Abu Dzarr dalam Konteks Ekonomi Politik Islam Awal

Abu Dzarr al-Ghifari, yang nama aslinya adalah Jundub ibn Junadah, merupakan tokoh sentral dalam sejarah Islam awal, khususnya dalam konteks perdebatan mengenai keadilan sosial dan pengelolaan kekayaan. Berasal dari Bani Ghifar, suku Kinanah, beliau dikenal sebagai salah satu individu yang paling awal memeluk Islam, sering disebut sebagai orang keempat atau kelima yang menerima risalah Nabi Muhammad SAW. Keislamannya yang sangat dini memberikannya otoritas spiritual yang mendalam di mata umat Muslim.

Karakteristik Abu Dzarr yang paling menonjol adalah kesederhanaan, ketaatan yang ketat (strict piety), dan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap kebenaran. Nabi Muhammad SAW bahkan memujinya dengan mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih jujur di bawah langit selain Abu Dzarr. Sifat agresifnya dalam memperjuangkan kebenaran dan ketegasannya dalam prinsip membuatnya menjadi figur yang menonjol dan terkadang kontroversial. Otoritas moral yang diperolehnya dari kesetiaan dan asketisme pribadi ini menjadi landasan kuat bagi kritiknya yang kemudian diarahkan kepada kepemimpinan politik pada masa Khilafah Rasyidin, khususnya di era Khalifah Utsman bin Affan.

Pandangan ekonomi Abu Dzarr tidak muncul dalam kekosongan ideologis, melainkan sebagai respons langsung terhadap perubahan materialistik dramatis yang terjadi di pusat-pusat kekuasaan Islam. Periode Khulafaur Rasyidin kedua dan ketiga ditandai oleh ekspansi militer yang sukses, membawa gelombang kekayaan (Ghanimah dan Fai’) yang melimpah ke Madinah dan Syam. Kemakmuran ini, meskipun secara ekonomi positif bagi kekhalifahan, secara sosiologis menciptakan kesenjangan sosial yang tajam, kontras dengan idealisme kesederhanaan yang dipraktikkan Nabi di Madinah. Abu Dzarr meninggal di pengasingan di Al-Rabadha pada tahun 652 M (31 H), sebuah simbol pengorbanan dirinya demi prinsip keadilan egaliter.

Metodologi dan Sumber Primer Kritik Ekonomi Abu Dzarr

Laporan ini menganalisis pandangan ekonomi Abu Dzarr dengan kerangka kerja yang menempatkannya bukan sekadar sebagai penolakan harta pribadi, tetapi sebagai sebuah sistem filsafat sosio-ekonomi berdasarkan keadilan radikal (adl). Metodologi yang digunakan adalah analisis komparatif-kritis terhadap interpretasi tekstual Abu Dzarr, membandingkannya dengan tafsir mayoritas ulama (jumhur), dan menempatkan konflik ini dalam konteks perubahan struktur ekonomi dan politik Khilafah Rasyidin.

Pandangan ekonomi Abu Dzarr berakar pada dua pilar teologis utama: pertama, prinsip asketisme yang ketat (Zuhd), dan kedua, interpretasi radikal terhadap larangan penimbunan harta (Kanz). Sumber utama kritik ekonominya berasal dari hadis-hadis yang menekankan kesederhanaan dan keadilan sosial, serta interpretasinya terhadap ayat Al-Qur’an tentang kanz, khususnya Surah At-Taubah (9:34-35). Memahami perdebatan mengenai definisi  kanz adalah kunci untuk membedah filosofi ekonomi politik Abu Dzarr. Tujuan dari analisis ini adalah untuk menggali implikasi praktis dari konsep kezuhudan yang ia pegang demi pembangunan masyarakat yang lebih manusiawi dan berkeadilan di masa depan.

Landasan Teologis: Pilar Zuhd dan Doktrin Kanz

Bagian ini membahas inti ajaran ekonomi Abu Dzarr, yang secara fundamental menantang pemikiran konvensional tentang kepemilikan dan akumulasi kekayaan dalam masyarakat Islam yang baru makmur.

