Definisi dan Landasan Filosofis Kemerdekaan Pers

Kemerdekaan pers adalah fondasi utama bagi kesehatan sistem demokrasi. Dalam konteks Indonesia, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, secara tegas menyebut kebebasan pers sebagai “oksigen bagi demokrasi” yang perannya semakin vital di tengah derasnya arus disrupsi teknologi saat ini. Fungsi esensial pers terletak pada kemampuannya untuk memastikan adanya ruang publik yang terbuka bagi masyarakat dalam pengambilan keputusan, yang pada gilirannya memerlukan partisipasi publik. Peran pers sangat penting dalam membentuk pola pikir masyarakat dan menyediakan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pers berfungsi sentral sebagai pilar keempat demokrasi, yang bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi kontrol sosial, kritik, koreksi, dan memberikan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara. Landasan filosofis ini juga diperkuat secara konstitusional. Negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28, Pasal 28 E ayat (2) dan (3), serta Pasal 28 F.

Struktur Laporan dan Fokus Analisis

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai dinamika kebebasan pers, baik di tingkat global maupun spesifik di Indonesia. Laporan ini menggunakan kerangka pengukuran global (World Press Freedom Index/WPFI) untuk menilai status pers dan menyoroti tiga spektrum ancaman utama yang dihadapi Indonesia: ancaman legal-regulasi (melalui pasal-pasal pidana yang membatasi kritik), tekanan ekonomi-struktural (termasuk disrupsi digital dan konsentrasi kepemilikan media), serta isu keselamatan fisik dan digital jurnalis. Analisis ini bertujuan untuk memahami mengapa kebebasan pers di Indonesia mengalami tren penurunan dan merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ekosistem pers.

Kerangka Pengukuran Global dan Lanskap Kebebasan Pers Dunia

World Press Freedom Index (WPFI) Reporters Without Borders (RSF)

World Press Freedom Index (WPFI) merupakan instrumen pengukuran standar internasional yang diterbitkan setiap tahun sejak 2002 oleh Reporters Without Borders (RSF). Indeks ini meranking 180 negara berdasarkan catatan kebebasan pers mereka di tahun sebelumnya. Tujuan utama indeks ini adalah merefleksikan tingkat kebebasan yang dimiliki jurnalis, organisasi berita, dan netizen, serta upaya yang dilakukan otoritas untuk menghormati kebebasan tersebut.

Metodologi WPFI mengalami perubahan substansial pada tahun 2022. Saat ini, WPFI mengevaluasi konteks kebebasan pers secara lebih komprehensif, tidak hanya fokus pada insiden kekerasan tetapi juga tekanan struktural. Evaluasi dilakukan berdasarkan lima kategori berbeda: Konteks Politik (Political context), Kerangka Hukum (Legal framework), Konteks Ekonomi (Economic context), Konteks Sosio-Kultural (Sociocultural context), dan Keselamatan (Safety).

Perluasan metodologi RSF untuk memasukkan konteks Ekonomi dan Sosio-Kultural (sebelumnya fokus pada kriteria umum seperti pluralisme, independensi, dan kerangka legislatif) menunjukkan adanya pengakuan global bahwa ancaman modern terhadap pers telah berevolusi. Ancaman kini tidak lagi hanya berasal dari sensor atau tekanan politik negara, tetapi juga dari tekanan pasar dan dinamika digital yang memengaruhi keberlanjutan bisnis dan independensi editorial. WPFI mengklasifikasikan status kebebasan pers berdasarkan skor poin, yaitu Baik (85–100 poin), Memuaskan (70–85 poin), Bermasalah (55–70 poin), Sulit (40–55 poin), dan Sangat Serius (kurang dari 40 poin).

Tren Global: Disrupsi Digital dan Ancaman Hiper-Realitas

Disrupsi digital telah menciptakan tantangan eksistensial bagi jurnalisme profesional. Teknologi baru, seperti deepfake dan konten sintetis berbasis Kecerdasan Buatan (AI), telah membawa pers ke dalam fase “hyper reality”, di mana realitas yang sebenarnya tidak pernah ada dapat dianggap sebagai kenyataan. Arus informasi yang masif ini menuntut media untuk mengedepankan disiplin verifikasi dan akurasi, yang menjadi tolok ukur utama dan garis batas antara jurnalisme profesional dengan informasi amatir yang dihasilkan media sosial, guna mencegah malinformasi dan disinformasi.

