Orang Rimba, yang secara administratif dikenal sebagai Suku Anak Dalam (SAD), adalah kelompok etnik pribumi yang mendiami wilayah hutan di pedalaman Sumatera, terutama tersebar di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Secara historis, kehidupan mereka dicirikan oleh pola subsisten berbasis mobilitas (nomaden dan semi-nomaden) yang terkait erat dengan ekosistem hutan yang sehat. Namun, selama beberapa dekade terakhir, kelompok ini berada di bawah tekanan eksternal yang masif akibat deforestasi dan ekspansi sektor ekstraktif.
Tekanan lingkungan dan sosial ini telah menyebabkan Orang Rimba mengalami peminggiran struktural, baik secara sosial maupun ekonomi. Banyak keluarga terpaksa meninggalkan pola hidup nomaden mereka dan menetap di pinggiran jalan atau berdekatan dengan desa-desa transmigrasi. Perubahan radikal ini, ditambah dengan tekanan untuk beradaptasi dengan sistem sosial dan ekonomi luar yang sangat berbeda, telah mengakibatkan kesulitan serius dalam mempertahankan adat istiadat dan bahkan menyebabkan hilangnya identitas kultural bagi sebagian komunitas. Oleh karena itu, kajian terhadap eksistensi Orang Rimba saat ini harus diposisikan sebagai analisis krisis antropologi ekologi.
Delimitasi Istilah: Konflik Nomenklatur dan Implikasinya dalam Kebijakan
Terminologi yang digunakan untuk merujuk pada komunitas ini sangat kompleks dan politis. Terdapat setidaknya tiga kategori nama yang berbeda:
- Orang Rimba: Ini adalah endonim atau identitas diri yang digunakan oleh komunitas, menegaskan hubungan fundamental mereka dengan hutan (Rimba).
- Suku Kubu: Label historis yang masih sering digunakan, namun di masa kini seringkali mengandung konotasi pejoratif dan tidak disukai oleh komunitas bersangkutan.
- Suku Anak Dalam (SAD) atau Komunitas Adat Terpencil (KAT): Ini adalah kategorisasi administratif yang digunakan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Penggunaan istilah “Suku Anak Dalam” dan “Komunitas Adat Terpencil” memiliki implikasi kebijakan yang mendalam. Pelabelan mereka sebagai masyarakat ‘terpencil’ atau ‘terasing’ secara sistematis menciptakan dasar ideologis bagi intervensi negara melalui program seperti Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Analisis struktural menunjukkan bahwa tujuan resmi dari program resettlement ini, yaitu pengelompokan masyarakat yang terpencar untuk mencapai pemantapan sosial, ekonomi dan budaya, secara implisit menganggap pola hidup nomaden mereka sebagai “masalah sosial” yang perlu diatasi. Kebijakan ini, pada hakikatnya, bertujuan untuk mengeliminasi pola hidup tradisional mereka demi integrasi paksa ke dalam sistem desa modern.
Tabel I.1: Terminologi dan Definisi Suku Anak Dalam (Orang Rimba)
Nama Lokal | Nama Historis/Kolonial | Nama Administrasi Pemerintah | Implikasi Terminologis |
Orang Rimba | Suku Kubu | Suku Anak Dalam (SAD) / Komunitas Adat Terpencil (KAT) | Membedakan antara identitas diri, label pejoratif, dan kategorisasi kebijakan yang memicu program resettlement |
Asal Muasal dan Identitas Histori-Antropologis
Hipotesis Asal Usul: Tinjauan Genealogi dan Rasial
Sejarah asal muasal Orang Rimba dicatat melalui dua hipotesis utama dalam literatur antropologi historis. Pertama, berdasarkan tinjauan historis antropologis, terdapat pandangan yang mengaitkan sejarah Suku Anak Dalam dengan asal dari tanah Minangkabau. Kedua, secara fisik, sejumlah peneliti di lapangan menemukan ciri-ciri fisik yang mengaitkan Orang Rimba dengan ras suku Weddoid. Meskipun asal usul historis mereka mungkin berakar pada migrasi atau interaksi kuno, identitas kontemporer kelompok ini sangat terikat pada ekosistem hutan hujan tropis di pedalaman Jambi dan Sumatera Selatan.
