Murtadha Muthahhari (1919-1979) bukan sekadar seorang ulama atau teolog, melainkan seorang filsuf dan pemikir sosial yang memainkan peran krusial dalam membentuk ideologi Revolusi Islam Iran. Pemikirannya berdiri sebagai sintesis yang kompleks dan ambisius, menjembatani spekulasi metafisika dalam tradisi Hikmah Muta’aliyah (Filsafat Transenden Mulla Sadra), pengalaman spiritual dalam Irfan (Gnosis), dan tuntutan aksi politik revolusioner dalam Teologi Syi’ah. Keterlibatannya sebagai murid langsung dari Allamah Muhammad Husain Thabathaba’i, seorang ahli filsafat dan tafsir terkemuka, memberikan kedalaman ontologis pada analisis-analisis sosialnya.

Konteks pemikiran Muthahhari lahir dari kebutuhan mendesak untuk merespons dua tantangan utama: pertama, reduksionisme materialis dan ideologi liberalisme Barat yang mulai mendominasi wacana global, dan kedua, stagnasi intelektual serta ritualisme sempit yang melanda sebagian ulama tradisional. Muthahhari menyadari bahwa konsep kebebasan, yang menjadi pilar utama modernitas Barat, tidak dapat diadopsi mentah-mentah tanpa membahayakan identitas spiritual Islam. Oleh karena itu, tugas intelektualnya adalah merumuskan kembali konsep pembebasan (al-Tahrir) dan kebebasan (al-Hurriyyah) di atas fondasi teologis Islam yang kokoh, menjadikannya kekuatan pendorong bagi transformasi individu dan kolektif.

Definisi Terminologis: Membedah Makna Al-Hurriyyah (Kebebasan) dan Al-Tahrir (Pembebasan)

Dalam filsafat Muthahhari, kebebasan (al-Hurriyyah) bukanlah konsep negatif yang dipahami semata-mata sebagai ketiadaan ikatan atau batasan. Sebaliknya, kebebasan adalah sifat relasional yang secara fundamental terkait dengan hakikat manusia sebagai subjek sadar. Kebebasan mengimplikasikan bahwa manusia adalah subjek yang sadar atas tindakannya sendiri, dan setiap tindakan harus didasarkan pada pilihan dan keputusan yang berasal dari dalam dirinya sendiri.

Pemahaman ini secara tegas menolak pandangan deterministik yang menafikan agensi manusia. Kebebasan, dalam pengertiannya yang paling mendasar, adalah mekanisme yang memungkinkan manusia untuk bertindak berdasarkan kehendak rasional dan moralnya, bukan sekadar respons naluriah atau takdir yang dipaksakan. Untuk Muthahhari, kebebasan sejati memerlukan tiga aspek fundamental: kesadaran (manusia sebagai subjek yang tahu), pilihan (kemampuan untuk memilih), dan penentuan diri (keputusan yang berasal dari internal). Dengan demikian, pembebasan (al-Tahrir) adalah proses berkelanjutan untuk mengaktualisasikan potensi kebebasan ini, membebaskan diri dari belenggu internal maupun eksternal yang menghambat gerak menuju kesempurnaan.

Fondasi Ontologis Dan Teologis Pembebasan

Hakikat Manusia Multidimensi (Insan al-Kamil): Basis Kebebasan Internal

Konsep pembebasan Muthahhari berakar kuat pada antropologinya mengenai manusia multidimensi. Manusia dipandang bukan sebagai makhluk monolitik, melainkan entitas yang memiliki aspek materi (yang membuatnya tidak berbeda dari hewan lainnya) dan aspek rohani (yang membedakannya secara fundamental). Aspek rohani ini, yang disebut sebagai tiupan Ruh Ilahi, mengandung secercah cahaya malakut Ilahi dalam diri manusia.

