Deforestasi merupakan isu lingkungan dan iklim yang kompleks, dan pemahaman yang akurat mengenai definisinya sangat penting untuk menganalisis tren global. Secara umum, deforestasi dipahami sebagai konversi lahan hutan secara permanen menjadi penggunaan non-hutan.

Ambiguitas Definisi: Deforestasi vs. Kehilangan Tutupan Pohon

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (UN FAO) mendefinisikan deforestasi berdasarkan bagaimana lahan digunakan. Deforestasi diukur sebagai konversi permanen lahan berhutan ke penggunaan lain, seperti padang rumput, lahan pertanian, atau urbanisasi. Dalam kerangka FAO, perubahan tutupan hutan yang bersifat sementara, misalnya kehilangan akibat kebakaran kecil atau penebangan yang direncanakan akan tumbuh kembali, tidak dimasukkan dalam statistik deforestasi karena diasumsikan bahwa fungsi penggunaan lahan tidak berubah.

Sebaliknya, organisasi pemantau independen seperti Global Forest Watch (GFW) menawarkan data real-time mengenai kehilangan tutupan pohon, yang mencakup penggundulan hutan primer, penebangan industri di hutan tanaman, dan kehilangan akibat kebakaran yang mungkin akan tumbuh kembali. Metodologi berbasis citra satelit ini menghasilkan angka yang seringkali tidak sejalan dengan statistik resmi yang dilaporkan pemerintah (yang mengikuti definisi FAO). Perbedaan ini memiliki implikasi kebijakan yang besar. Data satelit (kehilangan tutupan pohon) lebih sensitif terhadap degradasi hutan dan fluktuasi jangka pendek, sementara data resmi (deforestasi permanen) cenderung meminimalkan angka kehilangan hutan total. Kontradiksi metodologis ini menjadi tantangan bagi transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam mekanisme pendanaan iklim berbasis hasil seperti REDD+, di mana data yang tepat diperlukan untuk pembayaran karbon. Selain itu, perbedaan ini mempersulit penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal, karena kehilangan tutupan pohon yang masif mungkin disalahartikan sebagai bagian dari siklus penebangan legal industri.

Tabel Kritis 1: Perbedaan Metodologi Pengukuran Kehilangan Hutan Global

Metrik Fokus Utama Badan Penerbit Implikasi Kebijakan
Deforestasi (Permanent Land-use Change) Konversi lahan permanen ke non-hutan. Tidak menghitung penebangan untuk regenerasi. UN FAO (PBB) Digunakan untuk statistik resmi pemerintah; cenderung meminimalkan angka kehilangan hutan jangka pendek.
Kehilangan Tutupan Pohon/Hutan Primer Penghilangan tajuk pohon di atas 5 meter (citra satelit). Mencakup penebangan industri dan kebakaran. Global Forest Watch (GFW) Data real-time; lebih sensitif terhadap degradasi hutan dan fluktuasi jangka pendek, penting untuk transparansi.

Data dan Tren Kehilangan Hutan Global Terkini

Skala kehilangan hutan secara global sangat besar. Dari tahun 2001 hingga 2024, total kehilangan tutupan pohon global mencapai 517 Mha, setara dengan 13% dari total area tutupan pohon pada tahun 2000. Dalam periode yang sedikit berbeda, 2002 hingga 2024, kehilangan hutan primer lembab secara global tercatat sebesar  83.0 Mha, menyumbang 16% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode waktu tersebut.

Kehilangan hutan ini memiliki dampak langsung dan akut terhadap krisis iklim global melalui pelepasan Gas Rumah Kaca (GRK). Kehilangan tutupan hutan yang terjadi pada tahun 2024 saja, diperkirakan telah menyebabkan emisi 10 Gt CO2​. Sumber data lain menyebutkan bahwa kehilangan tutupan hutan tahun 2024 menyebabkan emisi GRK sebesar 3.1 Gt, sebuah angka yang sedikit lebih tinggi daripada emisi tahunan CO2​ yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil di India. Pelepasan karbon dari deforestasi dalam skala gigaton menunjukkan bahwa deforestasi bukan hanya krisis lingkungan lokal, tetapi juga krisis iklim global yang akut. Kehilangan penyerap karbon alami pada skala ini secara signifikan meningkatkan kesulitan global dalam mencapai tujuan dekarbonisasi di sektor energi.