Sistem Politik Adat: Kepemimpinan Temenggung
Sistem politik tradisional Orang Rimba terstruktur melalui kepemimpinan Temenggung. Temenggung adalah pemimpin adat yang memiliki pengaruh sosial, budaya, dan otoritas yang sangat kuat terhadap komunitasnya. Otoritas ini meluas hingga menentukan sikap dan keputusan masyarakat dalam konteks modern.
Dalam era demokratisasi formal, peran Temenggung telah bertransformasi menjadi penghubung atau mediator yang krusial. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Temenggung memiliki peran signifikan dalam mendorong kesadaran dan keterlibatan politik masyarakat Orang Rimba, misalnya dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati. Kepemimpinan berbasis nilai-nilai adat dan komunikasi langsung yang dilakukan Temenggung menjadi jembatan penting yang menghubungkan komunitas adat yang cenderung terisolasi dengan sistem demokrasi formal. Keterlibatan politik ini menjadi tantangan karena dihadapkan pada hambatan struktural seperti rendahnya literasi politik dan terbatasnya akses informasi.
Struktur Kultural, Adat Istiadat, dan Kosmologi Orang Rimba
Struktur Kekerabatan Matrilineal dan Organisasi Sosial
Orang Rimba mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal. Struktur sosial mereka berawal dari keluarga kecil (pasangan suami istri dengan anak-anak yang belum menikah), yang kemudian membentuk keluarga besar dari pihak kerabat istri. Setelah menikah, anak laki-laki diwajibkan untuk tinggal bersama keluarga dan kerabat pihak istri (pola tempat tinggal uxorilokal).
Unit pemukiman Orang Rimba bersifat sederhana dan komunal. Satu keluarga besar biasanya menempati satu pekarangan yang terdiri dari dua hingga tiga pondok atau gubuk sederhana. Dalam hal berpakaian, Orang Rimba masih mengenakan pakaian yang sangat sederhana; pria memakai cawat, sementara wanita mengenakan bawahan. Kain penutup dada umumnya hanya dikenakan oleh wanita saat mereka berinteraksi dengan masyarakat dari luar suku. Dalam hal spiritualitas, mayoritas masih menganut kepercayaan animisme, meskipun beberapa keluarga telah memeluk agama Islam.
Ekonomi Subsisten dan Kearifan Lokal Ekologis
Ekonomi Orang Rimba bergantung penuh pada pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Aktivitas subsisten mereka meliputi:
- Perladangan Berpindah: Praktik ini meliputi tahapan mancah (penebasan), nobong (penumbangan), matiko ukor (mematikan akar), bekor (pembakaran), menugal (melubangi), perawatan, penyiangan, dan manen (panen).
- Diet: Makanan mereka diperoleh dari hasil buruan, seperti kijang, rusa, dan kancil, serta buah-buahan hutan yang akrab seperti durian, cempedak, dan duku. Secara tradisional, mereka memiliki pantangan (tabu) untuk tidak memakan daging ternak, sebuah batasan budaya yang penting. Mereka menjunjung tinggi penghargaan terhadap alam, termasuk menjaga kejernihan sungai sebagai sumber air minum langsung.
- Hutan Adat: Bagi Orang Rimba, hutan adalah lebih dari sekadar sumber daya ekonomi. Hutan adalah identitas budaya, tempat sakral, dan penyedia bahan pangan, obat tradisional, serta sumber pendapatan utama dari hasil hutan non-kayu seperti madu dan rotan.
Ritus Siklus Hidup dan Mekanisme Koping Sosial
Ritus Kematian dan Melangun
Melangun adalah salah satu tradisi sosial-ekologis paling penting bagi Orang Rimba. Ritual ini melibatkan tradisi berpindah tempat (nomaden) setelah terjadi kematian anggota keluarga. Tujuan utama Melangun adalah menghilangkan kesedihan, trauma, dan duka kolektif yang dialami komunitas. Setelah masa Melangun berakhir, komunitas akan memulai kembali aktivitas normal seperti berburu dan berladang di lokasi baru, yang biasanya jauh dari tempat semula namun selalu dekat dengan sungai.
