Tulisan ini menyajikan ulasan komprehensif mengenai sejarah, fungsi antropologis, dan tantangan hukum kontemporer seputar penggunaan zat psikoaktif dalam konteks ritual keagamaan dan spiritual di seluruh dunia. Terdapat perbedaan mendasar antara penggunaan zat dalam upacara tradisional—yang kini sering disebut entheogen—dengan penyalahgunaan narkotika rekreasional. Entheogen digunakan dalam tradisi, dengan disiplin ketat, dan bertujuan untuk mencapai wawasan spiritual, penyembuhan, dan transendensi.

Meskipun penggunaan zat ini telah menjadi bagian integral dari banyak budaya pribumi selama ribuan tahun, kerangka hukum internasional modern yang didominasi oleh Konvensi Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) cenderung mengklasifikasikan zat tersebut sebagai ilegal. Konflik yang muncul adalah pertentangan fundamental antara kepentingan negara dalam memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan, melawan hak kebebasan beragama dan keberlanjutan budaya kelompok pribumi yang menyakralkan zat-zat tersebut. Analisis ini akan mengupas bagaimana tradisi kuno ini bertahan dan beradaptasi menghadapi universalitas kriminalisasi global.

Kerangka Konseptual, Etimologi, dan Fungsi Antropologis

Definisi dan Demarkasi Terminologi: Dari Narkotika ke Entheogen

Dalam konteks hukum dan medis di banyak negara, termasuk Indonesia, istilah yang digunakan adalah NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya) atau Narkoba. NAPZA didefinisikan secara umum sebagai semua zat kimiawi yang, jika dimasukkan ke dalam tubuh (oral, suntik, hirup), dapat memengaruhi kejiwaan atau psikologis, serta menyebabkan kecanduan atau ketergantungan. Dalam perspektif agama mayoritas, seperti hukum Islam, NAPZA ditetapkan sebagai haram karena memiliki illat (sebab hukum) yang sama dengan khamr (minuman keras), yaitu memabukkan dan merusak akal, bahkan dampaknya dianggap lebih berbahaya. Konteks ini didominasi oleh kekhawatiran penyalahgunaan dan peredaran gelap.

Namun, zat-zat yang digunakan dalam ibadah memerlukan demarkasi terminologi yang jelas. Istilah Entheogen diciptakan pada akhir abad ke-20 sebagai alternatif yang lebih netral dan hormat, menggantikan “halusinogen” (yang berkonotasi delirium atau kegilaan) atau “psikedelik” (yang terkait erat dengan konotasi budaya pop 1960-an). Secara etimologis, Entheogen berasal dari bahasa Yunani, dari kata en (di dalam), theos (dewa), dan gennao (menghasilkan), yang secara harfiah berarti “menghasilkan yang ilahi dari dalam” (generating the divine within). Istilah ini secara eksplisit menekankan fungsi spiritual dan keagamaan dari zat tersebut, bukan sekadar efek farmakologisnya.

Fungsi Antropologis Entheogen dalam Praktik Spiritual

Entheogen didefinisikan sebagai zat psikoaktif yang digunakan dalam konteks spiritual dan keagamaan untuk menginduksi perubahan kesadaran. Penggunaan ini bertujuan untuk meningkatkan transendensi, penyembuhan, divinasi (ramalan), dan mencapai wawasan mistis.2

Studi antropologis telah mengkonfirmasi bahwa entheogen memiliki peran sentral dalam ritual keagamaan, magis, atau shamanik di berbagai belahan dunia. Dalam praktik tradisional, zat ini digunakan untuk melengkapi praktik spiritual lainnya, termasuk meditasi, yoga, puasa, doa, nyanyian (seperti peyote songs), tarian ekstatis, dan ritual berbasis trance. Sebagai contoh spesifik di Mesoamerika, peradaban seperti Maya dan Aztec menggunakan jamur psilocybin, peyote, dan biji morning glory dalam upacara untuk menyambungkan diri dengan dewa dan memfasilitasi penyembuhan. Di Amazonia, Ayahuasca dihormati dan dipandang sebagai “Dokter” (kuratif), “Guru” (instruktif), dan “Ibu” (pemandu). 

