Pemberontakan Darul Islam (DI), dengan sayap militernya yang dikenal sebagai Tentara Islam Indonesia (TII), merupakan konflik internal paling signifikan yang dihadapi Republik Indonesia (RI) pada masa-masa awal konsolidasi kemerdekaan. Konflik ini secara formal dimulai dengan proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, hanya berselang beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945. Gerakan ini berakar dari sebuah desa kecil di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan segera menyebar ke beberapa wilayah penting lainnya, menjadikannya ancaman eksistensial pertama terhadap ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila.

Pemberontakan ini tidak hanya dipandang sebagai aksi kriminal atau militer, tetapi juga sebagai manifestasi dari kontradiksi ideologis yang muncul dalam arena politik pasca-Revolusi. Meskipun gerakan ini dipimpin dari Jawa Barat, gerilyawan DI/TII direkrut dari berbagai wilayah Indonesia, dipersatukan di bawah panji NII yang memiliki ideologi tunggal dan didorong oleh hasutan pemimpinnya.

Pemicu Politik dan Casus Belli

Faktor pendorong utama yang memicu deklarasi NII adalah penolakan keras Kartosoewirjo terhadap hasil Perjanjian Renville, yang ditandatangani pada Januari 1948. Bagi Kartosoewirjo, perjanjian tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan secara efektif meninggalkan wilayah Jawa Barat di bawah pendudukan militer Belanda. Perjanjian Renville mewajibkan unit-unit militer TNI untuk “hijrah” atau menarik diri dari wilayah Jawa Barat ke wilayah RI di Yogyakarta.

Kartosoewirjo, yang memiliki pandangan politik hijrah yang fanatik , menginterpretasikan penarikan TNI sebagai bentuk kelemahan pemerintah pusat dan kegagalan dalam melindungi kedaulatan di Jawa Barat. Ia memanfaatkan kekosongan politik dan militer yang ditinggalkan oleh penarikan pasukan TNI untuk mendeklarasikan negara tandingan. Proklamasi NII menjadi bentuk protes radikal Kartosoewirjo, baik terhadap Belanda maupun terhadap Pemerintah Indonesia yang dinilainya terlalu lemah dan berkompromi. Dengan demikian, keputusan politik pemerintah pusat di meja perundingan (Perjanjian Renville) memiliki konsekuensi langsung dalam memicu radikalisasi dan pembentukan negara tandingan di daerah.

Kerangka Konseptual: Dari Milisi Perjuangan menuju Pemberontakan Ideologis

Akar militer TII dapat ditelusuri kembali ke organisasi paramiliter Islam yang dibentuk pada masa Revolusi Nasional. Salah satu cikal bakal penting adalah Hizbullah (Tentara Allah), yang dibentuk pada 8 Desember 1944 di bawah pengesahan Jenderal Kamakichi Harada. Hizbullah bertujuan sebagai korps cadangan Peta untuk melawan Sekutu dan juga mempropagandakan serta mempertahankan Islam. Kemudian muncul Sabilillah (Jalan Tuhan), yang didirikan atas desakan Masyumi pada November 1945, bertujuan memperkuat kesiapan rakyat muslim untuk melakukan jihad fi sabilillah.

Organisasi-organisasi ini, yang secara historis dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan, kemudian menjadi basis perekrutan atau bahkan inti dari pasukan TII ketika para komandan dan anggota merasa tidak terintegrasi atau dikhianati oleh arah politik negara pasca-Renville. Transformasi ini menandai pergeseran dari perjuangan kemerdekaan nasional menjadi konflik ideologis yang menentang negara yang baru lahir.

Pusat Ideologis: Kartosoewirjo Dan Negara Islam Indonesia (Nii) Di Jawa Barat

Genealogi Politik Kartosoewirjo dan Doktrin Hijrah

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah figur sentral yang menggerakkan dan memimpin Pemberontakan DI/TII. Sebelum mendeklarasikan NII, ia telah aktif dalam dunia politik, khususnya melalui Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pengalaman politiknya memberikan bekal yang cukup dalam menyusun struktur pemerintahan tandingan.

