Indonesia diakui secara global sebagai salah satu negara dengan kekayaan linguistik dan hayati yang paling melimpah. Nusantara memiliki setidaknya 718 bahasa daerah yang teridentifikasi, sebuah angka yang menempatkan Indonesia sebagai negara kedua paling beragam secara linguistik di dunia, setelah Papua Nugini. Kekayaan ini berfungsi sebagai pilar utama identitas budaya dan kekayaan intelektual bangsa.

Namun, keragaman yang luar biasa ini berada di bawah ancaman serius, sejalan dengan tren krisis bahasa minoritas secara global. Secara dunia, hampir 44,25% dari 7.164 bahasa yang tercatat dinyatakan terancam punah karena terus berkurangnya jumlah penutur. Di tingkat nasional, Indonesia menduduki posisi yang mengkhawatirkan sebagai negara dengan jumlah bahasa daerah terancam punah terbanyak. Implikasi dari hilangnya satu bahasa jauh melampaui masalah komunikasi; hal ini merupakan erosi substansial terhadap warisan budaya dan pengetahuan lokal yang tidak ternilai, termasuk tradisi lisan dan kearifan tentang obat-obatan herbal yang diwariskan secara lisan. Oleh karena itu, krisis linguistik ini memiliki dampak yang luas terhadap kekayaan intelektual kolektif bangsa.

Klarifikasi Terminologi: Batasan Kritis Punah Absolut vs. Kepunahan Fungsional

Untuk memetakan dan mengukur tingkat ancaman, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) menggunakan kerangka kerja vitalitas yang diadopsi dari model UNESCO, yang mengklasifikasikan status bahasa dari Aman (Safe), Rentan (Vulnerable), hingga Punah (Extinct).

Status Punah Absolut (Extinct) didefinisikan secara sosiolinguistik sebagai kondisi di mana fungsi bahasa sebagai alat komunikasi utama terhenti dan, yang paling krusial, kegagalan transmisi antargenerasi menyebabkan tidak ditemukan lagi penutur aktif (zero speakers). Bahasa-bahasa yang berada dalam kategori mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis—dikenal sebagai Model C—adalah yang paling mendesak untuk ditangani, ditandai oleh jumlah penutur yang sedikit dan sebaran geografis yang terbatas.

Krisis linguistik yang dominan di Pulau Sumatra sebagian besar mengambil bentuk Kepunahan Fungsional. Kepunahan fungsional berarti bahwa bahasa tersebut secara nominal masih ada, tetapi telah kehilangan fungsi esensialnya sebagai  Bahasa Pertama (L1) yang secara alami diwariskan dari orang tua kepada anak-anak. Pergeseran bahasa (language shift) dari L1 ke Bahasa Indonesia ini merupakan indikasi sosiologis yang mendalam dari sebuah krisis. Jika transmisi L1 tidak dipulihkan, tahapan fungsional ini akan menjadi pendahulu yang tak terhindarkan menuju kepunahan total.

Analisis Kontras Regional: Resiliensi Demografis Sumatra terhadap Keruntuhan Total

Meskipun Indonesia menduduki peringkat teratas dalam ancaman kepunahan, krisis ini tidak tersebar merata. Perlu ditegaskan bahwa hingga data terkini, tidak ada bahasa daerah di Pulau Sumatra yang secara resmi dinyatakan punah total (zero speakers). Pulau Sumatra sendiri memiliki setidaknya 26 bahasa daerah yang teridentifikasi.   Sebaliknya, kepunahan total terkonsentrasi di Indonesia bagian timur. Provinsi Maluku merupakan  hotspot kepunahan, dengan delapan bahasa daerah yang telah dinyatakan punah, termasuk Bahasa Kajeli, Bahasa Hukumina, Bahasa Piru, dan Bahasa Nila.

Perbedaan ini menunjukkan adanya dua mekanisme krisis yang berbeda. Kepunahan di Maluku disebabkan oleh kerentanan ganda: kerentanan demografis absolut (populasi penutur yang sangat kecil) dan kerentanan geografis (sebaran terbatas di wilayah kepulauan terpencil). Krisis ini bersifat kuantitatif, di mana keruntuhan populasi yang mendadak akibat faktor eksternal (migrasi, tekanan ekonomi, atau konflik) menghilangkan bahasa tersebut sepenuhnya karena tidak adanya populasi cadangan yang memadai. Ini merupakan kerentanan khas yang dihadapi oleh Small Island Developing States (SIDS) linguistik.