Zat Entheogen Komponen Kimia Utama Budaya Pengguna Primer Fungsi Ritual Utama Konteks Historis
Peyote (Lophophora williamsii) Mescaline Native American Church (NAC), Suku Huichol Sakramen, Komunikasi Ilahi, Pengobatan Sosial/Trauma Digunakan ribuan tahun di Amerika Utara
Psilocybin Mushrooms (Psilocybe spp.) Psilocybin/Psilocin Mesoamerika Kuno (Aztec: Teonanacatl), Shamanisme Siberia Komunyon Agama (“Daging Dewa”), Wawasan Mistis Digunakan sejak zaman kuno
Ayahuasca Dimethyltryptamine (DMT) & Harmala Alkaloids (MAOIs) Amazonia (UDV, Santo Daime, suku pribumi) Divinasi, Penyembuhan Trauma, Pemandu Spiritual Sejarah terdokumentasi 150 tahun, asal-usul diperdebatkan
Cannabis (Ganja) THC/CBD Rastafari Meditasi, Komunikasi dengan Jah, Persembahan Sakramental Berakar di Jamaika tahun 1930-an

Analisis Mendalam: Kontradiksi Klasifikasi dan Resurgensi Ganda

Sebuah kontradiksi mendasar terlihat dalam cara kerangka hukum internasional mengatur zat-zat ini. Konvensi internasional mengontrol zat-zat kimia murni seperti Mescaline, DMT, dan Psilocin (di bawah Jadwal 1 Konvensi Wina 1971), namun anehnya, tanaman atau jamur yang menghasilkan zat-zat tersebut secara alami—seperti kaktus Peyote, akar Mimosa hostilis, atau jamur Psilocybin itu sendiri—tidak secara tegas dikontrol dalam jadwal tersebut. Kontrol hukum yang berfokus pada isolasi kimia murni gagal mengakui produk alami sebagai entitas ritual yang kompleks dan utuh. Misalnya, dalam kasus Ayahuasca, ramuannya adalah gabungan antara DMT dan Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOI) dari Banisteriopsis caapi. Konteks ritual dan persiapan yang ketat adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman spiritual, suatu faktor yang diabaikan ketika undang-undang hanya melihat molekul DMT yang terisolasi.

Saat ini, entheogen mengalami kebangkitan ganda. Di satu sisi, terjadi penyebaran tradisi spiritual (misalnya, ritual Ayahuasca di luar Amazon). Di sisi lain, terjadi resurgensi klinis dan ilmiah yang signifikan, di mana zat-zat seperti psilocybin dan MDMA sedang diteliti untuk potensi terapeutiknya dalam mengobati kondisi mental seperti depresi, PTSD, dan kecemasan, termasuk dalam perawatan akhir hayat. Meskipun kebangkitan klinis ini dapat mengurangi stigma publik terhadap zat tersebut dan memperkuat argumen untuk pengakuan penggunaan sakramental, hal ini juga menciptakan tekanan. Permintaan yang meningkat, baik untuk ritual diaspora maupun penelitian klinis, menimbulkan risiko eksploitasi dan komersialisasi berlebihan, yang pada gilirannya mengancam sumber daya alam yang penting bagi praktik pribumi—misalnya, pasokan kaktus Peyote liar di Amerika Serikat yang semakin menipis.

Jejak Historis Entheogen dalam Agama Kuno Eurasia dan Mediterania

Penggunaan zat psikoaktif dalam konteks sakral bukanlah fenomena baru, melainkan akar dari banyak sistem kepercayaan kuno, jauh sebelum kriminalisasi modern.

Misteri Eleusinian (Yunani Kuno)

Misteri Eleusinian, yang diadakan setiap tahun untuk kultus Demeter dan Persephone, dikenal sebagai ritual keagamaan rahasia paling terkenal di Yunani kuno dan berlangsung selama hampir dua milenium. Ritual inisiasi ini berpusat pada mitos penculikan Persephone, menjanjikan para inisiat hadiah di alam baka dan melambangkan keabadian hidup. Beberapa akademisi berhipotesis bahwa kekuatan dan umur panjang Misteri Eleusinian—yang melibatkan visi dan konsepsi tentang kehidupan setelah kematian—mungkin berasal dari penggunaan zat psikedelik. Bagian sentral dari ritual ini adalah meminum minuman sakramental yang disebut kykeon, yang terbuat dari jelai dan mint. Spekulasi ilmiah, khususnya dari interpretasi yang menekankan peran zat psikoaktif, menunjukkan bahwa kykeon mungkin mengandung zat yang dimaksudkan untuk menginduksi keadaan visioner dan wawasan mistis sebagai bagian dari inisiasi.

