Pendahuluan: Kerangka Presidensial dalam Lensa Komparatif

Mekanisme pemilihan presiden merupakan pilar utama dalam sistem pemerintahan presidensial, yang menentukan legitimasi mandat, stabilitas politik, dan kualitas representasi demokrasi suatu negara. Meskipun Indonesia, Amerika Serikat (AS), dan Filipina sama-sama menganut sistem presidensial, desain elektoral yang diterapkan di ketiga negara tersebut merepresentasikan tiga filosofi yang sangat berbeda: sistem Mayoritas Berkualifikasi, Kompromi Federal Tidak Langsung, dan Pluralitas Sederhana.

Analisis ini bertujuan untuk membandingkan secara mendalam struktur formal, kriteria kemenangan, dan implikasi politik dari sistem pemilihan presiden di ketiga negara, dengan fokus pada bagaimana desain elektoral masing-masing negara mengatasi atau memperburuk masalah struktural seperti elitisme pencalonan, ketidaksetaraan nilai suara, dan mandat minoritas. Hipotesis dasar yang diajukan adalah bahwa perbedaan dalam kriteria kemenangan (ambang batas di Indonesia, Electoral College di AS, dan pluralitas di Filipina) secara langsung menentukan kualitas legitimasi mandat, tingkat polarisasi, dan kerentanan sistem terhadap kontrol politik elit.

Tipologi Sistem Kemenangan Presidensial

Sistem pemilihan presiden dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria kemenangan yang digunakan:

  1. Sistem Mayoritarian/Dua Putaran (Indonesia): Sistem ini mensyaratkan seorang kandidat untuk memenangkan mayoritas absolut (lebih dari 50%) dari total suara sah untuk menghindari putaran kedua. Selain persentase suara nasional, Indonesia menambahkan kriteria sebaran geografis untuk memastikan legitimasi wilayah. Sistem ini dirancang untuk memastikan presiden memiliki basis dukungan mayoritas yang kuat.
  2. Sistem Tidak Langsung/Federal (Amerika Serikat): Pemilihan dilakukan melalui perantara yang disebut elektor, yang membentuk Electoral College (EC). Kemenangan didasarkan pada perolehan suara elektor, bukan suara populer nasional. Sistem ini merupakan kompromi historis yang mengutamakan status negara bagian (federalisme) sebagai unit politik utama dalam pemilihan.
  3. Sistem Pluralitas (First-Past-the-Post / FPTP) (Filipina): Mekanisme paling sederhana di mana kandidat yang memperoleh suara terbanyak (pluralitas) memenangkan jabatan. Kemenangan tidak memerlukan mayoritas absolut (>50%). Sistem ini cepat dan efisien, tetapi rentan menghasilkan pemimpin dengan mandat minoritas.

Sistem Presidensial Indonesia: Mayoritas Berkualifikasi dan Dinamika Ambang Batas (The Qualified Majority System)

Landasan Konstitusional dan Mekanisme Kekuasaan

Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum (Pemilu) serentak. Masa jabatan yang ditetapkan adalah lima tahun, dan seseorang hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya, menjamin keseimbangan antara stabilitas pemerintahan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan jangka panjang. Peraturan pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Kriteria Kemenangan dan Putaran Kedua

Sistem Indonesia dirancang untuk mencari legitimasi ganda: mayoritas numerik dan sebaran geografis. Untuk memenangkan pemilihan pada putaran pertama, pasangan calon harus memenuhi dua syarat mutlak:

  1. Memperoleh suara lebih dari 50% dari total suara sah nasional.
  2. Memperoleh sedikitnya 20% suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (minimal 20 provinsi).

Apabila kriteria ini tidak terpenuhi, pemilihan akan berlanjut ke putaran kedua, yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon yang meraih suara terbanyak pada putaran pertama. Desain ini secara eksplisit mencegah terpilihnya seorang presiden yang hanya didukung oleh kantong-kantong suara tertentu (regionalisme yang ekstrem) dan memastikan mandat yang kuat berdasarkan konsensus mayoritas.

