketiga, studi ilmiah telah menunjukkan inefektivitas efek jera. Meskipun argumen efek jera sangat populer di kalangan masyarakat, tidak ada bukti ilmiah atau statistik yang meyakinkan yang menunjukkan bahwa hukuman mati memiliki efek jera yang lebih besar dalam mengurangi kejahatan dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup. Disparitas antara sentimen publik dan bukti empiris ini menunjukkan bahwa kebijakan hukuman mati di Indonesia lebih didorong oleh sentimen dan keinginan masyarakat untuk pembalasan, daripada oleh bukti faktual tentang efektivitasnya sebagai alat pencegah kejahatan. Keputusan pemerintah untuk mempertahankan hukuman mati mungkin merupakan sebuah kalkulasi politik untuk memenuhi tuntutan publik yang menganggap hukuman pidana lain tidak cukup keras.
Studi Kasus dan Implementasi Hukuman Mati di Indonesia
Penerapan hukuman mati di Indonesia dapat dipahami lebih baik melalui studi kasus yang terkenal dan data implementasi yang ada.
Studi Kasus Bali Nine
Salah satu kasus paling menonjol yang melibatkan penerapan hukuman mati adalah kasus Bali Nine. Kelompok sembilan warga negara Australia ini ditangkap pada April 2005 karena berupaya menyelundupkan 8.3 kilogram heroin dari Indonesia ke Australia. Para pemimpin kelompok, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, divonis mati dan dieksekusi oleh regu tembak pada 29 April 2015. Sementara itu, anggota lainnya dihukum penjara seumur hidup.
Kasus ini dipenuhi dengan “drama” diplomatik yang intens. Pemerintah Australia melakukan berbagai upaya untuk menghentikan eksekusi, termasuk tawaran pertukaran tahanan. Namun, tawaran tersebut ditolak keras oleh Menteri Pertahanan RI saat itu, Ryamizard Ryacudu, yang menganggapnya seperti kondisi perang. Sikap tegas Indonesia ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap kasus ini tidak hanya sekadar pelaksanaan putusan pengadilan, tetapi juga merupakan sebuah “demonstrasi kedaulatan” di panggung global. Hukuman mati dalam kasus ini berfungsi sebagai simbol kemandirian dan ketegasan Indonesia dalam menghadapi kejahatan transnasional, terutama narkotika, dan menolak intervensi asing.
Kasus Lain yang Menonjol
Selain kasus Bali Nine, Indonesia juga menerapkan hukuman mati pada kasus-kasus lain yang menarik perhatian publik. Ahmad Suradji, seorang pembunuh berantai, dieksekusi pada tahun 2008. Demikian pula, para terpidana terorisme Bom Bali, Amrozi, Imam Samudera, dan Ali Gufron, dieksekusi pada tahun yang sama. Data menunjukkan bahwa kasus-kasus narkotika mendominasi daftar terpidana mati di Indonesia. Pada tahun 2020 saja, tercatat puluhan terpidana mati baru, sebagian besar terkait kasus narkotika dengan barang bukti bervariasi dari kilogram hingga puluhan kilogram, termasuk sejumlah warga negara asing.
Studi Kasus Hukuman Mati Terkenal di Indonesia
Kasus | Kejahatan | Tahun Vonis | Status/Keterangan |
Bali Nine | Penyelundupan narkotika (heroin) | 2005 | Andrew Chan & Myuran Sukumaran dieksekusi 2015. Anggota lainnya dihukum penjara seumur hidup. |
Ahmad Suradji | Pembunuhan berencana | 1997 | Dieksekusi pada 2008 |
Amrozi, Imam Samudera, Ali Gufron | Terorisme (Bom Bali) | 2003 | Dieksekusi pada 2008 |
Kasus Narkotika Lain | Penyelundupan narkotika | Beragam | Merupakan kasus dominan; banyak terpidana warga negara |
Analisis Komparatif: Kebijakan Hukuman Mati di Asia Tenggara dan Global
Secara global, tren menuju penghapusan hukuman mati terus berlanjut. Menurut tulisan Amnesty International, lebih dari 145 negara telah menghapus hukuman mati dalam hukum atau praktiknya. Tulisan tersebut juga mencatat bahwa 91% dari eksekusi yang terekam pada tahun 2024 terkonsentrasi di tiga negara: Iran, Irak, dan Arab Saudi.
Posisi Indonesia di kancah global menunjukkan kerumitan. Meskipun Indonesia mempertahankan hukuman mati, ia secara konsisten memilih untuk “abstain” dalam resolusi moratorium hukuman mati di Sidang Umum PBB. Posisi ini, alih-alih menolak sepenuhnya, dapat ditafsirkan sebagai sebuah sikap hati-hati yang mencoba menavigasi tuntutan domestik dan tekanan internasional.
Di kawasan Asia Tenggara, kebijakan hukuman mati sangat beragam, menunjukkan tidak adanya konsensus regional.
Studi Kasus Komparatif ASEAN
Malaysia: Menunjukkan arah progresif dengan menghapus hukuman mati wajib untuk 11 kejahatan pada tahun 2023, termasuk kasus narkotika. Meskipun hukuman mati masih dipertahankan untuk kejahatan serius, hakim kini memiliki diskresi penuh untuk menjatuhkan pidana mati atau penjara, yang merupakan langkah signifikan menuju reformasi.
