Peran sentral namun sering terabaikan dari figur-figur yang dikenal sebagai “jagoan” dan “jawaran” dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Narasi sejarah nasional cenderung berfokus pada tokoh-tokoh politik dan militer formal, sementara peran pemimpin lokal yang kharismatik ini sering kali terpinggirkan atau bahkan dicap negatif oleh historiografi kolonial. Analisis ini mengungkapkan bahwa jagoan dan jawara bukanlah entitas statis, melainkan figur dinamis yang bertransformasi dari elite lokal yang ambigu menjadi pemimpin perlawanan yang vital.

Tulisan ini mengupas identitas ganda mereka, dinamika rumit antara laskar rakyat yang mereka pimpin dengan militer reguler seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan bagaimana warisan mereka direpresentasikan dalam narasi nasional pasca-kemerdekaan. Melalui studi kasus mikrohistoris Haji Darip di Betawi dan K.H. Syam’un di Banten, tulisan ini menyoroti keragaman model kepemimpinan perjuangan, dari yang beroperasi secara otonom di luar struktur negara hingga yang terintegrasi penuh dalam birokrasi dan militer. Tulisan ini menyimpulkan bahwa untuk memperoleh pemahaman yang utuh tentang revolusi Indonesia, penting untuk mengintegrasikan narasi akar rumput ini ke dalam historiografi arus utama, menantang label historis yang merendahkan, dan mengakui kontribusi esensial mereka dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.

Dalam lanskap sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, narasi yang dominan sering kali berpusat pada figur-figur besar dan organisasi formal yang berjuang melalui jalur politik, diplomasi, atau militer reguler. Namun, di balik narasi tersebut, terdapat peran krusial dari para jagoan dan jawara, pemimpin lokal yang mengorganisasi perlawanan di tingkat akar rumput. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif bagaimana figur-figur ini, yang memiliki akar dalam masyarakat tradisional, bertransformasi menjadi pejuang kemerdekaan.

Istilah “jawaran” berasal dari kata “juara” yang berarti pemenang, sebuah julukan yang sejalan dengan karakter mereka yang memiliki motivasi untuk mencapai kemenangan. Dalam versi lain, jawara juga dapat diartikan sebagai “jaro” atau pemimpin desa. Identitas mereka dicirikan oleh kepemilikan kekuatan fisik dan magis (kadigjayaan), yang membangkitkan rasa hormat, takut, dan kekaguman di kalangan masyarakat. Namun, identitas ini tidak monolitik. Di masa kolonial, citra jawara sering kali dipandang ambigu. Sebagian dari mereka disewa oleh tuan tanah partikelir untuk memaksa penduduk membayar pajak, sebuah peran yang membuat mereka dianggap bengis oleh masyarakat. Di sisi lain, mereka juga berfungsi sebagai pelindung masyarakat dari ancaman luar.

Perspektif historiografi kolonial sering kali memperumit pemahaman ini, di mana perlawanan yang dilakukan oleh figur-figur seperti jawara diberi label “bandit,” “pengacau” (onlusten), atau “pemberontak” (ongeregeldheden). Label ini tidak mencerminkan esensi perlawanan mereka sebagai perjuangan kemerdekaan, melainkan sebagai upaya sistematis untuk mendelegitimasi dan mengkriminalisasi gerakan anti-kolonial. Tulisan ini akan berfokus pada studi kasus Betawi dan Banten, dua wilayah di mana peran jawara sangat menonjol, untuk mengungkap dinamika yang kompleks ini dan menempatkan mereka pada posisi yang seharusnya dalam narasi sejarah nasional.

Genealogi dan Evolusi Peran Jawara/Jagoan Sebelum Kemerdekaan

Sebelum proklamasi kemerdekaan, jawara telah menempati posisi yang mapan dalam struktur sosial masyarakat tradisional, khususnya di Banten dan Betawi. Posisi ini adalah kunci untuk memahami bagaimana mereka kemudian memobilisasi perlawanan. Di Banten, kepemimpinan lokal dapat dipahami melalui model tripartit yang terdiri dari ulama, jawara, dan umaro (birokrat atau pejabat pemerintahan). Masing-masing elite ini memiliki pengaruh kuat dalam domain yang berbeda: ulama dalam bidang keagamaan, jawara dalam bidang adat dan kekuatan fisik, dan umaro dalam jaringan kekuasaan pemerintahan.

