Pentingnya Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya air yang melimpah, membutuhkan model pengelolaan yang tidak hanya berbasis pada regulasi formal pemerintah tetapi juga adaptif terhadap ekologi dan budaya lokal. Dalam konteks ini, kearifan lokal (Indigenous Knowledge) muncul sebagai sistem pengetahuan, nilai, dan praktik yang telah teruji waktu, terintegrasi secara mendalam dengan lingkungan alam dan sosial di sekitarnya. Kearifan lokal memainkan peran krusial dalam konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dua tradisi pengelolaan sumber daya perairan yang berbeda secara geografis dan filosofis—Tradisi Buka Tetek di Klaten, Jawa Tengah, dan Tradisi Lubuk Larangan di Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Analisis ini melampaui deskripsi permukaan, berfokus pada struktur kelembagaan, mekanisme sanksi, dan dampak multidimensi dari kedua praktik tersebut.

Kerangka Konseptual: Konservasi Komunal vs. Ritual Kohesi

Secara konseptual, kedua tradisi ini merefleksikan dua model tata kelola perairan berbasis komunitas yang berbeda:

  1. Model Lubuk Larangan: Model ini merupakan representasi kuat dari Community-Based Ecological Governance (CBEG). Prinsip utamanya adalah pelarangan ketat penangkapan ikan dalam jangka waktu dan kawasan tertentu (larangan) yang diatur oleh hukum adat dan syariah, demi mencapai keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan sosial-ekonomi. Konservasi adalah tujuan utama, dan pemanfaatan sumber daya dikontrol secara ketat.
  2. Model Buka Tetek: Tradisi ini lebih merupakan representasi dari ritual Bersih Desa atau katarsis sosial, yang berfungsi utama sebagai sarana kohesi sosial (guyub rukun) dan pembersihan siklus tahunan. Pemanfaatan sumber daya (panen ikan) adalah  output komunal yang dinikmati bersama setelah ritual pembersihan habitat air dilaksanakan.

Struktur Tulisan dan Sumber Data

Tulisan ini disusun melalui sintesis data deskriptif dari tulisan berita lapangan dan analisis akademik dari riset jurnal dan tesis untuk mencapai kedalaman narasi yang diperlukan. Fokus utama diarahkan pada studi kasus Buka Tetek di Embung Cueran, Desa Demak Ijo, Klaten, dan praktik Lubuk Larangan di Kabupaten Mandailing Natal, khususnya dengan referensi spesifik Desa Singengu, Kecamatan Kotanopan.

Tradisi Buka Tetek (Klaten, Jawa Tengah): Ritual, Kohesi Sosial, dan Siklus Embung

Etimologi, Geografis, dan Klarifikasi Konsep

Tradisi yang dilaksanakan di Klaten ini dikenal sebagai Tradisi Buka Tetek. Dalam konteks akademik, penting untuk melakukan klarifikasi terminologi. Istilah Buka Tetek merujuk pada pembukaan tètèg atau bendung (bendungan kecil/pintu air) yang mengalirkan air dari embung, bukan merujuk pada istilah tètèk (payudara). Dalam Bahasa Jawa bandhèk, yang membedakan bunyi penutup suku kata “g” dan “k,” kedua arti kata tersebut tidak dapat dipertukarkan. Pemahaman yang benar mengenai tètèg (bendungan/palang) mengarahkan fokus ritual pada pengelolaan infrastruktur air.

Secara geografis, tradisi ini dilaksanakan secara seru di Embung Cueran yang terletak di Desa Demak Ijo, Kecamatan Karangnongko, Klaten. Embung Cueran memiliki peran ekologis dan ekonomis yang signifikan, karena berasal dari mata air asli (Umbul Cueran) dan berfungsi mengairi sawah di Desa Demak Ijo dan sekitarnya, mencakup area sekitar 70 hektar. Dengan luas sekitar 2.000 meter persegi dan kedalaman air sekitar 3 meter sebelum pengurasan, embung ini merupakan aset vital bagi pertanian lokal.

Mekanisme Pelaksanaan dan Konteks Ritual

Tradisi Buka Tetek merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan Gelar Budaya dan Bersih Desa tahunan. Keterkaitan dengan Bersih Desa—sebuah ritual pembersihan spiritual dan fisik desa—menandakan bahwa tujuan utama acara ini bersifat ritualistik, bertujuan untuk mencapai keselarasan desa dan memohon berkah (barokah), alih-alih semata-mata menjadi acara panen ikan.