Keunggulan eksistensial manusia dan kapasitasnya untuk kebebasan berasal dari potensi multidimensi ini. Secara spesifik, dimensi manusia yang mendasari kebebasan meliputi:

  1. Dimensi Intelektual (Aql): Ini dianggap sebagai keunggulan manusia di atas makhluk lain, termasuk malaikat, dan menjadi alasan mengapa manusia diangkat sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi. Dimensi ini adalah basis bagi pembebasan dari taklid buta dan dogma yang tidak berdasar.
  2. Dimensi Moral: Dimensi ini memunculkan kesadaran etis manusia , yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan baik demi suatu hal yang dianggap bernilai tak tergantikan.
  3. Dimensi Kreativitas: Potensi untuk menghasilkan peradaban, membentuk sejarah, dan menciptakan dunianya, yang membedakannya dari binatang.

Kebebasan muncul dari dialektika antara dualitas potensi ini. Manusia memiliki ciri-ciri negatif seperti zalim (tidak adil), jahil (bodoh), dan bakhil, yang terkait dengan keterikatan materi; namun, ia juga memiliki ciri-ciri positif, seperti kecerdasan tinggi, kecenderungan dekat dengan Tuhan, kebebasan, dan kesadaran moral. Pembebasan adalah upaya serius (usaha yang serius) yang dilakukan manusia untuk bergerak melampaui kekurangan material menuju keutamaan rohani (spiritual).

Manusia, yang memiliki ruh Ilahi, didorong oleh realitas ruhaniah ini untuk mencapai keutamaan moral seperti kejujuran, amanah, dan keadilan. Jika kebaikan materi adalah manfaat, maka kebaikan rohani adalah keutamaan. Oleh karena itu, pembebasan sejati adalah sebuah  gerak eksistensial. Ia bukan sekadar statis, tetapi merupakan gerak dari entitas yang memiliki ruh Ilahi, yang terikat oleh kekurangan (lack), menuju kesempurnaan Ilahi. Gerakan ini secara filosofis sangat erat kaitannya dengan doktrin Sayr wa Suluk (perjalanan spiritual) dalam Irfan—meskipun Muthahhari tidak selalu menggunakan terminologi Irfan secara eksplisit dalam konteks ini, penekanannya pada keutamaan rohani dan kritik terhadap reduksi kebebasan menjadi sekadar materi/sosial jelas menunjukkan implikasi spiritual yang mendalam.

Sentralitas Tauhid sebagai Sumber Kebebasan Sejati

Fondasi teologis yang menyokong pembebasan adalah konsep Tauhid (Keesaan Allah). Dalam pandangan dunia Muthahhari, kehidupan manusia bukanlah serangkaian peristiwa kebetulan, melainkan suatu perjalanan yang memiliki makna dalam konteks keesaan Allah.

Keberadaan manusia dianggap sebagai amanah dari Allah, menjadikannya khalifah di muka bumi. Tanggung jawab moral dan etis yang muncul dari amanah ini mencakup seluruh aspek kehidupan, dari interaksi sosial hingga ibadah.  Tauhid memandu manusia untuk menjalani hidup dengan kesadaran bahwa segala tindakan merupakan bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta dan memiliki dampak moral yang signifikan.

Lebih lanjut, kebebasan manusia berakar pada kesadaran teologis, yaitu Ma’rifatullah (mengenal keberadaan Tuhan secara fitri). Pengenalan terhadap Tuhan, yang diposisikan sebagai kebaikan tertinggi (the highest good) dan kebaikan paling baik, menjadi batu loncatan fundamental bagi kemanusiaan dan akhlak manusia. Tanpa pengenalan mendalam terhadap Tuhan, perbuatan yang dilakukan oleh manusia, meskipun tampak baik secara lahiriah, akan kehilangan makna etis dan spiritualnya yang mendalam.