Secara tradisional, Orang Rimba memiliki kepercayaan unik mengenai jasad orang mati. Mereka tidak menguburkan jasad ke dalam tanah; sebaliknya, mereka membangun Rumah Pesagon (sejenis rumah di atas pohon) untuk menyimpan jasad tersebut. Keyakinan ini didasarkan pada harapan bahwa orang yang meninggal akan hidup kembali, sebuah harapan yang hilang jika jasad dikuburkan. Namun, seiring meningkatnya interaksi dengan masyarakat luar dan adopsi agama monoteisme (Islam/Kristen), tradisi Rumah Pesagon ini mulai ditinggalkan.
Kajian antropologis menunjukkan bahwa Melangun adalah mekanisme pertahanan sosial yang sangat efisien. Dengan memaksa mobilitas, tradisi ini berfungsi sebagai katarsis kolektif yang mengelola trauma emosional. Pada saat yang sama, perpindahan lokasi ini mencegah eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya di satu wilayah, menjamin keberlanjutan ekologis. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang berupaya memaksakan pola hidup menetap (PKMT) tanpa mengakui fungsi adaptif Melangun secara tidak langsung menghancurkan mekanisme sosial dan ekologis yang selama ini menjaga stabilitas komunitas.
Kelahiran dan Kesehatan Adat
Proses persalinan Orang Rimba dilakukan di Tanah Peranaon, suatu wilayah khusus yang terletak dekat dengan sungai dan didampingi oleh seorang dukun. Mereka menggunakan berbagai macam ramuan tradisional untuk membantu melahirkan dan merawat bayi. Bayi yang baru lahir biasanya dipoles bibirnya dengan madu hutan untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Komunitas ini secara umum masih menghindari fasilitas kesehatan modern. Untuk permohonan kesembuhan dari penyakit, mereka memiliki ritual adat yang dikenal sebagai Basale.
Hukum Adat dan Sanksi Sosial
Sistem hukum adat Orang Rimba dirancang untuk mengatur ketertiban internal dan menyelesaikan konflik. Dua contoh pelanggaran adat yang dicatat adalah:
- Menempuh nan besawa: Meliputi tindakan memasuki tempat-tempat terlarang (seperti rumah, kamar, atau toko) tanpa seizin pemiliknya. Pelanggaran ini dikenai sanksi tertentu.
- Berlarian kawin keluar kampong: Mengacu pada tindakan kawin lari. Sanksi adatnya adalah pasangan tersebut harus menikah dan membayar biaya untuk acara hajat (perayaan). Jika kasusnya melibatkan istri orang lain, pelaku harus membayar tebus talak atau uang kesayangan, dan pernikahan hanya dapat dilakukan setelah masa iddah istri tersebut selesai. Istri yang turun dari rumah tidak diizinkan membawa harta perhiasan atau harta lainnya.
Tabel III.1: Sistem Adat Kunci dalam Kehidupan Orang Rimba
Aspek Adat | Deskripsi Kunci | Fungsi Kultural |
Kekerabatan | Matrilineal, pola tinggal uxorilokal | Penentuan otoritas dan pewarisan dalam keluarga besar. |
Melangun | Pindah dari tempat kematian untuk menghilangkan kesedihan | Mekanisme koping kolektif dan strategi mobilitas ekologis. |
Rumah Pesagon | Pemakaman di rumah pohon | Ekspresi keyakinan bahwa orang mati masih berpotensi hidup kembali. |
Pantangan Makanan | Tidak makan daging ternak/ikan | Mempertahankan batas budaya dengan masyarakat menetap, memengaruhi interaksi medis |
Masa Kini: Krisis Eksistensi dan Tekanan Ekologis
Krisis Sumber Daya dan Kehilangan Habitat Kritis
Saat ini, eksistensi Orang Rimba sangat terancam. Deforestasi yang meluas dan konversi hutan menjadi lahan konsesi perusahaan telah menyebabkan hilangnya habitat kritis mereka. Kondisi ini tidak hanya menghilangkan sumber daya fisik, tetapi juga secara fundamental merusak identitas budaya mereka. Hilangnya ruang hidup memaksa mereka untuk beradaptasi dengan sistem di luar batas daya dukung budaya mereka, yang mengakibatkan peminggiran sosial dan ekonomi. Para pengamat menekankan bahwa negara harus hadir untuk memberikan hutan sebagai ruang hidup, yang sekaligus merupakan identitas budaya bagi Orang Rimba.