Selain tantangan verifikasi, teknologi AI juga menghadirkan ancaman langsung terhadap keselamatan jurnalis. Penggunaan AI memungkinkan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kritik media melakukan pemantauan hingga pengawasan (surveillance) terhadap jurnalis. Hal ini dapat mengancam kebebasan dan keselamatan jurnalis, yang pada akhirnya memengaruhi transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Menanggapi lingkungan yang kompleks ini, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital mendorong penguatan jurnalisme solusi (solution journalism). Pendekatan ini merupakan respons strategis di mana media tidak hanya berfokus pada pengungkapan masalah, tetapi juga memberi perspektif bermanfaat bagi publik dan pembuat kebijakan, dengan mengidentifikasi masalah sekaligus memberikan beragam perspektif untuk solusi yang dapat diambil.

Analisis Kebebasan Pers di Indonesia: Status, Peringkat, dan Kontras Reformasi

Lintasan Historis dan Risiko Regresi

Sejak Reformasi 1998, Indonesia menikmati periode peningkatan kebebasan pers yang signifikan, memutus rantai kontrol ketat yang dialami pada era Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pers diawasi dan dibatasi ketat oleh pemerintah, menjadikannya alat propaganda. Perubahan regulasi yang progresif pasca-1998 berhasil menjinakkan sebagian besar pasal delik pers yang bersifat anti-demokrasi. Namun, perkembangan hukum dan politik terkini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai potensi regresi. Ancaman hukum baru, seperti penguatan kembali pasal-pasal pidana dalam KUHP Baru, berpotensi mengembalikan mekanisme kontrol yang telah berhasil diatasi di era Reformasi.

Status Peringkat Indonesia Terbaru (WPFI 2024)

Indonesia menghadapi tren penurunan yang mengkhawatirkan dalam indeks kebebasan pers global. World Press Freedom Index (WPFI) 2024 menunjukkan peringkat Indonesia turun dari 108 menjadi 111 secara global. Peringkat 111 ini menempatkan Indonesia dalam klasifikasi RSF sebagai zona  Bermasalah (Problematic) atau bahkan mendekati Sulit (Difficult), yang mengindikasikan lingkungan kerja yang semakin menantang bagi jurnalis.

Di kawasan Asia Tenggara (ASEAN), posisi Indonesia juga tidak dominan. Indonesia menempati peringkat ke-3 di antara negara-negara ASEAN, di bawah Thailand dan Malaysia.

Tabel Kunci 1: Perbandingan Peringkat Kebebasan Pers Indonesia di Asia Tenggara (WPFI 2024)

Negara Peringkat WPFI 2024 (Global) Posisi di ASEAN
Malaysia 1
Thailand 2
Indonesia 111 3

Faktor Pendorong Deteriorasi Domestik

Penurunan peringkat WPFI 2024 mencerminkan tekanan multi-dimensi, baik dari sisi eksternal (kekuasaan dan ekonomi) maupun internal industri pers, sebagaimana dianalisis oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan laporan terkait.

Tekanan Ekonomi dan Krisis Kualitas

Konteks ekonomi yang sulit, diperparah oleh pendapatan iklan yang tergerus oleh platform digital , memicu tekanan berat pada industri media. Tekanan ini menyebabkan PHK massal di ruang redaksi dan pembungkaman serikat, seringkali melanggar undang-undang perburuhan, yang merusak hak-hak jurnalis dan keamanan pekerjaan mereka. Kondisi ini diperparah oleh faktor internal pers, seperti pengelolaan yang tidak profesional dan keberadaan media abal-abal.

