Akar Konseptual: Dari Kerangka Konvensi hingga Penetapan Harga Karbon

Perdagangan karbon (carbon trading) adalah instrumen kebijakan berbasis pasar yang dirancang untuk mengatasi krisis perubahan iklim dengan memberikan harga moneter pada emisi gas rumah kaca (GRK). Akar konseptualnya tertanam kuat dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yang dicetuskan di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Konvensi ini berhasil meratifikasi 198 Negara Pihak (Parties) dan menjadi kerangka kerja multilateral pertama untuk menangani isu iklim secara global, dengan Sekretariat UNFCCC berlokasi di Bonn, Jerman.

Secara filosofis, perdagangan karbon berupaya menginternalisasi apa yang secara ekonomi dikenal sebagai eksternalitas negatif, yaitu biaya pencemaran yang biasanya ditanggung oleh masyarakat umum. Dengan menetapkan harga pada emisi GRK, mekanisme ini mendorong pelaku pasar—industri, perusahaan, dan negara—untuk mencari solusi mitigasi yang paling efisien dan paling murah untuk mengurangi jejak karbon mereka. Ini menempatkan insentif pasar sebagai motor penggerak perubahan perilaku lingkungan.

Arsitektur Awal: Protokol Kyoto dan Tiga Mekanisme Pasar

Langkah nyata pertama dalam menciptakan pasar karbon terjadi di bawah Protokol Kyoto (KP). Protokol ini mewajibkan Negara Pihak Annex I (negara-negara maju) untuk memenuhi target emisi wajib. Untuk membantu mereka mencapai target ini, KP memperkenalkan tiga mekanisme berbasis pasar yang membentuk pasar karbon awal. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan bahwa mitigasi dapat dilakukan di mana pun biayanya paling rendah, sehingga menghasilkan pengurangan emisi global secara keseluruhan yang paling hemat biaya.

Ketiga mekanisme tersebut adalah Clean Development Mechanism (CDM), Joint Implementation (JI), dan Emissions Trading (ET). CDM khususnya, memainkan peran kunci, memungkinkan negara maju berinvestasi dalam proyek pengurangan emisi atau peningkatan penyerapan di negara berkembang (Non-Annex I). Selain menghasilkan unit kredit (disebut Certified Emission Reductions atau CERs), proyek-proyek CDM juga ditujukan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan di negara tuan rumah. Mekanisme ini diawasi oleh Badan Eksekutif CDM dan memerlukan persetujuan dari Otoritas Nasional yang Ditunjuk (DNA) negara tuan rumah. Pada periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008–2012), CDM telah mendaftarkan lebih dari 1.650 proyek dan diperkirakan menghasilkan lebih dari 2.9 miliar ton setara  CO2​ (CERs). Penting untuk dicatat bahwa penggunaan mekanisme pasar ini ditekankan bersifat tambahan (supplemental) terhadap tindakan mitigasi domestik yang dilakukan oleh negara maju.

Transisi ke Perjanjian Paris: Universalitas NDC dan LTS-LED

Meskipun Protokol Kyoto berhasil membangun fondasi pasar karbon, sistemnya dikritik karena cakupannya yang terbatas dan terutama, integritas lingkungan yang dipertanyakan. Kritik luas yang muncul mengenai kurangnya additionality pada banyak proyek CDM—bahwa pengurangan emisi yang diklaim akan terjadi bahkan tanpa pendanaan karbon—telah merusak kredibilitas pasar. Kegagalan historis ini adalah penyebab utama mengapa Perjanjian Paris (PA) harus merombak total mekanisme pasar.

Perjanjian Paris (2015) menandai pergeseran paradigma dari sistem top-down yang hanya menargetkan negara maju menjadi kerangka kerja universal yang didorong oleh Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) oleh setiap Negara Pihak. Pasal 4.19 Perjanjian Paris lebih lanjut mewajibkan Negara Pihak untuk merumuskan Strategi Jangka Panjang Pembangunan Rendah Emisi GRK (LTS-LED). Strategi ini, seperti Indonesia LTS-LCCR 2050, berfungsi sebagai target iklim jangka panjang nasional, mengintegrasikan tujuan pengurangan emisi ke dalam perencanaan ekonomi dan pembangunan. Keberhasilan perdagangan karbon di masa depan tidak hanya bergantung pada volume transaksinya, tetapi pada kualitas (verifikasi dan integritas) dari kredit yang diperdagangkan, yang kini menjadi fokus utama Perjanjian Paris, khususnya melalui Mekanisme Pasal 6.4.

