Mikhail Alexandrovich Bakunin (1814–1876) adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah anarkisme dan figur utama dalam tradisi sosialis revolusioner, anarkis sosial, dan anarkis kolektivis. Pemikirannya bukan hanya seruan untuk kekacauan, melainkan sebuah kerangka filosofis terintegrasi yang bertujuan untuk menghilangkan semua bentuk otoritas hierarkis—mulai dari Tuhan dan metafisika, hingga Negara dan Kapitalisme—demi mencapai kebebasan sejati yang bersifat kolektif dan federal.
Tulisan ini menganalisis fondasi filosofis Bakunin, cetak biru sosial-ekonominya yang dikenal sebagai Anarko-Kolektivisme, kritik prediktifnya terhadap Marxisme, dan warisan abadi dari gerakan anti-otoritarianisme yang ia pelopori.
Pendahuluan: Konteks Intelektual dan Transformasi Revolusioner
Latar Belakang Kehidupan dan Evolusi Filosofis
Mikhail Alexandrovich Bakunin lahir pada 30 Mei 1814, dari keluarga bangsawan di Pryamukhino, Kekaisaran Rusia. Perjalanan intelektualnya pada awalnya ditandai oleh studi filsafat Jerman di Moskow dan Berlin, di mana ia terpengaruh oleh Hegelian Kiri. Di Paris, ia berinteraksi dengan pemikir-pemikir besar seperti Karl Marx dan Pierre-Joseph Proudhon, yang sangat memengaruhinya dan mendorongnya menuju radikalisme.
Sepanjang tahun 1840-an, Bakunin aktif dalam agitasi revolusioner. Keterlibatannya dalam pemberontakan Praha pada 1848 dan pemberontakan Dresden pada 1849 menyebabkan penangkapan, pengadilan, hukuman mati, dan akhirnya pengasingan ke Siberia pada tahun 1857. Pelariannya yang dramatis pada tahun 1861 melalui Jepang, Amerika Serikat, dan kemudian ke London, memperkuat reputasinya sebagai seorang revolusioner karismatik.
Peran di Internasionale Pertama (IWA)
Pada tahun 1868, Bakunin bergabung dengan Asosiasi Pekerja Internasional (IWA), di mana ia dengan cepat memimpin faksi anarkis yang dikenal sebagai seksi anti-otoritarian. Masa Bakunin di IWA adalah periode paling penting dalam pengembangan pemikiran anarkis modern, meskipun diwarnai oleh konflik mendasar dengan Karl Marx dan para pengikutnya.
Konflik di IWA tidak hanya bersifat personal atau politis, tetapi mewakili benturan dua tradisi sosialis yang berbeda mengenai peran negara dan metodologi revolusi. Bakunin dan fraksi anarkisnya berbenturan tajam dengan Marx mengenai keberadaan negara pasca-revolusi. Puncak konflik terjadi pada Kongres Den Haag tahun 1872, di mana Bakunin dan faksi anarkisnya dikeluarkan oleh dewan IWA karena dianggap membahayakan gerakan buruh dengan “ide-ide borjuisnya”. Setelah dikeluarkan, Bakunin dan fraksinya membentuk pertemuan tandingan di St. Imier pada tahun yang sama.
Pilar Utama Pemikiran Anarkis Bakunin
Pemikiran Bakunin didasarkan pada lima konsep utama yang terjalin erat, yang membentuk dasar bagi model Anarko-Kolektivisme :
- Kebebasan (Liberty): Realitas konkret yang bersifat sosial dan tidak dapat dicapai dalam isolasi.
- Sosialisme (Socialism): Kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi.
- Federalisme (Federalism): Organisasi sosial dari bawah ke atas melalui asosiasi sukarela.
- Anti-Teisme (Anti-Theism): Penolakan total terhadap otoritas spiritual dan metafisik.
- Materialisme (Materialism): Pendekatan filosofis yang menekankan realitas sosial dan ekonomi, menolak idealisme Hegel.