Jika Tauhid tidak hanya dipahami sebagai doktrin abstrak, tetapi sebagai pandangan dunia (worldview) yang imanen dalam kesadaran, maka manusia tidak dapat memisahkan diri dari Tuhan dalam setiap aspek kehidupannya. Kesadaran ini merangsang manusia untuk menjalani peranannya sebagai hamba Allah dengan penuh kepatuhan. Justifikasi filosofis ini menghasilkan pemahaman bahwa hanya melalui ketaatan yang sadar dan pilihan etis yang berorientasi pada Tuhanlah manusia dapat menemukan kebebasan yang hakiki, terlepas dari kungkungan keterbatasan dan hawa nafsu.

Tabel 1: Aspek Dualitas Kemanusiaan dan Implikasi Pembebasan (Perspektif Muthahhari)

Aspek Kemanusiaan Ciri Positif (Ruh Ilahi) Ciri Negatif (Materi/Hawa Nafsu) Arah Pembebasan
Eksistensial Khalifah Allah, Kecerdasan Tinggi Zalim (Tidak Adil), Jahil (Bodoh) Pembebasan Intelektual dan Spiritual
Etika Kesadaran Moral, Keutamaan Rohani Transgresif, Mengeluh, Bakhil Pembebasan Moral (dari hawa nafsu)
Relasional Simpati, Kesejahteraan Sesama Individualisme, Egoisme Pembebasan Sosial (dari penindasan)

Kehendak Bebas (Free Will) Dan Paradigma Illah Fa’illi

Kritik terhadap Dikotomi Teologis Klasik (Jabariyah vs. Qadariyah)

Konsep kebebasan manusia (kehendak bebas atau free will) telah lama menjadi perdebatan sengit dalam teologi Islam, yang secara klasik diwakili oleh dikotomi antara Determinisme dan Indeterminisme, atau dalam konteks Islam, Jabariyah dan Qadariyah.

Doktrin Determinisme (Jabariyah) berpendapat bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan secara mutlak oleh Tuhan dalam lauhul mahfuzh sebelum manusia lahir, yang secara efektif menafikan agensi dan pilihan manusia. Sebaliknya, Indeterminisme (Qadariyah) menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk melakukan dan menentukan sesuatu, dengan beberapa pandangan ekstrem bahkan menempatkan tindakan manusia di luar jangkauan tindakan Allah.

Perdebatan ini, seperti yang dicatat dalam sejarah teologi, sering kali bersumber dari masalah Keadilan Ilahi dan kemandirian akal (aql) dalam menentukan kebaikan dan keburukan esensial, sebagaimana terjadi antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Muthahhari berusaha mencari jalan keluar filosofis yang tidak menafikan kekuasaan Tuhan sekaligus mempertahankan tanggung jawab moral manusia.

Konsep Tuhan yang Immanen: Tuhan sebagai Sebab yang Menciptakan (Illah Fa’illi)

Muthahhari berargumen bahwa kegagalan dalam menyelesaikan perdebatan kehendak bebas sering kali disebabkan oleh asumsi yang keliru mengenai Tuhan yang terlalu transenden, diposisikan sebagai entitas yang sangat jauh, di luar jangkauan dan terasing dari dunia manusia. Untuk mengatasi alienasi teologis ini, Muthahhari mengajukan paradigma  Illah Fa’illi (Sebab yang Menciptakan atau efficient cause) yang imanen.

Muthahhari berpendapat bahwa Illah Fa’illi sejatinya lebih dekat dengan ciptaan-Nya daripada si ciptaan itu sendiri dekat dengan dirinya. Keterikatan manusia pada Tuhan dalam pandangan ini bukanlah keterikatan pada sesuatu yang asing. Sebaliknya, keterikatan itu adalah inti dari eksistensi manusia. Dengan memosisikan Tuhan sebagai Illah Fa’illi yang imanen dan hadir secara internal dalam mekanisme eksistensi, Muthahhari memberikan landasan filosofis baru yang memungkinkan kehendak bebas tanpa melanggar prinsip Tauhid.

Argumentasi Kunci: Keterikatan pada Tuhan sebagai Kebebasan Hakiki

Dalam kerangka Illah Fa’illi, kebebasan manusia dipahami sebagai sebuah perantara atau atribut yang dimiliki oleh manusia yang secara inheren ‘serba kurang’ (lack). Kebebasan ini, oleh karena itu, bukanlah tujuan akhir, tetapi mekanisme yang memungkinkan manusia bergerak.