Shamanisme Indo-Eropa dan Asia Utara

Di dalam budaya Indo-Eropa kuno, entheogen juga diperkirakan memiliki peran penting. Contohnya adalah ritual persiapan Soma, “jus yang diperas” yang dihormati dalam Rigveda. Ada dugaan bahwa entheogen shamanik yang dibawa oleh Indo-Eropa mungkin adalah jamur Amanita muscaria, yang cocok untuk kehidupan nomaden karena tidak dapat dibudidayakan. Sementara itu, studi mengenai shamanisme jamur yang kaya di Siberia telah menjadi dasar bagi banyak konsepsi modern tentang hubungan antara zat psikoaktif dan praktik spiritual kuno.

Penggunaan jamur entheogen (seperti yang dilakukan Aztec) juga tercatat dalam interaksi historis dengan peradaban mayoritas. Sejarah mencatat sikap mycophobic (ketakutan atau penolakan terhadap jamur) yang ditunjukkan oleh conquistadors Spanyol terhadap penggunaan jamur ritual oleh Aztec, yang menunjukkan adanya konflik budaya yang mendalam mengenai zat pengubah kesadaran. Bahkan, ada hipotesis akademis yang menafsirkan lukisan dinding abad ke-12 dalam seni Kristiani sebagai representasi jamur entheogen.

Sensitivitas Kepercayaan dan Institusionalisasi Agama

Meskipun terdapat dugaan jejak penggunaan zat psikoaktif dalam konteks sejarah yang terkait dengan agama-agama yang kelak menjadi mayoritas di Eurasia, penerimaan modern sangat kontras. Agama-agama terinstitusionalisasi dan berbasis tekstual yang besar, seperti Islam, cenderung menolak keras penggunaan zat psikoaktif. Penolakan ini didasarkan pada analogi hukum yang mengidentifikasi zat tersebut memiliki illat yang sama dengan khamr—yakni, merusak akal dan menyebabkan mabuk—menetapkan hukum keharamannya.

Konteks ini menunjukkan bahwa kelangsungan tradisi entheogen tampaknya berbanding terbalik dengan tingkat sentralisasi dan dogmatisasi agama. Misteri Eleusinian bersifat rahasia, dan shamanisme bersifat lokal dan kontekstual. Sebaliknya, agama-agama yang sangat terorganisir cenderung mengkriminalisasi zat yang mengubah kesadaran secara drastis, dengan fokus pada pencegahan kerusakan sosial dan akal sehat, meskipun zat yang kurang psikoaktif (seperti alkohol dan tembakau) terkadang diterima sebagai “sesajen” dalam beberapa praktik spiritual.

Tradisi Entheogen Kunci di Benua Amerika

Benua Amerika menawarkan contoh-contoh yang paling terdokumentasi dan berkelanjutan mengenai penggunaan entheogen sebagai sakramen.

Mesoamerika: Jamur, Peyote, dan Divinasi Pra-Kolumbus

Di Mesoamerika kuno, jamur halusinogen dari genus Psilocybe memiliki sejarah penggunaan yang kuat di kalangan masyarakat pribumi untuk komunyon agama, divinasi, dan penyembuhan. Aztec, misalnya, menyebutnya teonanacatl, atau “daging dewa” (god’s flesh), yang secara jelas menunjukkan fungsinya sebagai sakramen suci untuk mencapai pengalaman mistis. Selain jamur, Maya dan Aztec juga menggunakan kaktus peyote dan biji morning glory dalam upacara mereka untuk terhubung dengan dewa. Penemuan artefak, seperti “batu jamur” Maya di Guatemala, diinterpretasikan oleh para akademisi sebagai bukti visual dari praktik ritual ini.

Gereja Pribumi Amerika (Native American Church/NAC) dan Sakramen Peyote

Peyote (Lophophora williamsii), kaktus psikoaktif yang berasal dari Texas dan Meksiko, telah digunakan dalam ritual di Amerika Utara selama ribuan tahun. Native American Church (NAC), yang didirikan secara resmi pada 1918, adalah sebuah gereja monoteistik yang memandang peyote sebagai sakramen suci dan sarana untuk berkomunikasi dengan Great Spirit (Tuhan).

