Thomas Hobbes (1588–1679) diakui secara luas sebagai salah satu pendiri filsafat politik modern. Pemikiran filosofis dan politiknya yang revolusioner tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah yang penuh kekerasan dan ketidakstabilan di Inggris abad ke-17. Mahakarya utamanya, Leviathan (1651), diterbitkan selama periode kritis Perang Saudara Inggris (1642–1651).

Pengalaman Hobbes menyaksikan konflik internal yang merusak dan eksekusi Raja Charles I pada tahun 1649 sangat memengaruhi fokusnya pada masalah ketertiban, keamanan, dan upaya menghindari konflik sipil. Selain perang sipil, filsafatnya juga dibentuk oleh pertentangan yang sengit antara Raja dan Parlemen, serta perpecahan teologis antara Gereja Anglikan resmi, Kaum Puritan, dan golongan Katolik. Konflik-konflik tersebut memberikan bukti empiris yang gamblang mengenai kekacauan yang akan timbul jika tidak ada otoritas pusat yang kuat dan tak terbagi.

Tujuan Filosofis: Sains Politik Berdasarkan Rasio

Hobbes tidak sekadar menawarkan solusi politik; ia bercita-cita untuk mendirikan ilmu pengetahuan politik yang objektif. Terpengaruh oleh ide-ide ilmiah kontemporer, seperti karya Galileo dan Kepler , Hobbes berupaya menciptakan sistem politik yang bersifat “kuasi-geometris”. Dalam sistem ini, kesimpulan-kesimpulan politik harus mengikuti premis-premis yang pasti dan tak terhindarkan.

Tujuan utama Leviathan adalah memecahkan masalah abadi ketertiban sosial dan politik: bagaimana manusia dapat hidup bersama secara damai dan menghindari bahaya kematian yang diakibatkan oleh konflik sipil. Karya ini menyajikan formulasi berpengaruh dari teori kontrak sosial yang membenarkan kekuatan pemerintah yang luas atas dasar konsensus yang didorong oleh kepentingan diri (self-interested consent). Dengan melihat trauma Perang Saudara sebagai manifestasi nyata terburuk dari Keadaan Alamiah, Hobbes memberikan urgensi moral yang mendalam pada solusi absolutnya. Pilihan antara kebebasan yang kacau dan ketertiban otoriter menjadi pilihan rasional bagi kelangsungan hidup.

Fondasi Epistemologis dan Antropologi: Materialisme dan Mekanisme

Materialisme dan Mekanisme

Filsafat Hobbes berakar kuat pada Materialisme, sebuah pandangan metafisik yang menegaskan bahwa hanya benda material yang nyata. Hobbes menggunakan Materialisme untuk menyajikan semua fenomena yang diamati, termasuk perilaku manusia, sebagai efek dari materi dalam gerakan (matter in motion). Pendekatan ini memungkinkan Hobbes untuk mendekati politik sebagai cabang fisika, di mana perilaku manusia dapat diprediksi dan solusi politik yang optimal dapat dihitung secara rasional.

Pendekatan materialis Hobbes bahkan meluas ke dalam domain yang paling spiritual. Dalam karya-karya utamanya, termasuk Leviathan dan De Corpore, Hobbes meyakini bahwa manusia (termasuk pikiran mereka) sepenuhnya bersifat material. Secara kontroversial pada masanya, pandangan materialis ini menyebabkan Hobbes menolak ide zat yang tak berwujud (incorporeal substances), bahkan berargumen bahwa Tuhan sendiri adalah zat korporeal—sebuah pandangan yang banyak ditafsirkan sebagai dekat dengan ateisme atau setidaknya sangat menantang otoritas Gereja. Konsolidasi ini menggarisbawahi upaya Hobbes untuk menghilangkan dualitas metafisik yang dapat merusak kedaulatan politik yang bersatu.

Pandangan Hobbes tentang Sifat Manusia

Antropologi Hobbes bersifat mekanistik dan pesimis. Ia berpendapat bahwa manusia pada dasarnya setara, baik dalam kemampuan fisik maupun mental. Kesamaan ini, ironisnya, adalah sumber utama konflik, karena jika semua orang setara, maka setiap orang memiliki harapan yang sama untuk mencapai tujuannya, yang mengarah pada persaingan.