Muthahhari berargumen bahwa mengikatkan diri pada Tuhan—Zat yang tak terbatas dan puncak dari segala kesempurnaan (Kamal)—tidak akan pernah membuat manusia terbelenggu atau teralienasi. Sebaliknya, dengan mengikatkan diri pada-Nya, manusia justru akan menemukan kebebasan yang hakiki. Gerakan menuju Tuhan adalah gerakan menjauhi diri yang serba kurang menuju Diri yang sempurna (kamil). Kebebasan sejati tercapai ketika manusia melepaskan keterikatan pada keterbatasan dirinya sendiri (nafsu, ego, kejahilan) dan memilih untuk terikat pada Zat yang Maha Sempurna.

Model ini menghasilkan sintesis teologis-filosofis yang elegan, yang merupakan warisan dari Mulla Sadra. Dengan memosisikan Tuhan sebagai Illah Fa’illi yang imanen, Muthahhari berhasil memberikan dasar filosofis bagi kehendak bebas tanpa harus jatuh ke dalam panteisme atau teisme radikal. Kebebasan manusia tidak lagi dilihat sebagai domain yang berdiri terpisah atau bahkan bertentangan dengan kekuasaan Tuhan; sebaliknya, kebebasan adalah mekanisme Ilahi yang memungkinkan manusia mencapai tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan. Dengan demikian, tanggung jawab manusia untuk memilih adalah bagian tak terpisahkan dari rencana Ilahi untuk mencapai kebaikan tertinggi.

Tabel 2: Perbandingan Konsep Kehendak Bebas dalam Teologi Islam

Mazhab/Doktrin Sifat Tuhan yang Diasumsikan Implikasi terhadap Kebebasan Manusia Pandangan Muthahhari
Jabariyah (Determinisme) Transenden dan Penentu Mutlak Manusia pasif dan tanpa pilihan Ditolak karena menafikan tanggung jawab etis
Qadariyah (Indeterminisme) Transenden, Tindakan Manusia Otonom Kebebasan mutlak dalam batasan materi Ditolak karena berisiko menafikan kekuasaan Ilahi
Muthahhari (Illah Fa’illi) Immanen (Sebab Efisien), Puncak Kesempurnaan Keterikatan pada-Nya menghasilkan Kebebasan Hakiki Sintesis: Kebebasan adalah gerak menuju Kamal

Arsitektur Pembebasan Multidimensi

Muthahhari memahami pembebasan sebagai proses yang menyeluruh, mencakup dimensi internal (spiritual) dan eksternal (sosial dan intelektual). Jika salah satu dimensi ini diabaikan, proses pembebasan akan gagal total atau menghasilkan alienasi baru.

Pembebasan Spiritual (Kebebasan Rohani)

Pembebasan spiritual, atau kebebasan rohani, adalah inti dari konsep al-Tahrir Muthahhari. Ini didefinisikan sebagai pembebasan manusia dari belenggu hawa nafsu, dorongan instingtif murni, dan keterikatan pada kekurangan diri (lack). Kebebasan rohani menuntut penguasaan diri dan elevasi spiritual, yang dicapai melalui kesadaran akhlaki dan penemuan keutamaan rohani.

Muthahhari melancarkan kritik tajam terhadap modernitas, khususnya yang dipengaruhi liberalisme Barat, karena telah menekankan kebebasan sosial secara berlebihan sambil mengabaikan kebebasan rohani. Akibat dari ketidakseimbangan ini adalah kekeringan dan kekosongan aspek kejiwaan, yang memicu kegelisahan dan alienasi eksistensial dalam diri manusia modern. Bagi Muthahhari, kebebasan spiritual adalah prasyarat prima facie bagi kebebasan dalam dimensi lainnya.