Landasan Filosofis: Kebebasan, Anti-Teisme, dan Penolakan Otoritas Total
Fondasi anarkisme Bakunin terletak pada kritik totalnya terhadap otoritas. Ia memahami bahwa penindasan tidak hanya berasal dari tatanan politik (Negara) dan ekonomi (Kapitalisme) tetapi juga dari legitimasi metafisik yang mendasarinya (Agama).
Kritik Total terhadap Otoritas Ilahi (God and the State)
Karya Bakunin yang paling terkenal dan berpengaruh, God and the State (Dieu et l’état), menyajikan tesis sentral anti-teismenya. Bakunin berpendapat bahwa agama adalah penolakan terhadap kebebasan dan kesetaraan manusia. Logika Bakunin sangat tajam: jika Tuhan ada, maka manusia adalah budak.
Dalam sebuah pembalikan aforisme terkenal Voltaire, Bakunin menyimpulkan, “Jika Tuhan benar-benar ada, maka akan perlu untuk menghapus-Nya.”. Ini menunjukkan bahwa bagi Bakunin, perjuangan untuk pembebasan manusia harus dimulai dengan menanggalkan kuk ganda otoritas spiritual dan temporal. Dalam konteks ini, Bakunin memuji Setan sebagai “pemberontak abadi, pemikir bebas pertama, dan pembebas dunia,” sebuah alegori yang mengikatkan pemberontakan revolusioner dengan tindakan berpikir dan menolak kepatuhan.
Penolakan terhadap otoritas Ilahi adalah langkah krusial untuk menganalisis otoritas negara. Karena Negara sering mencari legitimasi spiritual atau metafisik, runtuhnya otoritas teologis berarti runtuhnya semua justifikasi transenden untuk hierarki politik. Bakunin melihat Negara sebagai manifestasi temporal dari kredo teologis, sehingga perang total terhadap Gereja dan Negara adalah “melepaskan kuk ganda”.
Definisi Kebebasan yang Bersifat Sosial
Kebebasan yang diidamkan Bakunin bukanlah konsep liberal individualistik yang abstrak, melainkan sebuah realitas konkret yang bersifat sosial. Ia menyatakan prinsip inti anarkisme sosial:
“Aku bebas hanya ketika semua orang lain di sekelilingku, baik laki-laki maupun perempuan, sama bebasnya. Kebebasan orang lain, alih-alih membatasi atau membatalkan kebebasanku, justru sebaliknya merupakan kondisi dan konfirmasi yang diperlukannya.”
Ini menegaskan bahwa kebebasan individu tidak dapat dicapai dalam isolasi, tetapi melalui dan dalam masyarakat, didasarkan pada kesetaraan dan solidaritas. Konsepsi kebebasan ini mencakup “pengembangan penuh atas semua kekuatan setiap manusia, lewat pendidikan, kursus ilmiah, dan kemakmuran secara material”. Dalam arti lain, kebebasan adalah “pemberontakan individu terhadap semua otoritas ilahi, kolektif, dan individu”.
Dengan menempatkan kebebasan sebagai kondisi kolektif, Bakunin secara tegas membedakan dirinya dari Anarkisme Individualistik yang menekankan bahwa hati nurani individu tidak boleh dibatasi oleh institusi kolektif. Baginya, kebebasan harus ditopang oleh struktur masyarakat yang adil dan non-hierarkis.
Penolakan terhadap Otoritas Kenegaraan
Penolakan Bakunin terhadap Negara bersifat fundamental. Bagi para anarkis klasik, negara adalah alat penindasan utama dalam masyarakat, yang harus dilenyapkan. Bakunin melukiskan negara sebagai “rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, di mana semua aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati dalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur”.