Struktur dan Mekanisme Pasar Karbon Kontemporer

Bifurkasi Pasar: Kepatuhan (Compliance) vs. Sukarela (Voluntary)

Pasar karbon modern terbagi menjadi dua kategori utama, masing-masing didorong oleh motif regulasi yang berbeda. Pasar Karbon Kepatuhan (Mandatory): Pasar ini beroperasi atas dasar kewajiban hukum yang ditetapkan oleh pemerintah atau otoritas regional (misalnya, EU ETS). Pasar kepatuhan secara khusus menargetkan entitas penghasil emisi terbesar dan paling intensif energi, seperti pembangkit listrik, kilang minyak, pabrik pulp, kertas, semen, baja, dan besi. Tujuan utama dari pasar kepatuhan adalah memastikan bahwa negara atau wilayah yang bersangkutan mencapai target pengurangan emisi wajib yang ditetapkan dalam NDC mereka.

Pasar Karbon Sukarela (Voluntary): Pasar ini didorong oleh inisiatif sukarela dari perusahaan (blue-chip companies), kantor pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau bahkan individu. Pembeli di pasar sukarela bertujuan untuk bertanggung jawab atas jejak karbon mereka, sering kali sebagai bagian dari strategi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) atau klaim netralitas karbon. Meskipun beroperasi secara sukarela, pasar ini berfungsi sebagai sumber pendanaan penting bagi proyek mitigasi yang mungkin tidak tercakup dalam pasar kepatuhan dan dianggap penting untuk mempercepat transisi menuju masa depan rendah karbon.

Sistem Perdagangan Emisi (ETS) dan Kredit Karbon

Terdapat dua mekanisme utama dalam sistem perdagangan emisi global:

  1. Model Cap-and-Trade: Dalam sistem ini, otoritas menetapkan batas absolut (cap) pada total emisi yang diizinkan dalam suatu sistem (yurisdiksi). Izin emisi (allowances) yang setara dengan batas ini kemudian didistribusikan kepada entitas yang diatur, seringkali melalui pelelangan atau alokasi gratis. Entitas yang emisinya melebihi batas harus membeli  allowances dari entitas yang berkinerja lebih baik, dan sebaliknya. Model ini menawarkan kepastian lingkungan yang lebih tinggi karena batas emisi total bersifat mutlak.
  2. Model Baseline-and-Credit: Dalam model ini, tingkat emisi dasar (baseline) ditentukan untuk setiap entitas yang diatur. Entitas yang berhasil mengurangi emisinya di bawah tingkat baseline akan diberikan kredit. Kredit ini kemudian dapat dijual kepada entitas lain yang melebihi tingkat baseline mereka. Model  Baseline-and-Credit cenderung lebih efektif dalam mendorong efisiensi individu dalam berbagai jenis industri, sementara model Cap-and-Trade lebih kuat dalam mencapai target pengurangan agregat yang terjamin.

Perbandingan Mekanisme Pasar Karbon Utama

Kriteria Pasar Kepatuhan (Mandatory/ETS) Pasar Sukarela (Voluntary)
Pendorong Kewajiban Hukum (NDC) Tanggung Jawab Korporat/ESG
Target Utama Sektor intensif energi (pembangkit listrik, semen) Perusahaan blue-chip, LSM, individu
Model Utama Cap-and-Trade atau Baseline-and-Credit Baseline-and-Credit (Proyek Offset)
Tujuan Primer Memastikan pencapaian target emisi nasional Klaim netralitas karbon dan pendanaan proyek

Prinsip Integritas Lingkungan: Additionality sebagai Ujian Mutlak

Integritas pasar karbon, baik kepatuhan maupun sukarela, sangat bergantung pada prinsip additionality (adisionalitas). Kredit karbon dianggap valid hanya jika pengurangan emisi yang dihasilkan adalah “tambahan”—artinya, reduksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya insentif finansial yang diberikan melalui perdagangan karbon. Ini adalah fondasi etika dan integritas pasar.