Analisis Pendorong Utama Deforestasi di Dunia

Deforestasi didorong oleh serangkaian faktor ekonomi struktural, dengan ekspansi pertanian komersial mendominasi pendorong global.

Dominasi Ekspansi Pertanian Komersial

Sektor pertanian, khususnya melalui ekspansi lahan, secara konsisten diidentifikasi sebagai penyebab utama deforestasi global. Analisis pendorong deforestasi global menunjukkan bahwa komoditas yang paling berkontribusi pada periode 1990 hingga 2008 meliputi peternakan (daging dan ternak), serealia, kedelai, dan  roots pulses.

Isu mengenai peringkat komoditas ini seringkali diwarnai narasi tandingan. Terdapat argumen bahwa komoditas seperti minyak sawit, meskipun memiliki jejak deforestasi, tidak termasuk dalam top-5 pendorong global dalam periode tersebut, dan mengklaimnya sebagai driver utama dianggap tidak relevan atau bentuk unfair trade. Namun, minyak sawit tetap memegang peranan penting. Misalnya, dalam konteks impor Uni Eropa (EU) antara 2016-2021, minyak sawit menempati urutan ketiga dalam volume impor setelah minyak kedelai dan rapeseed. Perdebatan mengenai peringkat ini menunjukkan adanya perang narasi dagang yang menggunakan data deforestasi. Fokus utama harusnya diletakkan pada sistem produksi yang tidak berkelanjutan, yang mengabaikan fungsi ekologis lahan (terutama lahan gambut), bukan hanya pada jenis komoditas tertentu.

Kontribusi Sektor Non-Pertanian

Selain pertanian komersial, sektor lain juga memainkan peran besar dalam kehilangan hutan. Pertambangan ilegal dan tidak diatur telah menjadi pendorong utama kehilangan hutan di banyak wilayah, seringkali menyebabkan perambahan ke wilayah adat dan kawasan ekologis penting. Sebagai contoh, di Guyana, aktivitas pertambangan bertanggung jawab atas hampir 35% kehilangan hutan primer selama 24 tahun terakhir.

Faktor iklim juga semakin menjadi pendorong langsung deforestasi. Perubahan iklim menciptakan kondisi ekstrem, seperti kekeringan, yang meningkatkan risiko dan intensitas kebakaran hutan. Pada tahun 2024, kebakaran hutan yang meluas menyebabkan Guatemala kehilangan 2.7% hutan primernya, sementara Peru mengalami peningkatan kehilangan hutan primer tropis sebesar 135% akibat kebakaran antara tahun 2023 dan 2024. Nikaragua mencatat persentase kehilangan hutan primer tertinggi, mencapai 4.7% pada tahun 2024.

Kehilangan hutan primer yang berkelanjutan ini menunjukkan adanya kerapuhan struktural, bahkan di tengah upaya global. Meskipun Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (Target 3) bertujuan melestarikan 30% daratan pada tahun 2030, banyak hutan primer masih berada di luar kawasan lindung formal. Kondisi ini menunjukkan bahwa hutan-hutan kritis, termasuk di negara-negara yang berusaha memonetisasi status konservasi mereka (seperti Guyana yang berstatus “Hutan Tinggi Deforestasi Rendah” atau HFLD), tetap rentan terhadap eksploitasi dan bencana yang diperburuk oleh iklim.