Analisis Kritis Presidential Threshold (PT) 20%

Meskipun sistem Indonesia menuntut legitimasi mayoritas tertinggi, proses pencalonannya sangat dibatasi oleh ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold atau PT) sebesar 20%. PT mensyaratkan partai politik atau gabungan partai harus memiliki minimal 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilihan legislatif sebelumnya sebagai tiket untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.

PT sebagai Perangkat Elit dan Distorsi Representasi PT 20% menimbulkan kontroversi karena secara luas dianggap sebagai “permainan elite politik” yang tujuannya utama adalah menyeleksi dan membatasi jumlah calon yang akan maju. Ambang batas ini secara historis pertama kali dirumuskan pada UU Nomor 23 Tahun 2003 dan kemudian dipertahankan dalam UU No. 7 Tahun 2017.

Para kritikus berpendapat bahwa ambang batas setinggi 20% tidak memperkuat sistem presidensial, melainkan menunjukkan karakteristik hukum yang otoriter, di mana kepentingan politik penguasa cenderung dipertahankan. Penerapan PT 20% menciptakan kesenjangan signifikan dalam hak politik antara partai-partai besar (mayoritas) yang dapat mengajukan calon dan partai-partai kecil (minoritas) yang harus bergantung pada koalisi longgar. Hal ini mencederai kedaulatan rakyat dan asas proporsionalitas Pemilu, karena calon yang maju sudah disaring dan disetujui oleh fraksi mayoritas parlemen, mengikis prinsip kompetisi terbuka.

Koreksi Mahkamah Konstitusi (MK) Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait ambang batas ini, khususnya mengenai dasar perhitungan suara. MK menghapus ambang batas yang didasarkan pada hasil pemilu sebelumnya karena dinilai menimbulkan distorsi representasi. Alasannya, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan, bukan menggunakan nilai suara untuk dua periode yang berbeda.

Namun, putusan MK ini hanya bersifat koreksi simptomatik, bukan struktural. Dengan kata lain, MK hanya memperbaiki masalah distorsi temporal (waktu penggunaan data) tanpa menghapus ambang batas kuantitatif (angka 20% kursi atau 25% suara sah) itu sendiri. Masalah inti yang membatasi hak partai minoritas untuk berpartisipasi dan mencederai asas demokrasi tetap ada selama PT 20% dipertahankan.

Tantangan Integritas Elektoral

Meskipun mekanisme formalnya kuat, integritas proses pemilihan di Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama saat Pemilu Serentak 2024. Tantangan ini mencakup beban kerja yang ekstrem bagi petugas KPPS (Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara), yang dapat bekerja 20 hingga 24 jam penuh, masalah teknis seperti sistem SIREKAP yang down pada hari-H, dan masalah etika money politics.

Masalah money politics atau vote-buying di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan karena praktik ini tidak lagi distigmatisasi secara sosial. Meskipun ilegal dan secara moral dianggap salah, hampir setengah responden dalam penelitian mengklaim merasionalisasi praktik ini dan bersedia menerima uang dari kandidat. Fenomena ini menunjukkan bahwa efektivitas mekanisme elektoral formal (mayoritas kualifikasi) dapat dilemahkan oleh masalah struktural non-formal berupa korupsi sosial. Hal ini membutuhkan tidak hanya penegakan hukum yang kuat tetapi juga reformasi sosio-politik untuk memperkuat kesadaran politik.

Sistem Presidensial Amerika Serikat: Federalisme dan Electoral College (The Indirect Federal System)

Landasan Konstitusional dan Prinsip Federalisme

Amerika Serikat memilih Presiden dan Wakil Presiden melalui mekanisme tidak langsung yang unik yang dikenal sebagai Electoral College (EC). Masa jabatan Presiden adalah empat tahun, dengan batasan dapat dipilih kembali satu kali. Dalam sistem EC, warga negara memberikan suara untuk elektor di negara bagian mereka. Jumlah total suara elektor adalah 538, dan seorang kandidat memerlukan mayoritas 270 suara elektor untuk memenangkan kepresidenan. Kandidat Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket (joint ticket).

Mekanisme EC: Keseimbangan vs. Konsekuensi

EC dirancang berdasarkan prinsip federalisme untuk menyeimbangkan kekuasaan antara negara bagian yang padat penduduk (besar) dan negara bagian yang kurang padat penduduk (kecil).