Kritiknya terhadap negara meluas ke semua bentuk otoritas kenegaraan, termasuk hierarki dan sistem kelas yang menghasilkan penindasan nasional dan gender. Bakunin menyoroti kemunafikan negara: dengan dalih membuat manusia bermoral dan berbudaya, negara secara konsisten memperbudak, mengeksploitasi, dan menghancurkan hak-hak kemanusiaan kaum buruh dan tani. Ia menolak ide posisi atau kelas istimewa apa pun yang diciptakan oleh kekuasaan.
Anarko-Kolektivisme: Model Ekonomi Pasca-Kapitalis
Anarko-Kolektivisme, atau Kolektivisme Anarkis, merupakan cetak biru Bakunin untuk mengorganisir masyarakat bebas setelah penghancuran negara dan kapitalisme.
Konsep dan Kepemilikan Kolektif
Kolektivisme Anarkis adalah aliran pemikiran sosialis yang mengusulkan kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, tanah, dan modal, sementara kepemilikan pribadi dibatasi pada hasil kerja seseorang. Bakunin terinspirasi oleh praktik kolektivisme agraris tradisional petani Rusia dan berupaya menerapkan prinsip-prinsip saling bantu (mutual aid) pada masyarakat industri.
Model ini memosisikan Bakunin di tengah spektrum sosialis: ia melampaui Mutualisme Proudhon (yang mempertahankan kepemilikan individu atas hasil kerja) tetapi belum mencapai Komunisme Kropotkin.
Struktur Ekonomi dan Prinsip Distribusi
Prinsip distribusi dalam Anarko-Kolektivisme adalah kunci yang membedakannya dari Anarko-Komunisme. Bakunin menganjurkan hak pekerja atas hasil dari kerja mereka sendiri, dengan distribusi sumber daya dilakukan berdasarkan kerja yang telah disumbangkan (to each according to his work).
Prinsip distribusi “sesuai dengan kerjanya” menunjukkan sifat pragmatis Bakunin. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada eksploitasi, karena nilai yang dihasilkan oleh pekerja akan setara dengan nilai yang mereka terima. Konsep ini adalah prinsip etika fundamental yang penting dalam fase transisional pasca-revolusi, di mana kelimpahan material penuh mungkin belum tercapai. Kemudian, sistem ini disingkirkan oleh Anarko-Komunisme yang diadvokasi oleh Peter Kropotkin, yang menyerukan penghapusan upah dan distribusi berdasarkan kebutuhan (to each according to their need).
Federalisme dan Organisasi dari Bawah ke Atas
Setelah revolusi, masyarakat harus diorganisir secara sukarela dari bawah ke atas. Bakunin memandang serikat pekerja (trade unions) bukan hanya sebagai alat perjuangan melawan kapitalisme, tetapi sebagai mekanisme melalui mana revolusi sosial dapat diwujudkan. Serikat pekerja akan membentuk nukleus masyarakat pasca-kapitalis yang terdesentralisasi. Pengorganisasian ini berbasis komune atau gabungan kawasan lokal yang otonom, di mana semua orang memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan (seperti melalui konsensus atau diskusi, bukan pemungutan suara otoritatif).
Penekanan pada serikat pekerja sebagai inti organisasi menunjukkan bahwa Bakunin telah meletakkan landasan konseptual bagi apa yang kemudian dikenal sebagai Anarko-Sindikalisme, sebuah tradisi yang memiliki pengaruh historis yang sangat kuat, terutama di Spanyol.
Konflik Fundamenal: Kritik Bakunin terhadap Marxisme dan Kediktatoran Proletariat
Konflik ideologis Bakunin dengan Karl Marx berakar pada peran negara dalam revolusi dan pasca-revolusi. Sementara Marx memandang negara proletariat sebagai perangkat transisi yang diperlukan untuk mencapai komunisme, Bakunin melihatnya sebagai bentuk otoritas baru yang akan melanggengkan penindasan.