Konsep Zuhd (Asketisme) dalam Kehidupan Abu Dzarr

Asketisme, atau zuhud, secara linguistik berarti meninggalkan dan tidak menyukai sesuatu. Dalam konteks agama,  zahida fi al-dunya berarti menjauhkan diri dari kesenangan duniawi untuk memfokuskan diri pada ibadah dan kehidupan akhirat. Bagi Abu Dzarr, zuhud adalah manifestasi etika pribadi yang tak terpisahkan dari kritik sosialnya.

Beliau diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk memelihara hubungan dekat dengan kerabat, mencintai orang miskin, dan mendekati mereka. Yang paling penting, Nabi memerintahkannya untuk melihat kepada mereka yang lebih rendah darinya (secara materi) dan tidak meminta apa pun dari siapa pun. Kehidupan Abu Dzarr adalah penerapan literal dari perintah-perintah ini. Ia memimpin kehidupan yang sangat sederhana, bahkan menolak semua upaya untuk memegang jabatan apa pun dalam kekaisaran Islam yang sedang berkembang. Pengejaran hal-hal duniawi, dalam pandangannya, akan mengambil fokus umat Islam dari tujuan utama penciptaan mereka, yaitu beribadah kepada Allah dan berinteraksi secara adil.

Asketisme yang ekstrem ini memiliki fungsi ganda: ia adalah sebuah etika pribadi dan sebuah instrumen kritik politik yang kuat. Dengan hidup dalam kesederhanaan total, menolak jabatan, dan menghindari kekayaan , Abu Dzarr secara efektif membangun otoritas moral yang tak terbantahkan. Kontras antara kemiskinan sukarela Abu Dzarr dan kemewahan yang mulai dinikmati para penguasa dan elit baru (seperti Mu’awiyah dan keluarga Utsman) menciptakan tekanan moral yang intens pada rezim. Kepatuhan pribadinya yang luar biasa terhadap idealisme Islam awal memastikan bahwa kritiknya terhadap kebijakan Utsman dan Mu’awiyah tidak dapat disanggah sebagai motif pribadi atau politik, melainkan murni demi prinsip agama.

Hermeneutika Kanz: Titik Pusat Filsafat Ekonomi Abu Dzarr

Inti dari filosofi ekonomi Abu Dzarr terletak pada interpretasinya terhadap larangan menimbun harta (kanz). Ayat kunci dalam hal ini adalah QS At-Taubah (9:34-35): ” Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.”.

Interpretasi Radikal Abu Dzarr

Abu Dzarr berpendapat bahwa kanz merujuk pada harta apa pun (emas dan perak) yang disimpan atau ditimbun melebihi kebutuhan primer seseorang, meskipun kewajiban zakatnya telah dibayarkan. Baginya, setiap surplus harta yang tidak segera diinfakkan di jalan Allah (fī sabīlillāh) adalah subjek ancaman azab yang pedih. Beliau secara eksplisit menyatakan bahwa ayat ini berlaku universal, ditujukan kepada Muslim dan juga Ahli Kitab, yang secara langsung menantang pandangan para penguasa saat itu. Pandangannya ini secara filosofis menolak akumulasi modal yang tidak produktif.

Kontradiksi dengan Pandangan Mayoritas (Jumhur)

Interpretasi Abu Dzarr ini bertentangan tajam dengan pandangan yang dipegang oleh mayoritas ulama dan yang didukung oleh elit penguasa pada masa itu. Tafsir yang diterima secara umum (tradisional) mendefinisikan kanz sebagai harta yang ditimbun dan belum ditunaikan kewajiban zakatnya. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ketika berhadapan dengan Abu Dzarr di Syam, menegaskan bahwa ayat tersebut hanya berlaku untuk Ahli Kitab, atau secara implisit, hanya berlaku bagi Muslim yang mengabaikan Zakat. Menurut pandangan jumhur, setelah zakat sebesar 2.5% dibayar, sisa harta adalah halal untuk disimpan atau diinvestasikan.

Perbedaan tafsir mengenai kanz merupakan titik pisah fundamental dalam filsafat ekonomi Islam awal. Ini bukan sekadar isu hukum (fiqh), tetapi isu politik-ideologis. Jika kanz hanya berarti tidak membayar Zakat, kewajiban fiskal individu dibatasi, dan kepemilikan swasta skala besar dilegitimasi, mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis akumulasi modal. Sebaliknya, jika kanz berarti semua surplus di luar kebutuhan (pandangan Abu Dzarr), itu menuntut infaq sosial yang berkelanjutan di luar Zakat dan secara fundamental menolak pembentukan kelas konglomerat. Pandangan radikal ini mengimplikasikan sistem yang menuntut redistribusi kekayaan yang hampir total, yang secara langsung mengancam struktur ekonomi kekaisaran yang baru lahir.