Dinamika Khusus Deforestasi di Indonesia: Faktor Pendorong Internal

Deforestasi di Indonesia didorong oleh serangkaian faktor internal yang spesifik, terutama terkait dengan pengelolaan lahan gambut yang kompleks dan ekspansi komoditas tertentu. Eksploitasi area hutan, pembukaan lahan untuk kelapa sawit, dan program transmigrasi yang mengalihkan lahan hutan menjadi kawasan pemukiman, semuanya berkontribusi langsung pada penyusutan hutan.

Krisis Lahan Gambut: Ancaman Ganda Emisi dan Kebakaran

Lahan gambut menjadi titik fokus krisis iklim di Indonesia. Industri bubur kertas dan kertas Indonesia sering beroperasi di lahan gambut yang dikeringkan dalam skala luas. Pengeringan gambut memicu proses oksidasi, yang melepaskan karbon yang tersimpan dalam jumlah besar ke atmosfer dalam bentuk  CO2​.

Emisi GRK dari sektor industri bubur kertas dan kertas yang bersumber dari oksidasi gambut diperkirakan setara 88 juta ton CO2​ per tahun. Secara keseluruhan, pengeringan gambut menyumbang lebih dari setengah emisi GRK Indonesia, memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara penyumbang emisi GRK terbesar ketiga di dunia.

Selain emisi kronis dari oksidasi rutin, gambut kering sangat rentan terbakar, menciptakan risiko bencana iklim yang akut. Kebakaran masif yang terjadi di musim kering tahun 2015, misalnya, menghanguskan 2.6 juta Ha lahan gambut, hutan, dan kebun Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Diperkirakan bahwa selama insiden 2015 tersebut, sekitar 1.75 miliar ton CO2​ dilepaskan ke udara hanya dalam beberapa bulan—melampaui emisi tahunan negara industri besar seperti Jerman dan Jepang. Perlu dicatat bahwa sebagian besar titik api pada tahun 2015 berada di area kebun HTI dan sawit.

Siklus bahaya ini terus berlanjut karena industri bubur kertas dan kertas belum mengadopsi paludikultur, praktik memproduksi komoditas di lahan gambut yang dibasahi kembali untuk menghindari pengeringan. Kegagalan industri untuk bertransisi ke paludikultur mengabadikan risiko emisi tinggi dan kabut asap transnasional. Selain emisi dan kebakaran, pengeringan gambut juga menyebabkan risiko sistemik lainnya, seperti penurunan permukaan tanah (subsiden) dan peningkatan kerentanan terhadap banjir di musim hujan.

Minyak Sawit dan Tren Keberlanjutan

Sektor minyak kelapa sawit telah menjadi kontributor signifikan terhadap deforestasi di Indonesia, namun terdapat tren penurunan yang nyata. Deforestasi untuk minyak kelapa sawit telah menurun secara signifikan, khususnya di rantai pasok yang diikat oleh komitmen anti-deforestasi.

Namun, keberlanjutan kemajuan ini menghadapi ancaman serius. Kenaikan harga minyak kelapa sawit global dapat memicu kembali ekspansi di kawasan hutan. Ancaman ini diperparah oleh meningkatnya peran pedagang dengan tingkat transparansi publik yang rendah, yang berpotensi menghambat upaya anti-deforestasi yang telah dicapai. Permintaan global, khususnya dari mandat kebijakan biofuel di Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Indonesia, terus mendorong peningkatan produksi minyak sawit. Peningkatan produksi ini seringkali berasal dari ekspansi area perkebunan, yang secara endemik diasosiasikan dengan deforestasi dan perusakan gambut, dengan perkiraan bahwa tanpa perubahan tata kelola mendasar, setidaknya sepertiga area baru kelapa sawit akan dibuka dengan cara pengeringan gambut. Stabilitas kebijakan anti-deforestasi di Indonesia sangat sensitif terhadap dinamika pasar global dan pengawasan yang konsisten terhadap seluruh pemain pasar.

Dampak Multidimensional Deforestasi

Deforestasi menimbulkan konsekuensi yang saling terkait yang melampaui batas hutan, mencakup iklim, ekologi, dan sosial ekonomi.