Kondisi Sumatra, di sisi lain, menunjukkan resiliensi struktural terhadap keruntuhan total karena populasi penutur yang jauh lebih besar dan tersebar. Namun, Sumatra rentan terhadap  homogenisasi linguistik yang berjalan perlahan melalui pergeseran fungsional ke Bahasa Indonesia, didorong oleh tekanan sosio-ekonomi dan urbanisasi. Dengan demikian, krisis Maluku bersifat kuantitatif (kehilangan keberadaan), sementara krisis Sumatra bersifat kualitatif (kehilangan fungsi). Pemahaman ini penting karena menuntut implikasi kebijakan yang berbeda: kebijakan di Sumatra harus fokus pada penciptaan insentif fungsional yang dapat bersaing dengan Bahasa Indonesia, sementara di Maluku, fokusnya adalah dokumentasi mendesak dan upaya rekonstruksi.

Kontras Mekanisme Ancaman Linguistik: Sumatra vs. Maluku

Kawasan Status Kepunahan Utama Faktor Kausatif Dominan Mekanisme Krisis Implikasi Kebijakan
Maluku (Timur) Punah (Extinct) Kerentanan Demografis Absolut (Populasi kecil, terisolasi) Keruntuhan total komunitas penutur Dokumentasi mendesak dan rekonstruksi.
Sumatra (Barat) Mengalami Kemunduran (Definitely Endangered) Kegagalan Transmisi Intergenerasional (Tekanan sosio-ekonomi/urbanisasi) Pergeseran Bahasa (Language Shift) menuju Kepunahan Fungsional Penciptaan insentif fungsional dan restorasi L1 di keluarga.

Peta Ancaman Fungsional: Mengidentifikasi Bahasa Daerah Kritis di Sumatra

Meskipun keragaman linguistik Sumatra (mencakup Aceh, kelompok Batak, Minangkabau, Melayu, Lampung, Gayo, Rejang, Kerinci, dan Komering) didominasi oleh bahasa-bahasa yang berstatus Aman, ancaman kepunahan fungsional telah mencapai tingkat kritis pada beberapa bahasa.

Profil Vitalitas Kelompok Mayoritas Sumatra

Mayoritas bahasa daerah di Sumatra, seperti Bahasa Melayu Riau, Minangkabau, Batak, dan Aceh, memiliki basis demografis yang besar dan jangkauan geografis signifikan, sehingga umumnya diklasifikasikan sebagai Aman (Safe). Stabilitas ini didukung oleh basis penutur absolut yang besar dan pengakuan sosial yang kuat. Namun, Badan Bahasa mengakui bahwa tidak ada jaminan keamanan permanen, karena jumlah penutur absolut bahasa-bahasa ini terus berkurang. Oleh karena itu, mereka tetap dipertimbangkan dalam program Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD).

Studi Kasus I: Bahasa Kerinci (Jambi)

Bahasa Kerinci (dituturkan di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Jambi) merupakan contoh paling signifikan mengenai ancaman kepunahan fungsional di Sumatra. Bahasa ini diklasifikasikan oleh Badan Bahasa sebagai Mengalami Kemunduran (Definitely Endangered) , dan termasuk dalam 25 bahasa yang secara nasional dinyatakan terancam punah.

Status “mengalami kemunduran” terjadi meskipun upaya revitalisasi formal telah dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi di luar lingkungan keluarga gagal memulihkan fungsi Kerinci sebagai L1 utama. Krisis ini diperparah oleh ancaman internal yang mendalam, yaitu  sikap negatif penutur muda terhadap bahasa mereka. Penelitian akademis yang menggunakan model persamaan diferensial menunjukkan bahwa sikap negatif penutur muda ini merupakan prediktor utama kematian bahasa, karena mereka cenderung menganggap bahasa daerah “kurang relevan” atau “kuno” dalam konteks modern.

Studi Kasus II: Bahasa Melayu Sumatera Timur—Dinamika Urban dan Pergeseran Leksikal

Di kawasan urban yang heterogen seperti Medan, Sumatera Utara, telah teridentifikasi adanya pergeseran bahasa (language shift) Bahasa Melayu Sumatera Timur yang mengarah pada kepunahan fungsional. Pergeseran ini didorong oleh tekanan kuat dari Bahasa Indonesia, yang menyebabkan hilangnya penutur anak-anak.

