Latar Belakang dan Urgensi Pengelolaan Air Minum Aman (SDG 6.1)

Akses terhadap air minum aman telah diakui oleh Sidang Umum PBB sejak tahun 2010 sebagai hak asasi setiap manusia. Pengelolaan air yang efektif dan berkelanjutan merupakan penentu utama kualitas hidup dan fondasi pembangunan sosial-ekonomi. Dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Indonesia telah menetapkan komitmen ambisius untuk mencapai 100% akses air minum layak (Improved Access) dan sanitasi pada tahun 2030.

Namun, fokus global saat ini telah bergeser secara fundamental dari sekadar penyediaan akses dasar menuju konsep “akses yang dikelola dengan aman” (Safely Managed Water/SMW). Paradigma ini menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur perpipaan saja tidaklah cukup. Jaminan kualitas air yang memenuhi baku mutu, kontinuitas layanan, dan pengelolaan limbah yang terintegrasi menjadi prasyarat mutlak. Kegagalan dalam menjamin aspek-aspek keamanan ini secara langsung menghambat pencapaian SDG 6.1 dan berdampak pada sektor kesehatan dan produktivitas nasional.

Definisi Kesenjangan: Air Minum Layak vs. Air Minum Aman (SMW) dalam Konteks Indonesia

Penting untuk membedakan secara tegas antara ‘Air Minum Layak’ dan ‘Air Minum Aman’ (SMW). Air minum layak didefinisikan sebagai sumber yang terlindungi, termasuk air perpipaan, sumur terlindungi, atau air kemasan. Sebaliknya, Air Minum Aman (SMW), menurut definisi JMP (Joint Monitoring Programme WHO/UNICEF), mensyaratkan air harus tersedia di tempat (on-premises), tersedia saat dibutuhkan (kontinuitas), dan bebas dari kontaminasi tinja (seperti E. coli) dan bahan kimia prioritas.

Data terbaru dari Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan yang masif antara kedua kategori akses tersebut. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2024, akses rumah tangga terhadap air minum layak telah mencapai 92.64%. Namun, ketika diukur dengan standar yang lebih ketat—yakni akses Air Minum Aman (SMW)—angkanya merosot tajam hingga hanya mencapai 20.49%. Selain itu, realisasi akses air minum perpipaan juga masih tertinggal, yakni sekitar 19% pada tahun 2021, jauh di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 30%.

Kesenjangan drastis antara 92% (Layak) dan 20% (Aman) mengindikasikan bahwa sebagian besar sumber air yang dianggap ‘layak’—terutama sumur terlindungi atau sumber independen—tidak memenuhi kriteria keamanan akibat kontaminasi, misalnya dari E. coli. Hal ini mencerminkan kegagalan baik dalam pengolahan air oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) maupun kegagalan penanganan sanitasi dan air limbah di lingkungan rumah tangga. Kesenjangan kualitas yang besar ini menciptakan krisis kepercayaan publik terhadap air perpipaan PDAM. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan air di Indonesia harus difokuskan secara eksklusif pada peningkatan standar kualitas dan kontinuitas layanan perpipaan, daripada hanya melaporkan angka akses layak yang bersifat permukaan.

Profil dan Tantangan Akses Air Minum Perpipaan di Indonesia

Kerangka Kebijakan Nasional dan Institusi Penyelenggara

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kerangka kerja yang ambisius. RPJMN 2020-2024 menargetkan 100% rumah tangga memiliki akses air minum layak, dengan 30% di antaranya melalui perpipaan, dan 15% harus aman. Selanjutnya, Peta Jalan Air Minum Aman 2020-2030 menjadi panduan utama dalam upaya mencapai SDG 6.1.