Pembebasan Intelektual (Kebebasan Berpikir)

Dimensi intelektual bertujuan membebaskan akal manusia dari dua belenggu utama: taklid buta (imitasi tanpa dasar rasional) dan keterbatasan berpikir materi/dogmatis. Muthahhari menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan berpendapat dalam Islam.

Dalam pandangan liberal, kebebasan berpikir harus berlandaskan pada rasionalisme yang ilmiah. Muthahhari menerima bahwa dunia memiliki struktur rasional yang dapat dipahami secara logis melalui deliberasi pikiran dan pencarian kritis terus-menerus. Namun, ia mengintegrasikan rasionalitas ini ke dalam kerangka Tauhid, memastikan bahwa pencarian intelektual tidak terpisah dari kebenaran Ilahi, yang menjadi dasar dimensi intelektual manusia sebagai khalifah Allah.

Pembebasan Sosial (Kebebasan Eksternal)

Pembebasan sosial merujuk pada pembebasan dari segala bentuk penindasan (zulm), tirani politik, dan struktur ketidakadilan ekonomi yang bersifat eksternal. Dimensi ini menuntut transformasi etika pribadi menjadi aksi kolektif revolusioner.

Muthahhari menekankan bahwa manusia memiliki sifat sosial dan perlu bekerja sama (kerjasama sosial) sebagai syarat untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling memberi dan membutuhkan. Kriteria kemanusiaan yang paling tinggi adalah ketika individu memprioritaskan kesejahteraan sesama manusia di atas kesejahteraan dirinya sendiri, dan berempati terhadap kegembiraan maupun kesedihan orang lain. Pembebasan sosial adalah pengejawantahan dari keadilan Ilahi (al-Adl) di ranah publik, menuntut perjuangan melawan penindasan secara kolektif.

Prioritas Kausalitas: Spiritual sebagai Fondasi Sosial

Integrasi ketiga dimensi ini menyingkap sebuah prinsip kausalitas hierarkis dalam pemikiran Muthahhari. Pembebasan Spiritual (internal) dipandang sebagai penentu dan landasan (sebab) bagi Pembebasan Sosial (akibat). Jika seorang individu tetap terbelenggu oleh tiranis diri (egoisme, hawa nafsu), ia tidak akan mampu menciptakan atau mempertahankan masyarakat yang adil dan bebas dari penindasan.

Oleh karena itu, upaya membebaskan masyarakat secara politik atau ekonomi tanpa fondasi kebebasan rohani hanya akan menghasilkan kebebasan yang liar dan tidak bertanggung jawab (liarisme). Muthahhari secara implisit berargumen bahwa ketaatan yang membebaskan kepada Tuhan adalah kunci untuk mencapai ketaatan pada prinsip keadilan sosial, karena keduanya adalah manifestasi Tauhid.

Pembebasan Sosial Dan Transformasi Revolusioner

Mengintegrasikan Etika Pribadi ke dalam Aksi Kolektif

Muthahhari adalah seorang pemikir yang melihat etika dan spiritualitas bukan sebagai pelarian dari dunia, melainkan sebagai mesin penggerak perubahan historis. Ia mempromosikan perjuangan kebebasan dan anti-penindasan serta keadilan sosial melalui aksi revolusioner yang dilakukan secara kolektif di tengah publik. Ciri khas pemikirannya adalah transformasi etika pribadi yang berakar pada agama menjadi gerakan revolusioner untuk mengubah dunia.

Konsep Keadilan Ilahi tidak berhenti pada ranah teologis abstrak, tetapi harus diwujudkan dalam struktur sosial dan politik. Dalam hal ini, Muthahhari menjadikan kesejahteraan sesama manusia lebih penting daripada kesejahteraan dirinya sendiri sebagai kriteria puncak kemanusiaan. Perasaan gembira dengan kegembiraan orang lain dan bersedih dengan kesedihan mereka adalah aspek manusiawi peradaban yang dihasilkan oleh perasaan dan keinginan tersebut, menunjukkan bahwa pembebasan individu secara intrinsik terkait dengan tanggung jawab sosial.