Krisis ini menunjukkan dimensi yang lebih kompleks: kepunahan fungsional di sana juga disertai kepunahan leksikal, ditandai dengan hilangnya kosakata asli Bahasa Melayu Sumatera Timur dalam komunikasi etnis itu sendiri. Lebih lanjut, di lingkungan multilingual Medan, bahasa minoritas Melayu Sumatera Timur menghadapi kerentanan ganda: persaingan tidak hanya dari Bahasa Indonesia (bahasa nasional untuk mobilitas), tetapi juga dari bahasa mayoritas regional dominan (kelompok Bahasa Batak). Kondisi ini menunjukkan bahwa mekanisme keterdesakan yang terjadi sangat kompleks, dipercepat oleh penerimaan sosial dari penutur etnis Melayu sendiri terhadap homogenisasi linguistik dan perpindahan ke Bahasa Indonesia.

Tinjauan Bahasa Minoritas dan Low-Resources Language (LRL) Lain yang Rentan

Ancaman kepunahan fungsional juga melanda bahasa-bahasa di pulau-pulau kecil di Sumatra. Bahasa Enggano, yang dituturkan di Pulau Enggano, Bengkulu, diklasifikasikan sebagai bahasa yang mengalami kemunduran (Definitely Endangered) atau eroding. Kerentanan ini disebabkan oleh pengaruh Bahasa Indonesia yang dominan, emigrasi, dan meningkatnya perkawinan campur beda etnis.

Kasus Enggano menyoroti implikasi yang lebih luas dari krisis linguistik, yaitu hilangnya pengetahuan intelektual. Penelitian menunjukkan bahwa erosi bahasa Enggano telah mengakibatkan hilangnya pengetahuan lokal yang tak ternilai, di mana nama-nama lokal dari 76 spesies tanaman (sekitar 46% dari spesies yang teridentifikasi) yang merupakan bagian dari kearifan etnobotani setempat secara bertahap memudar. Hal ini menunjukkan bahwa keruntuhan fungsional L1 berkorelasi langsung dengan pemiskinan intelektual komunitas, mengangkat krisis ini dari masalah budaya semata menjadi masalah warisan intelektual yang kritis. Investasi dalam dokumentasi digital yang masif juga direkomendasikan untuk bahasa-bahasa minoritas lainnya di Sumatra, seperti Devayan dan Sigulai.

Mekanisme Kausalitas: Kegagalan Transmisi L1 dan Disinsentif Struktural

Kepunahan fungsional bahasa daerah di Sumatra bukan merupakan fenomena acak, tetapi didorong oleh konvergensi faktor struktural, demografis, dan sosio-ekonomi yang kompleks.

Titik Kegagalan Kritis: Terputusnya Warisan Bahasa Ibu (L1) di Lingkungan Keluarga

Titik kegagalan paling krusial adalah terputusnya transmisi intergenerasional. Secara sosiolinguistik, suatu bahasa dikategorikan mengalami kemunduran ketika “sudah tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam kelompok etnik masing-masing”.

Laporan menunjukkan bahwa anak-anak di Sumatra, terutama yang bermukim di perkotaan dan daerah rantau, sebagian besar sudah tidak mendapatkan bahasa daerah sebagai Bahasa Pertama (L1) di lingkungan keluarga, dan perannya telah digantikan oleh Bahasa Indonesia. Fenomena ini merupakan manifestasi sosiologis bahwa intervensi pendidikan di sekolah, meskipun penting, tidak dapat berfungsi sebagai pengganti bagi peran keluarga sebagai institusi transmisi L1 yang utama.

Etika Mobilitas vs. Pelestarian: Dampak The Burden Narrative

Kegagalan transmisi ini didorong oleh tekanan eksternal yang kuat yang menciptakan disinsentif struktural terhadap penggunaan bahasa daerah. Keputusan orang tua untuk tidak mewariskan L1 sering didasarkan pada perhitungan rasional mengenai mobilitas sosial dan ekonomi.