Penggunaan peyote di NAC bersifat sangat disiplin dan non-rekreasional. Efek halusinogennya dipandang sebagai visi spiritual yang dimaksudkan untuk menyembuhkan atau memperbaiki masalah sosial, personal, dan komunal. Anggota NAC percaya bahwa penyakit dan kematian adalah hasil dari ketidakseimbangan individu, yang dapat disembuhkan melalui peyote, doa, dan puasa. Penggunaan Peyote oleh suku-suku Plains selama pertengahan hingga akhir 1800-an juga menjadi simbol perlawanan dan alat untuk membangun kembali komunitas yang hancur akibat etnosida dan trauma historis. Ritual doa NAC menggunakan instrumen khusus seperti Peyote gourd rattle dan Water drum, dengan nyanyian peyote yang menggunakan bahasa intertribal.

Ayahuasca (Amazonia) dan Agama Sinkretis

Ayahuasca adalah ramuan psikedelik dari hutan hujan Amazon yang biasanya terdiri dari rebusan tanaman Banisteriopsis caapi (sumber MAOI) dan daun Psychotria viridis (sumber DMT). Istilah Quechua “Ayahuasca” diterjemahkan sebagai “tali jiwa” atau “tali orang mati” (rope of the dead), yang mencerminkan pandangan pribumi bahwa zat ini adalah tambatan yang memungkinkan roh meninggalkan tubuh untuk mendapatkan pengetahuan dan penyembuhan tanpa mengalami kematian.

Ramuan ini digunakan dalam ritual medis dan agama tradisional. Ayahuasca dikenal karena sifat-sifatnya yang kuratif, instruktif, dan memandu. Ritual Ayahuasca menuntut persiapan yang ketat, termasuk puasa, serta abstinensi dari alkohol, obat-obatan, kafein, seks, dan makanan tertentu selama beberapa hari hingga minggu. Pengalaman yang berlangsung 2 hingga 6 jam ini dapat menginduksi euforia, halusinasi visual dan auditori, tetapi juga efek samping seperti muntah dan diare, yang dalam konteks ritual sering dipandang sebagai bagian normal dari proses “pembersihan” spiritual. Penggunaan Ayahuasca telah meluas, menjadi pusat agama sinkretis modern seperti UDV (União do Vegetal) dan Santo Daime.

Fungsi Peyote sebagai Pemulihan Trauma Historis

Penggunaan entheogen pribumi, khususnya Peyote dalam NAC, memiliki justifikasi yang melampaui sekadar pencarian transendensi individu. Zat ini secara eksplisit berfungsi sebagai alat untuk rekonstruksi sosial dan penyembuhan trauma historis yang mendalam yang dialami oleh komunitas pribumi akibat penaklukan dan etnosida.

Jika fungsi utama dari ritual tersebut adalah pengobatan sosial, restorasi identitas, dan pemulihan kesehatan mental komunitas yang terfragmentasi (sesuai keyakinan NAC bahwa penyakit adalah manifestasi ketidakseimbangan ), maka pelarangan zat tersebut tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama, tetapi juga merupakan penghalang struktural terhadap hak asasi manusia untuk penyembuhan dan keberlanjutan budaya. Ini menunjukkan bahwa nilai sakramental entheogen harus diakui dalam konteks hak-hak komunitas pribumi.

Namun, pengakuan legal terhadap NAC di Amerika Serikat telah menimbulkan dilema konservasi yang signifikan. Permintaan yang semakin besar terhadap Peyote, terutama dari non-pribumi yang mencari pengalaman spiritual serupa (sering kali merupakan bentuk cultural appropriation), mengancam pasokan kaktus liar yang sudah langka. Hukum yang terlalu ketat tidak efektif, tetapi pengecualian yang terlalu longgar mengakibatkan eksploitasi ekologis, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan praktik pribumi itu sendiri. Kebijakan ke depan harus mencakup perlindungan botani yang ketat dan pembatasan akses untuk memastikan integritas praktik tradisional.