Keuntungan yang Diklaim:

  1. Menyeimbangkan Kekuatan: EC memastikan negara bagian kecil tetap memiliki suara signifikan. Tanpa EC, kandidat hanya akan berfokus pada negara bagian terpadat seperti California atau Texas, mengabaikan kebutuhan daerah berpenduduk kecil.
  2. Mendorong Kampanye Geografis Luas: Sistem ini memaksa kandidat untuk mencari dukungan di berbagai negara bagian, mencegah dominasi kandidat regional.
  3. Mempromosikan Sistem Dua Partai: EC mempersulit partai kecil untuk memenangkan suara elektor, menyederhanakan proses pemilihan dan mendorong stabilitas melalui sistem dua partai besar.

Kritik Utama dan Konflik Representasi Kritik paling mendasar terhadap EC adalah bahwa sistem ini menciptakan ketegangan inheren antara prinsip Federalisme dan prinsip Demokrasi one-person, one-vote. Melalui praktik Winner-Take-All yang diterapkan di sebagian besar negara bagian, seorang kandidat dapat memenangkan semua suara elektor negara bagian meskipun hanya unggul tipis dalam suara populer di negara bagian tersebut.

Konsekuensi paling kontroversial dari EC adalah kemungkinan seorang kandidat memenangkan kepresidenan tanpa memenangkan suara populer nasional. Situasi ini telah terjadi lima kali dalam sejarah AS, paling signifikan pada pemilu tahun 2000 dan 2016.

Studi Kasus Kontroversial (2000 & 2016)

Kasus-kasus kontroversial ini membangkitkan perdebatan bahwa EC sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan masyarakat kontemporer.

Pemilu Tahun 2000: Pemilihan tahun 2000, di mana George W. Bush memenangkan EC meskipun kalah suara populer dari Al Gore, memicu tuntutan untuk mencabut EC. Kritikus menyoroti bahwa EC secara tidak proporsional memberikan bobot yang lebih besar kepada pemilih di negara bagian kecil. Sebagai contoh, suara pemilih di tujuh negara bagian yang paling sedikit penduduknya membawa bobot tiga kali lipat dibandingkan pemilih di negara bagian yang lebih padat, ketika dihitung secara proporsional terhadap populasi negara bagian.

Pemilu Tahun 2016: Kontroversi semakin intens pada tahun 2016, ketika Hillary Clinton memenangkan suara populer nasional dengan selisih hampir tiga juta suara, namun Donald Trump memenangkan kepresidenan dengan meraih 304 electoral votes (setelah dikurangi faithless electors).

Analisis kedua kasus ini menunjukkan bahwa EC telah bertransisi menjadi alat yang memperkuat representasi daerah pedesaan (seringkali pemilih kulit putih) dengan mengorbankan devaluasi suara di daerah perkotaan dan padat penduduk yang lebih beragam secara rasial. Hal ini secara fundamental dianggap mencederai asas demokrasi ‘satu orang, satu suara’ dan dapat menggagalkan kehendak rakyat populer. EC, sebagai mekanisme kompromi federal, pada dasarnya mengutamakan legitimasi  negara bagian di atas legitimasi individu.

Isu Integritas dan Reformasi

Ketidakpuasan terhadap sistem ini juga terlihat melalui fenomena Faithless Electors—elektor yang tidak memilih sesuai dengan janji kandidat yang memenangkan suara populer di negara bagian mereka. Pada tahun 2016, tercatat rekor tujuh elektor yang membelot. Insiden ini menunjukkan kerentanan sistem tidak langsung terhadap integritas konvensional dan menimbulkan keraguan terhadap stabilitasnya.

Upaya reformasi terus didorong, salah satunya melalui National Popular Vote Interstate Compact , yang bertujuan agar negara-negara bagian setuju untuk mengalokasikan suara elektor mereka kepada kandidat yang memenangkan suara populer nasional, tanpa memerlukan amandemen konstitusi yang sulit dicapai.