Generasi muda cenderung memandang bahasa daerah memiliki “nilai guna” yang rendah atau “kurang relevan” untuk menghadapi tantangan modern. Orang tua memprioritaskan Bahasa Indonesia agar anak-anak dapat bersaing di pasar tenaga kerja, mengakses pendidikan tinggi, dan meraih mobilitas sosial. Disinsentif ekonomi dan sosial ini menciptakan kondisi di mana bahasa daerah dipandang sebagai “beban” daripada aset di lingkungan formal, sebuah narasi yang mempercepat pergeseran bahasa. Terdapat konflik mendasar antara mandat pelestarian budaya (didukung oleh kurikulum muatan lokal) dan insentif pasar yang kuat yang mendorong penutur untuk bergeser ke Bahasa Indonesia yang sempurna. Selama bahasa lokal tidak memberikan manfaat ekonomi atau sosial yang nyata dan kompetitif di luar konteks seni budaya di sekolah, pergeseran yang didorong oleh pilihan rasional ini akan terus terjadi.

Tekanan Homogenisasi dan Faktor Struktural

Faktor struktural, seperti dominasi Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan bahasa pengantar dalam sistem pendidikan, menciptakan persaingan yang tidak seimbang. Meskipun kebijakan muatan lokal bahasa daerah diterapkan di banyak provinsi di Sumatra (misalnya, di Lampung berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 39 Tahun 2014) , kebijakan ini seringkali gagal berfungsi sebagai L1 pengganti karena tidak mengakar dalam lingkungan keluarga.

Faktor sosiologis tambahan seperti urbanisasi, globalisasi, kontak bahasa yang intensif, dan meningkatnya perkawinan silang antarpenutur bahasa daerah yang berbeda turut mempercepat penurunan vitalitas. Di kawasan multilingual, persaingan penggunaan bahasa intensif, yang sering dimenangkan oleh bahasa yang dominan secara ekonomi atau sosial, mempercepat homogenisasi linguistik.

Evaluasi Kebijakan Negara: Kinerja Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) di Sumatra

Pemerintah Indonesia, melalui Program Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD), telah meluncurkan upaya sistematis sejak 2021 untuk mengatasi krisis ini.

Kerangka Implementasi RBD dan Arah Baru

RBD berfokus pada penguatan transmisi bahasa daerah melalui jalur formal dan non-formal. Strategi utamanya meliputi transfer pengetahuan dari generasi tua (maestro) kepada guru-guru SD dan SMP, pengembangan kurikulum, pelatihan guru master, dan diakhiri dengan penyelenggaraan Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) sebagai bentuk selebrasi dan insentif emosional bagi siswa. Arah baru RBD menekankan sinergi, kemitraan, dan peningkatan prestise bahasa daerah di media serta kegiatan sosial.

Analisis Kesenjangan Fungsional dan Tantangan Struktural

Meskipun terdapat upaya yang masif, implementasi RBD di Sumatra masih menghadapi sejumlah tantangan struktural.

  1. Kesenjangan Fungsional (Performatif Preservation): Fokus utama RBD pada kegiatan sekolah dan festival (FTBI) cenderung menghasilkan pelestarian performatif (berorientasi pada seni dan pertunjukan/lomba). Upaya ini seringkali tidak efektif dalam mengatasi akar masalah kepunahan fungsional, yaitu kegagalan transmisi L1 di lingkungan keluarga.
  2. Permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM): Keterbatasan dan kualitas guru yang mengajar muatan lokal merupakan hambatan utama, menghambat transfer pengetahuan dari maestro secara efektif. Studi implementasi di Provinsi Lampung, misalnya, menyoroti minimnya tenaga pendidik bahasa Lampung yang berijazah Pendidikan Bahasa Lampung, sebuah tantangan struktural yang memerlukan pengaturan khusus.
  3. Dukungan Lokal yang Tidak Konsisten: Realitas tekanan urbanisasi dan keragaman dialek menuntut komitmen yang lebih besar dari Pemda. Meskipun Pemprov Sumut menyatakan kesiapan mendukung RBD di 33 kabupaten/kota , efektivitas implementasi jangka panjang sangat bergantung pada alokasi anggaran yang berkelanjutan dan landasan hukum yang kuat yang seringkali tidak konsisten di berbagai daerah.

Model Sukses Kebijakan Daerah: Revitalisasi Bahasa Komering (Sumatera Selatan)

Revitalisasi Bahasa Komering di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur dan OKU Selatan menunjukkan model keberhasilan yang dapat dijadikan tolok ukur di Sumatra.