Secara kelembagaan, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memegang peran sentral dalam sistem distribusi air bersih dan sanitasi di tingkat lokal, bertindak sebagai kunci untuk menjamin hak asasi masyarakat terhadap kualitas air. Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) diatur oleh landasan hukum yang mencakup UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, Peraturan Pemerintah No. 122 Tahun 2015 tentang Penyediaan Air Minum, dan Peraturan Menteri PUPR No. 27 Tahun 2016.

Kinerja Cakupan Layanan Air Minum Nasional

Meskipun capaian akses air minum layak mendekati target, akses air minum aman (SMW) Indonesia pada tahun 2024 baru mencapai 20.49%. Cakupan perpipaan juga masih rendah, mencapai sekitar 19% pada 2021.

Secara umum, masyarakat di wilayah perkotaan maupun pedesaan di Indonesia masih sangat bergantung pada air tanah sebagai sumber air minum utama, di mana pengguna air tanah di perkotaan dan pedesaan mencapai setidaknya 90%. Tingginya ketergantungan pada air tanah ini kontras dengan negara-negara seperti Laos, Myanmar, dan Malaysia, di mana air permukaan lebih sering menjadi sumber domestik utama di daerah perkotaan.

Table 1: Perbandingan Target dan Realisasi Akses Air Minum Indonesia

Kategori Akses Target RPJMN 2024 Realisasi 2024 (SUSENAS/BPS) Kesenjangan Kritis Sumber Data
Akses Air Minum Layak (Improved) 100% 92.64% -7.36%
Akses Air Minum Perpipaan 30% ~19% (2021) -11%
Akses Air Minum Aman (SMW) 15% (Target Minimum RPJMN) 20.49% Belum aman menuju Target SDG 100%

Tantangan Kuantitas: Analisis Mendalam Non-Revenue Water (NRW)

Salah satu penghambat terbesar dalam peningkatan kinerja PDAM dan ekspansi layanan perpipaan adalah Volume Air Tak Berekening (Non-Revenue Water/NRW), atau kehilangan air. Secara global, masalah NRW sangat mencengangkan; lebih dari 32 miliar m3 air yang sudah diolah hilang akibat kebocoran jaringan distribusi setiap tahun, dan 16 miliar m3 lainnya tidak ditagih karena pencurian, pembacaan meter yang buruk, atau korupsi. Total biaya tahunan yang ditanggung perusahaan air minum di seluruh dunia diperkirakan mencapai US$14 miliar.

Di Indonesia, tingkat kebocoran yang tinggi, terutama pada pipa distribusi, merupakan penyebab utama tingginya NRW di tingkat PDAM. Tingginya NRW ini memiliki implikasi finansial yang serius. Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam sektor air memerlukan kelayakan finansial yang terjamin. Ketika PDAM menderita tingkat NRW yang sangat tinggi, pendapatan operasionalnya tergerus parah. Investor KPBU menghadapi risiko pengembalian modal yang meningkat signifikan karena sebagian besar air yang mereka olah mungkin tidak dapat ditagih.

Oleh karena itu, pengurangan NRW harus diperlakukan sebagai prasyarat keberhasilan proyek KPBU, seringkali harus diintegrasikan melalui kontrak Operasi & Pemeliharaan (O&M) atau model berbasis kinerja yang mengikat hasil pengurangan kehilangan air. Selain tantangan teknis, tantangan kelembagaan di PDAM juga turut berkontribusi. Banyak manajer senior dan direktur di perusahaan air minum di Asia dirotasi dari berbagai latar belakang di luar sektor air, yang seringkali menyebabkan pengetahuan teknis dan kelembagaan mereka terbatas dalam mengelola NRW secara efektif.

Tantangan Kualitas: Isu Kontaminasi dan Regulasi

Pengelolaan air minum aman mensyaratkan kualitas air yang memenuhi standar baku mutu yang berlaku, diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), yang saat ini mengacu pada Permenkes No. 32 Tahun 2017.