Kritik terhadap Islam yang Reduksionis

Untuk membenarkan transformasi etika menjadi revolusi, Muthahhari secara tegas menolak pandangan yang mereduksi agama Islam hanya pada masalah ritual dan hukum teknis (misalnya, masalah wudhu, makanan, kelahiran, menstruasi, dsb.). Pandangan ini, yang pernah dianut oleh beberapa ulama, secara efektif mengebiri potensi Islam sebagai ideologi transformatif sosial dan politik.

Muthahhari menegaskan bahwa Islam telah menjelaskan dan memberikan solusi terhadap masalah-masalah struktural manusia, memandangnya bukan sekadar sebagai kode etik individu yang terpisah dari realitas politik, tetapi sebagai sistem komprehensif yang bertujuan untuk keadilan universal. Dengan menolak reduksionisme ini, ia memberikan legitimasi teologis bagi aksi kolektif revolusioner sebagai bagian integral dari ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Komparasi Kritis: Muthahhari versus Teologi Pembebasan Sosiologis (Ali Syari’ati)

Meskipun Murtadha Muthahhari dan Ali Syari’ati sama-sama menjadi tokoh kunci dalam gerakan intelektual yang mendahului Revolusi Iran (keduanya pernah mendirikan lembaga Hussainiyah Irsyad), pandangan mereka tentang jalur pembebasan mengalami divergensi signifikan. Perbedaan ini menyoroti keunikan pendekatan Muthahhari yang tidak materialis.

Syari’ati dipandang cenderung pada “teologi pembebasan” yang sangat dipengaruhi oleh analisis sosiologis dan ideologi Barat (seperti Marxisme), yang menyajikan Islam sebagai kekuatan revolusioner dengan mengorbankan dimensi spiritualitas (irfan). Pandangan Syari’ati bahwa “Shi’ism was religion for protest” (Syiah adalah agama untuk protes) dikritik keras oleh para cendekiawan spiritualis.

Muthahhari, yang berakar kuat pada filsafat dan irfan, mengecam pendekatan Syari’ati yang dianggap keliru dalam menampilkan Islam hanya sebagai agama revolusioner sosiologis. Dalam pandangan Muthahhari, jika gerakan pembebasan hanya didasarkan pada analisis sosiologis materialistis, keberhasilannya akan rapuh dan berisiko digantikan oleh tiran baru tanpa dasar moral yang kuat. Oleh karena itu, Muthahhari mendasarkan pembebasan pada perkembangan rohaniah, menolak jalur yang hanya berfokus pada analisis sosiologis/politik.

Integrasi dimensi spiritualitas, yang diabaikan oleh model sosiologis murni, memberikan daya tahan moral dan etis yang diperlukan bagi gerakan revolusi. Hanya dengan menjangkarkan pembebasan pada Tauhid dan Kamal (kesempurnaan spiritual) sebuah gerakan memiliki kemampuan untuk menjaga fokusnya pada Keadilan Ilahi , melampaui kepentingan politik atau material sesaat.

Kritik Muthahhari Terhadap Kebebasan Liberal Barat

Muthahhari mengakui pentingnya kebebasan dalam peradaban manusia, tetapi ia menentang keras formulasi kebebasan yang diajukan oleh liberalisme modern Barat. Kritik Muthahhari berfokus pada reduksionisme dan ketidakseimbangan yang dihasilkan oleh filosofi liberal.

Analisis Fondasi Liberalisme Barat

Kritik utama Muthahhari diarahkan pada dua prinsip dasar liberalisme: Individualisme dan Rasionalisme Sekuler. Kaum liberal percaya bahwa pribadi atau individu adalah entitas yang paling penting (very important), dan seluruh kebijakan diarahkan untuk memberikan ruang bagi kebebasan dan hak-hak individu, memprioritaskan individualisme di atas kolektivisme. Muthahhari mengkritik pandangan ini karena bertentangan dengan hakikat manusia multidimensi yang juga memiliki dimensi relasional dan kolektif, di mana kesejahteraan sesama harus diutamakan. Individualisme yang ekstrem mengancam  kerjasama sosial yang merupakan syarat kehidupan yang baik.