Tekanan struktural ini sangat memengaruhi independensi redaksi. Ketika pemilik media memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu, mereka dapat menggunakan medianya untuk memengaruhi kebijakan redaksi, terutama jika terdapat hubungan baik dengan kekuasaan negara. Media dipaksa untuk bertahan hidup “dengan berbagai cara”. Jurnalisme yang kurang independen dan tertekan secara ekonomi menjadi lebih rentan terhadap pelanggaran etika dan berkurangnya kualitas konten. Hal ini mengurangi dukungan publik, yang pada gilirannya melemahkan posisi pers saat menghadapi ancaman hukum atau kekerasan.

Ancaman Kekerasan, Impunitas, dan Digitalisasi

Dalam konteks keselamatan (Safety), jurnalis terus menghadapi kekerasan fisik, pelecehan digital, dan ancaman hukum, dengan tingkat akuntabilitas yang minim atau tidak ada (little or no accountability). Selain ancaman dari penyelenggara kekuasaan negara (pembuatan regulasi), kemerdekaan pers juga dipengaruhi oleh tindakan masyarakat dan kelompok kepentingan, seperti kekerasan terhadap jurnalis, penyerangan kantor redaksi, atau upaya penyuapan/ancaman.

Kasus-kasus spesifik, seperti teror kepala babi terhadap jurnalis Tempo pada Maret 2025, menunjukkan bahwa ancaman terhadap keselamatan merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan pers, dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mendesak Dewan Pers untuk memastikan kasus-kasus ini diusut tuntas. Impunitas terhadap pelaku kekerasan menjadi salah satu penyebab utama kekerasan terus berlanjut.

Ancaman Kritis terhadap Independensi dan Keselamatan Pers di Indonesia

Jerat Hukum: Delik Pidana dan Regulasi yang Membatasi Kritik

Salah satu faktor utama yang menekan peringkat WPFI Indonesia adalah Kerangka Hukum (Legal Framework), terutama konflik antara rezim Undang-Undang Pers (yang mengutamakan mekanisme hak jawab dan hak koreksi) melawan penerapan delik pidana umum.

Kriminalisasi Digital melalui UU ITE

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara konsisten digunakan sebagai instrumen untuk mengkriminalkan jurnalisme dan membungkam kritik publik melalui pasal-pasal yang bersifat multitafsir atau “pasal karet”. Pasal yang paling sering menjerat jurnalis adalah Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (3) terkait

Pencemaran Nama Baik Digital.

Sanksi pidana untuk pelanggaran ini sangat berat, yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00. Bahkan, ancaman pidana yang lebih berat, hingga 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp12.000.000.000,00, terdapat dalam Pasal 51 ayat (2) jo. Pasal 36 UU ITE, yang mengatur perbuatan yang mengakibatkan kerugian orang lain. Keberadaan sanksi pidana yang berat ini secara efektif menciptakan efek gentar (chilling effect) yang mendorong jurnalisme ke arah swasensor.

Ancaman Regresi Melalui KUHP Baru

Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru pada 2 Januari 2026 menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan komunitas pers. Sebagian pihak menilai KUHP Baru mengancam kemerdekaan pers dan berbahaya bagi demokrasi karena memperkuat kembali pasal-pasal delik pers yang sudah berhasil dijinakkan pasca-1998.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyoroti setidaknya 10 pasal yang bisa mengkriminalkan jurnalis. Salah satunya adalah Pasal 219, yang berisi delik Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, yang secara langsung mengancam kritik terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Kekhawatiran lain adalah Pasal 281 mengenai Penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt of Court), yang dapat membatasi kemampuan pers untuk meliput, mengkritik, dan mengawasi proses yudikatif. Dalam rezim yang demokratis, sanksi bagi media yang melanggar etika selayaknya diselesaikan melalui mekanisme hak jawab/koreksi, yang dianggap lebih efektif untuk mendisiplinkan media, bukan melalui hukum pidana.