Namun, air minum perpipaan dan non-perpipaan di Indonesia menghadapi masalah kualitas kritis. Kontaminasi E. coli adalah salah satu parameter utama yang gagal dipenuhi, bersama dengan Total Dissolved Solids (TDS), pH, Nitrat, dan Nitrit, yang secara kolektif menentukan apakah akses air minum dapat diklasifikasikan sebagai aman. Di wilayah Asia Tenggara, penggunaan air tanah yang luas, terutama di Indonesia, menghadapi masalah kualitas utama berupa kontaminasi dari air limbah dan kebocoran fasilitas sanitasi di tempat (on-site sanitation). Selain itu, kontaminasi dari pestisida, sumber industri, dan intrusi saline (air asin) juga menjadi masalah penting. Masalah kualitas air permukaan juga signifikan, di mana sebagian besar industri di area sungai Citarum dilaporkan tidak memiliki fasilitas pengolahan air limbah, sehingga membuang limbah tanpa pra-pengolahan. Selain masalah teknis, regulasi terkait penyediaan air minum di Indonesia juga dianggap belum efektif dalam menangani tantangan ini.

Hubungan Air Minum Aman dengan Pembangunan Sosio-Ekonomi

Dampak Air Bersih dan Sanitasi terhadap Kesehatan Publik

Krisis air bersih adalah isu global, terutama di negara berkembang. Data menunjukkan bahwa sekitar 2 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman. Konsekuensinya terhadap kesehatan sangat parah: setiap hari, sekitar 700 anak balita meninggal karena diare yang disebabkan oleh air tercemar. Akses terhadap air bersih dan sanitasi yang layak secara fundamental menentukan kualitas kesehatan individu dan masyarakat.

Analisis Kausalitas: Kontribusi Akses Air Aman terhadap Penurunan Stunting

Di Indonesia, perbaikan akses air minum aman dan sanitasi yang layak diakui sebagai intervensi multi-sektoral yang krusial. Wakil Presiden Ma’ruf Amin pernah menyatakan bahwa air bersih dan sanitasi layak memiliki dampak hingga 70% terhadap upaya penurunan stunting (kekerdilan) pada bayi.

Hubungan kausalitas ini diperkuat oleh temuan empiris. Sebuah studi pada tahun 2024 menunjukkan bahwa anak-anak dengan akses air bersih dan sanitasi yang buruk memiliki kemungkinan 1.17 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan yang memiliki akses memadai.

Karena stunting merupakan prioritas nasional yang memerlukan mobilisasi sumber daya besar, temuan ini sangat penting. Investasi di sektor Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan sanitasi (khususnya menjamin kualitas air aman) harus dijustifikasi bukan hanya sebagai pemenuhan infrastruktur dasar semata, tetapi sebagai investasi kesehatan publik yang strategis dengan tingkat pengembalian sosial-ekonomi yang tinggi (high social rate of return). Pemahaman ini mengubah narasi pendanaan dari kebutuhan teknis menjadi kebutuhan strategis untuk mencapai pembangunan manusia yang unggul.

Korelasi dengan Produktivitas Ekonomi Rumah Tangga

Akses terhadap air bersih juga berkorelasi positif dengan stabilitas ekonomi rumah tangga. Analisis menunjukkan bahwa kepala rumah tangga yang berada dalam usia produktif memiliki peluang 1.03 kali lebih besar dalam mengakses air bersih perpipaan. Hal ini disebabkan karena kepala rumah tangga usia produktif umumnya memiliki kapasitas kerja optimal dan penghasilan yang lebih stabil, memungkinkan alokasi dana untuk sambungan air bersih berbayar.

Tantangan ekonomi diperparah oleh laju urbanisasi yang pesat, terutama di Asia dan Afrika, yang menyebabkan melonjaknya kebutuhan air yang tidak diimbangi oleh kapasitas infrastruktur. Selain itu, perubahan iklim, yang ditandai dengan pola curah hujan yang tidak menentu dan kenaikan suhu, juga memperburuk ketersediaan air dan menambah kerawanan air di kawasan Asia Tenggara.