Hubungan antara ulama dan jawara di Banten secara historis merupakan sebuah simbiosis mutualisme yang tak terpisahkan dalam konstruksi sosial dan budaya masyarakat. Ulama, dengan ilmu agama yang dimilikinya, menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan masalah sosial, sementara jawara, yang tergabung dalam perkumpulan persilatan, menjaga keamanan wilayah dengan kekuatan fisik dan ekonomi mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekuatan jawara sudah terintegrasi dalam sistem sosial, bahkan sebelum mereka bertransformasi menjadi pejuang nasional. Meskipun demikian, hubungan ini tidak selalu harmonis. Terkadang, terjadi ketegangan karena perbedaan peran dan kepentingan, di mana ulama lebih fokus pada kepemimpinan agama, sementara jawara berfokus pada kepemimpinan adat  karuhun.

Di Betawi, peran jawara juga memiliki dualitas yang mencolok. Di satu sisi, mereka adalah figur yang disegani dan ditakuti di wilayah kekuasaannya, seperti Haji Darip yang memiliki pengaruh luas di Klender, Jatinegara, dan Pulo Gadung. Namun, di sisi lain, catatan sejarah juga menunjukkan bahwa mereka pernah disewa oleh tuan tanah partikelir untuk memaksa penduduk membayar pajak, suatu peran yang membuat mereka dianggap “bengis” oleh masyarakat.

Pemahaman mengenai peran ganda ini sangat penting karena menunjukkan bahwa kekuatan jawara bukanlah entitas yang statis, melainkan dinamis dan kontekstual. Label “bandit” yang dilekatkan oleh pihak kolonial tidak mencerminkan seluruh spektrum peran mereka. Sebaliknya, label tersebut adalah upaya untuk mendelegitimasi perlawanan lokal yang dipimpin oleh mereka. Dengan demikian, transformasi jawara menjadi pejuang kemerdekaan bukanlah penciptaan peran baru dari nol, melainkan re-orientasi dari kekuatan dan pengaruh yang sudah ada. Mereka memanifestasikan ulang kekuasaan tradisional mereka untuk melawan penindas yang lebih besar, yaitu pemerintah kolonial.

Transformasi dan Manifestasi Perjuangan: Laskar Rakyat dan Konflik Internal

Perjuangan kemerdekaan merupakan katalisator utama yang mengubah orientasi para jagoan dan jawara dari konflik lokal menjadi perlawanan nasional. Penindasan kolonial yang semakin brutal dan seruan untuk kemerdekaan mendorong mereka untuk mengorganisasi kekuatan yang sudah mereka miliki menjadi bentuk perjuangan yang lebih terstruktur. Manifestasi nyata dari transformasi ini adalah pembentukan laskar-laskar rakyat, organisasi paramiliter yang berperan penting dalam revolusi.

Salah satu contoh paling menonjol adalah pembentukan BARA (Barisan Rakyat) oleh Haji Darip di Klender pada Oktober 1945. BARA dibentuk sebagai wadah untuk menghimpun para jawara, santri, dan simpatisan yang siap berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi ini menjadi representasi perjuangan akar rumput yang dimobilisasi oleh seorang pemimpin lokal yang berlandaskan pada karisma dan kekuatan tradisional. Bersama dengan Haji Hasbullah dan Kyai Mursyidi, Haji Darip memimpin BARA dalam berbagai pertempuran gerilya dan serangan terhadap infrastruktur penting seperti bandara.

Meskipun menunjukkan semangat persatuan yang kuat, hubungan antara laskar rakyat dan militer reguler yang baru terbentuk, seperti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Tentara Republik Indonesia (TRI), sangatlah kompleks. Ada kasus kolaborasi yang jelas, di mana laskar seperti Hizbullah dan Askar Perang Sabil berkoordinasi dengan TNI dan diberi bimbingan militer dan rohani. Laskar-laskar ini meleburkan diri ke dalam struktur militer reguler untuk membantu TNI memperkuat barisan pertahanan.