Dalam kepemimpinannya, Kartosoewirjo dikenal fanatik terhadap agama Islam dan secara ketat menerapkan pandangan politik hijrah. Dalam konteks DI/TII, hijrah dipahami bukan sekadar pindah tempat, melainkan pemisahan diri secara ideologis dan politik dari otoritas yang sah, yang mereka pandang sekuler atau lemah, dan mendirikan otoritas Islam yang murni. Konsep ini menjadi landasan moral dan politik untuk proklamasi NII di tengah situasi genting akibat Perjanjian Renville.

Konstruksi Negara dan Hukum NII (1949–1962)

NII yang dideklarasikan oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 memiliki struktur kenegaraan yang terperinci. NII secara resmi memproklamasikan dirinya sebagai Negara Karunia Allah – Negara Islam Indonesia (NKA–NII). NII mengadopsi bentuk negara Jumhãriyyah atau Republik, sebagaimana termaktub dalam Qanun Asasi Bab I pasal 1 ayat 2.

Konstitusi NII secara fundamental didasarkan pada Hukum Islam (Qanun Asasi NII Bab I pasal 2). Dalam hal hukum pidana, NII merujuk pada fikih Salafi, meliputi aturan tentang Jinayat, Qisash, Kifarat, serta hukuman untuk perzinaan dan minuman keras. Selama masa perjuangan atau perang, mereka menerapkan Hukum Islam Darurat Perang (Qonun Uqãbat Bab I ps. 2). Gerakan NII Kartosoewirjo juga sangat ketat dalam melaksanakan syariat, termasuk mewajibkan shalat lima waktu. Bahkan, terdapat undang-undang dan sanksi yang ditegakkan bagi siapa saja yang meninggalkan shalat (Tark al-Salat).

Dinamika Militer DI/TII Jawa Barat dan Penumpasan (1960–1962)

Pasukan DI/TII Jawa Barat menjalankan strategi gerilya yang efektif, memanfaatkan kondisi geografis wilayah pegunungan dan hutan untuk menghindari pengejaran dan menjaga mobilitas. Namun, pemerintah RI pada akhirnya meluncurkan upaya penumpasan yang lebih terkoordinasi dan intensif.

Pada pertengahan tahun 1960, TNI memulai upaya penumpasan dan pengisolasian yang masif terhadap perjuangan Darul Islam di Jawa Barat, dimulai dari wilayah kerja Korem Banten. Upaya ini memuncak melalui operasi kontra-pemberontakan yang dikenal sebagai

Operasi Pagar Betis.

Operasi Pagar Betis merupakan strategi militer yang dirancang untuk memblokade basis utama Darul Islam. Tujuannya adalah mengurangi pergerakan gerilya dan secara kritis, menghilangkan jalur pasokan logistik mereka. Operasi ini bersifat unik karena melibatkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) bersama dengan warga sipil. Keterlibatan masyarakat sipil dalam memblokade daerah operasi secara efektif mengubah masyarakat dari penyokong pasif atau korban menjadi isolator aktif. Dengan terputusnya jalur logistik dan persediaan makanan akibat strategi isolasi total ini, para pejuang Darul Islam mulai mengalami kelelahan, haus, dan lapar, yang melemahkan kekuatan mereka secara drastis. Kemenangan militer RI di Jawa Barat dicapai bukan semata-mata karena keunggulan tempur, melainkan melalui strategi kontra-gerilya yang berhasil memutus ketergantungan DI/TII pada dukungan logistik sipil.

Operasi Pagar Betis berhasil dan secara efektif mengakhiri pemberontakan di Jawa Barat. Pasukan pemerintah berhasil memblokade pangkalan utama Darul Islam, yang berpuncak pada penyerahan diri pasukan Darul Islam yang dipimpin oleh Kartosoewirjo pada tanggal 4 Juni 1962. Penangkapan ini menjadi simbol keruntuhan gerakan bersenjata NII Kartosoewirjo.

Teater Regional Di/Tii: Faktor Pendorong Dan Dinamika Lokal

Meskipun NII Kartosoewirjo menyediakan payung ideologis, pemberontakan DI/TII di wilayah lain tidak hanya didorong oleh semangat mendirikan negara Islam, tetapi juga oleh kekecewaan struktural, politik regional, dan kegagalan integrasi militer pasca-kemerdekaan. Variasi pemicu ini menunjukkan bahwa gerakan DI/TII adalah sebuah sindrom dari kegagalan konsolidasi negara-bangsa yang baru merdeka.