Tabel 2.2.1: Komparasi Tafsir Kanz (QS At-Taubah 9:34)

Aspek Tafsir Pandangan Abu Dzarr (Egaliter Radikal) Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur)
Definisi Kanz Harta (emas/perak) yang disimpan dan melebihi kebutuhan primer, meskipun Zakatnya telah ditunaikan. Harta yang ditimbun yang belum ditunaikan kewajiban Zakatnya.
Sifat Larangan Larangan bersifat etis-sosial-teologis: Akumulasi harta adalah dosa yang membawa kepada azab. Larangan bersifat hukum-fiskal: Dosa utama adalah menahan Zakat.
Implikasi Terhadap Kepemilikan Menganjurkan kepemilikan yang sangat terbatas (hanya sebatas kebutuhan). Menganjurkan kepemilikan pribadi yang tidak terbatas, asalkan kewajiban Zakat dipenuhi.

Kritik terhadap Oligarki: Kesenjangan Kekayaan Era Utsmaniah

Pandangan ekonomi Abu Dzarr muncul sebagai kritik terhadap fenomena sosial-ekonomi spesifik yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (644–656 M).

Transformasi Ekonomi Madinah Pasca-Penaklukan

Kekhalifahan Rasyidin di bawah Utsman mengalami periode kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penaklukan yang dilakukan sebelumnya membawa Fai’ (harta yang diperoleh tanpa pertempuran) dan Ghanimah (harta rampasan perang) dalam jumlah besar, yang didistribusikan dan disalurkan ke pusat pemerintahan. Kemakmuran ini secara alami menciptakan pembentukan kelas elit kaya raya. Khalifah Utsman sendiri adalah seorang konglomerat yang kekayaannya abadi dan terus bertambah bahkan hingga era modern.

Bagi Abu Dzarr, kemunculan kekayaan pribadi yang masif ini merupakan penyimpangan serius dari etos egaliter yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Nabi hidup dalam kesederhanaan ekstrem, makan roti jelai, dan berkendara dengan keledai tanpa pelana, sebuah kontras dramatis dengan kemewahan istana Kekaisaran Persia atau Romawi yang baru dikalahkan. Abu Dzarr merasakan kesenjangan besar ini dan melihatnya sebagai ancaman terhadap kemurnian Islam.

Seruan Keadilan Distributif dan Ekuitas Sosial

Kritik Abu Dzarr secara eksplisit menuntut distribusi kekayaan yang setara (equitable redistribution of wealth). Beliau percaya bahwa kesetaraan (Equality) harus menjadi aturan utama (the rule) dalam masyarakat Islam. Menurutnya, harta adalah milik Allah (Mal Allah) dan fungsinya harus diwujudkan bagi kemaslahatan umat. Beliau mendorong umat Islam untuk membelanjakan uang mereka di jalan Allah (fī sabīlillāh) dan membantu fakir miskin dan yang membutuhkan.

Konflik Abu Dzarr adalah perjuangan ideologis pertama dalam sejarah Islam mengenai peran negara dalam mengelola kekayaan publik (Baitul Mal) dan memastikan keadilan distributif, menentang kecenderungan oligarki yang sedang tumbuh. Secara teoretis, Fai’ yang diperoleh tanpa pertempuran adalah milik publik yang harus dikelola oleh Khalifah. Namun, kritik Abu Dzarr menunjukkan tuduhan bahwa Utsman menggunakan dana publik atau posisi strategis (melalui nepotisme) untuk memperkaya Bani Umayyah, yang dilihat sebagai transfer kekayaan dari domain publik ke domain pribadi elit. Konsekuensinya, Abu Dzarr menantang legitimasi ekonomi rezim Utsman, menganggap praktik ini sebagai pengkhianatan terhadap prinsip egaliter yang ditetapkan pada masa kenabian.