Mekanisme pelaksanaannya, yang sering disebut gropyokan (penangkapan massal), melibatkan ratusan warga yang sangat antusias berebut ikan setelah pintu tètèg dibuka dan air mulai surut. Panitia menebarkan ikan (lele, nila, kutuk) sebanyak dua kuintal untuk diperebutkan.

Aspek menonjol dari Buka Tetek adalah sifat pemanenan yang massal dan bebas. Warga dipersilakan menggunakan berbagai alat, termasuk jaring, sarung, atau bahkan kaus yang mereka kenakan. Ikan yang ditangkap bersifat gratis dan diperuntukkan bagi siapa saja, baik warga Desa Demak Ijo maupun sekitarnya. Sifat kompetitif dan penggunaan alat non-standar ini menunjukkan bahwa aspek  seru (hiburan komunal) dan kebebasan akses diprioritaskan di atas efisiensi penangkapan atau kontrol hasil yang ketat. Hal ini memperkuat peran utama tradisi ini sebagai fungsi sosial dan kohesi.

Fungsi Sosial, Kultural, dan Ekologis

Secara sosiologis, tradisi ini secara eksplisit bertujuan untuk memperkuat Kohesi Sosial. Para tokoh masyarakat berharap kegiatan ini dapat menjadikan warga lebih guyub rukun (rukun damai), dan desa menjadi lebih barokah. Melestarikan budaya lokal dan memperkenalkan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda juga menjadi tujuan penting dari tradisi ini.

Meskipun fokusnya bukan pada konservasi yang ketat seperti model Lubuk Larangan, Buka Tetek memiliki fungsi ekologis yang mendasar dalam bentuk Siklus Konservasi Sederhana. Pemanenan massal didahului oleh penebaran benih ikan dalam jumlah besar (15.000 benih setahun sebelumnya). Lebih penting lagi, setelah acara selesai, embung akan dikuras, dibersihkan, dan diisi air serta ikan kembali. Tindakan pengurasan dan pembersihan ini adalah fungsi ekologis vital yang memastikan Embung Cueran tetap sehat sebagai sumber air irigasi, mencegah sedimentasi berlebihan, dan ‘mereset’ ekosistem perairan untuk siklus tahunan berikutnya. Dengan demikian, konservasi yang terjadi dalam Buka Tetek adalah konservasi habitat (infrastruktur air), yang secara tidak langsung mendukung keberlanjutan sumber daya ikan.

Tradisi Lubuk Larangan (Mandailing Natal, Sumatera Utara): Tata Kelola Adat, Syariah, dan Ekonomi Berkelanjutan

Konteks Hukum Adat, Agama, dan Konservasi

Lubuk Larangan (LL) adalah kearifan lokal yang terinstitusionalisasi, bertujuan utama untuk melestarikan sumber daya perikanan dengan menetapkan larangan aktivitas penangkapan ikan di perairan umum (sungai) pada kawasan dan jangka waktu tertentu. Tradisi ini merupakan upaya revitalisasi kearifan lokal yang kuat di masyarakat Muslim Mandailing Natal.

Landasan filosofis yang memperkuat penegakan aturan LL di Mandailing Natal sering ditinjau dalam konteks Maqashid Syariah (tujuan syariat Islam), yang memberikan legitimasi agama yang kuat terhadap aturan konservasi. Integrasi nilai, norma, dan sanksi dengan khazanah budaya dan agama memperkuat kepatuhan masyarakat. Keefektifan model ini telah diakui secara internasional; Lubuk Larangan telah diakui oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature) sebagai Kawasan Lindung, yang menegaskan validitas ekologisnya secara global.

Struktur Kelembagaan dan Mekanisme Tata Kelola

Sistem tata kelola Lubuk Larangan di Madina bersifat formal dan hierarkis. Pengelolaannya dilakukan secara partisipatif dan diatur oleh Lembaga Adat tradisional yang kuat, termasuk Ninik Mamak, Datuk Pucuk Gdangka Nagoru, Dubalang, dan Mamak Kampung. Keberadaan struktur Adat yang kuat dan formal ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan LL jauh lebih terinstitusi dibandingkan dengan panitia desa sederhana.