Meskipun sering disederhanakan sebagai pandangan egoisme murni, di mana manusia secara alami egois dan hanya mementingkan diri sendiri—bersaing untuk mencapai kepentingan pribadi —para sarjana mengakui bahwa Hobbes memiliki pandangan yang lebih kompleks tentang motivasi manusia. Namun demikian, pandangannya yang tegas adalah bahwa tanpa otoritas, masalah ketidakamanan universal yang ditimbulkan oleh sifat manusia ini tidak dapat dihindari, terlepas dari apakah manusia itu sepenuhnya egois atau hanya sebagian besar. Semua hasrat dan nafsu manusia dipahami secara mekanistik, menetapkan dasar bagi ilmu pengetahuan objektif moralitas.

Keadaan Alamiah (Status Naturalis): Perang Semua Melawan Semua

Keadaan Alamiah sebagai Konstruksi Teoritis

Keadaan Alamiah (State of Nature) Hobbes adalah konsep sentral dalam filsafat politiknya, yang disajikan dalam De Cive (1642) dan Leviathan (1651). Penting untuk dipahami bahwa keadaan ini bukanlah deskripsi historis tentang masyarakat primitif. Sebaliknya, seperti yang dijelaskan oleh Jean Hampton, ini adalah konstruksi teoretis atau  perangkat heuristik yang dirancang untuk mendemonstrasikan konsekuensi logis dari ketiadaan otoritas politik yang berdaulat. Melalui konstruksi ini, Hobbes meletakkan dasar argumen bahwa kekuasaan politik dan hukum adalah kreasi artifisial yang esensial.

Deskripsi Kehidupan dalam Anarki

Dalam Keadaan Alamiah, setiap individu sepenuhnya bebas untuk memutuskan sendiri apa yang dibutuhkan, apa yang benar, apa yang saleh, dan bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri. Karena tidak ada otoritas umum untuk menyelesaikan perselisihan yang serius, kondisi ini secara alami mengarah pada “keadaan perang”. Hobbes memberikan deskripsi terkenal untuk kondisi ini:  Bellum omnium contra omnes—”perang semua melawan semua”.

Dalam kondisi ini, kehidupan manusia dipandang sebagai situasi ketidakamanan universal, di mana kerja sama yang bermanfaat hampir mustahil. Ini adalah kondisi di mana tidak ada masyarakat, dan setiap orang menggunakan kecerdasannya hanya untuk mempertahankan diri melawan orang lain.

Pendorong Utama: Ketakutan akan Kematian

Meskipun manusia didorong oleh berbagai nafsu egois, terdapat satu nafsu universal yang menjadi fokus sentral dan paradoks dalam filsafat Hobbes: ketakutan akan kematian yang kejam. Dalam Keadaan Alamiah, ancaman kematian yang kejam adalah kejahatan terbesar yang harus dihindari oleh setiap individu.

Ketakutan ini berfungsi sebagai satu-satunya nafsu yang, secara kausal, mengarahkan individu menuju rasionalitas kolektif. Ketakutan ekstrem inilah yang memaksa akal untuk bekerja demi self-preservation. Tanpa pendorong kuat ini, kebebasan yang kacau akan lebih disukai. Keharusan untuk menghindari kematian yang kejam ini menghasilkan kebutuhan mutlak bagi manusia untuk membentuk kepemimpinan yang kuat dan tak tergoyahkan demi menyatukan mereka dan mencegah Keadaan Alamiah mengambil alih.

Meskipun demikian, stabilitas negara Hobbes secara intrinsik bergantung pada rasa takut warga negara. Para kritikus seperti Magnis-Suseno menunjukkan bahwa kekuasaan yang hanya didasarkan pada kemampuan penguasa untuk mengintimidasi secara hakiki bersifat tidak stabil; begitu kemampuan intimidasi berkurang, kekuasaan tersebut rentan tumbang karena kurangnya unsur penunjang lain.