Konsekuensi Iklim dan Degradasi Lingkungan

Hutan adalah penyerap karbon alami vital. Ketika hutan ditebang, karbon yang tersimpan dilepaskan ke atmosfer, memperburuk efek pemanasan global dan memperparah perubahan iklim. Degradasi lingkungan ini menciptakan umpan balik negatif; perubahan iklim yang memburuk menghasilkan kondisi ekstrem, seperti kekeringan, yang secara langsung meningkatkan risiko dan intensitas kebakaran hutan.

Dampak deforestasi, terutama melalui kebakaran lahan gambut, juga memicu kerugian ekonomi yang besar. Insiden kebakaran hutan 2015 menyebabkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai US 16 miliar (sekitar IDR 221 triliun), setara dengan 1.9% dari Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia. Dampak ini mencakup ancaman kabut dan asap yang meluas ke seluruh Asia Tenggara, menyebabkan kondisi darurat dan perkiraan lebih dari 100.000 kematian dini di wilayah tersebut.

Krisis Keanekaragaman Hayati dan Kepunahan Endemik

Sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, hutan Indonesia berada di bawah ancaman parah akibat deforestasi yang menghancurkan habitat alami, yang mengarah pada kepunahan banyak spesies flora dan fauna. Kehilangan keanekaragaman hayati ini merupakan hilangnya modal alam yang unik dan tidak dapat digantikan.

Spesies endemik Indonesia yang kini berstatus kritis dan terancam punah akibat deforestasi meliputi:

  • Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus): Berstatus Kritis, dengan populasi tersisa sekitar 57.000 individu per tahun 2024.
  • Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus): Berstatus Kritis, dengan populasi kurang dari 80 ekor, terbatas di Taman Nasional Ujung Kulon.
  • Anoa (Bubalus spp.): Berstatus Terancam (Endangered), dengan populasi yang terus menurun di Sulawesi.
  • Kuskus: Hewan endemik Indonesia Timur yang populasinya semakin terancam.
  • Pengembangan perkebunan di lahan gambut juga menjadi pemicu utama berkurangnya spesies langka seperti Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera.

Konflik Sosial dan Hak Tenurial

Deforestasi dan pengalihan fungsi lahan seringkali memicu konflik tenurial dengan masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat (MHA). Dalam periode 2015 hingga 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat terjadi 1.051 kasus konflik lahan. Konflik-konflik ini menyoroti kurangnya pengakuan penuh terhadap hak-hak MHA atas wilayah hutan mereka, sebuah masalah mendasar yang harus diatasi untuk mencapai pengelolaan hutan yang stabil dan lestari.

Evaluasi Kebijakan Mitigasi Deforestasi di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mengurangi laju deforestasi dan memperkuat tata kelola hutan, meskipun implementasinya menghadapi tantangan struktural dan regulasi.

Efektivitas Instrumen Moratorium

Kebijakan penghentian pemberian izin baru atas hutan alam primer dan lahan gambut (misalnya Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019) merupakan alat penting untuk menyempurnakan tata kelola hutan. Selain itu, kebijakan moratorium pertambangan di tingkat daerah, seperti di Kalimantan, telah memberikan dampak positif yang terukur, yaitu penurunan tingkat deforestasi hingga 25% setelah diberlakukan.

Moratorium berfungsi sebagai alat pengereman yang efektif untuk mencegah deforestasi baru di kawasan kritis. Namun, moratorium adalah solusi parsial. Tantangannya terletak pada kegiatan yang sudah ada sebelum moratorium. Kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran air dan udara, yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan lama, masih sulit diminimalisir karena pengawasan terhadap operasi yang sudah ada tersebut masih minim. Efektivitas penuh moratorium memerlukan penegakan hukum yang ketat terhadap izin-izin pra-moratorium.