Peraturan Lubuk Larangan (baik lisan maupun tulisan) ditetapkan di tingkat desa atau nagari. Aturan ini berlaku universal untuk setiap individu yang berinteraksi dengan wilayah LL. Karena LL mencakup perairan terbuka, seperti di Sungai Batang Gadis , sistem pengawasan harus sangat ketat. Konsekuensinya, sanksi adat yang dikenakan sangat tegas, misalnya berupa denda moneter yang substansial, mencapai Rp 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) per jiwa bagi yang melanggar dan menangkap ikan di luar waktu yang ditentukan. Skala sanksi yang besar ini mencerminkan intensitas perlindungan sumber daya dan berfungsi sebagai pencegah yang efektif terhadap penangkapan ilegal.

Mekanisme panen, yang disebut Bongkar Lubuk atau membuka Lubuk Larangan, ditetapkan hanya sekali setahun, sering kali bertepatan dengan perayaan Idul Fitri (misalnya 2-3 Syawal). Panen massal ini menjadi ritual yang sangat dinantikan, menarik ratusan hingga ribuan orang, termasuk perantau, yang datang untuk menyalurkan hobi dan melestarikan tradisi.

Dampak Multi-Dimensi dan Model Ekonomi Desa Berbasis Konservasi

Lubuk Larangan memberikan dampak multi-dimensi—ekologis, ekonomi, dan sosial-budaya. Secara ekologis, LL berfungsi sebagai kawasan konservasi sumber daya perairan, membantu melindungi jenis ikan lokal berukuran besar dan memastikan jumlah ikan terus bertambah setiap tahun.

Secara ekonomi, LL telah bertransformasi dari sekadar aturan konservasi menjadi mekanisme fiskal yang terintegrasi dengan pembangunan sosial desa. Studi kasus di Desa Singengu, Kecamatan Kotanopan, menunjukkan bahwa hasil dari Lubuk Larangan dimanfaatkan untuk menambah Pendapatan Asli Desa (PAD) dan dialokasikan untuk kepentingan sosial.

Struktur alokasi pendapatan LL Desa Singengu menunjukkan fokus yang jelas pada investasi sosial dan keberlanjutan operasional, seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Alokasi Hasil Lubuk Larangan: Studi Kasus Desa Singengu, Madina

Komponen Alokasi Persentase dari Pendapatan Fungsi Sosial/Ekonomi Sumber Data
Gaji Guru Madrasah Syariful Majelis 50% Dukungan Pendidikan Keagamaan Lokal
Dana Anak Yatim 20% Kesejahteraan Sosial
Pengelolaan Lubuk Larangan (Pengawasan, Pakan Ikan, Biaya Pembukaan) 20% Operasional dan Penegakan Aturan (Konservasi Lanjutan)
Pembibitan Ikan Lubuk Larangan 10% Konservasi Ekologis Jangka Panjang

Alokasi 50% pendapatan untuk gaji guru madrasah memberikan bukti nyata bahwa konservasi alam dalam kerangka LL secara langsung mendukung pilar religius dan edukasi masyarakat, yang pada gilirannya memperkuat legitimasi moral dan sosial aturan Adat.

Status Keberlanjutan Ekologis dan Tantangan Eksternal

Kajian ilmiah menunjukkan bahwa Lubuk Larangan berada pada status “cukup berkelanjutan,” meskipun memiliki tantangan. Analisis dengan metode Rapid Appraisal for Fisheries (Rap-Fish) menghasilkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 64.18, ekonomi 53.89, dan sosial 51.38.

Namun, keberlanjutan LL sangat sensitif terhadap faktor eksternal. Atribut sensitif yang menjadi ancaman terbesar meliputi isu-isu supra-lokal seperti penambangan pasir dan batu, serta pengelolaan sampah yang tidak memadai. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tata kelola internal (Adat) sangat kuat, ancaman terbesar berasal dari aktivitas ekstraktif di luar wilayah kelola yang merusak Daerah Aliran Sungai (DAS). Faktor internal seperti konflik pemanfaatan sumber daya dan keterlibatan masyarakat yang kurang optimal juga mempengaruhi status keberlanjutan. LL juga sangat bergantung pada dukungan tokoh masyarakat dan perantau, yang memainkan peran penting dalam pelestarian tradisi dan pendanaan.

Dimensi Komparatif: Kontras dan Konvergensi Kearifan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Air

Analisis komparatif menunjukkan bahwa meskipun Buka Tetek dan Lubuk Larangan sama-sama merupakan tradisi panen komunal tahunan, terdapat perbedaan mendasar dalam filosofi, struktur kelembagaan, dan intensitas konservasi.