Studi Kasus Agama Diaspora Modern dan Tantangan Legalitas

Gerakan Rastafari dan Sakramen Ganja (Cannabis)

Gerakan Rastafari, yang berakar di Jamaika pada 1930-an sebagai respons terhadap penindasan kolonial kulit putih, memandang Ganja—atau holy herb—sebagai sakramen suci yang diamanatkan dalam kitab suci. Pengikut Rastafari menggunakan Ganja dalam bentuk pipa (chalice pipes) atau rokok (spliffs), atau sebagai persembahan yang dibakar, dengan tujuan menginduksi keadaan meditasi yang mendalam dan mendekatkan diri kepada Jah (Tuhan).

Selama beberapa dekade, umat Rastafari menghadapi persekusi, penahanan, dan profiling rasial/agama karena penggunaan ritualistik Ganja. Namun, beberapa negara Karibia mulai mengakui hak-hak mereka. Antigua dan Barbuda, misalnya, menjadi salah satu negara Karibia pertama yang memberikan otorisasi sakramental resmi kepada Rastafari untuk menanam dan mengonsumsi Ganja, sebagai langkah eksplisit untuk mengakhiri persekusi dan memberikan penghormatan terhadap keyakinan mereka.

Pengakuan sakramental ini membedakan secara tegas antara penggunaan Ganja yang disiplin dan spiritual (Rastafari) dengan penggunaan rekreasional atau komersial. Dalam konteks ritual, niat, persiapan yang ketat (seperti abstinensi yang dipraktikkan dalam ritual Ayahuasca ), dan struktur komunal menjadi kriteria utama yang memisahkan entheogen dari narkotika terlarang. Ini menantang model hukum yang hanya melihat komposisi kimia tanpa mempertimbangkan konteks ritual.

Penggunaan Entheogen Lain dalam Konteks Ritual Kontemporer

Penggunaan entheogen di luar tradisi pribumi telah berkembang secara signifikan. Di Afrika Timur, daun Khat, meskipun memiliki efek psikoaktif yang lebih ringan, telah digunakan oleh para pemimpin agama selama berabad-abad untuk membantu mereka tetap terjaga selama doa semalam suntuk.

Selain itu, terjadi globalisasi praktik shamanik. Jamur psilocybin, Ayahuasca, dan Iboga kini diadopsi dalam upacara hybrid terapeutik-shamanik kelompok kecil di budaya underground global, sering kali memadukan elemen spiritual tradisional dengan kebutuhan terapi mental modern. Penyebaran ritual Ayahuasca dari Amazonia ke Eropa dan Amerika Utara memaksa sistem hukum sekuler untuk mengadaptasi peraturan mereka terhadap praktik spiritual yang dulunya terisolasi secara geografis.

Konflik Regulasi Global, Hukum, dan Kebebasan Beragama

Kerangka Hukum Internasional dan Kriminalisasi

Kerangka hukum global mengenai zat psikoaktif didasarkan pada serangkaian perjanjian PBB, termasuk Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Konvensi Psikotropika 1971, dan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap 1988. Tujuan utama konvensi ini adalah untuk mengkriminalisasi peredaran gelap dan penyalahgunaan, sebagai respons terhadap meningkatnya kejahatan transnasional terorganisir. Negara-negara seperti Indonesia telah meratifikasi konvensi-konvensi ini dan menerapkan undang-undang narkotika yang sangat tegas.

Sistem global ini, yang fokus pada kontrol kimiawi dan pemberantasan kejahatan, secara inheren mengkriminalisasi zat-zat yang disakralkan oleh kelompok pribumi, seperti Mescaline dan DMT, tanpa memberikan mekanisme perlindungan yang memadai untuk penggunaan ritual.

Studi Kasus Hukum dan Prinsip Kebebasan Beragama

Di berbagai yurisdiksi, kelompok agama telah berhasil menantang kerangka hukum ini dengan mengacu pada prinsip kebebasan beragama.

  1. Peyote dan NAC di AS: Meskipun penggunaan peyote diatur ketat di Amerika Serikat, pengecualian telah ditetapkan bagi anggota Native American Church (NAC) untuk penggunaan religius.
  2. Ayahuasca dan UDV: Kasus hukum mengenai Ayahuasca (UDV) di AS menjadi preseden penting di tingkat federal. Pengadilan memutuskan bahwa pemerintah gagal membuktikan bahwa pelarangan penggunaan Ayahuasca oleh UDV diperlukan untuk memenuhi kewajiban Konvensi Zat Psikotropika 1971.