Isu Nepotisme dan Korupsi Administrasi Fiskal

Kritik utama Abu Dzarr secara langsung menargetkan kebijakan ekonomi Utsman, yang dicirikan oleh nepotisme dan pengelolaan kekayaan yang dianggap sangat tidak adil. Beliau mengecam keras praktik pengangkatan anggota keluarga Utsman (terutama dari Bani Umayyah) ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan. Praktik ini dituduh memfasilitasi pemusatan kekayaan di tangan segelintir keluarga kaya, terutama di kalangan Bani Umayyah, yang pada gilirannya memperparah ketimpangan sosial.

Kritik ini meluas hingga menyoroti isu korupsi dalam pemerintahan. Abu Dzarr secara terbuka menyatakan bahwa kekayaan umat Islam semakin terpusat pada segelintir orang, sementara banyak Muslim lain hidup dalam kemiskinan. Dengan demikian, kritiknya terhadap kanz menjadi landasan teologis untuk menentang struktur kekuasaan yang dianggapnya telah mengkorupsi prinsip-prinsip ekonomi Islam demi kepentingan kelas elit.

Dialektika Kekuasaan dan Ideologi: Konflik dan Pengasingan

Ketegangan yang diakibatkan oleh pandangan radikal Abu Dzarr dan keteguhan pribadinya akhirnya mencapai titik konfrontasi fisik dengan elit penguasa.

Konfrontasi Ideologis di Syam

Konflik pertama terjadi di Syam (Suriah), yang saat itu diperintah oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah telah mengadopsi gaya hidup yang mencerminkan kemewahan kekaisaran yang ia kelola. Abu Dzarr secara terbuka memprotes akumulasi kekayaan ini.

Konfrontasi paling terkenal adalah ketika Abu Dzarr mengutip QS At-Taubah 9:34, menegaskan bahwa ancaman azab itu berlaku untuk para penguasa Muslim yang menimbun harta, termasuk Mu’awiyah dan elitnya. Mu’awiyah mencoba membatasi lingkup ayat tersebut, berargumen bahwa ia hanya ditujukan kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Abu Dzarr dengan tegas membalas, “Ayat itu berlaku untuk kami dan mereka”. Karena Mu’awiyah tidak dapat membungkam Abu Dzarr, yang memiliki otoritas moral Sahabat senior, ia terpaksa mengirim Abu Dzarr kembali ke Madinah.

Ketegangan di Madinah dan Keputusan Pengasingan

Setibanya di Madinah, Abu Dzarr melanjutkan kritiknya, kali ini langsung menargetkan Khalifah Utsman bin Affan, dengan fokus pada ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan nepotisme. Khalifah Utsman menghadapi dilema politik yang besar: kritik Abu Dzarr, berbasis pada interpretasi ketat  kanz, secara langsung memicu ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan ekonomi elit, mengancam stabilitas di pusat pemerintahan.

Keputusan akhirnya adalah pengasingan Abu Dzarr ke Al-Rabadha, sebuah gurun di timur Madinah. Kematiannya di sana pada tahun 652 M, dalam keadaan terisolasi, menjadi simbol pengorbanan ideologi egalitarian. Pengasingan ini harus dianalisis bukan sebagai hukuman semata, tetapi sebagai strategi manajemen konflik politik. Sebagai pemimpin yang sah, Utsman tidak bisa membiarkan narasi keadilan sosial radikal ini beredar di pusat-pusat kekuasaan (Madinah dan Syam), yang merupakan sumber utama legitimasi dan penerimaan fiskal. Pengasingan secara efektif menghilangkan sumber agitasi dan ideologi radikal dari pusat pengambilan keputusan, sekaligus memungkinkan Abu Dzarr mempertahankan integritas moralnya—sebuah pengakuan diam-diam terhadap otoritas spiritualnya. Kematiannya di pengasingan menandai bahwa idealisme egaliter Islam awal telah dikalahkan oleh pragmatisme politik dan realitas kekaisaran.