Meskipun kaum liberal menghargai Rasionalisme yang percaya bahwa dunia memiliki struktur logis, Muthahhari mengkritik bahwa ketika rasionalitas ini terlepas dari pandangan dunia teologis, ia mengarah pada gerakan pembebasan manusia dari kekangan nilai baik dan buruk yang didasarkan pada agama.

Inti Konflik: Ketidakseimbangan Dimensi Kebebasan

Inti dari konflik antara konsep pembebasan Muthahhari dan kebebasan liberal Barat adalah masalah prioritas dimensi. Muthahhari menuduh modernitas Barat gagal karena penekanan yang berlebihan pada kebebasan sosial dan eksternal.

Penekanan mutlak pada dimensi eksternal ini, dengan mengabaikan fondasi rohani, mengakibatkan apa yang disebut Muthahhari sebagai kekeringan dan kekosongan aspek kejiwaan yang pada akhirnya menghasilkan kegelisahan dan alienasi. Kebebasan liberal, dalam upaya membebaskan manusia dari otoritas eksternal, justru menjerumuskannya ke dalam tirani diri dan nafsu, karena tidak memiliki etika puncak yang mengarahkannya pada Kamal.

Kebebasan versus Tanggung Jawab: Ancaman Liarisme

Muthahhari mengakui bahwa kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab. Ia secara eksplisit memperingatkan bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab adalah keliaran (liarisme), dan menolak pemahaman bahwa liberalisme adalah liarisme.

Masalahnya, liberalisme Barat dalam kritiknya, sering kali tidak memiliki mekanisme transendental yang memadai untuk menjamin tanggung jawab universal. Sebaliknya, Islam, melalui Tauhid, memberikan kerangka tanggung jawab ini. Keterikatan pada hukum Islam dan kesadaran teologis (Ma’rifatullah) memastikan bahwa kebebasan yang diperoleh tidak digunakan untuk transgresi, tetapi untuk pencapaian keutamaan moral.

Redefinisi Otonomi

Liberalisme Barat cenderung mendefinisikan otonomi sebagai kemandirian mutlak dari otoritas eksternal (termasuk agama). Muthahhari menantang definisi ini dengan mengajukan bahwa otonomi sejati (pembebasan internal) justru dicapai melalui ketaatan yang membebaskan. Otonomi tidak dicapai melalui penolakan terhadap Otoritas Tertinggi (Tuhan), melainkan melalui penambatan diri secara sukarela pada-Nya sebagai Illah Fa’illi. Dalam pandangan ini, manusia yang paling bebas adalah manusia yang paling taat.

Manifestasi Kritik dalam Etika Terapan

Kritik Muthahhari terhadap liberalisme Barat termanifestasi dalam analisisnya terhadap etika terapan. Salah satu contoh yang menonjol adalah kritik detailnya terhadap konsep Etika Seksual Barat.

Analisis ini menunjukkan bagaimana kebebasan yang tidak terikat oleh nilai Ilahi dan spiritual dapat merusak tatanan moral dan sosial. Dengan menghilangkan “kekangan nilai baik dan buruk” yang berdasarkan agama , liberalisme membuka jalan bagi perilaku yang, meskipun diklaim sebagai pembebasan individu, pada akhirnya menyebabkan kehancuran moral kolektif dan kekacauan psikologis.