Kebutuhan Investasi dan Strategi Pembiayaan Infrastruktur (KPBU/PPP)

Estimasi Kebutuhan Pendanaan dan Kesenjangan Fiskal

Untuk mencapai target cakupan air minum aman (SMW) yang setara dengan negara maju, Indonesia menghadapi kebutuhan investasi infrastruktur air minum yang diperkirakan setara dengan Amerika Serikat. Kebutuhan dana yang masif ini sangat kontras dengan keterbatasan anggaran pemerintah daerah. Data menunjukkan bahwa alokasi APBD untuk sektor air minum rata-rata hanya berkisar 0.26% dari total anggaran, menunjukkan adanya kesenjangan fiskal yang besar dan kebutuhan mendesak untuk mobilisasi dana eksternal.

Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagai Pilar Pembiayaan

Untuk mengisi kesenjangan pendanaan, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public-Private Partnership (PPP) menjadi strategi pembiayaan yang sentral. KPBU didefinisikan sebagai kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur kepentingan umum, dengan mekanisme transfer risiko di antara para pihak.

Model KPBU yang paling komprehensif, seperti Design-Build-Finance-Maintain-Operate (DBFMO) dan Konsesi, mentransfer risiko terbesar dari sektor publik ke sektor swasta. Model-model ini mengintegrasikan pekerjaan perancangan, pembangunan, pembiayaan, pemeliharaan, dan pengoperasian aset di bawah satu kontrak jangka panjang. Skema ini terbukti penting dalam proyek-proyek SPAM berskala besar, seperti SPAM regional Karian-Serpong. Selain itu, penggunaan pembiayaan gabungan (blended finance) semakin menjadi tren di Asia. Misalnya, di Bangladesh, bantuan berbasis hasil (output-based-aid) dari Bank Dunia digabungkan dengan pinjaman mikro untuk menurunkan biaya sanitasi. Model semacam ini berpotensi direplikasi di Indonesia untuk mencapai target air dan sanitasi.

Hambatan Utama dalam Implementasi KPBU

Implementasi KPBU di sektor air minum sangat rentan terhadap risiko tertentu. Salah satu hambatan utama adalah risiko tarif dan keberlanjutan finansial. Penetapan tarif air merupakan isu yang sangat kompleks dan bermuatan politik di banyak negara, termasuk Indonesia. Tanpa skema tarif yang dapat memulihkan biaya operasional dan investasi (cost-recovery), keberlanjutan proyek KPBU terancam, yang pada akhirnya menghalangi investasi swasta.

Keberhasilan KPBU sangat bergantung pada reformasi PDAM dan penjaminan risiko. Investor swasta dalam proyek SPAM tidak hanya menilai risiko konstruksi, tetapi juga risiko operasi dan pemeliharaan—yang erat kaitannya dengan kemampuan PDAM mengelola NRW—serta risiko permintaan yang terkait dengan kepastian pemerintah menjamin skema tarif yang adil. Kasus kegagalan layanan di Manila pada tahun 1990-an, yang disebabkan oleh kerugian air yang mencapai 63% dan keengganan pelanggan membayar tarif karena layanan yang buruk, menunjukkan bahwa risiko operasional (NRW) dan risiko politik (Tarif) saling terkait. Oleh karena itu, keberhasilan KPBU di Indonesia memerlukan kejelasan kontrak dan kerangka hukum yang kuat , serta penjaminan risiko politik oleh Pemerintah Pusat (misalnya melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia/PII) dan otoritas lokal. Fasilitas Penyiapan Proyek (PDF) menjadi penting untuk menyiapkan proyek yang layak secara finansial.

Benchmark Regional: Model Tata Kelola Air di Asia

Perbandingan kinerja pengelolaan air minum Indonesia dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara memberikan pemahaman kritis mengenai kesenjangan kelembagaan, teknologi, dan pendanaan.