Aceh: Otonomi yang Dikhianati dan Konflik Elite (Daud Beureueh)

Pemberontakan Darul Islam di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh dan dimulai pada tahun 1953. Pemberontakan ini dianggap unik karena penyebabnya bersifat multi-dimensi dan penyelesaiannya berbeda dari wilayah lain.

Faktor utama yang memicu pemberontakan di Aceh meliputi:

  1. Kegagalan Janji Otonomi: Rakyat Aceh merasa sangat kecewa dengan pemerintah pusat yang dianggap gagal menepati janji untuk memberikan otonomi khusus bagi Aceh setelah peran besar mereka dalam Revolusi Nasional.
  2. Konflik Elite Lokal: Terjadi benturan kepentingan antara faksi ulama (cendekiawan Muslim) yang mendukung otonomi, dan kelompok uléëbalangs (pemimpin adat atau bangsawan) yang menentang otonomi karena tidak ingin ulama mendominasi pemerintahan daerah. Perpecahan internal ini diperburuk oleh kebijakan pusat.
  3. Inkonsistensi Pusat: Ketidakstabilan sistem parlementer di Jakarta pada saat itu menyebabkan pemerintah pusat bersikap tidak konsisten dalam perspektif dan perlakuannya terhadap Aceh, menambah ketidakpercayaan daerah.

Pemberontakan Daud Beureueh tidak menelan korban jiwa sebanyak konflik DI/TII di daerah lain. Untuk mengakhiri konflik secara cepat, pemerintah pusat mengesampingkan operasi militer murni (meskipun Operasi 17 Agustus sempat dilancarkan) dan beralih ke penyelesaian politik dan dialog damai. Melalui musyawarah dan konsensus, perdamaian tercapai pada 8 Mei 1962, setelah pemerintah memutuskan untuk memberikan status

Daerah Istimewa kepada Aceh. Status ini memberikan hak otonomi khusus di bidang agama, pendidikan, dan tradisi. Solusi ini menunjukkan bahwa pemerintah bersedia mengakomodasi tuntutan struktural daerah demi mengakhiri konflik bersenjata.

Kalimantan Selatan: Kekecewaan Seleksi Militer (Ibnu Hadjar)

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan (Kalsel) dimotori oleh Ibnu Hadjar, seorang mantan anggota tentara republik dengan pangkat letnan dua, yang membelot dan membentuk Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) pada Oktober 1950. KRyT kemudian berafiliasi dengan NII pimpinan Kartosoewirjo, dan Ibnu Hadjar diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI) untuk wilayah Kalimantan.

Penyebab utama gerakan Ibnu Hadjar bersifat struktural dan berkaitan erat dengan reorganisasi militer pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Isu-isu yang memicu kekecewaan meliputi:

  1. Diskriminasi Anggota Militer: Hasil KMB mengharuskan pembubaran KNIL dan seleksi anggotanya ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun, banyak mantan anggota KNIL dan anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV Kalimantan Selatan yang dianggap tidak memenuhi syarat dalam seleksi ulang anggota Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) setelah RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950. Mantan KNIL dianggap musuh republik, sementara anggota ALRI lokal merasa tersingkirkan.
  2. Sentimen Regional: Posisi-posisi penting dalam APRI di Kalimantan justru banyak diduduki oleh personel yang berasal dari luar Kalimantan, terutama dari Jawa.

Kombinasi antara diskriminasi seleksi dan sentimen regional inilah yang memicu Ibnu Hadjar membentuk pasukan gerilya sendiri. Tujuan perlawanannya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia di wilayah Kalimantan.

Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah

Pemberontakan DI/TII juga meluas ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar. Sama halnya dengan Kalsel, konflik di Sulawesi Selatan juga memiliki akar masalah pada pengakuan dan integrasi milisi lokal ke dalam struktur TNI/APRI pasca-Revolusi.

