Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia menempati posisi yang unik dan sentral dalam struktur perekonomian nasional, dengan mandat ganda yang membingkai operasinya. Di satu sisi, BUMN diharapkan menjadi entitas komersial yang mengejar keuntungan dan berkontribusi pada pendapatan negara. Di sisi lain, BUMN juga mengemban tanggung jawab konstitusional untuk melayani hajat hidup orang banyak dan menjadi pilar pembangunan sosial-ekonomi. Analisis mendalam menunjukkan bahwa peran ganda ini, meskipun vital, sering kali menjadi sumber konflik internal dan tantangan tata kelola yang signifikan. Tulisan ini mengupas tuntas ekosistem BUMN Indonesia, menyoroti kontribusi strategis, tantangan yang ada, dan membandingkannya dengan model-model perusahaan milik negara yang berhasil di Singapura, Malaysia, dan Tiongkok.

Ditemukan bahwa meskipun BUMN Indonesia telah menunjukkan kinerja keuangan yang positif dalam beberapa tahun terakhir, tantangan mendasar seperti intervensi politik dan inefisiensi operasional masih menghambat potensinya. Model-model global, khususnya Temasek Singapura, menawarkan pembelajaran berharga tentang pentingnya independensi politik dan fokus pada mandat komersial murni. Sementara itu, model Khazanah Malaysia memberikan contoh struktur dana ganda yang secara eksplisit memisahkan tujuan komersial dari pembangunan. Menimbang temuan ini, tulisan ini menyimpulkan bahwa transformasi BUMN di Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar reformasi inkremental. Diperlukan langkah-langkah berani untuk memisahkan secara tegas peran komersial dan sosial, memperkuat tata kelola dengan prinsip meritokrasi dan transparansi, serta mengoptimalkan peran entitas pengelola aset baru seperti Badan Pengelola Investasi (BPI) atau Danantara. Langkah-langkah ini sangat penting untuk memastikan BUMN dapat menjadi entitas yang efisien, profesional, dan kompetitif di panggung global, sekaligus tetap menjadi penggerak kesejahteraan rakyat.

Latar Belakang Historis dan Evolusi BUMN

Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia berakar dari amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Misi konstitusional ini meletakkan dasar bagi BUMN untuk menjadi pilar utama perekonomian nasional. Sepanjang sejarah, peran BUMN telah mengalami evolusi signifikan, bergeser dari sekadar penyedia layanan publik (dikenal sebagai Perusahaan Jawatan atau Perjan) menjadi entitas yang juga memiliki orientasi komersial.

Pergeseran ini mencerminkan respons terhadap dinamika ekonomi dan kebutuhan akan entitas yang tidak hanya melayani, tetapi juga mampu menghasilkan keuntungan guna mengurangi ketergantungan pada anggaran negara. Transformasi dari Perjan menjadi Persero, yang dimulai pada era reformasi, secara formal bertujuan untuk mendorong BUMN agar menjadi mandiri secara finansial dan lebih efisien. Namun, perubahan ini secara fundamental menciptakan ketegangan yang mendalam dan terus-menerus antara mandat sosial dan mandat komersial. Paradox ini menjadi tantangan inti bagi BUMN di Indonesia, di mana entitas yang seharusnya mengejar keuntungan sering kali dibebani dengan tugas-tugas non-komersial, sebuah dilema yang jarang ditemui pada model perusahaan milik negara yang lebih profesional.

Mandat Ganda: Profitabilitas Komersial dan Layanan Publik

Secara kerangka hukum, BUMN di Indonesia diklasifikasikan ke dalam dua bentuk utama yang memiliki tujuan berbeda. Pertama, Badan Usaha Perseroan (Persero), yang merupakan BUMN berbentuk perseroan terbatas (PT) dengan kepemilikan saham mayoritas (paling sedikit 51%) di tangan Negara Republik Indonesia. Tujuan utama dari Persero adalah mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai badan usaha, seperti yang dicontohkan oleh PT Pertamina dan PT Kimia Farma Tbk.