Kunci keberhasilan gugatan ini terletak pada prinsip hukum Kepentingan Negara yang Mendesak (Compelling State Interest). Dalam sistem yang melindungi hak beragama, pemerintah yang melarang praktik sakramental harus membuktikan bahwa (1) larangan tersebut benar-benar memajukan kepentingan negara yang mendesak, dan (2) larangan tersebut adalah cara yang paling tidak membatasi atau paling tidak memberatkan agama tersebut (least restrictive manner). Kegagalan negara untuk memenuhi standar pembuktian ini telah membuka jalan bagi pengecualian agama.

Konflik Struktural dan Model Kebijakan Masa Depan

Konvensi PBB memberlakukan standar homogen yang fokus pada zat kimia, mengabaikan konteks budaya yang terikat pada lokasi dan ritual. Ini menciptakan ketidakseimbangan struktural yang memaksa kelompok agama tradisional untuk memikul beban pembuktian dan menantang negara mereka sendiri di pengadilan.

Keberhasilan pengecualian (NAC, UDV, dan pengakuan Rastafari di Karibia) menunjukkan perlunya model kebijakan yang lebih bernuansa—yaitu, rezim regulasi diferensial. Model ini membedakan secara tajam antara: (a) Penggunaan Medis/Klinis (di bawah pengawasan profesional), (b) Penggunaan Sakramental (di bawah pengawasan otoritas spiritual yang diakui dan disiplin ketat), dan (c) Larangan terhadap penggunaan Rekreasional/Penyalahgunaan. Model ini mengakui potensi transformatif dan spiritual entheogen, asalkan penggunaannya terstruktur dan berkonteks.

Table Status Hukum Entheogen Sakramental dan Konflik Legalitas Kunci

Zat/Tanaman Aturan PBB (1961/1971) Pengecualian Legal Utama Isu Sentral yang Diperdebatkan Cakupan Hukum
Peyote (Mescaline) Mescaline terkontrol (Jadwal 1), Tanaman tidak dikontrol Native American Church (NAC) di AS Konservasi, Batasan keanggotaan (Pribumi/Non-Pribumi), Appropriation Nasional (AS)
Ayahuasca (DMT) DMT terkontrol (Jadwal 1), Tanaman tidak dikontrol UDV (União do Vegetal) di AS dan Brasil

 

Prinsip “Kepentingan Negara yang Mendesak” (Compelling State Interest) Transnasional
Cannabis (Ganja) Terkontrol di bawah Konvensi 1961 Rastafari (di Antigua & Barbuda, dll.) Profiling rasial/agama, Definisi penggunaan sakramental yang diizinkan Nasional/Regional

Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Penggunaan zat psikoaktif untuk tujuan ibadah adalah praktik kuno dan tersebar luas, berfungsi sebagai mekanisme spiritual dan teknologi penyembuhan. Penyetaraan entheogen dengan “narkotika” yang semata-mata bersifat adiktif dan merusak tidak adil ketika diterapkan pada penggunaan yang sakral, disiplin, dan berakar pada tradisi. Konflik antara kebebasan beragama dan kontrol zat global mencerminkan ketidakmampuan kerangka hukum untuk mengakui nilai budaya dan spiritual dari zat-zat alami.

Berdasarkan analisis ini, berikut adalah rekomendasi kebijakan yang didorong oleh temuan kasus-kasus hukum global:

  1. Tinjauan Konvensi PBB: Masyarakat internasional perlu mendesak PBB untuk meninjau kembali Konvensi Narkotika 1961 dan 1971 guna memasukkan klausul eksplisit yang memberikan perlindungan dan pengecualian untuk penggunaan entheogen yang telah terbukti memiliki nilai historis, ritual, dan non-komersial, dilakukan di bawah pengawasan otoritas keagamaan terdaftar.
  2. Penerapan Prinsip Least Restrictive Manner: Negara-negara harus didorong untuk mengadopsi kerangka hukum domestik yang mengakui hak pengecualian agama, mewajibkan pemerintah untuk membuktikan bahwa larangan total adalah cara yang paling tidak membatasi untuk melindungi kepentingan negara yang mendesak.
  3. Kebijakan Konservasi Terpadu: Pengakuan legal harus disertai dengan kebijakan konservasi yang ketat. Kebijakan harus memprioritaskan perlindungan ekologis sumber-sumber alami entheogen, seperti Peyote, dari eksploitasi non-pribumi dan komersialisasi, untuk memastikan keberlanjutan tradisi bagi komunitas pribumi asli.