Tabel 3: Perbedaan Konsep Kebebasan: Islam (Muthahhari) vs. Liberalisme Barat

Aspek Kunci Kebebasan Islam (Muthahhari) Kebebasan Liberal Barat (Kritik Muthahhari)
Pusat Nilai Tauhid dan Ma’rifatullah (Kebaikan Tertinggi) Individualisme dan Otonomi Mutlak Individu
Tujuan Akhir Kesempurnaan Diri (Kamal) dan Keadilan Sosial Kesejahteraan Material dan Otonomi Pilihan
Keseimbangan Dimensi Prioritas/integrasi Rohani, Intelektual, Sosial Penekanan berlebihan pada Sosial/Eksternal
Sifat Kebebasan Kebebasan + Tanggung Jawab Ilahiah Kebebasan yang berisiko menjadi Liarisme tanpa batasan nilai

Kesimpulan

Sintesis Model Pembebasan Muthahhari: Trilogi Teologis-Filosofis

Konsep pembebasan Murtadha Muthahhari adalah upaya sintesis yang holistik dan anti-reduksionis, mengintegrasikan tiga pilar utama: teologi, filsafat, dan aksi sosial. Secara teologis, pembebasan berakar pada Tauhid dan kesadaran etis (Ma’rifatullah). Secara filosofis, ia dibangun di atas antropologi manusia multidimensi yang memiliki ruh Ilahi, dan diselesaikan melalui paradigma Illah Fa’illi yang mengatasi dilema klasik Jabariyah-Qadariyah, menegaskan bahwa kebebasan sejati tercapai melalui keterikatan pada Kesempurnaan Ilahi (Kamal).

Model ini menolak keras reduksi kebebasan menjadi sekadar urusan politik atau ekonomi (seperti dalam liberalisme Barat) atau sekadar urusan ritual (seperti dalam Islam tradisionalis sempit). Sebaliknya, Muthahhari mendefinisikan pembebasan sebagai gerakan terus-menerus menuju kesempurnaan yang harus mencakup dimensi Spiritual (dari hawa nafsu), Intelektual (dari taklid buta), dan Sosial (dari penindasan).

Relevansi Kontemporer Konsep Pembebasan

Pemikiran Muthahhari tetap sangat relevan dalam menghadapi tantangan peradaban kontemporer. Model ini menawarkan kerangka kerja untuk menjawab kegelisahan eksistensial manusia modern yang mengalami kekeringan spiritual akibat materialisme dan fokus yang sempit pada kebebasan politik/ekonomi. Dengan memprioritaskan

kebebasan rohani sebagai fondasi kausal bagi keadilan sosial, Muthahhari menyediakan alat intelektual yang memungkinkan pergerakan Islam kontemporer untuk mencari transformasi sosial-politik tanpa mengorbankan dimensi kerohanian—sebuah pembedaan krusial dari teologi pembebasan sekuler.

Secara politik, konsep ini memberikan legitimasi teologis bagi aksi revolusioner yang didorong oleh etika, bukan sekadar kepentingan material atau ideologi sosiologis murni. Hal ini menjamin bahwa gerakan untuk keadilan memiliki jangkar moral yang mencegahnya menjadi liar atau tirani baru.

Meskipun menawarkan model yang kuat, terdapat ruang untuk eksplorasi lebih lanjut. Salah satu kritik yang dapat diajukan adalah terkait penerapan model Illah Fa’illi dalam konteks masyarakat yang stabil atau tidak berorientasi revolusioner. Bagaimana pembebasan dalam arti gerakan menuju Kamal ini dimanifestasikan dalam reformasi institusional bertahap, alih-alih melalui aksi revolusioner?

Selanjutnya, kritik Muthahhari terhadap Individualisme Barat yang ekstrem perlu diimbangi dengan analisis yang lebih detail mengenai batasan hak individu dalam kerangka keadilan Ilahi yang ia tawarkan. Pembebasan sosial memerlukan rumusan yang jelas tentang bagaimana hak individu dilindungi agar tidak jatuh ke dalam totaliterisme kolektivis, meskipun kolektivisme diletakkan di bawah payung Tauhid. Kajian mendalam tentang bagaimana Muthahhari menyeimbangkan tanggung jawab kolektif dan kebebasan subjek sadar tetap menjadi area penting untuk penelitian filosofis di masa depan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

27 + = 34
Powered by MathCaptcha