Kedua, Badan Usaha Umum (Perum), yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Perum didirikan dengan tujuan utama untuk kemanfaatan umum, yaitu menyediakan barang dan jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Contohnya adalah Perum Damri, yang menyediakan layanan transportasi publik.

Meskipun kerangka hukum telah membedakan peran Persero dan Perum, dalam praktiknya, garis pemisah ini sering kali tidak jelas. Banyak Persero yang secara legal berorientasi pada keuntungan tetap diwajibkan untuk menjalankan tugas pelayanan publik (PSO), seperti membangun infrastruktur yang tidak menguntungkan secara finansial atau menyediakan layanan bersubsidi. Peran ganda ini, yang unik dalam konteks Indonesia dibandingkan dengan model-model seperti Temasek atau Khazanah, adalah akar dari inefisiensi operasional dan hambatan signifikan untuk mencapai Good Corporate Governance (GCG) yang optimal. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang ada belum sepenuhnya berhasil menyelesaikan paradoks mandat ganda, yang pada akhirnya membebani kinerja dan daya saing BUMN.

Ekosistem BUMN Indonesia: Profil Komprehensif

Kerangka Hukum dan Klasifikasi

Ekosistem BUMN Indonesia diatur dan diawasi oleh Kementerian BUMN, yang dipimpin oleh seorang Menteri dan dibantu oleh dua Wakil Menteri, serta sejumlah deputi dan staf ahli. Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, Kementerian BUMN telah mengelompokkan perusahaan-perusahaan ini ke dalam 12 klaster usaha berdasarkan value chain dan ekosistem bisnis. Klaster-klaster ini mencakup sektor-sektor vital seperti Energi, Keuangan, Infrastruktur, Telekomunikasi, dan Kesehatan.

Strategi klasterisasi ini, yang menyatukan BUMN-BUMN yang sebelumnya tersebar, mencerminkan tren global serupa, di mana pemerintah berupaya menciptakan entitas yang lebih besar dan efisien untuk berperan sebagai “juara nasional.” Pendekatan ini juga terlihat dalam reformasi perusahaan milik negara (SOE) di Tiongkok, di mana pemerintah secara signifikan telah mengurangi jumlah perusahaan kecil melalui privatisasi dan penjualan aset, sementara pada saat yang sama meningkatkan ukuran SOE yang dianggap strategis. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia secara implisit mengadopsi model hibrida, mengintegrasikan efisiensi pasar dengan pendekatan terpusat dan berorientasi pada negara.

Pengesahan UU BUMN 2025 merupakan langkah signifikan dalam memperkuat kerangka hukum dan mentransformasi tata kelola. Undang-undang ini merinci kriteria dan mekanisme privatisasi yang lebih transparan, serta memperkuat fungsi pengawasan internal, termasuk peran Satuan Pengawasan Intern dan Komite Audit yang lebih independen, guna menekan risiko korupsi dan inefisiensi.

Peran dan Kontribusi terhadap Perekonomian Nasional

BUMN memainkan peran multi-dimensi dalam perekonomian Indonesia. Peran-peran ini mencakup:

  • Penggerak Ekonomi dan Pencipta Lapangan Kerja: BUMN adalah motor penggerak ekonomi yang vital. Dengan skala operasional yang masif, mereka mampu membuka dan memperluas lapangan pekerjaan bagi angkatan kerja dalam jumlah signifikan, membantu mengurangi pengangguran. Beberapa BUMN juga beroperasi di pasar internasional, menghasilkan devisa bagi negara melalui ekspor barang dan jasa.
  • Sumber Pendapatan Negara: Sebagai salah satu sumber penerimaan negara terbesar, BUMN berkontribusi melalui pajak, dividen, dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada tahun 2019, total kontribusi BUMN mencapai Rp469 triliun, atau setara dengan 23,92% dari total penerimaan negara. Meskipun demikian, kontribusi laba bersih terhadap PDB mengalami fluktuasi, bahkan mencapai titik terendah 1,04% pada tahun 2019. Hal ini menyiratkan adanya ketidakselarasan di mana BUMN dapat menjadi sumber pendapatan fiskal yang besar bagi pemerintah, bahkan ketika efisiensi dan profitabilitas internal mereka menurun.
  • Penyedia Layanan Publik: BUMN berperan sebagai penyedia barang dan jasa dasar yang penting bagi masyarakat, seperti listrik, air, dan transportasi, mencegah monopoli swasta dan memastikan ketersediaan kebutuhan dasar dengan harga terjangkau. Contoh nyata adalah layanan transportasi yang disediakan oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan Perum Damri.
  • Dukungan Sosial dan UMKM: Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), BUMN wajib menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk membina usaha kecil/koperasi serta masyarakat sekitar. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong ekonomi kerakyatan dan memastikan BUMN berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan sosial.