Apabila standar additionality ini lemah, risiko greenwashing meningkat secara dramatis. Greenwashing terjadi ketika entitas industri terus mencemari lingkungan, tetapi membeli kredit murah untuk mengklaim tindakan iklim di atas kertas, sehingga mengurangi tekanan nyata untuk transisi energi. Oleh karena itu, integritas pasar juga bergantung pada kerangka Pengukuran, Petulisan, dan Verifikasi (MRV) yang kuat dan independen.

Kesenjangan standar antara pasar sukarela (VCM) dan pasar kepatuhan (yang didorong oleh standar Pasal 6 Perjanjian Paris) menimbulkan tantangan. Meskipun pasar sukarela dan pasar kepatuhan memiliki tujuan yang terpisah, tekanan global untuk mencapai NDC dan tuntutan Environmental, Social, and Governance (ESG) korporat akan mendorong konvergensi standar. Jika kredit VCM tidak memenuhi standar additionality dan MRV yang ketat sebagaimana yang disyaratkan oleh Mekanisme Kredit Perjanjian Paris (PACM) di bawah Pasal 6.4 , klaim  offset korporat berisiko dicap sebagai greenwashing, yang akan mengurangi legitimasi pasar secara keseluruhan.

Analisis Dampak dan Isu Kritis (Dampak)

Efektivitas Mitigasi dan Risiko Lingkungan

Perdagangan karbon memiliki potensi signifikan sebagai katalisator pembangunan berkelanjutan. Dengan mengarahkan investasi ke proyek mitigasi dan penyerapan (terutama dalam sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lain/FOLU), pasar karbon dapat memonetisasi upaya mitigasi, menciptakan kemaslahatan lingkungan, dan memberdayakan ekonomi lokal.

Namun, tanpa regulasi yang ketat dan pengawasan yang kuat, efektivitas mitigasi dapat tergerus oleh greenwashing dan masalah tata kelola. Organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, Greenpeace, dan AMAN telah secara terbuka memperingatkan bahwa perdagangan karbon dapat berfungsi sebagai alat untuk mengklaim tindakan iklim tanpa menghasilkan pengurangan emisi yang nyata. Permasalahan ini menuntut adanya standar internasional yang ketat dan mekanisme verifikasi independen untuk memastikan transparansi dan integritas. Selain itu, proyek karbon harus mengatasi isu teknis seperti leakage (pergeseran emisi) dan memastikan permanence (keberlanjutan penyerapan karbon dalam jangka panjang).

Dampak Ekonomi dan Tata Kelola Pasar

Di Indonesia, pasar karbon telah menunjukkan vitalitas ekonomi awal. Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) telah mencatat volume perdagangan unit karbon sebesar lebih dari 1.6 juta ton CO2​ e dengan nilai perdagangan melampaui IDR 78.4 Miliar. Data ini, yang mencakup 8 Proyek Satuan Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK) dan 132 entitas pengguna jasa, mengindikasikan potensi besar monetisasi mitigasi di Indonesia.

Skala potensi ekonomi pasar karbon terbukti dari pasar yang lebih mapan, seperti China, yang mencatat nilai perdagangan mencapai Rp 2 Triliun hanya dalam empat bulan. Untuk merealisasikan potensi ini di Indonesia, kejelasan regulasi menjadi prasyarat mutlak. Komisi XI DPR RI telah mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk segera menyelesaikan aturan dan pedoman mengenai kriteria kelayakan kredit karbon, standar verifikasi, prosedur perdagangan, dan infrastruktur teknis yang aman untuk menangani volume transaksi tinggi. Secara paralel, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus memastikan integritas data registrasi untuk membangun kepercayaan di pasar. Kegagalan dalam menjamin integritas data dan kerangka hukum yang jelas dapat menghambat investasi dan likuiditas pasar.

Keadilan Sosial, Akses, dan Kesenjangan Tata Kelola

Isu keadilan sosial merupakan dimensi kritis yang menentukan keberlanjutan jangka panjang proyek karbon. Para kritikus, termasuk aktivis lingkungan, berpendapat bahwa tanpa jaminan yang ketat, perdagangan karbon berisiko memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada. Dalam situasi di mana akses pembiayaan sulit, pemenang sejati di pasar ini cenderung adalah entitas yang sudah menguasai konsesi lahan dan memiliki hubungan erat dengan elit politik atau militer.