Singapura: Model Ketahanan Air Terintegrasi dan Inovasi Teknologi

Singapura diakui secara global karena tata kelola airnya yang terintegrasi dan berkelanjutan. PUB, Badan Air Nasional Singapura, beroperasi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air, mengelola pasokan air, tangkapan air, dan air bekas secara terpadu (integrated way). Singapura tidak menggunakan air tanah, yang menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya air permukaan dan daur ulang.

Strategi ketahanan air Singapura berpusat pada diversifikasi pasokan yang dikenal sebagai Four National Taps, di mana air daur ulang ultra-bersih (NEWater) menjadi komponen kunci. Proses NEWater mendaur ulang air bekas yang sudah diolah menjadi air reklamasi bermutu tinggi yang sangat bersih. NEWater, yang diluncurkan pada tahun 2002, telah teruji aman dan konsisten memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (USEPA) untuk air minum.

Model Singapura menunjukkan bahwa kelangkaan sumber daya dapat diatasi dengan pengelolaan sirkular dan inovasi teknologi. Mengingat tingginya tingkat polusi air baku di Indonesia , Indonesia perlu mengadopsi integrasi yang lebih besar antara pengolahan air bersih dan sanitasi. Penerapan teknologi membran canggih (seperti Reverse Osmosis) dan nanoteknologi yang terintegrasi, termasuk inovasi dalam negeri seperti Arsinum SWRO dari BRIN atau teknologi dari Jepang , sangat penting untuk menciptakan sumber air yang lebih resisten terhadap polusi.

Malaysia: Dinamika Kelembagaan dan Kapasitas Sumber Daya

Malaysia memiliki salah satu kapasitas air tawar (freshwater) tertinggi di antara negara-negara ASEAN-6. Industri air di Malaysia didominasi oleh organisasi negara (State Organizations/SOE). Meskipun ada keterlibatan swasta historis (misalnya Puncak Niaga yang mengoperasikan fasilitas pengolahan air dan bendungan sejak 1995) , terdapat tren global dan regional untuk remunisipalisasi (pengembalian layanan ke kontrol publik). Contohnya adalah akuisisi aset air Puncak Niaga dan Syabas oleh negara bagian Selangor.

Tren remunisipalisasi ini didorong oleh kelangkaan sumber daya dan kebutuhan untuk menjamin distribusi air yang adil dan merata. Meskipun Indonesia mendorong KPBU, pengalaman Malaysia dan tren global memberikan peringatan bahwa kontrol publik terhadap aset esensial seringkali tetap penting untuk menjamin ekuitas dan penanganan krisis.

Studi Kasus Keberhasilan PPP: Konsesi di Manila, Filipina

Manila, Filipina, menawarkan contoh keberhasilan reformasi air minum melalui model kemitraan swasta. Pada pertengahan 1990-an, Metro Manila menghadapi kondisi layanan yang kritis, dengan pasokan air yang terputus-putus, tingkat kehilangan air (NRW) mencapai 63%, dan sistem pengelolaan air limbah yang hampir tidak ada (hanya 3% rumah tangga terhubung). Kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan utilitas untuk meningkatkan tarif dan mencapai kelayakan finansial.

Melalui konsesi yang diberikan kepada operator swasta (Manila Water dan Maynilad) pada tahun 1997, yang didukung oleh kerangka regulasi yang sangat jelas dan kepatuhan kontrak, Manila berhasil melakukan transformasi signifikan. Perusahaan-perusahaan ini berhasil menurunkan tingkat kehilangan air secara drastis, meningkatkan cakupan layanan, dan memulihkan kelayakan finansial.