Tabel Kunci 2: Matriks Ancaman Hukum Utama terhadap Jurnalis di Indonesia (UU ITE & KUHP)

Regulasi Pasal Kunci Delik Inti Potensi Ancaman bagi Pers
UU ITE Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (3) Pencemaran Nama Baik Digital Kriminalisasi berdasarkan delik aduan
KUHP Baru (2026) Pasal 219 (Delik Penghinaan) Penghinaan terhadap Presiden/Wapres Membatasi ruang kritik sosial
KUHP Baru (2026) Pasal 281 Penghinaan terhadap Pengadilan (Contempt of Court) Membatasi peliputan proses yudikatif

Ancaman Struktural: Konsentrasi Kepemilikan dan Independensi Editorial

Ancaman ini berakar pada Kerangka Ekonomi dan Politik (WPFI) dan menunjukkan kelemahan struktural dalam pasar media Indonesia. Konsentrasi kepemilikan media pada beberapa pemilik utama menciptakan ekosistem media yang kurang beragam dan kurang representatif, membatasi keragaman perspektif, dan menghasilkan ruang publik yang sempit dan kurang inklusif.

Ketika pemilik media memiliki kepentingan politik atau bisnis tertentu, mereka dapat menggunakan outlet mereka untuk memengaruhi persepsi publik, memanipulasi informasi, atau membatasi akses terhadap sudut pandang alternatif. Hal ini merupakan ancaman nyata terhadap pluralisme dan integritas proses demokrasi. Keputusan editorial dibentuk dari kombinasi keputusan internal dan pengaruh eksternal dari sumber non-media, termasuk pejabat pemerintah dan sponsor komersial, yang memperparah pembiasan informasi.

Selain itu, tantangan konvergensi media akibat disrupsi digital memaksa industri untuk berubah. Media cetak menghadapi penurunan pembaca dan pendapatan yang signifikan. Dalam upaya bertahan, banyak media menerapkan model konvergensi, di mana reporter dituntut untuk bekerja  multitasking. Fokus pada efisiensi dan kecepatan, yang didorong oleh kebutuhan untuk bertahan secara ekonomi, berpotensi mengorbankan kualitas dan verifikasi mendalam, sehingga menghambat produksi jurnalisme berkualitas.

Mekanisme Institusional Keselamatan Pers

Merespons tingginya risiko keselamatan jurnalis, Dewan Pers mengambil langkah institusional penting. Pada Juni 2025, Dewan Pers meluncurkan Mekanisme Nasional Keselamatan Pers. Mekanisme ini bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan yang lebih sistematis, kolaboratif, dan cepat, dengan berlandaskan pada tiga pilar utama: Pencegahan, Perlindungan, dan Penegakan Hukum.

Sebagai bagian dari inisiatif ini, Satuan Tugas Keselamatan Pers (Satgaspers) yang bersifat ad hoc diubah menjadi Satuan Tugas Nasional Keselamatan Pers (Satnaspers) yang bersifat permanen. Perubahan status dari  ad hoc menjadi permanen, yang disertai dengan pelibatan lembaga negara, merupakan pengakuan formal bahwa ancaman terhadap jurnalis bersifat kronis dan sistematis, melampaui kemampuan Dewan Pers untuk menanganinya sendiri.

Satnaspers kini melibatkan sejumlah lembaga negara penting, termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas Perempuan. Keterlibatan LPSK secara khusus memberikan jalur perlindungan dan penegakan hukum yang lebih kuat. Cakupan perlindungan ini tidak hanya terbatas pada wartawan, tetapi juga diperluas mencakup keluarga, organisasi pers (perusahaan dan organisasi wartawan), dan pihak lain yang terlibat dalam proses kegiatan jurnalistik.

Proyeksi dan Rekomendasi Penguatan Ekosistem Pers

Untuk membalikkan tren penurunan kebebasan pers di Indonesia, diperlukan reformasi di tiga tingkatan: legal, struktural, dan keselamatan.