Hukum Kodrat (Lex Naturalis) dan Jalan Menuju Kontrak

Hak Kodrat vs. Hukum Kodrat

Untuk transisi dari anarki menuju keteraturan, Hobbes membedakan antara Hak Kodrat (Jus Naturale) dan Hukum Kodrat (Lex Naturalis). Hak Kodrat adalah kebebasan setiap orang untuk menggunakan kekuasaannya sendiri sesuka hati untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Dalam Keadaan Alamiah, ini berarti setiap orang memiliki hak atas segala sesuatu.

Sebaliknya, Hukum Kodrat adalah “perintah, atau aturan umum Rasio”. Hukum ini melarang seseorang melakukan hal-hal yang merusak hidupnya sendiri. Hukum Kodrat mewakili Hukum Tuhan yang secara alamiah menjadi basis akal bagi individu untuk merealisasikan perdamaian.

Hukum Kodrat Fundamental

Semua Hukum Kodrat, yang berjumlah sekitar dua puluh (LoN), merupakan turunan dari imperatif rasional untuk mempertahankan diri.

  1. Hukum Kodrat Pertama (Fundamental): “Untuk mencari Perdamaian, dan mengikutinya”. Ini adalah perintah mendasar yang berasal dari rasio untuk memastikan kelangsungan hidup.
  2. Hukum Kodrat Kedua: Individu harus bersedia melepaskan haknya atas segala sesuatu (renounce one’s right to all things) dan mentransfernya kepada kekuasaan berdaulat, ketika orang lain bersedia melakukan hal yang sama, demi mencapai perdamaian dan pertahanan kolektif.

Hobbes kemudian mengartikulasikan tujuh belas Hukum Kodrat tambahan (seperti keadilan, syukur, dan kemurahan hati) yang diperlukan untuk memungkinkan pelaksanaan dua hukum fundamental tersebut.

Fungsi Hukum Kodrat: Moralitas Instrumental

Hukum Kodrat berfungsi sebagai jembatan rasional yang memungkinkan makhluk egois mencapai tujuan egoisnya (bertahan hidup) melalui cara-cara kolektif (perdamaian). Hukum Kodrat adalah kewajiban moral yang berakar pada akal , tetapi ketaatan padanya bersifat instrumental.

Seseorang harus bersikap adil (memenuhi kontrak) bukan karena keadilan secara intrinsik bermoral baik, tetapi karena penegakan kontrak secara timbal balik mencegah disintegrasi masyarakat menjadi perang sipil. Oleh karena itu, hukum-hukum ini adalah aturan kehati-hatian (prudence) yang, ketika diikuti oleh semua orang, menjamin self-preservation individu. Jika tidak ada perdamaian, semua bentuk “keberhasilan” lainnya menjadi tidak berharga.

Berikut adalah skema yang menunjukkan progresi argumentasi Hobbes dari kondisi anarki menuju ketertiban rasional:

Skema Progresif Argumentasi Politik Hobbes

Tahap Argumentasi Kondisi Dasar Pendorong Utama Imperatif Rasional Hasil Politik
Keadaan Alamiah Kesetaraan, konflik, tidak ada moralitas publik Ketakutan akan Kematian yang Kejam Mempertahankan hidup (Self-Preservation) Anarki total (Bellum Omnium Contra Omnes)
Hukum Kodrat (Rasio) Keinginan untuk melarikan diri dari ketidakamanan Akal (Reason) Mencari Perdamaian (Hukum Kodrat ke-1) Kewajiban moral instrumental untuk kooperatif
Kontrak Sosial Kebutuhan akan penegak yang kredibel Transfer Hak Mendirikan entitas berdaulat yang kuat Pembentukan Negara Berdaulat (Commonwealth/Leviathan)

Kontrak Sosial dan Institusi Negara Leviathan

Mekanisme Kontrak Sosial

Kontrak Sosial adalah perjanjian mendasar, baik eksplisit maupun implisit, di antara individu-individu di Keadaan Alamiah untuk keluar dari kondisi brutal dan membangun masyarakat sipil yang tertib. Mekanisme ini melibatkan penyerahan hak: individu secara sukarela melepaskan sebagian besar kebebasan alamiahnya (hak atas segala sesuatu) dan mentransfernya kepada satu entitas untuk diperintah dalam segala hal.