Jika dana karbon hanya memperkaya elit pemegang konsesi—sebagaimana diperingatkan oleh AMAN dan WALHI—legitimasi sosial pasar akan hilang. Hal ini dapat memicu konflik sosial yang pada gilirannya dapat menggagalkan proyek mitigasi berbasis lahan jangka panjang. Proyek mitigasi, khususnya di sektor FOLU, memerlukan komitmen permanen puluhan tahun. Jika penyiapan proyek awal menghasilkan konflik sosial karena pembagian manfaat yang tidak adil, proyek tersebut berisiko gagal (misalnya, melalui deforestasi yang disebabkan oleh perlawanan masyarakat lokal), yang secara langsung merusak integritas lingkungan dari kredit yang diperdagangkan. Oleh karena itu, memastikan pembagian manfaat yang adil bagi komunitas lokal dan pencegahan perdagangan spekulatif adalah kunci untuk menjaga integritas sosial pasar.

Di tingkat global, negara berkembang juga menghadapi tantangan serius, termasuk keterbatasan infrastruktur dan sumber daya untuk berpartisipasi secara efektif dalam pasar global yang menuntut standar MRV yang rumit. Dukungan teknis dan finansial dari negara-negara maju sangat diperlukan untuk membangun kapasitas ini.

Pemetaan Pihak Terkait dan Peran Kunci

Entitas Pemerintah dan Regulator Domestik

Tata kelola pasar karbon Indonesia melibatkan sinergi antara regulator keuangan dan regulator lingkungan:

  • Otoritas Jasa Keuangan (OJK): Bertindak sebagai regulator sektor keuangan, bertanggung jawab atas bursa karbon. Tugasnya adalah menyelesaikan aturan tentang pedoman bursa, kriteria kelayakan kredit, dan membangun infrastruktur teknis perdagangan yang aman untuk volume transaksi yang tinggi.
  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK): Merupakan pemegang otoritas registrasi proyek dan penjamin integritas data lingkungan. KLHK harus memastikan integritas data yang akurat untuk membangun kepercayaan di pasar pertukaran karbon, termasuk kepatuhan terhadap peraturan terkait.
  • IDXCarbon: Berfungsi sebagai fasilitator pasar resmi, menyediakan platform terpusat untuk transaksi. IDXCarbon telah mencatatkan 8 SPE-GRK dan melayani 132 entitas pengguna jasa.

Pelaku Pasar Utama

Terdapat tiga kategori utama pelaku pasar yang mendorong aktivitas perdagangan:

  1. Penghasil Emisi (Pembeli Kepatuhan): Perusahaan yang diwajibkan oleh regulasi untuk mengelola emisi mereka (misalnya, sektor pembangkit listrik, logam, dan semen). Mereka adalah konsumen utama  allowance dan kredit kepatuhan. Sejumlah enam perusahaan telah tercatat terlibat di pasar karbon awal Indonesia.
  2. Pengembang Proyek Mitigasi (Penjual Unit Karbon): Entitas yang melaksanakan proyek pengurangan atau penyerapan emisi yang terverifikasi (misalnya, proyek FOLU atau energi terbarukan) dan menjual unit karbon yang dihasilkan. Mereka harus memastikan proyeknya memenuhi kriteria  additionality yang ketat.
  3. Investor: Menyuntikkan likuiditas dan modal. Kehadiran investor menuntut tingkat transparansi dan perlindungan hukum yang dijamin oleh OJK dan KLHK.

Pemetaan Stakeholder Kunci dalam Ekosistem Karbon Indonesia

Pihak Terkait Peran Kunci Tuntutan/Risiko Utama
OJK Regulasi keuangan, infrastruktur bursa Kecepatan dan kejelasan pedoman pasar.
KLHK Registrasi proyek, integritas data MRV Akurasi data dan pencegahan greenwashing.
Penghasil Emisi Pembeli unit kepatuhan (Demand side) Biaya kepatuhan yang efisien.
Pengembang Proyek Penjual unit karbon (Supply side) Memastikan additionality dan pembagian manfaat.
LSM/Masyarakat Sipil Pengawas independen, advokat keadilan Perlindungan komunitas rentan dan transparansi.