Namun, di sisi lain, juga terdapat konflik yang “kronis dan sporadis” antara laskar dan tentara pemerintah, sebuah fenomena yang oleh sejarawan digambarkan sebagai “revolusi dalam revolusi”. Konflik ini muncul karena perbedaan tujuan, struktur, dan strategi. Beberapa laskar dianggap “liar” dan tidak terkendali, bahkan dilaporkan menyerang pos-pos TRI di sekitar Lemahabang-Cikarang. Ketegangan ini dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas: perjuangan kemerdekaan tidak hanya pertempuran melawan penjajah, tetapi juga sebuah proses pembentukan negara-bangsa. Pemerintah yang baru lahir membutuhkan kekuatan militer yang terpusat dan disiplin untuk menjaga kedaulatan. Kekuatan otonom laskar, dengan loyalitas yang kuat pada pemimpin lokal mereka, menjadi hambatan bagi upaya sentralisasi ini.

Oleh karena itu, perbedaan ideologi, taktik, dan loyalitas antara perjuangan akar rumput (laskar) dan upaya sentralisasi (TNI) menciptakan ketegangan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dinamika revolusi. Meskipun demikian, sinergi dan konflik ini pada akhirnya membentuk lanskap perjuangan yang utuh, di mana peran jawara dan laskar tetap menjadi fondasi penting bagi perlawanan fisik yang berhasil.

Studi Kasus Mikrohistoris: Tiga Model Kepemimpinan Kunci

Untuk lebih memahami keragaman peran jawara dalam perjuangan kemerdekaan, tulisan ini menyajikan tiga studi kasus mendalam yang mewakili model kepemimpinan yang berbeda.

Haji Darip: Arketipe Jawara Betawi

Haji Muhammad Arif, yang lebih dikenal sebagai Haji Darip, merupakan arketipe jawara Betawi yang berani. Berasal dari keluarga jawara silat di Klender, ia tumbuh menjadi sosok yang disegani dan ditakuti. Beliau memiliki latar belakang ganda sebagai guru agama dan ahli silat (maen pukul) yang menguasai berbagai jurus khas. Pada masa pendudukan Jepang, Haji Darip telah aktif berjuang melalui jalur bawah tanah, dan setelah proklamasi, ia mengorganisasi BARA (Barisan Rakyat) sebagai wadah perjuangan.

Strategi perlawanan Haji Darip dan BARA berpusat pada taktik gerilya dan perlawanan fisik langsung. Mereka melakukan serangan terhadap infrastruktur penting dan memimpin pertempuran gerilya dari Jakarta hingga Purwakarta. Karisma Haji Darip begitu kuat hingga ia dikabarkan memiliki ilmu kekebalan yang membuat golok tidak mempan pada tubuh para pengikutnya yang telah direstui. Namun, terlepas dari perannya yang vital, kisah Haji Darip sebagian besar terabaikan dalam historiografi arus utama. Peran heroiknya sering dibayangi oleh label “bandit” yang dilekatkan oleh sumber-sumber kolonial. Hal ini menunjukkan bias dalam narasi sejarah yang cenderung memprioritaskan perjuangan yang terorganisasi secara formal. Warisan perjuangan Haji Darip hidup melalui perguruan silat yang mengusung alirannya, dan yang terpenting, ia menolak tawaran untuk menjadi pejabat pasca-kemerdekaan, menunjukkan motivasi perjuangannya yang murni tanpa pamrih.

K.H. Syam’un: Perpaduan Ulama dan Pejuang Gerilya Banten

Berbeda dengan Haji Darip yang beroperasi di luar struktur formal, K.H. Syam’un adalah contoh unik perpaduan ideal antara ulama, birokrat, dan pejuang militer. Beliau adalah seorang santri yang sukses dalam karier politik dan militer. Perannya sebagai pemimpin spiritual dari pesantren Al-Khairiyah memberinya otoritas keagamaan yang kuat di mata masyarakat. Pada masa pendudukan Jepang, beliau direkrut menjadi  daidanco (komandan batalion) dalam Tentara Pembela Tanah Air (PETA), sebuah posisi yang memberinya pengalaman militer formal. Keterlibatannya dalam PETA tidak melunturkan kharismanya; sebaliknya, para prajuritnya tetap menganggapnya sebagai guru agama dan pemimpin spiritual, yang membuat loyalitas mereka sangat kuat.

Pasca-kemerdekaan, K.H. Syam’un dipercaya untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Banten dan diangkat sebagai bupati Serang. Posisi ini menunjukkan bagaimana beliau berhasil mengintegrasikan otoritas keagamaan, militer, dan birokrasi dalam satu kepemimpinan. Meskipun memegang jabatan pemerintahan, K.H. Syam’un tetap memilih untuk meninggalkan jabatannya sebagai bupati demi memimpin perang gerilya langsung melawan Belanda, menunjukkan prioritasnya pada perlawanan fisik. Kenaikan pangkat anumerta menjadi Brigadir Jenderal Anumerta menggarisbawahi kontribusinya yang luar biasa di kedua ranah: militer dan pemerintahan.