Konflik Regulasi dan Tata Kelola Sektoral (REDD+ dan UU Cipta Kerja)

Lanskap regulasi kehutanan Indonesia menjadi semakin kompleks dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang bertujuan untuk meningkatkan investasi dan Produk Domestik Bruto (GDP). UU ini menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi skema mitigasi iklim seperti REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).

Sebuah area ketegangan yang signifikan adalah potensi pengalihan fungsi lahan terdegradasi. Peraturan turunan dari UU Cipta Kerja dapat mengkonversi lahan-lahan terdegradasi—yang sebelumnya ditetapkan sebagai Wilayah Pengukuran Kinerja (WPK) REDD+ pada tahun 2010—menjadi lahan pertanian untuk proyek food estates.

REDD+ dirancang untuk memberi nilai pada konservasi dan restorasi lahan terdegradasi (WPK) sebagai bagian dari upaya mencapai target kontribusi iklim nasional (NDC). Jika lahan WPK dialihkan untuk kepentingan food estates, hal ini menunjukkan adanya prioritas ekonomi jangka pendek yang dapat mengorbankan komitmen iklim jangka panjang. Ketidakpastian regulasi semacam ini dapat menghambat kerjasama finansial yang vital dengan sektor swasta untuk pendanaan proyek NDC di Indonesia.

Penguatan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Program Perhutanan Sosial (PS) dan pengakuan Hutan Adat adalah strategi kunci untuk menyeimbangkan konservasi dengan kesejahteraan masyarakat. Program PS bertujuan untuk mengalokasikan kawasan hutan negara kepada masyarakat setempat.

Capaian program PS menunjukkan kemajuan administratif yang substansial. Berdasarkan data per Agustus 2024, total luas Perhutanan Sosial yang ditetapkan telah mencapai 8.323.669 Ha. Jumlah penerima Surat Keputusan (SK) PS telah melibatkan 1.420.189 Kepala Keluarga (KK). Selain itu, terdapat 15.784 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), di mana 1.354 KUPS diklasifikasikan Emas dan 120 KUPS diklasifikasikan Platinum, menandakan kemandirian usaha.

Meskipun luasan yang dicapai sangat besar, implementasi di lapangan masih belum komprehensif, menghadapi hambatan kebijakan dan implementasi di tingkat tapak. Tantangan signifikan lainnya adalah keterbatasan anggaran pemerintah daerah dalam menyediakan sarana/prasarana pendukung, konektivitas, dan layanan dasar yang diperlukan untuk mengembangkan potensi ekonomi KUPS agar dapat beroperasi secara mandiri dan lestari. Keberlanjutan PS sangat bergantung pada kualitas usaha KUPS (kelas Gold/Platinum) dan dukungan infrastruktur hilir.

Sementara itu, pengakuan Hutan Adat, yang penting untuk menjamin hak masyarakat hukum adat, menunjukkan progres. Per Juli 2024, KLHK telah menetapkan 136 Unit Hutan Adat seluas 265.250 Ha. Meskipun terjadi percepatan pengakuan, proses ini secara historis berlangsung lambat. Pada tahun 2019, dilaporkan bahwa pengakuan hutan adat belum terealisasi di beberapa provinsi, menunjukkan bahwa dibutuhkan dorongan hukum yang lebih kuat untuk mengakui hak tenurial MHA.

Tabel Kritis 3: Capaian Utama Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia (Perkiraan Data 2024)

Program Metrik Kunci Data Kuantitatif (Perkiraan 2024) Implikasi
Perhutanan Sosial (PS) Luas Ditetapkan 8.323.669 Ha Pencapaian target kuantitatif yang signifikan dalam pengalokasian hutan untuk masyarakat.
Perhutanan Sosial (PS) Penerima SK 1.420.189 Kepala Keluarga Melibatkan jutaan KK dalam pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan.
Perhutanan Sosial (PS) KUPS Mandiri (Platinum/Emas) 1.474 KUPS (Total Platinum & Emas) Indikator keberhasilan pengembangan usaha dan kemandirian ekonomi masyarakat.
Hutan Adat Luas Diakui 265.250 Ha (136 Unit SK) Progres pengakuan hak tenurial MHA, meskipun prosesnya masih tergolong lambat dibandingkan potensi total hutan adat.