Sementara itu, di Jawa Tengah, pemberontakan dipimpin oleh Amir Fatah Widjajakusuma, seorang mantan komandan Hizbullah, dari tahun 1949 hingga 1950. Meskipun Amir Fatah dan pasukannya beroperasi di kawasan hutan Gunung Karang Gumantun di wilayah Dayeuhluhur, gerakan ini tidak berlangsung lama. Kurangnya dukungan rakyat terhadap Amir Fatah dan tekanan militer yang intensif dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) di perbatasan Banyumas dan Pekalongan, memaksa Amir Fatah dan pasukannya menyerah pada Desember 1951. Penumpasan yang cepat di Jawa Tengah menunjukkan bahwa tanpa dukungan akar rumput yang kuat, gerakan bersenjata yang bersifat ideologis pun sulit bertahan.

Strategi Kontra-Insurgensi Pemerintah Ri Dan Penumpasan

Pemerintah Republik Indonesia menunjukkan fleksibilitas dalam menanggapi pemberontakan DI/TII, mengadopsi strategi yang berbeda-beda tergantung pada sifat ancaman dan pemicu lokal di setiap wilayah. Hal ini mencerminkan pembedaan antara ancaman militer murni dan ancaman yang berakar dari tuntutan politik daerah.

Analisis Perbandingan Strategi Kontra-Insurgensi

Strategi TNI dalam menumpas DI/TII menunjukkan pola respons yang disesuaikan: konflik ideologi sentral diselesaikan dengan operasi militer total, sedangkan konflik yang didominasi isu struktural/regional diselesaikan dengan cara diplomasi atau gabungan taktik militer dan non-militer.

Strategi Kontra-Insurgensi Pemerintah RI terhadap DI/TII

Wilayah Pemimpin Utama Karakteristik Konflik Strategi Penumpasan Utama Hasil Akhir Kunci
Jawa Barat S.M. Kartosoewirjo Ancaman Ideologi & Militer Murni terhadap pusat negara. Operasi Pagar Betis (Militer Total & Isolasi Sipil). Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi (1962).
Aceh Daud Beureueh Ancaman Politik & Kekecewaan Otonomi. Musyawarah, Diplomasi, dan Operasi 17 Agustus. Pemberian status Daerah Istimewa (1962).
Kalimantan Selatan Ibnu Hadjar Ancaman Militer, Berbasis Kekecewaan Veteran. Operasi Militer Taktis (Delima, Segi Tiga, Riko) dan Pemutusan Logistik. Ibnu Hadjar ditangkap dan dieksekusi (1965).
Jawa Tengah Amir Fatah Eksistensi Gerilya Lemah, Latar Belakang Eks-Milisi. Gerakan Benteng Nasional. Penyerahan diri (1951).

Operasi Penumpasan dan Keberhasilan Militer

Di Jawa Barat, penumpasan mencapai klimaks dengan suksesnya Operasi Pagar Betis. Operasi ini berhasil memblokade pangkalan utama DI/TII dan memutus jalur logistik, yang secara kolektif disebut sebagai strategi isolasi total. Keterlibatan masyarakat sipil dalam operasi ini sangat penting, karena mereka berfungsi sebagai garis pertahanan hidup yang memutus hubungan para gerilyawan dengan sumber daya luar. Operasi ini secara fisik melemahkan pasukan Kartosoewirjo hingga akhirnya pemimpin utama tersebut ditangkap pada 4 Juni 1962, yang secara efektif mengakhiri pemberontakan di wilayah tersebut.

Sementara itu, di Jawa Tengah, penumpasan dilakukan melalui Gerakan Benteng Nasional yang dipimpin oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, Kolonel Gatot Subroto. Gerakan ini berhasil menekan pasukan Amir Fatah, yang akhirnya menyerah pada Desember 1951.

Di Kalimantan Selatan, TNI menggunakan serangkaian operasi militer bertahap. Operasi pertama adalah Operasi Delima (23 November 1959), dilanjutkan dengan Operasi Segi Tiga (Fase pertama 10 Maret 1960), yang bertujuan menuntaskan gerakan sebelum 1962.9 Strategi militer diperkuat dengan strategi inovatif pemutusan logistik, di mana TNI mengeluarkan larangan bagi penduduk untuk melakukan kontak atau bertukar barang dengan kelompok Ibnu Hadjar  Strategi ini terbukti sangat efektif, memaksa banyak anggota DI/TII Kalsel, termasuk tokoh penting seperti Kastam Djaja, untuk menyerahkan diri karena kelaparan. Operasi terakhir, Operasi Riko, memaksa Ibnu Hadjar mundur dan mengalami perpecahan kekuatan.