Keberhasilan ini dicapai melalui dukungan politik yang kuat dan penuh dari Pemerintah Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan. Pemkab OKU Timur bahkan menerima penghargaan dari Kemendikbudristek sebagai pengakuan atas program yang dirancang secara  sistematis dan berkelanjutan.

Faktor kunci keberhasilan terletak pada institusionalisasi program, yang melampaui sekadar lomba budaya. Mekanisme implementasi sistematis meliputi: penegakan prinsip keseimbangan (Komering memperkuat identitas lokal, Bahasa Indonesia menyatukan bangsa) , integrasi Bahasa Komering sebagai mata pelajaran Muatan Lokal di sekolah , dan pengembangan Kamus Bahasa Komering yang memiliki 1.000 kosakata khas, bahkan diakui menjadi bagian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Model Komering membuktikan bahwa revitalisasi fungsional yang berkelanjutan dapat dicapai ketika pemerintah daerah menyediakan  landasan hukum yang kuat, alokasi anggaran yang memadai, dan integrasi sistematis yang mampu mengatasi hambatan struktural terkait SDM dan infrastruktur.

Peta Jalan Strategis dan Intervensi Jangka Panjang

Untuk mengatasi Kepunahan Fungsional di Sumatra, diperlukan pergeseran paradigma kebijakan dari fokus pelestarian budaya semata ke penciptaan insentif fungsional dan adopsi teknologi digital.

Rekomendasi Jangka Pendek: Penguatan Status Formal dan Hukum

Pemerintah daerah di Sumatra harus didorong untuk memberikan landasan hukum yang kuat (Perda/Pergub) dan status yang lebih tinggi kepada bahasa daerah yang terancam (seperti Kerinci, Enggano, dan dialek Melayu di kawasan urban). Landasan hukum ini harus disertai dengan alokasi anggaran yang memadai untuk mengatasi kekurangan infrastruktur dan SDM yang menjadi penghambat implementasi program secara konsisten. Prioritas kebijakan harus diarahkan secara eksplisit untuk  memulihkan fungsi L1 di lingkungan keluarga, bukan hanya intervensi di sekolah.

Menciptakan Insentif Ekonomi dan Sosial Positif di Ranah Publik

Strategi yang efektif harus berfokus pada penciptaan “nilai guna” sosial dan ekonomi yang positif bagi penutur, sehingga orang tua termotivasi untuk menggunakan bahasa daerah di rumah dan bahasa daerah dipandang sebagai aset yang kompetitif. Nilai guna ini dapat diwujudkan melalui pemanfaatan bahasa daerah dalam media lokal, layanan publik (misalnya, papan nama, informasi pariwisata), dan pengakuan formal yang meluas di luar konteks budaya.

Strategi Jangka Panjang Digital: Menangani Status Low-Resources Language (LRL)

Strategi jangka panjang harus berpusat pada pemanfaatan teknologi digital untuk memastikan bahasa daerah yang terancam punah dapat bertahan di era informasi. Tantangan struktural terbesar adalah status bahasa terancam punah sebagai low-resources language (LRLs), di mana minimnya data linguistik (korpus) menghambat pengembangan teknologi modern.

  1. Investasi Korpus Data Masif: Pendanaan wajib dialokasikan untuk proyek dokumentasi digital yang masif untuk bahasa-bahasa minoritas dan terancam punah di Sumatra (misalnya, Enggano, Devayan, Sigulai). Pembangunan korpus bahasa yang kaya ini adalah  prasyarat absolut untuk mengatasi status LRL, yang sangat penting mengingat bahasa Batak Simalungun telah memulai pengembangan korpus berbasis web untuk pelestarian dan penyusunan kamus.
  2. Integrasi Teknologi Kecerdasan Buatan (AI) Fungsional: Pengembangan dan implementasi alat terjemahan otomatis berbasis AI, seperti Neural Machine Translation (NMT), harus dilanjutkan, terutama untuk pasangan bahasa Sumatra-Indonesia. Badan Bahasa telah menginisiasi program Vitalitas Bahasa (VIBA), yang memanfaatkan teknologi pengenalan suara (Speech Recognition) dan Chatbot untuk mendokumentasikan dan memverifikasi vitalitas bahasa daerah dengan mengumpulkan umpan suara dan mengolahnya menjadi data linguistik. Pemanfaatan teknologi ini bertujuan untuk memperluas penggunaan fungsional bahasa daerah di platform digital modern, media, dan layanan publik.