Rekomendasi Legal dan Reformasi Regulasi

  1. Mencabut Pasal Karet Pidana: DPR dan Pemerintah perlu segera merevisi regulasi untuk menghapus pasal-pasal pencemaran nama baik (delik aduan) dari ranah pidana, baik di UU ITE maupun KUHP Baru, dan memindahkannya ke ranah perdata. Sanksi sosial melalui hak jawab dan hak koreksi, sesuai UU Pers, dianggap lebih efektif untuk mendisiplinkan media.
  2. Merevisi KUHP Baru: Mendesak pencabutan atau perumusan ulang secara ketat terhadap pasal-pasal pidana yang mengancam kritik sosial, termasuk Pasal 219 (Penghinaan Presiden) dan Pasal 281 (Penghinaan Pengadilan), sebelum KUHP Baru berlaku pada Januari 2026. Hal ini untuk menjamin bahwa fungsi kontrol dan kritik pers tidak terbelenggu oleh ancaman hukum.
  3. Memperkuat Lex Specialis: Mengoptimalkan fungsi Dewan Pers dalam memberikan sanksi hukum dan memastikan bahwa karya jurnalistik yang terbit berdasarkan kode etik diutamakan penanganannya melalui mekanisme UU Pers, bukan melalui kriminalisasi.

Rekomendasi Struktural dan Keberlanjutan

  1. Regulasi Anti-Monopoli Media: Harus dirumuskan regulasi yang secara ketat mengatur dan membatasi konsentrasi kepemilikan media. Tujuannya adalah untuk menjamin pluralisme informasi, mencegah manipulasi opini publik, dan memastikan keragaman pendapat di masyarakat, yang merupakan prasyarat demokrasi.
  2. Dukungan Keberlanjutan Jurnalisme Berkualitas: Dewan Pers, Pemerintah, dan platform digital perlu berkolaborasi untuk menemukan solusi struktural terhadap masalah pendapatan iklan yang tergerus. Hal ini dapat mencakup kebijakan yang mendukung implementasi hak penerbit (publisher rights) untuk memastikan platform digital memberikan kontribusi yang adil terhadap biaya produksi jurnalisme berkualitas.

Rekomendasi Keselamatan dan Akuntabilitas

  1. Mengoptimalisasi Satnaspers: Satuan Tugas Nasional Keselamatan Pers (Satnaspers) harus dioperasionalkan secara maksimal. Mekanisme kolaboratif dengan LPSK dan Komnas Perempuan perlu diperkuat dalam fase perlindungan dan penegakan hukum, terutama untuk memastikan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis diusut tuntas dan adil. Efektivitas Satnaspers dalam menekan tingkat impunitas menjadi kunci pemulihan kepercayaan.
  2. Pencegahan dan Edukasi: Perlu dilakukan edukasi publik yang komprehensif mengenai peran jurnalisme profesional dan mekanisme penyelesaian sengketa pers (hak jawab) untuk mengurangi tindakan kekerasan yang berasal dari publik atau kelompok kepentingan yang mencoba memengaruhi independensi pers.

Kesimpulan

Kebebasan pers di Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan, menghadapi tantangan berlapis yang menyebabkan penurunan peringkat WPFI 2024. Ancaman utama tidak hanya datang dari kekerasan fisik, tetapi juga dari regresi hukum (KUHP Baru dan UU ITE), serta tekanan struktural (konsentrasi kepemilikan dan disrupsi ekonomi) yang mengancam independensi redaksi dan kualitas jurnalisme.

Kenyataan bahwa Dewan Pers perlu membentuk Satnaspers permanen yang melibatkan lembaga negara seperti LPSK menunjukkan bahwa krisis keselamatan jurnalis di Indonesia telah mencapai titik kronis dan sistematis. Upaya untuk memperkuat kebebasan pers harus dilakukan secara komprehensif.

Langkah strategis harus mencakup desakan kuat untuk reformasi hukum pidana guna menghentikan kriminalisasi kritik. Pada saat yang sama, perlu adanya dukungan struktural untuk mendukung jurnalisme berkualitas, termasuk implementasi jurnalisme solusi, yang menekankan akurasi, verifikasi, dan penyediaan perspektif yang konstruktif di tengah arus hiper-realitas digital. Mengingat kemerdekaan pers adalah esensi dari demokrasi itu sendiri , tanggung jawab untuk menjaganya merupakan tanggung jawab multi-stakeholder yang melibatkan Pemerintah, DPR, Dewan Pers, industri media, dan seluruh elemen masyarakat. Tanpa tindakan yang terkoordinasi dan tegas, risiko regresi ke era pra-Reformasi akan semakin besar

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

26 − = 25
Powered by MathCaptcha