Diskrepansi Penyelesaian Politik dan Hukuman

Puncak penumpasan di Kalsel terjadi ketika Ibnu Hadjar menyerahkan diri pada Juli 1963, setelah dijanjikan pengampunan oleh pemerintah. Namun, janji ini tidak terealisasi. Ibnu Hadjar secara resmi ditangkap pada September 1963, diadili di Mahkamah Militer pada 11 Maret 1965, dan dijatuhi hukuman mati.

Perbedaan nasib antara penyelesaian di Aceh, yang berujung pada pemberian status Daerah Istimewa dan musyawarah damai, dengan eksekusi Kartosoewirjo dan Ibnu Hadjar menunjukkan batas toleransi negara. Pemerintah bersedia berkompromi dengan tuntutan struktural atau regional (seperti otonomi Aceh), tetapi menerapkan preseden keras terhadap mereka yang mengangkat senjata sebagai bentuk pengkhianatan militer atau ideologis terhadap kedaulatan RI. Eksekusi Ibnu Hadjar, terutama setelah janji pengampunan, menegaskan ketegasan negara terhadap figur militer yang membelot dan mengklaim kedaulatan baru di bawah panji NII.

Implikasi Jangka Panjang Dan Warisan Ideologi NII

Dengan penangkapan Kartosoewirjo pada 1962 dan eksekusinya pada 5 September 1962, serta eksekusi Ibnu Hadjar pada 1965, pemberontakan DI/TII sebagai gerakan bersenjata skala besar secara resmi berakhir. Meskipun ancaman militer telah dinetralisir, ideologi Negara Islam Indonesia terbukti memiliki daya tahan yang signifikan.

Konsolidasi Negara dan Warisan Keamanan

Pengalaman pahit DI/TII memaksa Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengembangkan doktrin kontra-insurgensi yang lebih terstruktur dan terpadu. Konflik ini mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi yang tidak dapat diganggu gugat dan sekaligus menetapkan batas toleransi pemerintah terhadap gerakan politik berbasis agama yang menuntut kedaulatan tandingan.

Fraksionalisasi dan Reinkarnasi Gerakan: NII Komandemen Wilayah IX (KW IX)

Ideologi NII terbukti tidak mati bersama pemimpinnya. Setelah wafatnya Kartosoewirjo, NII terpecah menjadi banyak faksi. Pada tahun 1999, publik dikejutkan dengan kemunculan kembali NII Komandemen Wilayah IX (KW IX), yang dipimpin oleh Abu Toto Abdussalam.

Meskipun NII KW IX dianggap sebagai pengembangan de facto dan de jure dari NII S.M. Kartosoewirjo dan memiliki tujuan yang sama (mendirikan Negara Islam Indonesia), faksi baru ini mengalami pergeseran doktrinal yang signifikan. Perbedaan ini menunjukkan adaptasi gerakan tersebut dari konfrontasi militer terbuka menjadi penetrasi ideologis dan finansial di bawah permukaan.

Pergeseran Doktrinal: Dari Jihad Militer ke Kontrol Sosial dan Finansial

Perbedaan doktrin dan strategi antara NII asli Kartosoewirjo dan NII KW IX menunjukkan evolusi pragmatis ideologi radikal untuk bertahan dalam lingkungan politik yang berbeda, dengan fokus pada kerahasiaan dan kontrol anggota.

Perbedaan Doktrinal Utama antara NII Kartosoewirjo dan NII KW IX

Bidang Doktrin NII Kartosoewirjo (1949–1962) NII KW IX (Pasca-1990an)
Sifat Gerakan Gerakan bersenjata, bersifat terbuka. Gerakan pendidikan, bersifat tertutup, rahasia.
Bentuk Negara Jumhãriyyah atau Republik. Sistem Khiláfah yang dimulai dengan Jumuãriyyah (Republik)
Konstitusi Negara Hukum Islam (Fiqih Salafi) dan Qanun Asasi. Hukum Islam hasil Ijtihad intern KW IX (reinterpretasi baru, sangat pragmatis).
Ibadah Ritual (Shalat) Shalat diwajibkan, dengan sanksi tegas (Tark al-Salat). Meninggalkan shalat ritual dianggap belum wajib (Salat aqim ad-dân = penegakan negara).
Zakat/Infaq Normal. Dipungut secara ketat (harakah Ramadáan, harakah qurbán), meskipun shalat belum diwajibkan (inkonsisten).
Pernikahan Boleh menikah dengan siapa saja yang muslim. Hanya boleh menikah dengan sesama anggota NII KW IX. Wali/saksi wajib dari kalangan mereka.