Kinerja Terkini dan Arah Strategis

Dalam beberapa tahun terakhir, BUMN menunjukkan tren kinerja keuangan yang positif. Laba bersih BUMN secara konsolidasi mencapai Rp183,9 triliun pada semester I-2023, meningkat 12,9% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Kinerja ini mencerminkan keberhasilan transformasi di berbagai lini, baik di tingkat kementerian maupun perusahaan. Kinerja positif juga terlihat pada BUMN di bawah Kementerian Keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), yang mencatatkan total investasi Rp147,4 triliun per September 2024, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), yang melampaui target pendapatan dan laba bersih 2024.

Namun, analisis lebih dalam menunjukkan bahwa kinerja positif ini terkadang juga didorong oleh faktor eksternal. Kinerja positif Indonesia secara keseluruhan didukung oleh surplus yang disebabkan oleh kenaikan harga komoditas. Ini menunjukkan bahwa meskipun upaya transformasi internal sangat penting, keberlanjutan profitabilitas BUMN juga sangat bergantung pada stabilitas pasar komoditas. Keberhasilan sejati akan terukur dari kemampuan BUMN untuk mempertahankan efisiensi dan profitabilitas bahkan saat harga komoditas tidak menguntungkan.

Analisis Kritis Tata Kelola dan Tantangan BUMN

Tata Kelola, Transparansi, dan Akuntabilitas

Meskipun prinsip Good Corporate Governance (GCG) telah diintroduksi, penerapannya di BUMN masih belum optimal. Berbagai studi menunjukkan bahwa inefisiensi operasional, terutama dalam pengelolaan sumber daya manusia dan perumusan kebijakan, masih menjadi kendala utama yang menyebabkan biaya operasional tinggi dan produktivitas rendah. Kurangnya penerapan GCG yang efektif adalah salah satu penyebab utama krisis ekonomi di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya pada tahun 1997. Hal ini menunjukkan bahwa isu tata kelola bukan sekadar masalah internal perusahaan, melainkan risiko sistemik terhadap stabilitas ekonomi nasional.

Sebuah studi menarik menunjukkan bahwa BUMN yang sahamnya dimiliki sebagian oleh publik cenderung memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan BUMN yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah . Hal ini mengindikasikan bahwa disiplin pasar yang dibawa oleh kepemilikan publik mendorong akuntabilitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Fakta ini menjadi argumen kuat untuk perlunya privatisasi parsial atau IPO sebagai mekanisme untuk memaksa BUMN agar lebih transparan dan bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan yang lebih luas.

Bayang-Bayang Intervensi Politik

Salah satu tantangan paling signifikan yang dihadapi BUMN di Indonesia adalah kuatnya intervensi politik. BUMN sering kali menjadi alat politik untuk menempatkan para loyalis atau mantan pejabat pada posisi direksi dan komisaris, mengesampingkan profesionalisme dan kompetensi. Praktik ini membuat BUMN rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan mendapat stigma sebagai “sapi perah politik,” di mana BUMN dijadikan sumber pembiayaan tidak langsung untuk agenda-agenda politik tertentu.