Analisis Mendalam Konflik Lahan: Eksploitasi Korporasi
Konflik lahan merupakan konflik struktural yang paling dominan dalam kehidupan Orang Rimba, sering kali timbul dari tumpang tindihnya izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan wilayah adat. Kasus konflik dengan PT Alam Lestari Nusantara (ALN), anak usaha PTPN di Jambi, menunjukkan pola eksploitasi yang sistematis.
Manipulasi Sosial dan Kontrak Asimetris
Kasus Dahwas dari SAD Batin 9 menjadi contoh bagaimana kerentanan masyarakat adat dieksploitasi. Dahwas dijanjikan rumah dan gaji seumur hidup oleh Humas PT ALN sebagai imbalan penyerahan 75 hektar lahannya. Namun, janji itu palsu, dan Dahwas hanya menerima gaji tiga bulan selama tujuh tahun. Pihak manajemen perusahaan kemudian menyangkal janji tersebut, mengklaimnya sebagai tanggung jawab pribadi Humas lama, meskipun Dahwas berargumen bahwa ia berurusan dengan perwakilan resmi perusahaan.
Eksploitasi berlanjut ketika Dahwas dan keluarganya dipaksa menandatangani perjanjian penyelesaian pada September 2023. Istrinya, Aini, mendesak suaminya untuk menandatangani karena takut Dahwas dipenjara atau anak-anaknya ditangkap jika ia menolak. Perlu ditekankan bahwa Dahwas dan Aini buta huruf dan tidak memahami isi perjanjian tersebut. Perjanjian itu menetapkan mereka sebagai karyawan dengan upah minimum (UMP) yang tidak mencukupi untuk menopang 13 anggota keluarganya dan sering dibayar terlambat. Lebih jauh, perjanjian tersebut secara tegas melarang klaim lahan di masa depan dan melarang penghalangan pekerjaan perusahaan seumur hidup.
Pola yang serupa dialami Mugiono, yang klaim kompensasi atas 90 hektar lahannya belum diselesaikan selama 11 tahun. Ia melaporkan bahwa kompensasi untuk 76.5 hektar lahannya salah dibayarkan kepada individu lain. Upaya penyelesaian terhambat oleh pergantian manajemen PT ALN yang sering, di mana setiap manajer baru mengklaim masalah tersebut adalah tanggung jawab manajer sebelumnya. Kasus-kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan merupakan bukti kegagalan sistematis untuk melindungi masyarakat adat dari kontrak legal yang bersifat eksploitatif. Praktik janji palsu, koersi, dan pengalihan tanggung jawab korporasi menunjukkan sebuah strategi yang mengandalkan kelemahan hukum dan ketidakpahaman adat terhadap sistem legal formal untuk mencapai pengambilalihan lahan secara legal namun tidak adil.
Dampak Ekologi-Ekonomi: Hilangnya Sumber Madu Sialang
Konversi ribuan hektar hutan menjadi perkebunan karet oleh PT ALN menimbulkan dampak ekologis yang berantai. Konversi ini menghancurkan pohon-pohon endemik yang penting, seperti kedondong, keruing, pulai, dan kempas, yang merupakan habitat utama bagi lebah madu sialang (tualang). Madu sialang adalah sumber pendapatan berkelanjutan yang telah lama diandalkan oleh Orang Rimba. Hilangnya pohon-pohon ini secara drastis mengurangi produksi madu, memaksa komunitas beralih dari ekonomi subsisten berbasis hasil hutan non-kayu yang berkelanjutan menuju ketergantungan pada upah buruh korporasi yang rendah dan tidak pasti. Perubahan drastis ini meningkatkan kerentanan mereka terhadap kemiskinan dan masalah gizi.