Modifikasi doktrinal, terutama penangguhan shalat ritual dan penerapan pernikahan endogami, menunjukkan bahwa ideologi ini telah bertransformasi menjadi teknik kontrol sosial dan finansial. Dengan menunda kewajiban shalat ritual, mereka membebaskan anggota dari praktik yang sulit dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga memudahkan gerakan klandestin. Di sisi lain, penekanan pada infaq yang ketat memastikan aliran dana yang konstan untuk keberlangsungan gerakan. Selain itu, aturan pernikahan eksklusif menciptakan lingkungan dar al-Islam yang tertutup dan meningkatkan loyalitas, menjadikannya pola kultus yang tersembunyi. Adaptasi ini menunjukkan bahwa ancaman ideologis NII telah bergeser dari konfrontasi militer langsung menjadi metode infiltrasi dan pengumpulan sumber daya secara rahasia.

Kesimpulan Dan Diskusi Kritis

Sintesis Faktor Kausalitas: Ideologi, Regionalisme, dan Respon Negara

Pemberontakan DI/TII yang berlangsung selama lebih dari satu dekade merupakan konflik multi-faset yang tidak dapat direduksi hanya menjadi masalah ideologi semata. Konflik ini adalah bukti nyata dari tantangan yang dihadapi negara muda dalam menyeimbangkan konsolidasi politik (ditentukan oleh perjanjian diplomatik seperti Renville dan KMB) dengan aspirasi ideologis dan kebutuhan militer lokal.

Pemicu utama di Jawa Barat adalah idealisme Kartosoewirjo yang radikal, yang diperkuat oleh kekecewaan faktual terhadap lemahnya kedaulatan RI di masa Revolusi. Sementara di daerah lain (Aceh dan Kalimantan Selatan), ideologi NII hanya berfungsi sebagai payung untuk memprotes kegagalan pusat dalam menangani isu-isu regional, seperti janji otonomi yang diingkari atau diskriminasi dalam integrasi militer. Variasi penyebab ini menegaskan bahwa DI/TII adalah cerminan dari kegagalan integrasi nasional pada masa awal kemerdekaan.

Signifikansi DI/TII dalam Lintasan Sejarah Politik Islam Indonesia

Secara militer, Pemberontakan DI/TII berhasil ditumpas melalui operasi gabungan yang efektif, terutama strategi isolasi total (Pagar Betis) di Jawa Barat dan taktik pemutusan logistik di Kalimantan Selatan. Keputusan pemerintah pusat untuk memilih antara akomodasi politik (Aceh) dan hukuman mati (Kartosoewirjo dan Ibnu Hadjar) menetapkan cetak biru bagi penanganan ancaman internal di masa depan.

Secara politik dan doktrinal, DI/TII memiliki signifikansi abadi:

  1. Pengukuhan Pancasila: Pemberontakan ini secara definitif mengukuhkan posisi Pancasila sebagai dasar negara dan membatasi ambisi gerakan berbasis agama untuk membentuk negara teokratis melalui jalur kekerasan.
  2. Evolusi Ancaman: Meskipun gerakan bersenjata utama telah berakhir, ideologi NII terus hidup dan berevolusi, terutama dalam bentuk NII KW IX. Pergeseran doktrinal gerakan ini dari jihad militer menjadi kontrol kultus dan penggalangan dana menunjukkan bahwa ancaman ideologi radikal di Indonesia bersifat adaptif.

Kesimpulannya, Pemberontakan DI/TII adalah babak krusial yang menguji ketahanan fundamental Republik Indonesia. Sementara negara berhasil mengalahkan ancaman militer pada tahun 1960-an, perjuangan ideologis yang beradaptasi dan berkembang di bawah permukaan menegaskan bahwa warisan konflik ini terus relevan bagi stabilitas keamanan dan persatuan bangsa hingga saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 1 = 4
Powered by MathCaptcha