Perjanjian ini berfungsi sebagai jalan satu-satunya untuk menciptakan perdamaian dan mengelakkan peperangan. Objek penyerahan hak adalah kedaulatan yang akan menjamin perlindungan, keamanan, dan menjamin kesejahteraan bersama. Kontrak sosial menciptakan kekuasaan politik dan hukum yang merupakan kreasi artifisial yang diperlukan untuk mengatasi cacat kondisi alamiah.

Penciptaan Sosok Kedaulatan (The Leviathan)

Kedaulatan yang diciptakan melalui Kontrak Sosial adalah entitas yang disebut Leviathan, yang merupakan mahakarya filsuf politik Thomas Hobbes. Nama ini diambil dari monster laut dalam Alkitab Ibrani, melambangkan kekuasaan yang tak tertandingi. Konsep Leviathan dirancang untuk mencapai dua tujuan: menjelaskan asal usul negara dan membenarkan kekuasaan absolut.

Leviathan didefinisikan sebagai entitas yang memiliki kekuasaan absolut (Machstaat) untuk mempertahankan ketertiban dan menjaga kedamaian dalam masyarakat. Negara diperlukan untuk membatasi kebebasan individu dan menjaga ketertiban, karena manusia cenderung saling bersaing dan bertindak egois secara alami.

Sang Leviathan: Hakikat Kedaulatan Absolut dan Tak Terbagi

Karakteristik Kedaulatan Absolut

Hobbes dengan gigih berargumen bahwa negara harus memiliki kekuasaan yang lengkap, absolut, dan tidak terbagi, untuk menjamin kepatuhan warga negara dan mencegah kekacauan.

Kedaulatan yang mutlak ini harus mencakup semua jenis kekuasaan dan harus terpusat atau sentralistis. Hobbes menolak konsep pemisahan kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) yang kelak diadvokasi oleh John Locke, karena pembagian kekuasaan dianggapnya akan mengarah pada konflik internal dan mengembalikan masyarakat ke Keadaan Alamiah. Kedaulatan harus tetap absolut dan terpadu, terlepas dari apakah kekuasaan itu milik satu orang (monarki otokratis) atau sekelompok orang.

Hak-Hak Kedaulatan (Hak yang Tidak Dapat Ditinggalkan)

Kekuasaan Kedaulatan (Sovereign Power) harus mengendalikan setiap isu sosial dan politik. Di antara kekuasaan yang harus dikendalikan oleh kedaulatan adalah :

  1. Penentuan hukum (termasuk hukum properti, karena tanpa negara, properti tidak ada).
  2. Hak menyatakan perang dan damai (kebijakan luar negeri).
  3. Penentuan aturan keadilan (hukum pidana, mengenai hidup dan mati).
  4. Hak sensor, yaitu menentukan buku dan ide apa yang diizinkan untuk menjamin stabilitas mental dan kedamaian publik.

Batasan Logis Kedaulatan

Meskipun Hobbes mengklaim bahwa kekuasaan kedaulatan “sehebat yang mungkin dibayangkan oleh manusia” , terdapat batasan logis yang mendasar. Absolutisme Hobbes berakar pada rasionalitas utilitarian individu, bukan pada hak ilahi.

Otoritas Sovereign memiliki batasan rasional implisit. Penguasa yang gagal menyediakan keamanan bagi warganya secara fundamental kehilangan dasar rasional dari otoritasnya. Kegagalan kedaulatan untuk menjalankan tugas utamanya (menjaga perdamaian dan keamanan) berarti tujuan utama dari Kontrak Sosial telah gagal.

Selain itu, setiap individu mempertahankan hak alamiahnya yang tidak dapat dicabut (inalienable) untuk mempertahankan diri (self-preservation). Hak untuk melawan kekuasaan kedaulatan hanya dibenarkan dalam konteks yang paling ketat, misalnya, jika penguasa secara langsung mencoba membunuh atau membahayakan nyawa warga negara. Namun, individu tidak berhak menilai tindakan benar atau salah yang dilegitimasi oleh kedaulatan dalam masalah perdamaian dan keamanan negara secara keseluruhan. Kekuasaan mutlak Leviathan, meskipun berfungsi total, pada dasarnya adalah alat fungsional yang dibenarkan oleh akal demi menghindari chaos.