Tesis Sentral Statism and Anarchy
Dalam Statism and Anarchy (1873), Bakunin menyusun kritik prediktif terhadap Marxisme yang ia sebut sebagai “statisme”. Ia berargumen bahwa teori statisme dan apa yang disebut sebagai “kediktatoran revolusioner” didasarkan pada gagasan bahwa “elit istimewa,” yang terdiri dari ilmuwan dan “revolusioner doktriner,” harus memaksakan skema organisasi sosial yang telah mereka rancang pada rakyat.
Prediksi Bakunin didasarkan pada langkah-langkah yang diadvokasi dalam Manifesto Komunis Marxis, seperti sentralisasi kredit dan transportasi oleh Negara, serta pekerjaan wajib untuk semua. Bakunin berpendapat bahwa pemusatan kekuasaan struktural ini, meskipun di bawah kepemimpinan kaum buruh, secara inheren akan menciptakan birokrasi dan otoritarianisme.
Penolakan terhadap Kediktatoran Proletariat
Kritik paling terkenal Bakunin terhadap Marxisme adalah penolakan mutlaknya terhadap konsep Kediktatoran Proletariat. Bakunin memprediksi bahwa, jika Marxis berhasil merebut kekuasaan, mereka akan menciptakan kediktatoran partai yang lebih berbahaya karena kediktatoran tersebut akan muncul sebagai ekspresi palsu atas kehendak rakyat.
Pusat argumennya adalah sifat korup dari kekuasaan itu sendiri:
- Korupsinya Sifat Manusiawi: Bakunin berargumen bahwa mantan buruh, segera setelah mereka menjadi penguasa, akan “berhenti menjadi buruh” dan mulai memandang seluruh dunia buruh dari menara tinggi negara. Mereka akan melayani hasrat mereka sendiri untuk memerintah. Ini adalah prediksi sosiologis yang didasarkan pada realitas sifat manusiawi. Ia menyatakan, “Siapa pun yang meragukan ini berarti tidak akrab dengan sifat-sifat manusia”.
- Kediktatoran Semu: Pemerintahan yang dipimpin oleh minoritas yang merasa “paling mengerti” rakyat ini akan melahirkan “kediktatoran semu” dalam balutan proletariat. Slogan-slogan atas nama rakyat menjadi semu ketika kebebasan dan protes dibatasi atas nama rakyat itu sendiri.
Argumen Kausal: Kebebasan Tidak Dapat Diciptakan Melalui Tirani
Kaum Marxis menganggap kediktatoran sebagai perangkat transisi yang diperlukan untuk mencapai pembebasan rakyat sepenuhnya. Bakunin menolak logika ini secara etis dan struktural. Ia berpendapat bahwa anarki adalah tujuan, tetapi menuntut rakyat diperbudak terlebih dahulu demi tujuan tersebut adalah kontradiksi fatal.
Bagi Bakunin, tidak ada kediktatoran yang mungkin memiliki tujuan selain untuk mengabadikan dirinya sendiri, yang hanya akan menumbuhkan dan memupuk perbudakan. Bakunin berpendapat tegas bahwa kebebasan hanya dapat diciptakan dengan kebebasan itu sendiri, yang harus diwujudkan melalui “pemberontakan semua rakyat, dan organisasi sukarela para buruh dari bawah ke atas”. Kekuatan argumen ini terletak pada keyakinan bahwa struktur Negara, terlepas dari niat para pemimpinnya, secara inheren menciptakan kondisi bagi oligarki baru.
Perbedaan Klasis dalam Revolusi
Perbedaan mendasar lainnya antara Bakunin dan Marx terletak pada siapa yang mereka anggap sebagai agen revolusioner. Marx cenderung memprioritaskan proletariat industri. Sebaliknya, Bakunin, yang lebih akrab dengan konteks agraria Slavia, memiliki pandangan yang lebih luas, menekankan peran petani (disebut Marx secara meremehkan sebagai krestyanskaya chern atau “peasant mob”) dan bahkan lumpenproletariat sebagai unsur revolusioner yang vital.