Keberhasilan Manila membuktikan bahwa tantangan utama pengelolaan air (termasuk NRW yang tinggi dan layanan yang buruk) dapat diatasi oleh sektor swasta, asalkan Pemerintah/Regulator menyediakan kontrak yang dapat ditegakkan (enforceable contract) dan struktur tarif yang realistis (realistic tariff structure). Ini menegaskan bahwa tantangan utama di Indonesia bukanlah kekurangan modal, melainkan kelemahan kerangka regulasi dan kelembagaan untuk menjamin kontrak investasi jangka panjang yang stabil.

Tantangan Umum di Asia Tenggara

Secara umum, negara-negara berkembang di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Thailand, menghadapi tantangan yang seragam. Kerawanan iklim dan bencana, terutama banjir yang semakin intens, berpotensi mengurangi kualitas air dalam jangka pendek dan panjang melalui kerusakan infrastruktur. Selain itu, polusi air yang masif dari air limbah domestik dan cair industri yang dibuang tanpa pengolahan terus mencemari air permukaan dan air tanah, memaksa penduduk untuk mengekstraksi air tanah dari lapisan yang lebih dalam.

Table 2: Indikator Kinerja Pengelolaan Air Minum Pilihan di Asia Tenggara

Negara Cakupan Akses SMW (2024) Tingkat Kehilangan Air (NRW) Model Kelembagaan Utama Wawasan Kunci
Singapura >99% (Diduga) Sangat Rendah PUB (Badan Terintegrasi, Utilitas Publik) Ketahanan air tercapai melalui daur ulang teknologi tinggi (NEWater)
Indonesia 20.49% Tinggi/Sangat Tinggi PDAM (BUMD) Terdesentralisasi Kesenjangan Layak vs. Aman yang sangat besar; investasi KPBU mendesak
Malaysia Tinggi (Dominasi SOE) Moderat State-Owned Enterprises (SOE), Tren Remunisipalisasi Sumber daya tawar tinggi; fokus pada kontrol negara
Filipina (Manila) Tinggi (di area Konsesi) Rendah (di area Konsesi) Konsesi Swasta (PPP/Oleh Maynilad & Manila Water) Bukti keberhasilan PPP yang didorong reformasi regulasi dan tarif

Analisis Kesenjangan Kinerja dan Rekomendasi Strategis

Kesenjangan Kinerja Struktural Indonesia

Indonesia menghadapi kesenjangan kinerja struktural yang signifikan di sektor air minum. Dengan cakupan SMW hanya 20.49%, kinerja Indonesia jauh tertinggal dibandingkan rata-rata regional Asia Timur dan Tenggara, yang pada tahun 2024 secara kolektif mencapai 75%. Kegagalan struktural terletak pada paradigma kualitas; masalah bukan lagi hanya perluasan jaringan perpipaan (kuantitas), tetapi penegakan baku mutu dan kontinuitas layanan.

Kesenjangan kelembagaan juga jelas terlihat. Keterbatasan pengetahuan teknis dan manajerial di tingkat PDAM seringkali menghambat kemampuan mereka mengelola masalah teknis krusial seperti NRW, yang pada akhirnya membatasi keberhasilan mereka dalam melaksanakan proyek KPBU yang kompleks. Selain itu, Indonesia belum mengadopsi integrasi pengelolaan hulu-hilir (Catchment-to-Tap and Back to Catchment) secara menyeluruh seperti yang dicontohkan oleh model PUB Singapura, padahal integrasi ini sangat penting untuk mengatasi polusi air baku yang merajalela.