Perbedaan Filosofi dan Tujuan Utama

Perbedaan utama terletak pada tujuan inti tradisi:

  1. Buka Tetek: Tujuannya utamanya adalah Ritual Kultural. Panen ikan adalah sarana untuk mencapai Harmoni Sosial dan menjadi hasil samping dari pembersihan serta pemeliharaan habitat air (embung) dalam kerangka Bersih Desa. Fokusnya adalah pada kohesi dan perayaan.
  2. Lubuk Larangan: Tujuannya utamanya adalah Regulasi Ekologis. Konservasi sumber daya perairan (untuk keberlanjutan stok ikan seperti ikan jurung) dan penciptaan Pendapatan Ekonomi terstruktur adalah fungsi utama. Larangan menjadi inti dari praktik ini.

Kontras Tata Kelola dan Penegakan Hukum

Kontras dalam tata kelola mencerminkan kebutuhan ekologis yang berbeda. Buka Tetek di Klaten dikelola oleh Pemerintah Desa/Panitia Lokal dan beroperasi di   Embung Cueran—sebuah kolam tertutup yang relatif mudah diawasi oleh komunitas lokal. Akibatnya, penegakan aturan lebih mengutamakan keterlibatan sukarela dan kerukunan sosial.

Sebaliknya, Lubuk Larangan di Mandailing Natal dikelola oleh Lembaga Adat tradisional yang kuat (Ninik Mamak) dengan legitimasi Adat dan Syariah. LL berada di perairan terbuka (sungai, seperti Sungai Batang Gadis). Kesulitan dalam pengawasan di perairan terbuka menuntut diterapkannya Sanksi Adat yang sangat ketat, berupa denda moneter yang substansial, untuk menegakkan masa larangan penangkapan.

Skala, Intensitas Konservasi, dan Kelembagaan

Perbandingan Struktural Tradisi Buka Tetek dan Lubuk Larangan

Parameter Komparasi Buka Tetek (Klaten) Lubuk Larangan (Mandailing Natal)
Konteks Budaya Utama Ritual Bersih Desa, Gelar Budaya Kearifan Lokal (Adat), Konservasi Sumber Daya, Maqashid Syariah
Lokasi/Tipe Perairan Embung (Kolam/Bendungan Buatan/Tertutup) Lubuk di Aliran Sungai (Perairan Umum/Terbuka)
Fungsi Utama Kohesi Sosial, Ritual Pembersihan, Hiburan Komunal Konservasi Ekologis, Sumber Pendapatan Komunal
Frekuensi Pemanenan Tahunan (Sesuai Jadwal Bersih Desa) Tahunan (Ditetapkan, Umumnya sekitar Idul Fitri/Syawal)
Sistem Tata Kelola Pemerintah Desa/Panitia Lokal Lembaga Adat (Ninik Mamak), Panitia Lubuk Larangan
Sanksi Pelanggaran Umumnya berupa teguran sosial Denda Adat dan Moneter yang Ketat (Rp 1 Juta per jiwa)
Status Konservasi Formal Lokal (Program Desa) Diakui Global (IUCN) dan Kajian Keberlanjutan (Rap-Fish)

Perbedaan struktural ini memvisualisasikan kontras antara konservasi ekologis yang terinstitusionalisasi (LL) dan pemanfaatan sumber daya yang ter-ritualisasi (BT). Perbedaan dalam Sanksi dan Status Konservasi Formal secara langsung mencerminkan perbedaan dalam tujuan utama dan skala geografis pengelolaan.

Relevansi Global: Pengakuan IUCN dan Potensi Transfer Model

Lubuk Larangan memiliki validasi ekologis yang tinggi berkat pengakuannya oleh IUCN sebagai Kawasan Lindung. Ini membuktikan efektivitas tata kelola Adat Madina dalam menjaga keanekaragaman hayati perairan dalam jangka panjang.

Meskipun Buka Tetek tidak memiliki fokus konservasi yang setegas LL, perannya dalam menjaga siklus kesehatan embung dan menjamin fungsi irigasi bagi 70 hektar sawah memiliki nilai ketahanan air yang signifikan. Terdapat potensi bagi Klaten untuk memperkuat dimensi konservasi Buka Tetek dengan mengadaptasi mekanisme ekonomi LL, misalnya dengan mengalokasikan persentase hasil panen untuk dana pemeliharaan embung atau beasiswa lokal, sehingga konservasi menjadi pilar ekonomi, bukan sekadar pelengkap ritual.