Sistem Presidensial Filipina: Pluralitas, Mandat Minoritas, dan Politik Dinasti (The Plurality/FPTP System)

Landasan Konstitusional dan Struktur Jabatan

Filipina, sebagai negara presidensial di Asia Tenggara, berpedoman pada Konstitusi 1987 (Konstitusyon ng Pilipinas). Jabatan Presiden memiliki masa tugas yang ketat, yaitu enam tahun, dan secara tegas tidak dapat dipilih kembali (non-renewable) untuk masa jabatan kedua. Pembatasan ketat ini kontras dengan fleksibilitas masa jabatan di Indonesia dan AS. Lembaga utama penyelenggara pemilu adalah Commission on Elections (COMELEC), yang mengemban tugas menegakkan semua hukum dan regulasi terkait pelaksanaan pemilihan. Dalam pelaksanaan pemilu, Filipina dikenal menggunakan teknologi canggih, seperti mesin  Vote Counting Machine (VCM) dari Smartmatic, yang memungkinkan proses penghitungan suara yang sangat cepat dan terbuka.

Mekanisme Kemenangan FPTP Sederhana

Filipina menggunakan sistem Pluralitas atau First-Past-the-Post (FPTP) untuk pemilihan presiden. Dalam sistem ini, kandidat yang memperoleh jumlah suara terbanyak, meskipun hanya pluralitas (di bawah 50% atau bukan mayoritas absolut), secara otomatis memenangkan jabatan. Ini adalah sistem  winner-take-all tanpa putaran kedua (run-off).

Konsekuensi Mandat Minoritas Struktural Ketiadaan putaran kedua secara struktural menjamin bahwa, dalam perlombaan multi-kandidat yang sangat kompetitif, presiden terpilih sering kali hanya mewakili mandat minoritas. Fenomena vote splitting menjadi tak terhindarkan.

Contoh historis menunjukkan kerentanan ini: Presiden Fidel Ramos pada tahun 1992 terpilih dari tujuh kandidat dengan hanya 25% suara populer, dan Rodrigo Duterte pada tahun 2016 menang dengan pluralitas 39%. Kondisi ini menghasilkan presiden yang dianggap “dipilih oleh sebagian, tetapi ditolak oleh banyak orang” (picked by some but rejected by many), yang berpotensi mengurangi legitimasi populer dan mandatnya dibandingkan dengan presiden yang dipilih melalui sistem mayoritas (seperti Indonesia).

Struktur Politik: Politik Dinasti dan Vote Buying

Sistem FPTP memiliki interaksi yang merusak dengan lanskap politik domestik Filipina yang didominasi oleh politik dinasti. Politik dinasti mengacu pada pelestarian kekuasaan dan pengaruh politik dalam keluarga elit tertentu, sering kali melintasi batas-batas wilayah.

Struktur winner-take-all FPTP justru memperburuk dominasi dinasti. Dinasti politik, dengan basis dukungan lokal yang terorganisir, dapat memobilisasi suara yang cukup untuk mencapai pluralitas yang cepat, mengalahkan kandidat yang mungkin lebih populer secara nasional tetapi kurang memiliki logistik dan organisasi lokal. Dalam konteks ini, FPTP memberikan insentif untuk fokus pada basis suara yang pasti dan terorganisir daripada membangun konsensus nasional.

Selain itu, praktik vote-buying dan vote-selling tersebar luas dan menjadi penghalang signifikan bagi proses demokrasi di Filipina. Penelitian menunjukkan bahwa vote-buying dapat mereduksi secara signifikan jumlah orang yang menjual suara mereka dalam pemilihan berisiko rendah, namun kurang efektif dalam pemilihan dengan imbalan yang lebih besar, menunjukkan bahwa masalah ini sangat tergantung pada skala politik lokal.

Keunikan Pemilihan Terpisah

Salah satu keunikan utama sistem Filipina adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara terpisah. Hal ini memungkinkan adanya split-ticket voting, di mana pemilih dapat membagi suara mereka untuk kandidat dari partai atau faksi yang berbeda untuk kedua jabatan tersebut.

Meskipun mekanisme ini secara konseptual dapat berfungsi sebagai checks and balances , risiko utamanya adalah potensi  executive gridlock atau konflik internal yang konstan. Wakil Presiden yang terpilih dari faksi oposisi, misalnya, dapat menghambat efisiensi pemerintahan, berbeda dengan AS dan Indonesia yang mengharuskan keduanya dipilih dalam satu paket.