Pengawas dan Kelompok Kepentingan Kritis

Di tingkat internasional, tata kelola pasar Pasal 6 Perjanjian Paris diawasi oleh Badan Pengawas Pasal 6.4 (Article 6.4 Supervisory Body) yang beranggotakan 12 orang. Badan ini bertanggung jawab untuk memastikan Mekanisme Kredit Perjanjian Paris (PACM) beroperasi dengan integritas tinggi dan akuntabilitas penuh kepada CMA (Konferensi Para Pihak yang melayani sebagai Pertemuan Para Pihak Perjanjian Paris).

Di tingkat domestik, kelompok masyarakat sipil, seperti WALHI, Greenpeace, dan AMAN, memainkan peran pengawas independen dan advokat keadilan iklim. Mereka berfungsi untuk mendesak pemerintah agar menegakkan regulasi, memastikan transparansi, dan melindungi komunitas rentan, khususnya dari risiko eksploitasi proyek berbasis lahan.

Terdapat ketegangan inheren antara potensi pasar yang terbuka dan konsentrasi kekuatan yang praktis. Meskipun IDXCarbon mencatat banyak pengguna jasa , kritik menunjukkan bahwa konsentrasi  penjual kredit (pemilik konsesi) mungkin terbatas pada entitas yang sudah memiliki akses pembiayaan dan koneksi politik. Jika hanya perusahaan besar dengan koneksi yang dapat menjalankan proyek mitigasi berskala besar, pasar gagal dalam mencapai tujuan pemberdayaan ekonomi. Oleh karena itu, peran regulator menjadi krusial dalam memfasilitasi akses pembiayaan dan pendaftaran proyek bagi entitas yang lebih kecil atau berbasis masyarakat, demi menciptakan pasar yang lebih adil dan inklusif.

Proyeksi Masa Depan dan Arah Kebijakan (Masa Depan)

Implementasi Kunci Pasal 6 Perjanjian Paris: Fondasi Global Baru

Masa depan perdagangan karbon global akan sangat ditentukan oleh implementasi Pasal 6 Perjanjian Paris, yang menyediakan tiga alat untuk memfasilitasi kerja sama iklim. Dua alat utamanya adalah Pasal 6.2 dan Pasal 6.4:

  • Pasal 6.2 (Pendekatan Kerja Sama Sukarela): Pasal ini menciptakan dasar bagi negara-negara (atau kelompok negara) untuk mentransfer Hasil Mitigasi Emisi yang Ditransfer Secara Internasional (Internationally Transferred Mitigation Outcomes atau ITMOs) untuk membantu negara lain memenuhi target NDC mereka. Untuk menjaga integritas lingkungan dan mencegah penghitungan ganda (double counting) emisi, transfer ITMOs wajib menggunakan mekanisme akuntansi yang disebut corresponding adjustments. Mekanisme ini memastikan bahwa ITMO yang digunakan oleh negara pembeli harus dikurangi dari akun emisi negara penjual.
  • Pasal 6.4 (Mekanisme Kredit Perjanjian Paris – PACM): Mekanisme ini adalah sistem kredit karbon standar PBB yang baru, yang berfungsi sebagai pengganti CDM di bawah Protokol Kyoto. PACM bertujuan untuk meningkatkan ambisi iklim, menyediakan peluang pengurangan emisi yang terverifikasi, dan menarik pendanaan. Badan Pengawas Pasal 6.4 ditugaskan untuk mengawasi mekanisme ini dengan fokus obsesif pada integritas tinggi dan akuntabilitas penuh.

Indonesia saat ini menghadapi keputusan strategis yang kompleks terkait implementasi Pasal 6. Ada konflik inheren antara potensi pendapatan ekspor karbon melalui Pasal 6.2 dan kewajiban domestik untuk mencapai target LTS-LCCR 2050. Jika Indonesia memilih untuk menjual kredit sebagai ITMOs, negara harus menerapkan corresponding adjustments, yang berarti unit yang dijual tidak dapat dihitung untuk pemenuhan NDC domestik. Keputusan untuk menggunakan 6.2 (ekspor ITMOs) versus menyimpan kredit untuk memenuhi NDC domestik merupakan situasi zero-sum game terkait target iklim nasional. Kebijakan harus menyeimbangkan dorongan pemerintahan untuk perdagangan internasional dan pendapatan ekspor karbon, dengan keharusan KLHK untuk menjaga integritas NDC. Hal ini membutuhkan mekanisme antar-kementerian yang tegas untuk menentukan batas atas ekspor ITMOs.