Timur Pane: Figur Ambigu dari Sumatera Utara

Di luar Jawa, perjuangan kemerdekaan juga melibatkan figur-figur lokal yang memiliki reputasi yang kompleks dan ambigu, seperti Timur Pane dari Sumatera Utara. Dikenal sebagai sosok legendaris dalam revolusi di Sumatera Timur, Timur Pane memimpin laskar “Naga Terbang”. Pasukannya terkenal “liar dan suka mengacau,” terkadang merampas harta milik rakyat ketimbang melawan Belanda. Reputasi negatif ini bahkan menarik perhatian Panglima Divisi Siliwangi, Abdul Haris Nasution, yang mencatat bahwa pasukan Naga Terbang pernah menduduki beberapa perkebunan.

Hubungan antara Timur Pane dan pemerintah pusat sangatlah rumit. Ia tunduk pada Partai Nasional Indonesia (PNI) di daerahnya, namun pasukannya terlibat konflik dengan laskar lain, seperti Ksatria Pesindo. Masalah ekonomi dan persaingan memperebutkan wilayah menjadi pemicu utama ketegangan ini, hingga Wakil Presiden Mohammad Hatta harus turun tangan untuk menengahi. Meskipun dikenal sebagai pemimpin laskar yang meresahkan, ia berhasil meyakinkan Hatta untuk mengizinkan pasukannya menggempur Belanda di Medan.

Namun, transformasi Timur Pane dari pemimpin laskar otonom menjadi pejuang yang diakui negara tidak berlangsung mulus. Ketika pemerintah Hatta menerapkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) pada tahun 1948, pasukan yang dipimpinnya dilikuidasi. Timur Pane dicopot dari jabatan militernya dan gelar jenderal mayornya dicabut. Meskipun demikian, ia masih memiliki banyak pengikut setia yang kemudian membentuk barisan tidak resmi bernama “Sang Gerilya”. Kelompok ini juga akhirnya dihancurkan. Dengan demikian, Timur Pane sering dikenang sebagai figur dualistik, “bandit” sekaligus “pejuang”.

Perbandingan Model Kepemimpinan

Perbandingan antara Haji Darip, K.H. Syam’un, dan Timur Pane menunjukkan bahwa tidak ada satu model tunggal pejuang kemerdekaan yang berasal dari kalangan jawara atau ulama. Peran dan strategi mereka sangat bervariasi tergantung pada konteks lokal dan latar belakang personal.

Perbandingan Model Kepemimpinan Jawara dalam Perjuangan Kemerdekaan

Aspek Haji Darip (Jawara Betawi) K.H. Syam’un (Ulama-Jawara Banten) Timur Pane (Jawara Sumatera Utara)
Latar Belakang Utama Jawara, guru silat, pemimpin agama. Ulama, pendidik, birokrat, dan pemimpin militer. Pemimpin laskar, dikenal sebagai bandit dan pejuang.
Bentuk Organisasi Laskar Rakyat (BARA) yang bersifat paramiliter. Organisasi militer resmi (PETA, BKR, TNI) dan birokrasi pemerintahan. Laskar Naga Terbang (semimiliter) dan Sang Gerilya (tidak resmi).
Taktik Perjuangan Gerilya, perlawanan fisik langsung, mengandalkan kekuatan lokal. Gerilya, memimpin batalyon formal, dan peran birokrasi. Gerilya, perampasan, pertempuran fisik.
Hubungan dengan Negara Beroperasi di luar struktur militer reguler, fokus pada perlawanan lokal. Terintegrasi penuh dengan struktur militer dan pemerintahan pasca-kemerdekaan. Dicopot dari jabatan militernya dan pasukannya dilikuidasi oleh kebijakan pemerintah pusat.

Perbandingan ini sangat penting karena membantu memperjelas bahwa perjuangan kemerdekaan melibatkan berbagai lapisan masyarakat dengan pendekatan yang berbeda. Meskipun ketiga figur ini sama-sama berjuang, jalur yang mereka tempuh dan hubungan mereka dengan negara yang baru terbentuk sangatlah kontras, yang pada akhirnya membentuk warisan yang berbeda dalam sejarah.