Rekomendasi Kebijakan dan Kelembagaan

Untuk mengatasi kesenjangan struktural ini, diperlukan reformasi kebijakan dan kelembagaan yang radikal:

  1. Mandat Otoritas Air Minum Aman (SMW) yang Kuat: Perlu dipertimbangkan pembentukan unit atau badan otoritas yang memiliki kewenangan penuh (mirip dengan model PUB di Singapura) untuk mengawasi, mengatur, dan menegakkan standar SMW di seluruh rantai pasok air. Otoritas ini harus mampu melampaui batas administrasi kabupaten/kota untuk memungkinkan pembangunan SPAM regional.
  2. Restrukturisasi dan Peningkatan Kapasitas PDAM: Konsolidasi dan peningkatan kapasitas SDM dan manajemen PDAM harus menjadi prioritas. Penting untuk memastikan manajer PDAM memiliki latar belakang yang relevan di sektor air agar mereka mampu mengelola aspek teknis krusial seperti pengurangan NRW secara efektif.
  3. Reformasi Tarif Berbasis Pemulihan Biaya (Cost-Recovery Tariff Reform): Pemerintah harus berkomitmen pada deregulasi penetapan tarif secara bertahap untuk memastikan bahwa biaya operasional dan investasi dapat ditutupi. Hal ini termasuk biaya mitigasi risiko KPBU. Proses penetapan tarif ini harus menjunjung tinggi transparansi untuk mendapatkan dukungan publik.

Rekomendasi Teknis dan Inovasi

  1. Strategi Intensif Pengurangan NRW: Indonesia harus mengadopsi target NRW yang ambisius, idealnya di bawah 20%, sebagai prasyarat kelayakan finansial. Strategi ini harus mencakup implementasi teknologi pintar (Smart Grid Water Management/SWGM) dan penekanan pada Domain Area Management (DMA) untuk deteksi kebocoran yang presisi, menangani baik kehilangan fisik maupun komersial.
  2. Penerapan Teknologi Daur Ulang dan Pengolahan Canggih: Mengingat polusi air baku yang tinggi, Indonesia harus berinvestasi pada teknologi pengolahan air canggih (seperti teknologi membran, Reverse Osmosis, dan daur ulang air limbah terolah). Pemanfaatan teknologi seperti NEWater Singapura atau inovasi nasional seperti Arsinum SWRO dari BRIN dapat menciptakan sumber air yang lebih stabil dan resisten terhadap tekanan polusi lingkungan.
  3. Pemanfaatan KPBU Model Komprehensif: Pemerintah harus memprioritaskan skema KPBU model DBFMO atau Konsesi untuk proyek-proyek SPAM berskala regional, dengan dukungan penjaminan pemerintah yang kuat. Keberhasilan model konsesi Manila membuktikan bahwa KPBU dapat memberikan dampak signifikan jika didukung oleh regulasi yang jelas dan kontrak yang terstruktur dengan baik.

Kesimpulan dan Outlook Jangka Panjang (2030)

Indonesia berada pada titik kritis dalam pengelolaan air minum. Meskipun akses terhadap air ‘layak’ sudah tinggi, kesenjangan kualitas antara air ‘layak’ dan air ‘aman’ (SMW) sebesar 70% menunjukkan masalah struktural yang dalam, terutama terkait kontaminasi dan keandalan layanan perpipaan.

Pencapaian target 100% Air Minum Aman pada tahun 2030 (SDGs) tidak mungkin tercapai hanya dengan memperluas jaringan pipa konvensional. Dibutuhkan pergeseran paradigma total menuju tata kelola air terintegrasi. Analisis komparatif dengan negara-negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa Indonesia harus mengambil langkah tegas melalui reformasi kelembagaan PDAM, investasi besar-besaran untuk mengurangi NRW (yang merupakan risiko terbesar bagi investor swasta), dan komitmen politik terhadap kerangka KPBU yang kuat dan tarif yang realistis. Pembelajaran dari Singapura (integrasi hulu-hilir dan inovasi teknologi daur ulang) dan Manila (keberhasilan konsesi yang didorong oleh regulasi yang jelas) memberikan peta jalan yang aplikatif dan mendesak bagi transisi Indonesia menuju ketahanan dan keamanan air yang berkelanjutan. Kegagalan dalam reformasi ini berarti risiko kesehatan publik yang terus meningkat dan kegagalan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di sektor air.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

20 + = 30
Powered by MathCaptcha