Kekuasaan Sipil dan Otoritas Keagamaan: Kontrol atas Tubuh Spiritual

Subordinasi Total Gereja

Salah satu fitur paling radikal dalam Leviathan adalah argumen Hobbes untuk subordinasi total otoritas gereja di bawah kedaulatan sipil. Hobbes menekankan bahwa kedaulatan sipil (Sovereign) harus mengendalikan otoritas keagamaan.

Menurut Hobbes, gereja tidak memiliki otoritas apa pun yang tidak diberikan oleh penguasa sipil. Mandat gereja seharusnya hanya terbatas. Kepatuhan kepada penguasa sipil dalam masalah temporal tidak membahayakan prospek keselamatan bagi orang Kristen.

Memadamkan Dualitas Kekuasaan

Motivasi Hobbes untuk mengendalikan Gereja sangat politis. Pada masanya, dualitas kekuasaan (Raja vs. Gereja/Parlemen) adalah sumber konflik sipil dan teologis yang menyebabkan perang. Untuk mencapai kedaulatan yang benar-benar tak terbagi, Hobbes harus menghilangkan sumber legitimasi paralel (spiritual) yang berpotensi menentang otoritas temporal.

Dengan menempatkan Gereja di bawah kendali Negara, Hobbes secara efektif mengkonsolidasikan semua klaim otoritas, baik temporal maupun spiritual, di tangan Leviathan. Hal ini memastikan bahwa tidak ada klaim spiritual atau keagamaan yang dapat digunakan untuk menantang atau membagi kekuasaan Sovereign, yang merupakan syarat fundamental untuk stabilitas abadi.

Warisan, Relevansi Kritis, dan Perbandingan Filosofis

Kontribusi Hobbes pada Filsafat Politik Modern

Thomas Hobbes dihormati sebagai bapak pendiri filsafat politik modern, yang secara langsung atau tidak langsung telah menetapkan kerangka perdebatan tentang fundamental kehidupan politik hingga saat ini. Kontribusi utamanya adalah justifikasi kekuasaan pemerintah yang luas—bahkan absolut—berdasarkan persetujuan rasional warga negara yang mementingkan diri sendiri. Ini merupakan pergeseran mendasar dari teori Hak Ilahi Raja pra-modern.

Hobbes meletakkan dasar bagi pemahaman bahwa kekuasaan politik dan hukum yang mengikutinya merupakan kreasi artifisial yang diperlukan untuk mengatasi cacat fundamental kondisi alamiah manusia. Meskipun sedikit yang menyukai tesisnya tentang kedaulatan yang tidak dapat ditarik kembali, analisisnya tentang sifat manusia dan kebutuhan akan ketertiban tetap relevan.

Hobbes dan Teori Realisme dalam Hubungan Internasional

Pemikiran politik Hobbes memberikan fondasi teoritis yang kuat bagi Teori Realisme dalam Hubungan Internasional (HI). Realisme, yang melihat negara sebagai aktor utama yang mengutamakan kepentingan nasional dalam kondisi anarki , secara langsung mencerminkan Keadaan Alamiah Hobbes.

Sistem internasional, yang kekurangan otoritas global yang berdaulat, beroperasi dalam kondisi anarki yang sangat mirip dengan bellum omnium contra omnes Hobbes. Karena tidak ada Leviathan global, negara-negara harus mengutamakan power (kekuatan militer) untuk self-preservation, seperti yang ditekankan dalam konsep Realisme Ofensif dan Defensif.

Kritik dan Nuansa: Absolutisme vs. Totalitarianisme

Hobbes sering kali dituduh sebagai pemikir illiberal karena membela absolutisme, otoritarianisme, dan anti-konstitusionalisme. Namun, terdapat perbedaan penting antara absolutisme Hobbes dan konsep totalitarianisme modern.

Kekuasaan Leviathan mungkin total dalam artian bahwa tidak ada bidang kehidupan temporal yang dikecualikan dari potensi intervensi negara. Namun, Hobbes tidak memberikan pembenaran untuk menggunakan kekuasaan itu secara totalitarian—yaitu, untuk mendaftarkan setiap aspek kehidupan warga negara ke dalam proyek politik ideologis yang menyeluruh. Tujuan utama Leviathan adalah menyediakan kerangka keamanan agar warga dapat mengejar tujuan pribadi mereka (“kehidupan yang nyaman”). Leviathan harus dilihat sebagai otoritas yang diperlukan untuk menjaga ketertiban, bukan sebagai mesin ideologis untuk membentuk jiwa warganya.