Analisis Komparatif: Desain Elektoral dan Kualitas Demokrasi

Analisis komparatif dari ketiga sistem ini menyoroti bahwa desain elektoral adalah penentu utama karakteristik dan kerentanan politik suatu negara.

Perbandingan Kriteria Kemenangan (Desain Formal)

Indonesia menuntut legitimasi yang paling ketat, yakni Mayoritas Kualifikasi (50%+20%), yang berfungsi untuk menuntut konsensus luas dan penyebaran dukungan geografis. Sebaliknya, Filipina memilih legitimasi tunggal dan paling rendah (Pluralitas Sederhana), yang memprioritaskan kecepatan dan efisiensi, tetapi mengorbankan kedalaman mandat. AS berada di tengah, di mana EC berfungsi sebagai kompromi Federal, mengutamakan legitimasi negara bagian di atas legitimasi individu.

Perbandingan Batasan Masa Jabatan

Negara Masa Jabatan Presiden Kemungkinan Dipilih Kembali Fokus Desain
Indonesia 5 tahun Ya, 1 Kali Stabilitas dan Fleksibilitas
Amerika Serikat 4 tahun Ya, 1 Kali Tradisi dan Stabilitas
Filipina 6 tahun Tidak, Non-renewable Pencegahan Sentralisasi Kekuasaan Jangka Panjang

Dampak Desain Terhadap Legitimasi Mandat

Desain sistem secara langsung memengaruhi kualitas mandat yang dihasilkan:

  1. Indonesia: Memiliki legitimasi mayoritas populer tertinggi berkat sistem dua putaran. Namun, legitimasi proses pencalonan rendah karena terhalang oleh Presidential Threshold 20%, yang membatasi kompetisi dan mencederai kedaulatan rakyat.
  2. Amerika Serikat: Legitimasi konstitusional dari Electoral College dijamin, namun legitimasi populernya rentan terhadap krisis, seperti yang disaksikan pada tahun 2000 dan 2016. Sistem ini memperkuat daerah pedesaan/federal tetapi melemahkan daerah urban/demokrasi populer.
  3. Filipina: Legitimasi formal dan populer yang paling rendah karena sistem FPTP secara struktural memungkinkan kemenangan mandat minoritas. Kombinasi FPTP dan politik dinasti menciptakan lingkungan di mana elit lokal dapat dengan mudah mempertahankan kekuasaan tanpa harus membangun konsensus mayoritas nasional.

Tabel V.1. Perbandingan Kunci Sistem Pemilihan Presiden (ID, AS, PH)

Aspek Komparasi Indonesia (ID) Amerika Serikat (AS) Filipina (PH)
Sistem Kemenangan Mayoritas Berkualifikasi (Dua Putaran) Tidak Langsung (Electoral College) Pluralitas (First-Past-the-Post)
Kriteria Kemenangan >50% Suara Sah + 20% sebaran di >20 Provinsi Minimum 270 dari 538 Electoral Votes Suara Terbanyak (Pluralitas)
Ambang Batas Pencalonan Presidential Threshold (PT) 20% Melalui Primaries Partai Tidak Ada Ambang Batas Parlemen
Presiden & Wapres Dipilih Satu Paket (Joint Ticket) Satu Paket (Joint Ticket) Terpisah (Split Ticket)

Tantangan Demokrasi Lintas Negara (Beyond the Formal Rules)

Di luar aturan formal, ketiga negara menghadapi tantangan integritas demokrasi yang berbeda tetapi serupa:

  • Elitisme: Baik PT di Indonesia maupun EC di AS berfungsi sebagai filter sentralistik yang membatasi akses kekuasaan. PT membatasi calon melalui filter partai yang kuat , sementara EC membatasi melalui filter geografis/federal, yang mengarah pada penguatan kekuatan politik tertentu (daerah rural di AS).
  • Money Politics: Indonesia dan Filipina sama-sama bergulat dengan tantangan vote buying. Normalisasi praktik ini menunjukkan kelemahan parpol dan perlunya peningkatan pendidikan politik dan penegakan hukum yang sistemik, karena upaya hukuman saja terbukti tidak sepenuhnya efektif dalam mengubah perilaku sosial.