Tabel IV.1: Rangkuman Kasus Konflik Lahan Utama (SAD Batin 9 vs. PT ALN)
Warga SAD | Luas Lahan yang Terdampak | Bentuk Eksploitasi | Dampak |
Dahwas | 75 Ha + 35 Ha | Janji kompensasi palsu, kontrak koersif seumur hidup, eksploitasi buta huruf | Kehilangan hak adat permanen, dipaksa menjadi buruh upah rendah. |
Mugiono | 90 Ha | Kompensasi tertunda 11 tahun, pembayaran salah sasaran, dalih konservasi | Ketidakpastian hak atas tanah, kerugian finansial, hambatan birokrasi internal korporasi. |
Tantangan Kesehatan dan Gizi Buruk
Orang Rimba menghadapi masalah kesehatan yang parah. Malnutrisi parah (gizi buruk) dan infeksi saluran pernapasan, seperti radang paru-paru, sering diidap oleh bayi Orang Rimba. Sebagai contoh, bayi Betumpal (1.5 tahun) memiliki berat badan hanya 7.5 kilogram, jauh di bawah berat ideal 15 kilogram untuk usianya, yang menunjukkan gangguan pertumbuhan kronis.
Ironisnya, upaya intervensi kesehatan modern sering kali terhambat oleh kurangnya sensitivitas budaya. Ketika Betumpal dirawat di rumah sakit, makanan standar yang disediakan (daging dan ikan) dianggap pantang (hopi) oleh Orang Rimba. Penolakan ini menunjukkan bahwa layanan kesehatan yang standar dan tidak kontekstual gagal pada titik kritis, yang justru memperburuk masalah gizi buruk. Intervensi medis hanya dapat diterima ketika pihak rumah sakit menawarkan alternatif yang sesuai dengan diet adat, seperti susu kedelai. Hal ini memperjelas bahwa penanggulangan masalah kesehatan pada Orang Rimba memerlukan reformasi total yang mengakui dan menghormati tabu diet adat.
Intervensi Pembangunan dan Politik Ruang Hidup
Kebijakan Asimilasi Pemerintah: Evaluasi Program PKMT
Kebijakan pembangunan pemerintah yang menargetkan kelompok adat terpencil, seperti Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT), bertujuan untuk memukimkan SAD dalam satu lokasi agar mencapai stabilisasi sosial dan ekonomi. Namun, pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa pola hidup nomaden adalah “masalah sosial,” sebuah pandangan yang kontradiktif dengan mekanisme adaptif budaya mereka. Akibatnya, upaya pembinaan sering menemui frustrasi karena masyarakat SAD masih banyak yang nomaden dari satu hutan ke hutan lain, sehingga keberadaan mereka sulit diidentifikasi secara keseluruhan. Kebijakan yang memaksa adaptasi terhadap sistem sosial yang berbeda telah mempersulit banyak Orang Rimba untuk mempertahankan identitas kultural mereka.
Peran NGO dalam Advokasi Hak (Studi Kasus KKI WARSI)
Lembaga swadaya masyarakat, khususnya Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, memainkan peran vital dalam advokasi dan penyediaan layanan yang berupaya menghormati jati diri Orang Rimba. Program KKI WARSI berfokus pada perlindungan hak-hak Orang Rimba terhadap sumber daya alam dan fasilitasi akses pembangunan yang sesuai dengan identitas mereka.
Capaian program KKI WARSI (mencakup periode 2017-2022 dan berkelanjutan) meliputi:
- Peningkatan Layanan Hidup: Fasilitasi akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan pemerintah dasar. Layanan kesehatan dasar telah berjalan reguler melalui kerja sama dengan Puskesmas setempat.
- Pendidikan Alternatif: KKI WARSI berhasil menjalankan kegiatan pendidikan alternatif yang sudah berlangsung sejak 1998.
- Advokasi Spasial: Berhasil mendorong penyesuaian zonasi Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) agar sesuai dengan adat dan tata ruang tradisional Orang Rimba.
- Pengakuan Ruang Hidup: Berhasil mendorong pengakuan dan perlindungan dalam bentuk Kemitraan Kehutanan di kawasan konsesi HTI. Advokasi untuk pengakuan resmi Hutan Adat terus berlanjut, dengan 12 berkas usulan pengakuan Hutan Adat di Jambi telah diserahkan kepada Kementerian Kehutanan. Hutan Adat diyakini sebagai identitas budaya, sumber spiritual, dan penopang ekonomi utama bagi masyarakat.