Marx mengkritik inklusivitas Bakunin, berargumen bahwa petani berada pada tingkat budaya terendah dan akan diperintah oleh proletariat pabrik urban. Bagi Bakunin, kelompok-kelompok yang paling tertindas dan tidak terlembaga secara borjuis ini memiliki potensi spontanitas yang lebih besar untuk menghancurkan tatanan yang ada.
Metode Revolusioner, Strategi, dan Warisan
Metodologi Revolusioner: Spontanitas dan Aksi Langsung
Bakunin percaya pada revolusi yang datang secara spontan, seperti “pencuri di malam hari,” yang didorong oleh keadaan material dan diorganisir oleh seluruh massa. Konsepsi ini didasarkan pada pengalamannya dengan Komune Paris (1871), yang ia lihat sebagai contoh nyata dari revolusi yang berlangsung “dari bawah” dan diorganisir secara spontan oleh komune lokal. Pendekatan ini secara inheren menolak kepemimpinan terpusat partai atau individu tertentu, yang merupakan ciri khas Marxisme. Pemikiran anarkis Bakunin melegalkan gerakan-gerakan dalam bentuk aksi langsung oleh masyarakat untuk mencapai pembebasan.
Kritik terhadap Metode Bakunin: Organisasi Rahasia dan Kekerasan
Meskipun Bakunin secara filosofis anti-otoritarian, metode organisasionalnya dikritik karena kontradiktif. Bakunin menggunakan organisasi revolusioner yang bersifat rahasia (seperti Aliansi Demokrasi Sosialis) untuk menggerakkan revolusi. Ketegangan ini—menggunakan struktur komando sementara dan terpusat untuk mencapai desentralisasi absolut—adalah titik lemah konseptualnya.
Selanjutnya, setelah IWA, Bakunin dikaitkan dengan peningkatan penggunaan kekerasan dalam gerakan anarkis. Walaupun Bakunin tidak identik dengan kekerasan, beberapa laporan menyebutkan bahwa Bakunin pasca-IWA bergabung dengan kelompok teroris Rusia dan melakukan pengeboman di beberapa daerah. Namun, penting untuk dicatat bahwa anarkisme setelah Bakunin yang menggunakan kekerasan sebagai jalur perjuangan (seperti Propaganda by the Deed pada akhir abad ke-19) adalah perkembangan yang terpisah. Bagi Bakunin, pemberontakan adalah tindakan kebebasan, bukan tujuan kekerasan itu sendiri.
Warisan dan Relevansi Kontemporer
Pengaruh Bakunin sangat besar, memengaruhi generasi anarkis berikutnya termasuk Peter Kropotkin dan Errico Malatesta. Warisan Kolektivismenya menjadi landasan bagi gerakan anarkis di Spanyol hingga akhir abad ke-19 dan memengaruhi organisasi sindikalis seperti Industrial Workers of the World (IWW).
Relevansi Bakunin meluas hingga ke gerakan sosial kontemporer. Kritiknya terhadap Negara, sentralisasi kekuasaan, dan pembentukan elit yang mengklaim mewakili rakyat (minoritas yang “paling mengerti” rakyat ) sangat bergema dalam Gerakan Anti-Globalisasi modern. Dalam dunia yang didominasi oleh birokrasi global, elit teknokratis, dan institusi yang tersentralisasi, kritik Bakunin bahwa kekuasaan, terlepas dari niatnya, akan selalu korup dan mengabadikan penindasan, menjadikannya pemikir anti-otoritarian yang sangat aktual.
Kesimpulan
Pemikiran Mikhail Bakunin tentang anarkisme adalah arsitektur filosofis yang konsisten, berakar pada materialisme revolusioner dan ditujukan pada pembebasan total manusia. Ia tidak hanya menuntut penghapusan kapitalisme, tetapi juga penghapusan semua legitimasi otoritas, mulai dari Tuhan hingga struktur negara transisional yang diusulkan Marxis. Model Anarko-Kolektivisme yang ia tawarkan adalah cetak biru sosial-ekonomi yang pragmatis, yang menyeimbangkan kepemilikan kolektif dengan imbalan berdasarkan kontribusi kerja, diorganisir melalui federalisme dari bawah ke atas.