Representasi dan Warisan dalam Narasi Nasional

Meskipun memiliki peran yang fundamental, figur-figur jawara dan perjuangan laskar mereka sering kali terpinggirkan dalam narasi sejarah nasional yang lebih besar. Budaya populer, khususnya film-film sejarah, cenderung berfokus pada tokoh-tokoh sentral seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Soedirman, dan Ki Hajar Dewantara. Perjuangan yang bersifat akar rumput dan otonom seperti yang dilakukan Haji Darip kurang mendapatkan sorotan, sementara narasi heroik yang lebih teratur dan terpusatlah yang sering diceritakan.

Di sisi lain, representasi jawara dalam budaya populer modern telah mengalami pergeseran yang signifikan. Dalam tradisi Betawi kontemporer seperti palang pintu, citra jawara telah berubah dari sosok yang “bengis” di masa lalu menjadi figur yang cenderung “humoris” dan jenaka. Fenomena ini mencerminkan proses folklorisasi dan komodifikasi terhadap memori perjuangan. Dengan mengubah karakter jawara yang menakutkan dan keras menjadi sosok yang lucu, masyarakat dan narasi budaya secara tidak langsung “menjinakkan” memori perlawanan yang brutal dan terfragmentasi. Pergeseran ini mengasimilasi memori tersebut ke dalam narasi nasional yang lebih stabil dan tidak mengancam, mengubah mereka dari sosok yang berpotensi “mengganggu” menjadi sekadar ikon budaya.

Transformasi ini juga menunjukkan dinamika dalam historiografi yang terus berlanjut, di mana narasi kolonial yang melabeli pejuang sebagai “bandit” kini digantikan oleh representasi budaya yang mengabaikan kekerasan dan kompleksitas historis demi tujuan hiburan atau pelestarian budaya semata. Dengan demikian, warisan jawara dalam budaya populer modern mencerminkan cara masyarakat mengolah dan memilih ingatan yang relevan dari sejarah mereka, meskipun itu berarti mengaburkan fakta-fakta yang kurang menyenangkan.

Kesimpulan

Analisis komprehensif ini menegaskan bahwa peran jagoan dan jawara dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia adalah esensial dan tidak dapat diabaikan. Mereka bukanlah figur periferal, melainkan pemimpin perlawanan di tingkat akar rumput yang berhasil memobilisasi kekuatan lokal untuk mencapai tujuan nasional. Tulisan ini telah menunjukkan beberapa temuan kunci:

  1. Jawara dan jagoan adalah figur dinamis yang bertransformasi dari elite lokal yang ambigu menjadi pejuang vital, mengorientasikan kembali kekuatan tradisional mereka melawan kolonialisme.
  2. Perjuangan yang mereka pimpin bersifat kompleks, ditandai oleh kolaborasi sekaligus konflik dengan militer formal yang sedang berupaya menyentralisasi kekuasaan negara.
  3. Model kepemimpinan mereka bervariasi, dari perjuangan otonom (Haji Darip) hingga integrasi penuh dalam struktur negara (K.H. Syam’un) dan bahkan konflik yang berakhir dengan likuidasi (Timur Pane).
  4. Representasi historis mereka sering kali termarjinalisasi oleh narasi arus utama dan, dalam budaya populer, mengalami pergeseran citra yang “menjinakkan” memori perjuangan.

Untuk mengisi kekosongan narasi sejarah nasional, tulisan ini merekomendasikan pendekatan yang lebih luas dan inklusif. Pendekatan mikrohistoris yang berfokus pada individu dan komunitas lokal, seperti yang disajikan dalam studi kasus ini, sangat penting untuk mengungkap kisah-kisah yang terabaikan. Penelitian di masa depan juga harus menggali lebih dalam melalui sejarah lisan (oral history), terutama dari keturunan para pejuang seperti yang dilakukan pada Haji Darip, untuk memperkaya pemahaman kita tentang motivasi, taktik, dan pengalaman mereka yang unik. Dengan mengintegrasikan narasi ini, historiografi Indonesia dapat menawarkan gambaran yang lebih utuh dan bernuansa tentang perjuangan kemerdekaan, mengakui bahwa kemenangan revolusi adalah hasil dari sinergi yang rumit antara kekuatan lokal dan nasional

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 4 = 1
Powered by MathCaptcha