Dinamika Partisipasi Politik Formal
Dalam konteks demokrasi formal, peran Temenggung sangat menentukan. Temenggung mampu mendorong kesadaran dan keterlibatan politik masyarakat Orang Rimba, seperti dalam pemilihan kepala daerah. Namun, peningkatan jumlah pemilih dari komunitas ini masih dihadapkan pada tantangan besar, termasuk literasi politik yang rendah, akses informasi yang terbatas, dan dominasi struktur sosial adat yang kuat.
Keterbatasan ini berarti bahwa Temenggung menjadi satu-satunya saluran efektif untuk mengintegrasikan Orang Rimba ke dalam proses politik negara. Kepemimpinan adat ini harus didukung melalui pendidikan politik yang kontekstual oleh pemerintah dan lembaga terkait. Tanpa pemanfaatan otoritas Temenggung, upaya politik formal akan dianggap asing dan diabaikan, memperkuat jurang pemisah antara nilai-nilai adat dan sistem negara.
Kesimpulan
Sintesis Ancaman terhadap Keberlanjutan Budaya dan Ekologi
Orang Rimba di Sumatera menghadapi krisis eksistensial yang disebabkan oleh tekanan eksternal dan kebijakan pembangunan yang kontradiktif. Di satu sisi, ekspansi korporasi dan deforestasi merampas ruang hidup, merusak mekanisme ekonomi berkelanjutan (misalnya, hilangnya madu sialang), dan mengekspos mereka pada eksploitasi sistematis melalui kontrak yang tidak adil. Di sisi lain, kebijakan negara (PKMT) berupaya menghilangkan identitas budaya dan mekanisme koping sosial esensial mereka, seperti tradisi Melangun, dengan memaksa mereka menetap. Keberlanjutan budaya mereka tidak dapat dipisahkan dari keberlanjutan ekosistem hutan yang mereka huni.
VI.2. Rekomendasi Kebijakan Inklusif Berbasis Hak Adat
Berdasarkan analisis krisis struktural dan budaya yang dihadapi Orang Rimba, direkomendasikan empat langkah kebijakan mendesak:
- Pengakuan dan Perlindungan Hutan Adat: Pemerintah harus segera mempercepat proses pengesahan 12 berkas usulan Hutan Adat di Jambi. Pengakuan formal atas Hutan Adat sangat penting untuk memberikan kepastian hukum atas ruang hidup, yang merupakan landasan identitas spiritual, budaya, dan ekonomi mereka. Pembangunan harus diarahkan berbasis hutan adat, bukan pemukiman paksa.
- Audit Konflik Lahan dan Penegakan Hukum yang Tegas: Diperlukan audit independen dan menyeluruh terhadap izin konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah adat, seperti yang melibatkan PT ALN. Penegakan hukum yang ketat harus diterapkan terhadap praktik penipuan, koersi, dan eksploitasi terhadap warga adat yang buta huruf, memastikan penyelesaian konflik yang transparan dan kompensasi yang adil, sebagaimana diamanatkan oleh pentingnya penegakan hukum dalam mengatasi deforestasi dan konflik lahan.
- Reformasi Layanan Kesehatan Berbasis Budaya: Layanan kesehatan publik harus mengadopsi pendekatan yang kontekstual dan sensitif terhadap budaya. Petugas medis harus dilatih untuk memahami dan menghormati pantang diet Orang Rimba, serta mengintegrasikan pengetahuan tradisional tentang fasilitas kelahiran (Tanah Peranaon) dan ramuan adat ke dalam sistem layanan primer, memastikan intervensi medis tidak bertentangan dengan kebutuhan spiritual dan sosial komunitas.
- Pemberdayaan Melalui Otoritas Adat: Program pemberdayaan sosial, ekonomi, dan pendidikan politik harus disalurkan melalui legitimasi Temenggung. Pemanfaatan otoritas adat ini akan meningkatkan efektivitas program, mengatasi masalah literasi politik, dan mendukung inisiatif ekonomi yang sudah ada, terutama yang berbasis pada restorasi dan pemanfaatan berkelanjutan hasil hutan non-kayu (seperti madu sialang) untuk memulihkan mata pencaharian yang hilang [16].