Intervensi politik memicu serangkaian efek negatif: dari penunjukan manajemen yang tidak profesional, hingga buruknya tata kelola, yang pada akhirnya menyebabkan inefisiensi operasional dan kegagalan dalam mencapai tujuan yang diamanatkan. Untuk memutus siklus ini, para ahli ekonomi politik menyarankan agar BUMN melakukan penawaran saham perdana (IPO) di bursa. Dengan kepemilikan publik, BUMN menjadi lebih transparan, dan pengawasan masyarakat dapat meminimalisasi peluang intervensi politik.

Inisiatif Reformasi Utama

Pemerintah telah melakukan berbagai inisiatif untuk mereformasi BUMN, dengan dua pendekatan utama: restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi dilakukan untuk menstabilkan dan menyehatkan perusahaan, seperti melalui penggabungan BUMN yang sejenis. Privatisasi adalah penjualan sebagian atau seluruh saham kepada pihak swasta, yang bertujuan untuk mendapatkan modal tambahan dan meningkatkan efisiensi.

Dalam kerangka reformasi, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI), atau yang dikenal dengan nama Danantara, merupakan langkah strategis yang penting . Entitas ini didirikan untuk mengelola aset negara secara profesional, terpisah dari campur tangan pemerintah. Pembentukan Danantara secara implisit mengakui kelemahan model BUMN tradisional Indonesia dan berupaya meniru keberhasilan model sovereign wealth fund (SWF) seperti yang diimplementasikan di Singapura dan Malaysia. Keberhasilan Danantara akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk beroperasi dengan independensi penuh, menerapkan Santiago Principles, dan diawasi oleh badan independen, guna mencegahnya menjadi entitas politik baru.

Perbandingan Global: Pembelajaran dari Model Perusahaan Milik Negara Lain

Untuk memahami jalan ke depan bagi BUMN Indonesia, penting untuk menganalisis model perusahaan milik negara di berbagai belahan dunia. Perbandingan berikut menyoroti perbedaan mendasar dalam mandat, tata kelola, dan strategi.

Tabel Perbandingan Model Perusahaan Milik Negara

Kriteria Perbandingan Indonesia (BUMN) Singapura (Temasek) Malaysia (Khazanah) Tiongkok (SOE)
Model Utama Dual-mandat (profit & public service) Sovereign Wealth Fund (SWF) SWF dengan struktur dana ganda State-centric “Juara Nasional”
Mandat Utama Mengejar profit dan melayani publik Murni komersial; imbal hasil jangka panjang Komersial & pembangunan ekonomi Dominasi ekonomi & kepentingan negara
Tingkat Independensi Rentan intervensi politik Sangat independen dari politik Independen, namun PM sebagai ketua dewan direksi Terikat erat dengan Partai Komunis
Strategi Investasi Klasterisasi, fokus domestik Diversifikasi global, tren struktural Investasi komersial & strategis Dominasi sektor strategis; konsolidasi

Model Temasek Singapura

Temasek Holdings, yang didirikan pada tahun 1974, adalah pengelola investasi milik negara Singapura. Temasek beroperasi layaknya perusahaan investasi swasta yang murni berfokus pada imbal hasil komersial jangka panjang. Kunci keberhasilan Temasek terletak pada independensinya yang kuat dari pengaruh politik. Pemerintah Singapura bertindak sebagai satu-satunya pemegang saham, tetapi tidak terlibat dalam keputusan bisnis sehari-hari atau operasional perusahaan. Model ini memungkinkan Temasek untuk menunjuk manajemen profesional berdasarkan meritokrasi, tanpa beban tugas-tugas non-komersial. Portofolio investasinya terdiversifikasi secara luas di berbagai sektor dan pasar global, dengan eksposur 66% pada ekonomi maju. Tata kelolanya yang kuat dan transparan, termasuk audit rutin oleh Auditor Jenderal Pemerintah Singapura, menjadi tolok ukur global.

Pelajaran terpenting dari Temasek bagi Indonesia adalah bahwa untuk mencapai kinerja optimal, suatu entitas harus sepenuhnya terpisah dari pengaruh politik. Temasek berhasil memisahkan peran regulator dari peran operator, memungkinkan keputusan bisnis murni didasarkan pada analisis pasar dan bukan pada pertimbangan politik.