Singapura: Mengambil pendekatan yang sangat ketat dan konsisten, di mana hukuman mati, yang dilakukan dengan metode gantung, masih diterapkan secara wajib untuk kejahatan narkotika di atas ambang batas tertentu. Pemerintah Singapura berargumen bahwa kebijakan yang keras ini efektif sebagai efek jera, dan pendekatan ini didukung oleh mayoritas masyarakatnya.
Thailand: Hukuman mati masih legal, tetapi pelaksanaannya sporadis. Thailand telah beralih metode eksekusi dari tembak menjadi suntik mati, meskipun eksekusi sangat jarang dilakukan.
Keragaman pendekatan di antara negara-negara ASEAN (dari Malaysia yang reformis, Singapura yang tegas, hingga Thailand yang jarang mengeksekusi) menunjukkan bahwa setiap negara menavigasi isu ini berdasarkan konteks hukum, politik, dan sosialnya sendiri. Sikap abstain Indonesia di PBB bisa jadi merupakan cerminan dari kompleksitas regional ini, di mana Indonesia tidak ingin terlalu condong ke salah satu pihak dan lebih memilih untuk mengelola perdebatan secara internal.
Perbandingan Kebijakan Pidana Mati di Indonesia dan Negara-negara ASEAN Terpilih
Negara | Status Hukum | Jenis Kejahatan yang Diancam Pidana Mati | Metode Eksekusi | Catatan Kebijakan Kunci |
Indonesia | Retensionis | Narkotika, terorisme, pembunuhan berencana, korupsi (kondisi tertentu) | Tembak | KUHP baru mengenalkan masa percobaan 10 tahun dan menjadikannya pidana alternatif. |
Malaysia | Retensionis | Narkotika, pembunuhan, terorisme | Gantung | Menghapus hukuman mati wajib untuk 11 kejahatan; memberikan diskresi hakim |
Singapura | Retensionis | Narkotika, pembunuhan, terorisme, penggunaan senjata api | Gantung | Kebijakan sangat ketat; mempertahankan hukuman mati wajib untuk kejahatan narkotika di atas ambang batas tertentu |
Thailand | Retensionis | Narkotika, pembunuhan | Suntik mati | Hukuman legal namun jarang dilakukan; beralih dari tembak ke suntik mati |
Bab V: Analisis Kritis, Tantangan, dan Arah Kebijakan Indonesia ke Depan
KUHP baru Indonesia merupakan langkah reformasi yang berani dan inovatif dalam isu hukuman mati. Dengan memperkenalkan masa percobaan dan mengubah status pidana mati menjadi alternatif, pemerintah Indonesia berusaha menunjukkan komitmennya terhadap nilai-nilai hak asasi manusia, sekaligus membuka jalan bagi abolisi de facto di masa depan. Perubahan ini membuka ruang untuk rehabilitasi dan memberi kesempatan kedua kepada terpidana yang menunjukkan penyesalan dan perbaikan diri.
Namun, terdapat tantangan besar dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah ketidakjelasan kriteria “sikap dan perbuatan yang terpuji” yang menjadi syarat perubahan hukuman. Tanpa panduan yang jelas dan terukur, proses penilaian ini berpotensi menjadi subjektif dan tidak transparan, yang dapat memperpanjang ketidakpastian hukum dan penderitaan terpidana. Selain itu, diperlukan koordinasi yang efektif antara lembaga-lembaga penegak hukum, Mahkamah Agung, dan Kepresidenan untuk memastikan mekanisme ini berjalan dengan adil dan efisien.
Arah kebijakan ke depan perlu berfokus pada:
- Penyusunan Pedoman Pelaksanaan yang Jelas: Kriteria “perbuatan terpuji” harus dibuat secara objektif, misalnya melalui indikator perilaku, partisipasi dalam program rehabilitasi, dan evaluasi psikologis yang terstandar.
- Peningkatan Transparansi: Data mengenai jumlah terpidana mati, masa tunggu, dan proses penilaian harus terbuka untuk publik dan diawasi oleh lembaga independen.
- Penguatan Aspek Rehabilitasi: Sistem pemasyarakatan harus didorong untuk mengedepankan program-program rehabilitasi yang substansial, bukan sekadar penahanan. Tujuan utama sistem pidana modern adalah memasyarakatkan terpidana agar menjadi individu yang baik dan berguna [14].
Kesimpulan
Kontroversi hukuman mati di Indonesia merupakan cerminan dari tarik-ulur antara nilai-nilai tradisional yang mengedepankan retribusi dan kedaulatan, dengan nilai-nilai modern yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan universal. Analisis menunjukkan bahwa dukungan publik untuk hukuman mati lebih didasarkan pada sentimen pembalasan daripada bukti empiris tentang efek jeranya.
KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) adalah sebuah langkah signifikan yang menawarkan kompromi politik dan yuridis yang unik. Ia berupaya menjembatani perdebatan yang ada dengan memperkenalkan mekanisme masa percobaan yang membuka pintu bagi perubahan hukuman. Namun, keberhasilan reformasi ini sangat bergantung pada implementasi yang adil, transparan, dan terstruktur. Ujian sesungguhnya bagi sistem hukum Indonesia adalah kemampuannya untuk mengelola masa percobaan ini secara manusiawi, memastikan bahwa kesempatan kedua yang ditawarkan benar-benar dapat diakses, dan bukan sekadar memperpanjang penderitaan psikologis bagi mereka yang menunggu di ambang kematian. Dengan demikian, meskipun Indonesia belum menjadi negara abolisionis, KUHP baru telah meletakkan fondasi penting bagi pergeseran paradigma hukum pidana yang lebih humanis di masa depan.