Tantangan dan Inovasi Teknologi

Untuk memastikan partisipasi global yang adil, negara-negara berkembang harus mengatasi keterbatasan infrastruktur dan sumber daya, terutama dalam memenuhi standar MRV dan additionality yang rumit. Dukungan teknis dan finansial dari negara maju sangat diperlukan untuk membantu negara berkembang membangun kapasitas mereka dalam sistem pasar karbon baru.

Di sisi teknologi, penggunaan inovasi seperti blockchain menawarkan prospek untuk meningkatkan transparansi, keamanan, dan efektivitas proses verifikasi dan perdagangan. Pemanfaatan teknologi ini dapat mengatasi masalah kepercayaan data dan tata kelola yang disorot oleh DPR dan KLHK , yang merupakan kunci untuk melawan greenwashing dan membangun pasar yang kredibel.

Rekomendasi Kebijakan Lanjutan

Analisis mendalam terhadap perdagangan karbon, mulai dari asal-usulnya yang berbasis Kyoto hingga evolusinya di bawah Perjanjian Paris, menunjukkan bahwa keberhasilan di masa depan bergantung pada tiga pilar utama: integritas lingkungan, keadilan sosial, dan tata kelola yang kuat.

  1. Penguatan Tata Kelola Integritas dan Transparansi (The G-Factor): Perlu adanya percepatan finalisasi pedoman OJK mengenai kriteria kelayakan kredit dan standar verifikasi, diikuti dengan penegakan MRV yang ketat oleh KLHK di lapangan. Transparansi data yang didukung oleh teknologi yang aman harus menjadi prioritas utama untuk secara efektif melawan praktik greenwashing.
  2. Pendekatan Keadilan Transaksional: Pemerintah harus mengembangkan mekanisme pembagian hasil yang mengikat secara hukum untuk komunitas lokal, terutama dalam proyek berbasis lahan (REDD+). Ini memastikan bahwa manfaat finansial mengalir ke komunitas yang menjadi pemilik sumber daya dan penjaga hutan, alih-alih hanya terpusat pada pemegang konsesi.
  3. Integrasi Pasar Global yang Disiplin: Pemerintah harus secara proaktif mempersiapkan infrastruktur regulasi dan teknis (sistem registry) untuk menerapkan corresponding adjustments yang diwajibkan oleh Pasal 6. Kesiapan ini akan memastikan Indonesia dapat berpartisipasi sebagai pemain high-integrity dalam perdagangan ITMOs, sehingga neraca karbon nasional tetap dapat dipertanggungjawabkan di bawah Perjanjian Paris.

Kesimpulan

Perdagangan karbon telah berevolusi dari mekanisme Protokol Kyoto yang cacat menuju kerangka kerja Perjanjian Paris yang sangat berfokus pada integritas. Di Indonesia, pasar karbon domestik, yang difasilitasi oleh IDXCarbon, menunjukkan potensi ekonomi yang besar untuk mencapai target LTS-LCCR 2050. Namun, potensi ini dibayangi oleh risiko greenwashing dan masalah keadilan sosial yang akut, di mana keuntungan pasar dapat terpusat pada pemain besar yang sudah memiliki konsesi. Masa depan perdagangan karbon Indonesia sebagai solusi iklim yang sejati akan sangat ditentukan oleh sejauh mana regulator (OJK dan KLHK) dapat menegakkan tata kelola yang transparan, menjamin additionality yang ketat, dan memastikan pembagian manfaat yang adil kepada komunitas rentan. Kegagalan dalam menjamin integritas sosial dan lingkungan akan merusak legitimasi pasar, mengubahnya dari solusi iklim menjadi sekadar alat spekulasi bagi pemain besar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 71 = 77
Powered by MathCaptcha