Model Khazanah Nasional Malaysia

Khazanah Nasional Berhad, sovereign wealth fund Malaysia, memiliki mandat ganda yang sangat relevan dengan konteks Indonesia: menumbuhkan kekayaan jangka panjang dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional. Model unik Khazanah adalah struktur dua dana yang terpisah. Dana Komersial murni berorientasi pada keuntungan, sementara Dana Strategis digunakan untuk investasi yang memiliki manfaat pembangunan dan memberikan dampak ekonomi jangka panjang bagi negara.

Model Khazanah menawarkan pendekatan hibrida yang menarik bagi Indonesia. Ini secara eksplisit mengakui perlunya memisahkan tujuan komersial dari tujuan pembangunan, sebuah solusi untuk konflik mandat ganda yang dihadapi BUMN Indonesia. Namun, ada satu poin penting yang membedakannya: Perdana Menteri Malaysia menjabat sebagai Ketua Dewan Direksi Khazanah. Hal ini menunjukkan adanya potensi intervensi politik, meskipun Khazanah berupaya untuk tetap independen. Indonesia harus memperhatikan aspek ini; sementara model dua dana menawarkan solusi, independensi operasional sejati harus tetap menjadi prioritas utama.

Model Perusahaan Milik Negara (SOE) Tiongkok

Tiongkok adalah negara dengan jumlah BUMN terbanyak di dunia. BUMN di Tiongkok mendominasi perekonomian dan berfungsi sebagai “juara nasional,” didukung oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan strategis. BUMN Tiongkok menikmati akses istimewa ke sumber daya seperti tanah, energi, dan keuangan. Mereka sering kali tidak perlu memprioritaskan keuntungan finansial dalam proyek-proyek yang dianggap strategis oleh negara.

Reformasi SOE di Tiongkok telah berupaya untuk meningkatkan efisiensi dengan memperkenalkan disiplin pasar, termasuk reformasi kepemilikan campuran (mixed ownership) di mana investor swasta diizinkan untuk mengambil saham di SOE. Namun, meskipun ada reformasi, kontrol utama tetap berada di tangan pemerintah dan Partai Komunis. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia: reformasi seperti privatisasi parsial atau kepemilikan campuran tidak akan efektif jika isu mendasar terkait intervensi politik dan kontrol negara tidak diselesaikan. Keterlibatan publik dalam kepemilikan BUMN harus diarahkan untuk meningkatkan akuntabilitas, bukan sekadar untuk tujuan fiskal.

Sintesis, Wawasan, dan Rekomendasi Kebijakan

Kekuatan dan Kelemahan Komparatif

Analisis mendalam dari model-model perusahaan milik negara di atas mengarah pada kesimpulan bahwa model BUMN Indonesia yang memiliki mandat ganda adalah kelemahan struktural utama. Model ini membuat BUMN rentan terhadap intervensi politik dan inefisiensi operasional. Sebaliknya, model Temasek menunjukkan potensi luar biasa dari entitas yang sepenuhnya profesional dan independen dari pengaruh politik. Khazanah menawarkan model hibrida yang layak, memisahkan secara jelas antara tujuan komersial dan pembangunan. Sementara itu, Tiongkok menunjukkan kekuatan skala dan dominasi yang dapat dicapai melalui dukungan negara, tetapi dengan biaya kontrol politik yang ketat.

Pelajaran kunci bagi Indonesia adalah perlunya mengakhiri peran ganda yang tumpang tindih. Konflik antara mengejar keuntungan dan melayani publik secara inheren menciptakan inefisiensi. BUMN tidak bisa melayani dua tuan sekaligus secara efektif. Oleh karena itu, langkah strategis ke depan adalah bergerak dari model state-owned enterprise yang sarat akan beban politik menjadi model state-owned investment yang profesional, seperti yang coba diinisiasi dengan pembentukan Danantara.