Tabel 4.2.1: Kronologi Ketegangan Ekonomi-Politik Abu Dzarr

Periode Lokasi Fokus Kritik Ekonomi Aksi Pemerintah Signifikansi/Implikasi
Masa Utsman (Awal) Syam (Damaskus) Akumulasi kanz oleh Mu’awiyah; Tafsir eksklusif QS 9:34. Mu’awiyah mencoba membatasi kritik, lalu mengirimnya ke Madinah. Konfrontasi teologis-politik pertama mengenai batas kepemilikan pribadi setelah Zakat.
Masa Utsman (Puncak) Madinah Nepotisme Utsman; Konsentrasi kekayaan Bani Umayyah; Ketimpangan distribusi. Ketegangan meningkat dengan Khalifah; Keputusan untuk mengasingkan. Ideologi egaliter Abu Dzarr secara langsung menantang struktur oligarki yang berkembang.
Akhir Hayat (652 M) Al-Rabadha Penegasan zuhd total; Hidup dalam kesendirian. Isolasi ideologis. Penanda historis bahwa idealisme egaliter telah dikalahkan oleh pragmatisme kekaisaran.

Abu Dzarr sebagai Model Muhasabah (Pelurus Penguasa)

Terlepas dari nasibnya, Abu Dzarr tetap dikenang sebagai model Sahabat yang tidak takut mengkritik penguasa demi kebenaran. Kehidupannya menunjukkan pentingnya  muhasabah atau koreksi terhadap kekuasaan yang menyimpang dari prinsip-prinsip syariah, bahkan jika kritikan itu pahit. Dalam sejarah Islam, ia adalah contoh utama dari seorang aktivis sosial-teologis yang menolak diam di hadapan keserakahan yang meluas di masyarakat Muslim pasca-penaklukan.

Warisan Intelektual dan Relevansi Kontemporer: Proto-Sosialisme Islam

Pandangan Abu Dzarr mengalami kebangkitan signifikan di kalangan pemikir modern yang mencari dasar ideologis Islam untuk melawan ketidaksetaraan global.

Identifikasi sebagai Antiseden Sosialisme Islam

Abu Dzarr secara luas diakui oleh akademisi dan pemikir revolusioner modern sebagai antiseden utama dari Sosialisme Islam, atau bahkan disebut sebagai sosialis Islam pertama (the first Islamic socialist). Konsep Sosialisme Islam berupaya menggabungkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan redistribusi yang ketat (seperti yang dituntut Abu Dzarr) dengan kerangka hukum syariah, menawarkan solusi yang berbeda dari kapitalisme Barat maupun komunisme Marxis.

Egalitarianisme Abu Dzarr yang menuntut kesetaraan dan equitable redistribution of wealth memberikan fondasi historis dan teologis bagi gerakan-gerakan ini. Kebangkitannya pada abad ke-20 merupakan respons ideologis terhadap kegagalan model pembangunan pasca-kolonial. Para pemikir membutuhkan pahlawan sejarah Islam yang dapat menentang otokrasi Timur Tengah (yang sering didukung oleh ulama tradisional) dan model ekonomi kapitalis. Abu Dzarr menyediakan narasi legitimasi yang sempurna karena ia adalah simbol oposisi murni dan suci terhadap kelas penguasa yang korup (Bani Umayyah).

Analisis Ali Shariati: “And Once Again Abu-Dhar”

Salah satu reintrepretasi paling berpengaruh terhadap Abu Dzarr berasal dari sosiolog dan ideolog revolusioner Iran, Dr. Ali Shariati. Dalam karyanya, “And Once Again Abu-Dhar,” Shariati secara eksplisit menempatkan Abu Dzarr sebagai figur sentral yang menghubungkan perjuangan kelas modern dengan sejarah Islam.

Shariati berargumen bahwa dalam isu-isu sosial dan positioning, Allah dan massa (al-nas, rakyat) berada dalam front yang sama. Dia mereinterpretasi istilah teologis kunci:

  1. Sabilillah (Jalan Allah): Diterjemahkan sebagai Jalan Rakyat (the way of the people). Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran wajib harus diarahkan pada kepentingan kolektif masyarakat, bukan hanya ibadah ritual.
  2. Mal Allah (Harta Allah): Diterjemahkan secara objektif sebagai Harta Rakyat (the property of the people)..

Interpretasi ini secara radikal melegitimasi tuntutan redistribusi total, karena menganggap akumulasi modal sebagai perampasan hak milik rakyat. Shariati menggunakan perbandingan dramatis antara kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sederhana (hidup dengan roti jelai) dengan kemewahan Kaisar Persia dan Romawi untuk menggarisbawahi kegagalan elit Muslim pasca-Nabi. Abu Dzarr menjadi pewaris langsung etika kenabian ini. Warisan Abu Dzarr, melalui lensa Shariati, bertransisi dari kritik teologis historis menjadi alat politik kontemporer untuk mobilisasi massa dan justifikasi redistribusi setara sebagai tugas agama.