Tabel V.2. Implikasi Kontroversi Utama dalam Kualitas Demokrasi

Negara Isu Kontroversial Utama Dampak pada Representasi Kualitas Mandat & Legitimasi
Indonesia Presidential Threshold 20% Mereduksi kompetisi dan mencederai kedaulatan rakyat. Legitimasi tinggi (Mayoritas), namun legitimasi proses pencalonan rendah.
Amerika Serikat Electoral College / Popular Vote Discrepancy Devaluasi suara di negara bagian padat (urban) demi menyeimbangkan kekuatan negara bagian kecil (federal). Mandat EC terjamin, tetapi legitimasi populer rentan (2000, 2016).
Filipina Pluralitas FPTP Tanpa Run-off & Politik Dinasti Menghasilkan presiden dengan mandat minoritas, memperkuat dominasi elit lokal/dinasti. Legitimasi formal rendah karena kemenangan berdasarkan Pluralitas; rentan vote-buying.

Kesimpulan 

Desain sistem pemilihan presiden di Indonesia, AS, dan Filipina menunjukkan bahwa setiap model memiliki keunggulan dalam mencapai tujuan spesifik (Mayoritas di ID, Keseimbangan Federal di AS, Efisiensi di PH), namun masing-masing juga menciptakan tantangan struktural yang unik. Indonesia menghadapi elitisme pencalonan, AS menghadapi ketidaksetaraan nilai suara, dan Filipina berjuang melawan mandat minoritas yang diperburuk oleh politik dinasti. Tantangan bersama bagi negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina adalah perlunya memperkuat integritas elektoral di tingkat akar rumput, terutama terkait money politics.

Berdasarkan analisis struktural, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan legitimasi mandat di masing-masing negara:

  1. Indonesia: Untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dan meningkatkan kompetisi, Presidential Threshold 20% harus dihapus atau diturunkan secara drastis, sesuai dengan tujuan Pemilu yang efektif dan proporsional. Penghapusan PT akan membuka ruang bagi lebih banyak kandidat berkualitas untuk berkompetisi, memastikan bahwa legitimasi tinggi yang dihasilkan dari sistem dua putaran juga didukung oleh legitimasi proses pencalonan yang terbuka.
  2. Amerika Serikat: Reformasi EC perlu dipertimbangkan untuk mengurangi krisis legitimasi populer dan polarisasi. Alternatifnya meliputi adopsi National Popular Vote Interstate Compact atau transisi ke sistem alokasi suara elektor proporsional di tingkat negara bagian, yang akan memastikan bahwa suara populer di setiap negara bagian memiliki representasi yang lebih adil dalam EC.
  3. Filipina: Untuk mengatasi masalah mandat minoritas struktural dan melemahkan kekuatan dinasti, Filipina harus mempertimbangkan adopsi sistem Dua Putaran (Run-off), serupa dengan Indonesia. Sistem ini akan memaksa kandidat yang maju untuk membangun konsensus mayoritas setelah putaran pertama, sehingga meningkatkan legitimasi populer presiden terpilih dan menantang dominasi basis suara absolut dinasti politik lokal.

Terlepas dari aturan formalnya, negara-negara, khususnya di kawasan Asia Tenggara, harus mengatasi masalah money politics yang telah ter-normalisasi. Reformasi ini membutuhkan pendekatan sistemik: peningkatan pengawasan, penegakan hukum yang tegas terhadap vote buying, dan yang terpenting, pendidikan politik yang masif untuk menanamkan stigma sosial terhadap korupsi elektoral. Karena kecenderungan di beberapa negara berkembang adalah keterlibatan vote buying melalui broker atau perantara lokal , diperlukan strategi yang menargetkan jaringan perantara ini.

Prospek masa depan menunjukkan bahwa tekanan dari masyarakat yang semakin terinformasi dan terhubung secara digital akan terus menantang sistem yang dianggap tidak representatif, baik itu ambang batas elit di Indonesia maupun disparitas nilai suara di AS, menuntut adaptasi berkelanjutan untuk memastikan demokrasi yang lebih inklusif dan adil.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

61 − 59 =
Powered by MathCaptcha