Masa depan regulasi entheogen kemungkinan akan memanfaatkan kebangkitan penelitian klinis psikedelik untuk mengurangi stigma. Penelitian ini dapat memberikan bukti ilmiah yang diperlukan untuk mendukung potensi terapeutik dan spiritual entheogen, sekaligus menjunjung tinggi integritas dan hak praktik tradisional.

 

Daftar Pustaka :

  1. Spiritualitas untuk Pemulihan Pecandu Napza: Sebuah Eksplorasi berdasarkan Lukas 15:11-32 – ResearchGate, accessed on September 29, 2025, https://www.researchgate.net/publication/366198442_Spiritualitas_untuk_Pemulihan_Pecandu_Napza_Sebuah_Eksplorasi_berdasarkan_Lukas_1511-32
  2. Napza Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analogis Terhadap Transaksi, Penyalahgunaan, Penaggulangan, serta – Neliti, accessed on September 29, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/314707-napza-dalam-perspektif-hukum-islam-428d7a0b.pdf
  3. The Ayahuasca: Connection with the Magical & Spiritual World – Amazon Explorer, accessed on September 29, 2025, https://amazonexplorer.com/the-ayahuasca-connection-with-the-magical-spiritual-world/
  4. Peyote & the Native American Church: An Ethnobotanical Study at the Intersection of Religion, Medicine, Market Exchange, and Law – Washington State University, accessed on September 29, 2025, https://rex.libraries.wsu.edu/esploro/outputs/doctoral/Peyote–the-Native-American-Church/99900581724801842
  5. Psilocybin: from ancient magic to modern medicine – PubMed, accessed on September 29, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32398764/
  6. Ayahuasca: A review of historical, pharmacological, and therapeutic aspects – PMC, accessed on September 29, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11114307/
  7. Why Rastafari smoke marijuana for sacramental reasons and the faith’s other beliefs, accessed on September 29, 2025, https://www.africanews.com/2023/06/02/why-rastafari-smoke-marijuana-for-sacramental-reasons-and-the-faiths-other-beliefs//
  8. Entheogenic rituals, shamanism and green psychology, accessed on September 29, 2025, https://psychedelics.berkeley.edu/resources/entheogenic-rituals-shamanism-and-green-psychology/
  9. Eleusinian Mysteries | Initiation, Rites & Cult – Britannica, accessed on September 29, 2025, https://www.britannica.com/topic/Eleusinian-Mysteries
  10. The Eleusinian Mysteries: Ancient Nature Religion of Demeter and Persephone, accessed on September 29, 2025, https://eleusinianmysteries.org/wp-content/uploads/2025/01/The-Eleusinian-Mysteries-Ancient-Nature.pdf
  11. The Eleusinian Mysteries: An Unresolved Ancient Greek Puzzle, accessed on September 29, 2025, https://www.ancient-origins.net/history/eleusinian-mysteries-006903
  12. Dionysian Semiotics: Myco-Dendrolatry and Other Shamanic Motifs in the Myths and Rituals of the Phrygian Mother – UWSpace – University of Waterloo, accessed on September 29, 2025, https://uwspace.uwaterloo.ca/bitstreams/88b6a99a-1108-476e-9f1a-9578e745a3e4/download
  13. Griby i Mukhi: A Historical Contextualization of the Esoteric Mushroom Religion of Moscow Conceptualism: Fungal Erotic Imagery of Entheogens and Insects – MDPI, accessed on September 29, 2025, https://www.mdpi.com/2077-1444/15/7/777
  14. Ayahuasca: Use, Benefits, and Side Effects – Healthline, accessed on September 29, 2025, https://www.healthline.com/nutrition/ayahuasca
  15. Rastafari gain sacramental rights to marijuana – YouTube, accessed on September 29, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=YjLP3xmsKf0
  16. M Ali Zaidan & Yuliana Yuli(188-201).docx – Ejournal UPNVJ – UPN “Veteran” Jakarta, accessed on September 29, 2025, https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/download/200/170
  17. The Native American Church and the Sacrament of Peyote – YouTube, accessed on September 29, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=r4q60Klygs8
  18. US Federal Court Rules in favor of UDV – Santo Daime, accessed on September 29, 2025, http://www.santodaime.org/site-antigo/community/news/udv.htm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 4 =
Powered by MathCaptcha