Rekomendasi untuk Reformasi BUMN

Berdasarkan analisis komparatif dan kritis, berikut adalah rekomendasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk memperkuat BUMN di Indonesia:

  1. Penguatan Tata Kelola dan Akuntabilitas: Terapkan sepenuhnya prinsip GCG, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan independensi. Dorong privatisasi sebagian melalui IPO untuk meningkatkan pengawasan publik dan mengurangi intervensi politik. Perkuat pengawasan internal dan eksternal, termasuk peran Satuan Pengawasan Intern dan Komite Audit.
  2. Pemetaan Ulang Mandat dan Arah Strategis: Lakukan pemisahan yang jelas antara BUMN yang murni berorientasi komersial dan BUMN yang mengemban tugas pelayanan publik. BUMN komersial harus diizinkan untuk beroperasi layaknya perusahaan swasta, dengan fokus pada keuntungan dan efisiensi. Sementara itu, BUMN yang menjalankan tugas pelayanan publik harus mendapatkan subsidi atau pendanaan yang transparan dari negara, sehingga kinerja mereka tidak terbebani oleh tujuan komersial.
  3. Penegakan Profesionalisme dan Meritokrasi: Hentikan praktik penunjukan direksi dan komisaris berdasarkan loyalitas politik. Terapkan sistem meritokrasi yang ketat untuk memastikan jajaran manajemen diisi oleh para ahli yang kompeten. Peningkatan efisiensi operasional dan pengelolaan sumber daya manusia harus menjadi prioritas utama untuk meningkatkan produktivitas.
  4. Optimalisasi Peran Danantara: Pastikan Badan Pengelola Investasi (Danantara) beroperasi dengan independensi penuh, bebas dari tekanan politik. Danantara harus sepenuhnya menerapkan Santiago Principles yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan manajemen investasi yang bijaksana. Pengawasan independen dari berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan akademisi, sangat penting untuk mencegah Danantara menjadi entitas politik baru dan menjadikannya pengelola aset profesional yang sesungguhnya.

Tabel Isu Tata Kelola dan Reformasi BUMN Indonesia

Tantangan Utama Dampak Negatif Inisiatif Reformasi
Intervensi politik Merusak profesionalisme dan GCG; stigma “sapi perah politik” Privatisasi saham (IPO); UU BUMN 2025
Inefisiensi operasional Biaya tinggi, produktivitas rendah; kinerja di bawah swasta Peningkatan efisiensi & restrukturisasi
Kurangnya transparansi Menghambat akuntabilitas publik; risiko korupsi Penguatan pengawasan internal; UU BUMN 2025
Mandat Ganda Konflik kepentingan antara profit dan pelayanan publik Pembentukan Danantara untuk memisahkan aset komersial

Kesimpulan

Badan Usaha Milik Negara adalah aset yang tak tergantikan bagi perekonomian Indonesia. Mereka tidak hanya berperan sebagai mesin pertumbuhan, tetapi juga sebagai instrumen vital untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang lebih luas. Namun, untuk benar-benar mengoptimalkan peran ini, BUMN harus mengatasi tantangan struktural yang telah mengakar, terutama konflik antara mandat komersial dan sosial serta bayang-bayang intervensi politik.

Jalan ke depan mengharuskan Indonesia untuk mengambil pelajaran dari model-model global yang sukses, yang telah berhasil memisahkan bisnis dari politik. Pembentukan Danantara adalah langkah awal yang sangat menjanjikan, yang berpotensi membawa Indonesia ke arah model pengelola aset negara yang lebih profesional. Namun, keberhasilan inisiatif ini sangat bergantung pada keberanian pemerintah untuk memastikan Danantara beroperasi dengan independensi sejati, bebas dari beban non-komersial dan penunjukan yang bermotif politik.

Masa depan BUMN Indonesia bergantung pada kemampuannya untuk mengadopsi tata kelola profesional, menerapkan meritokrasi, dan mendefinisikan kembali tujuannya sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan berfokus pada profesionalisme dan akuntabilitas, BUMN tidak hanya akan menjadi lebih efisien dan kompetitif di pasar global, tetapi juga dapat mewujudkan amanat konstitusionalnya untuk menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5 + 1 =
Powered by MathCaptcha