Status Ancaman Kritis Bahasa Daerah Kunci di Sumatra (2024)

Bahasa Daerah Provinsi Klasifikasi Vitalitas Terkini Implikasi Terhadap Kepunahan Fungsional Faktor Kausatif Spesifik
Kerinci Jambi Mengalami Kemunduran (Definitely Endangered) Berisiko tinggi akibat kegagalan transmisi L1 di keluarga. Sikap negatif penutur muda dan disinsentif ekonomi
Melayu Sumatera Timur Sumatera Utara Rentan / Pergeseran (Language Shift) Kepunahan leksikal dan pergeseran total ke Bahasa Indonesia di lingkungan urban Medan. Tekanan ganda dari Bahasa Indonesia dan lingua franca regional (Batak)
Enggano Bengkulu Mengalami Kemunduran (Definitely Endangered) Krisis linguistik yang berimplikasi pada hilangnya pengetahuan lokal (etnobotani). Pengaruh Bahasa Indonesia, emigrasi, dan perkawinan campur
Komering Sumatera Selatan Aman (Dipertahankan melalui Revitalisasi) Model kebijakan sukses, menunjukkan revitalisasi fungsional berkelanjutan dapat dicapai. Dukungan politik lokal yang sistematis dan insentif formal

Kesimpulan

Krisis linguistik di Pulau Sumatra adalah krisis kualitatif yang mengarah pada kepunahan fungsional, berbeda dengan kepunahan absolut yang terpusat di wilayah timur Indonesia. Meskipun tidak ada bahasa daerah di Sumatra yang punah total (zero speakers), bahasa-bahasa seperti Bahasa Kerinci, Bahasa Enggano, dan dialek Melayu Sumatera Timur berada pada tahap kritis (Mengalami Kemunduran) akibat pergeseran bahasa yang cepat.

Pergeseran ini didorong oleh disinsentif struktural sosio-ekonomi yang kuat, di mana tuntutan mobilitas dan pasar tenaga kerja mendorong orang tua untuk memprioritaskan Bahasa Indonesia, menyebabkan bahasa daerah dipandang sebagai beban daripada aset oleh generasi muda.

Pelindungan keragaman linguistik Sumatra menuntut perubahan fokus dari pelestarian performatif yang berpusat di sekolah menjadi revitalisasi fungsional yang berakar di lingkungan keluarga dan didukung oleh kebijakan publik yang menciptakan nilai guna yang positif.

Rekomendasi Kebijakan Utama:

  1. Institusionalisasi Revitalisasi (Model Komering): Pemerintah daerah harus mencontoh keberhasilan model Komering dengan memberikan landasan hukum yang kuat (Perda/Pergub), status formal yang lebih tinggi, dan alokasi anggaran yang memadai, memastikan bahasa daerah menjadi bagian sistematis dari tata kelola daerah, bukan sekadar program budaya insidental.
  2. Restorasi Transmisi L1: Kebijakan harus secara eksplisit menciptakan insentif sosial dan ekonomi (misalnya melalui media dan layanan publik lokal) yang memotivasi orang tua untuk menggunakan bahasa daerah sebagai L1 di rumah, mengatasi akar masalah kegagalan transmisi intergenerasional.
  3. Prioritas Digitalisasi Data (Korpus): Sebagai prasyarat absolut untuk integrasi AI fungsional, wajib didanai proyek dokumentasi digital masif untuk mengatasi status low-resources language bagi bahasa-bahasa minoritas dan terancam punah di Sumatra. Inisiatif VIBA oleh Badan Bahasa harus diperluas untuk mengumpulkan dan memproses data linguistik yang cukup untuk pengembangan alat terjemahan otomatis berbasis AI (Neural Machine Translation) yang akurat.

Dengan langkah-langkah konkret yang berfokus pada insentif fungsional dan pemanfaatan infrastruktur digital, bahasa daerah di Sumatra dapat dipertahankan di tengah arus dominasi bahasa global dan nasional, sekaligus melindungi warisan budaya dan pengetahuan intelektual bangsa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

26 − = 16
Powered by MathCaptcha