Kesimpulan

Deforestasi, baik di tingkat global maupun di Indonesia, adalah krisis yang didorong oleh kepentingan ekonomi, namun diperburuk oleh tata kelola yang tidak memadai dan dampak perubahan iklim. Di tingkat global, ekspansi pertanian komersial (peternakan, kedelai, serealia) adalah pendorong utama. Namun, di Indonesia, krisis ini unik karena risiko ekologisnya didominasi oleh praktik pengelolaan lahan gambut yang buruk oleh industri pulp dan kertas. Kegiatan ini menghasilkan emisi GRK kronis (88 juta ton CO2​ per tahun) dan risiko bencana akut (kebakaran masif seperti 2015).

Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam penanggulangan deforestasi melalui instrumen hukum seperti Moratorium Izin Baru dan program Perhutanan Sosial, yang telah mengalokasikan lebih dari 8.3 Mha hutan kepada masyarakat. Namun, efektivitas konservasi ini diancam oleh tingginya konflik lahan tenurial (1.051 kasus antara 2015-2022) dan potensi konflik regulasi di mana prioritas investasi (misalnya food estates) dapat mengkonversi kawasan konservasi (WPK REDD+).

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis komprehensif ini, disajikan rekomendasi strategis untuk meningkatkan efektivitas mitigasi deforestasi di Indonesia:

  1. Penguatan Transisi Industri di Lahan Gambut: Pemerintah harus segera memperkuat regulasi dan insentif untuk mendorong adopsi praktik paludikultur dalam skala industri oleh sektor bubur kertas dan kertas. Mengingat kontribusi emisi yang sangat besar (88 juta ton CO2​ per tahun) dan kerugian ekonomi yang dipicu kebakaran (US 16 miliar pada 2015), transisi ke paludikultur, yang telah terbukti berhasil dikembangkan oleh masyarakat lokal (misalnya purun dan sagu), adalah langkah vital untuk mengatasi sumber emisi GRK terbesar ketiga di dunia.
  2. Percepatan Resolusi Konflik Tenurial: Keberlanjutan Perhutanan Sosial dan konservasi hutan primer bergantung pada kepastian hak. Perlu adanya mekanisme yang lebih cepat dan efektif untuk menyelesaikan 1.051 kasus konflik lahan yang tercatat dan mempercepat pengakuan Hutan Adat melebihi  265.250 Ha yang telah ditetapkan. Kepastian hak tenurial akan mengurangi insentif deforestasi dan memperkuat peran masyarakat sebagai penjaga hutan yang paling efektif.
  3. Integrasi Kebijakan Pembangunan dan Iklim: Semua kebijakan pembangunan skala besar, termasuk infrastruktur dan food estates, harus menjalani evaluasi ketat untuk memastikan tidak terjadi pengorbanan terhadap kawasan ekologis kritis atau Wilayah Pengukuran Kinerja (WPK) REDD+. Keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tujuan NDC harus menjadi prioritas hukum untuk mempertahankan kredibilitas Indonesia dalam pasar karbon global.
  4. Dukungan Infrastruktur Hilir KUPS: Untuk memastikan program Perhutanan Sosial mencapai tujuan kesejahteraan, fokus harus bergeser dari sekadar menetapkan luasan menjadi memastikan keberhasilan ekonomi KUPS. Diperlukan alokasi anggaran daerah dan pusat yang memadai untuk menyediakan sarana dan prasarana (konektivitas, layanan dasar) yang dibutuhkan oleh 1.474 KUPS mandiri (Emas/Platinum) untuk mengoptimalkan potensi nilai tambah hasil hutan lestari.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

35 + = 41
Powered by MathCaptcha