Kritik prediktif Bakunin terhadap Kediktatoran Proletariat adalah kontribusi teoretisnya yang paling bertahan lama. Ia menunjukkan bahwa pemusatan kekuasaan, bahkan atas nama kaum tertindas, akan secara inheren menciptakan kelas penguasa dan birokrasi baru yang korup, yang hanya akan mengabadikan perbudakan.
Untuk meringkas perbedaan mendasar antara visinya dan rival utamanya, tabel komparatif berikut disajikan:
Tabel 1: Perbandingan Ideologis: Bakunin (Anarko-Kolektivisme) vs. Marx (Sosialisme Ilmiah)
Dimensi | Mikhail Bakunin (Anarko-Kolektivisme) | Karl Marx (Sosialisme Ilmiah) |
Peran Negara Pasca-Revolusi | Penghapusan radikal negara segera; penolakan total otoritas. | Negara Transisional: Kediktatoran Proletariat. |
Mekanisme Distribusi | “Kepada setiap orang sesuai dengan kerjanya” (berdasarkan kontribusi). | Tahap pertama: “Sesuai kerjanya.” Tahap akhir: “Sesuai kebutuhannya.” |
Agen Revolusioner Utama | Petani, lumpenproletariat, dan kaum buruh; massa secara luas. | Proletariat industri sebagai satu-satunya kelas revolusioner sejati. |
Pemusatan Kekuasaan | Federalisme; desentralisasi total; organisasi dari bawah ke atas. | Sentralisasi; ekonomi dan kredit diatur oleh Negara Proletariat. |
Bakunin menekankan bahwa kebebasan harus dipandang sebagai konsep yang holistik, di mana penindasan pada satu level (spiritual, politik, ekonomi) saling memperkuat. Tuntutan pembebasannya adalah total, mencakup semua dimensi kehidupan sosial.
Tabel 2: Pilar Kebebasan Bakunin dan Sifat Otoritas yang Ditolak
Pilar Kebebasan Bakunin | Bentuk Otoritas yang Ditolak | Mekanisme Penindasan | Teks Utama |
Kebebasan yang Konkret dan Sosial | Otoritas Ilahi (Gereja, Teologi) | Perbudakan spiritual, menghambat tindakan berpikir dan pemberontakan. | God and the State |
Pengembangan Penuh Potensi Manusia | Otoritas Negara (Politik, Birokrasi) | Eksploitasi sistematis, penghancuran hak-hak buruh dan tani, kediktatoran semu. | Statism and Anarchy |
Keadilan Ekonomi (Kolektivisme) | Otoritas Kelas Istimewa (Kapitalisme, Kepemilikan Privat) | Kesenjangan sosial dan ekonomi, penindasan nasional dan gender. | Kolektivisme Anarkis |
Spontanitas dan Kehidupan | Otoritas Ilmu Pengetahuan yang Memerintah (Scientism) | Memaksakan skema doktriner, menghilangkan kebebasan dan inisiatif massa. | Statism and Anarchy |
Kesimpulannya, pemikiran Bakunin memberikan kerangka kerja yang tidak hanya mengkritik hasil dari kekuasaan (penindasan ekonomi), tetapi juga struktur kekuasaan itu sendiri. Warisannya adalah peringatan yang abadi bahwa tujuan revolusioner yang mulia harus dicapai melalui cara-cara yang sesuai, dan bahwa kebebasan yang hakiki hanya dapat lahir dari desentralisasi radikal dan pemberontakan yang spontan. Dengan demikian, Bakunin tetap menjadi figur sentral dalam tradisi yang menuntut kebebasan absolut yang terwujud dalam solidaritas sosial.