Perbandingan dengan Pemikir Kontrak Sosial Lain

Pemikiran Hobbes harus dibandingkan dengan pemikir Kontrak Sosial lainnya, John Locke dan Jean-Jacques Rousseau. Meskipun ketiganya menggunakan kerangka Keadaan Alamiah, Kontrak Sosial, dan Masyarakat Sipil , perbedaan terletak pada deskripsi kondisi awal dan sifat kekuasaan yang dihasilkan.

Hobbes, didorong oleh ketakutan akan anarki, menghasilkan kedaulatan yang absolut dan tidak terbatas. Locke, menekankan pentingnya perlindungan hak alamiah, mengadvokasi pemerintah terbatas yang tunduk pada persetujuan rakyat. Rousseau, berfokus pada kebebasan moral dan kehendak umum (volonté générale), mengajukan kedaulatan rakyat yang demokratis. Paradoks Hobbes adalah ia membenarkan absolutisme dengan instrumen (rasionalitas dan persetujuan individu) yang kelak digunakan oleh Locke untuk membatasi kekuasaan negara.

Perbandingan Konsep Kontrak Sosial

Parameter Thomas Hobbes (Leviathan) John Locke (Two Treatises) Jean-Jacques Rousseau (Social Contract)
Keadaan Alamiah Perang semua melawan semua; brutal, didominasi ketakutan Hak alamiah ada; kurang penegakan dan ketidaknyamanan Kebebasan, damai, terisolasi; korupsi muncul dengan masyarakat
Alasan Kontrak Keluar dari ancaman kematian dan anarki Perlindungan hak hidup, kebebasan, dan properti Mencapai kebebasan moral dan Kedaulatan Rakyat (Kehendak Umum)
Sifat Kedaulatan Absolut, tak terbagi, tak dapat ditarik kembali Terbatas, dapat ditarik kembali, terbagi (Legislatif, Eksekutif) Mutlak, tetapi mewakili Kehendak Umum (Volonté Générale)
Hak yang Diserahkan Semua hak (kecuali hak membela diri) Hak untuk menafsirkan dan menegakkan hukum alam sendiri Hak total kepada komunitas, yang dikembalikan sebagai warga negara yang setara

Kesimpulan

Pemikiran Thomas Hobbes merupakan sistem filosofis yang terintegrasi secara ketat, yang berangkat dari fondasi metafisik Materialisme dan Antropologi Mekanistik hingga mencapai kesimpulan politiknya mengenai kedaulatan absolut. Didorong oleh pengalaman traumatis Perang Saudara Inggris, Hobbes menggunakan instrumen Rasio dan Hukum Kodrat untuk membenarkan transfer total hak-hak individu kepada satu entitas berdaulat, Leviathan, sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian dan menghindari kematian yang kejam.

Sistem Hobbes menunjukkan bahwa absolutisme yang ia advokasi bukanlah klaim hak ilahi, melainkan sebuah kewajiban fungsional yang dibenarkan oleh kalkulasi rasional. Kedaulatan Leviathan harus tetap tak terbagi, mengendalikan aspek temporal dan spiritual, agar dapat menjamin keamanan bagi warganya. Jika Sovereign gagal menyediakan keamanan, legitimasi rasionalnya akan runtuh. Warisan Hobbes yang abadi terletak pada perannya sebagai bapak pendiri yang paradoks: ia memberikan cetak biru untuk negara berdaulat modern yang didasarkan pada persetujuan rasional, meskipun ia menyimpulkan bahwa instrumen ini secara logis menuntut kekuasaan yang tidak terbatas. Relevansi pemikirannya tetap terasa, khususnya dalam Realisme Hubungan Internasional, di mana kondisinya yang anarkis terus mencerminkan pandangan Hobbes tentang politik tanpa otoritas.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 + 2 =
Powered by MathCaptcha