Relevansi dan Batasan dalam Ekonomi Modern

Pandangan Abu Dzarr yang mengharuskan semua surplus dibelanjakan (infaq) menghadapi tantangan besar dalam kerangka ekonomi modern. Ekonomi modern, yang mengandalkan investasi, inovasi, dan mitigasi risiko, memerlukan akumulasi modal (tabungan jangka panjang) dan diferensiasi kekayaan. Penerapan literal pandangan kanz Abu Dzarr akan menghilangkan insentif untuk investasi dan berpotensi menyebabkan stagnasi ekonomi.

Oleh karena itu, sebagian besar sistem ekonomi Islam kontemporer cenderung mengadopsi pandangan jumhur ulama mengenai kanz (yang fokus pada penunaian Zakat) sebagai kerangka hukum operasional yang lebih kompatibel dengan sistem pasar yang diatur. Meskipun demikian, semangat egalitarian Abu Dzarr tetap relevan sebagai kritik terhadap ketidaksetaraan global yang semakin melebar dan sebagai standar etika sosial yang ketat. Ia berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa kekayaan pribadi memiliki fungsi sosial yang melampaui kewajiban fiskal minimal.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Sintesis Filosofi Ekonomi Abu Dzarr

Pandangan ekonomi Abu Dzarr al-Ghifari adalah sebuah ekspresi egaliter radikal yang didasarkan pada penafsiran ketat terhadap konsep Zuhd (asketisme total) dan Kanz (larangan penimbunan semua harta surplus). Filosofi ini adalah upaya keras untuk melestarikan idealisme sosio-ekonomi Madinah awal, di mana keadilan distributif harus memastikan kebutuhan semua orang terpenuhi dan menghilangkan kemewahan yang tidak perlu di kalangan elit.

Konflik utamanya dengan Khalifah Utsman dan Mu’awiyah adalah sebuah perjuangan mendefinisikan ekonomi politik Islam: apakah negara akan melegitimasi akumulasi modal swasta dalam batas-batas Zakat (pandangan jumhur), ataukah ia harus secara aktif memberlakukan distribusi wajib total dari surplus (pandangan Abu Dzarr). Sejarah mencatat, pandangan pragmatis yang mendukung akumulasi modal akhirnya menang.

Implikasi Praktis bagi Etika Bisnis dan Kebijakan Fiskal Islam Modern

Meskipun pandangan Abu Dzarr tentang kanz sulit diterapkan secara harfiah sebagai kebijakan fiskal total di era modern, semangatnya tetap menyediakan rem moral (ethical constraint) yang krusial bagi pemegang modal dan pembuat kebijakan.

  1. Etika Bisnis dan Konsumsi: Etika Abu Dzarr menuntut standar kedermawanan yang melampaui kepatuhan hukum minimal (Zakat). Hal ini mendorong perusahaan dan individu Muslim untuk mengadopsi tingkat infaq dan tanggung jawab sosial yang jauh lebih tinggi, secara sukarela membatasi kemewahan dan konsumsi yang tidak perlu.
  2. Implikasi Kebijakan Fiskal: Semangat egaliter Abu Dzarr dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan fiskal modern melalui:
  • Pajak Progresif Tinggi: Penerapan pajak progresif yang agresif pada pendapatan dan kekayaan yang sangat besar untuk mengurangi kesenjangan.
  • Infaq Wajib Tambahan: Penerapan mekanisme di luar Zakat—seperti infaq wajib yang diorientasikan pada kebutuhan sosial spesifik (misalnya, pendidikan atau kesehatan)—yang dilegitimasi oleh prinsip sabilillah yang lebih luas (Jalan Rakyat).

Sebagai rekomendasi, pandangan Abu Dzarr harus diposisikan dalam pemikiran Islam modern sebagai batas ideal normatif yang harus diupayakan oleh masyarakat Muslim, yang menuntut perjuangan tanpa henti melawan ketidakadilan dan ketimpangan struktural, bahkan ketika kerangka hukum operasional (positif) berasal dari penafsiran jumhur ulama. Ideologinya adalah pengingat bahwa Islam menuntut kesetaraan sosial yang radikal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

58 − 55 =
Powered by MathCaptcha