Implikasi Kebijakan, Tantangan Keberlanjutan, dan Rekomendasi

Tantangan Keberlanjutan yang Krusial

Kedua tradisi menghadapi tantangan yang berbeda:

  1. Ancaman Eksternal Terhadap LL: Ancaman terbesar bagi Lubuk Larangan adalah isu supra-lokal yang sulit dikendalikan oleh lembaga adat semata, yaitu penambangan pasir dan batu serta pengelolaan sampah yang buruk di sepanjang DAS Batang Gadis. Jika faktor ekstraktif ini tidak dikendalikan oleh otoritas regional, efektivitas kearifan lokal LL akan terancam.
  2. Tantangan Kohesi Sosial BT: Bagi Buka Tetek, tantangan utama adalah memastikan tradisi yang berakar pada Bersih Desa ini tidak luntur oleh perkembangan zaman, sehingga dibutuhkan keterlibatan aktif generasi muda dalam pelestarian budaya.
  3. Ketergantungan Perantau: Keberhasilan LL sangat bergantung pada dukungan aktif tokoh masyarakat dan perantau, baik secara finansial maupun partisipasi saat ritual panen Syawal.

Rekomendasi untuk Penguatan Tata Kelola Adat (Lubuk Larangan)

Untuk memastikan status keberlanjutan Lubuk Larangan yang lebih stabil (Strong Sustainability), beberapa langkah harus diambil:

  1. Harmonisasi Kebijakan (CBEG ke Regional): Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal didorong untuk mengintegrasikan aturan Lubuk Larangan ke dalam regulasi daerah (Perda) yang kuat. Perda ini harus memberikan perlindungan hukum yang eksplisit terhadap wilayah LL dan, yang terpenting, mengendalikan faktor sensitif eksternal seperti aktivitas penambangan dan pembuangan limbah industri di hulu DAS.
  2. Peningkatan Partisipasi: Lembaga Adat harus secara proaktif mendorong rasa memiliki (sense of belonging) yang lebih tinggi di kalangan seluruh elemen masyarakat agar LL dapat mempertahankan legitimasi dan pengawasan komunitas.
  3. Audit dan Transparansi Ekonomi: Demi menjaga kepercayaan publik dan legitimasi panitia, perlu dipastikan transparansi penuh dalam alokasi dana, terutama mengingat porsi besar (50%) dialokasikan untuk pendidikan madrasah dan 20% untuk kesejahteraan anak yatim.

Rekomendasi untuk Peningkatan Fungsi Konservasi (Buka Tetek)

Meskipun fungsi ritual telah terpenuhi, peningkatan dimensi konservasi dan ekonomi Buka Tetek di Klaten dapat dicapai melalui:

  1. Formalisasi Siklus Konservasi: Pemerintah Desa Klaten direkomendasikan untuk memformalkan siklus penebaran benih, perlindungan, dan pengurasan embung sebagai bagian dari Rencana Kerja Tahunan Desa (RKPDes). Hal ini menjamin keberlanjutan pasokan ikan dan kesehatan embung sebagai infrastruktur irigasi, yang vital bagi pertanian seluas 70 hektar.
  2. Pendidikan Ekologis: Momentum Buka Tetek harus digunakan sebagai sarana edukasi lingkungan yang intensif bagi peserta, khususnya generasi muda, mengenai peran Umbul Cueran sebagai mata air asli dan pentingnya menjaga kualitas air demi keberlanjutan irigasi.

Kesimpulan Akhir: Masa Depan Kearifan Lokal

Analisis komparatif antara Tradisi Buka Tetek di Klaten dan Lubuk Larangan di Mandailing Natal menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air yang efektif di Indonesia berakar kuat pada integrasi nilai-nilai lokal, meskipun filosofi penerapannya berbeda. Lubuk Larangan adalah model tata kelola konservasi berbasis sanksi, Syariah, dan Adat yang terbukti sukses dalam menjaga keanekaragaman hayati perairan terbuka dan menciptakan mekanisme fiskal yang mendukung pembangunan sosial desa. Sementara itu, Buka Tetek adalah praktik ritual yang berfungsi sebagai katarsis sosial, memperkuat guyub rukun, dan secara efektif menjamin pemeliharaan habitat air yang penting untuk irigasi.

Keduanya membuktikan bahwa masyarakat adalah agen utama dalam menjaga keberlanjutan ekologis. Namun, keberlanjutan kearifan lokal seperti Lubuk Larangan yang berinteraksi dengan ekosistem skala besar (DAS) memerlukan dukungan co-management yang harmonis dari otoritas kebijakan regional untuk melindungi mereka dari ancaman ekstraktif yang tidak dapat dikendalikan di tingkat desa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 48 = 53
Powered by MathCaptcha