Sektor perbankan Indonesia sedang mengalami pergeseran tektonik yang didorong oleh akselerasi digital yang masif dan dukungan regulasi. Laporan ini menyajikan analisis komprehensif mengenai dinamika kompetitif, struktural, dan regulasi yang membentuk persaingan antara Bank Digital dan Bank Konvensional pada periode 2024–2025. Perkembangan ini tidak lagi terbatas pada sekadar penambahan fitur aplikasi, namun telah bergeser menjadi “perang ekosistem,” di mana nilai data dan kecepatan inovasi menjadi faktor penentu.
Temuan Kunci
- Akselerasi Pasar: Lanskap perbankan digital Indonesia berada pada titik pertumbuhan yang cepat, didorong oleh populasi Generasi Z yang besar dan inisiatif Open Banking dari Bank Indonesia (BI) melalui Payment System Blueprint 2025 (BSPI 2025). Nilai transaksi perbankan digital telah menembus Rp 5.570,49 triliun pada Mei 2024, menunjukkan momentum pasar yang substansial.
- Dilema Struktural: Bank konvensional dihadapkan pada tantangan transformasi ganda. Mereka harus merombak infrastruktur legacy yang kompleks menjadi sistem front-to-back digital yang gesit , sambil memenuhi persyaratan keamanan siber dan perlindungan data yang ketat sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 21 Tahun 2023.
- Keunggulan Biaya dan Ekosistem: Bank digital memiliki keunggulan biaya operasional yang signifikan karena minimnya infrastruktur fisik, yang memungkinkan mereka menawarkan harga yang lebih kompetitif dan menargetkan segmen MSME (Micro, Small, and Medium Enterprises) secara efisien melalui integrasi data ekosistem.
Rekomendasi Utama
Lembaga keuangan, terutama bank konvensional, disarankan untuk fokus pada tiga pilar strategis: (1) Adopsi Kerangka Open API secara penuh untuk memfasilitasi kemitraan data , (2) Pemanfaatan data perilaku ekosistem untuk penargetan segmen MSME dan unbanked , dan (3) Investasi berkelanjutan dan agresif dalam kepatuhan keamanan siber dan tingkat kematangan digital sesuai standar OJK.
Diferensiasi Struktural dan Arsitektur Operasional
Perbedaan paling mendasar antara Bank Digital dan Bank Konvensional terletak pada struktur lisensi, arsitektur teknologi, dan model operasional, yang secara langsung memengaruhi kecepatan inovasi dan struktur biaya.
Klasifikasi Entitas Perbankan dan Model Lisensi
Dalam lanskap Indonesia, terdapat tiga kategori utama entitas perbankan yang terlibat dalam digitalisasi:
- Bank Konvensional: Merupakan institusi yang sudah lama beroperasi, dicirikan oleh kepemilikan lisensi bank penuh dan mengandalkan jaringan fisik (kantor cabang dan ATM) yang luas. Mereka menawarkan layanan yang lengkap, sering kali termasuk layanan tatap muka.
- Bank Digital Berizin Penuh: Entitas ini memiliki izin bank penuh namun beroperasi sepenuhnya secara digital (misalnya, Blu by BCA Digital, Jago). Mereka adalah bank tradisional yang bertransformasi atau entitas baru yang didirikan dengan model digital. Mereka tunduk pada regulasi bank penuh, termasuk jaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
- Neobank: Umumnya merupakan startup atau perusahaan fintech yang fokus utama operasinya adalah pengalaman pengguna (User Experience / UX) berbasis aplikasi. Neobank biasanya tidak memiliki izin bank penuh, melainkan beroperasi dengan bermitra dengan bank berizin penuh. Contoh di Indonesia termasuk Monit.
Infrastruktur Teknologi: Perbedaan antara Legacy dan Cloud-Native
Perbedaan mendalam dalam infrastruktur menentukan kecepatan dan efisiensi operasional masing-masing jenis bank:
- Bank Digital (termasuk Neobank): Arsitektur mereka umumnya dibangun dari nol (built from scratch), berbasis cloud, dan dirancang menggunakan arsitektur microservices modern. Struktur ini dirancang untuk mencapai User Experience yang unggul dan memungkinkan kecepatan inovasi yang sangat cepat dan adaptif. Kemampuan untuk melakukan onboarding digital end-to-end hingga pengajuan pinjaman melalui aplikasi merupakan hasil langsung dari automasi proses perbankan ini.
- Bank Konvensional: Secara historis, bank-bank ini menggunakan sistem perbankan lama (legacy system). Proses transformasi digital mereka seringkali merupakan upaya yang memakan waktu dan modal besar. Analisis industri menunjukkan bahwa untuk mencapai keberhasilan transformasi, bank konvensional harus melampaui sekadar mendigitalkan customer journeys (proses front-end) dan fokus pada perombakan menyeluruh organisasi dan model operasi mereka di sekitar customer value streams. Pendekatan front-to-back yang melibatkan operasi, manajemen risiko, legal, dan teknologi secara keseluruhan diperlukan untuk mendapatkan kecepatan dan fleksibilitas yang setara dengan pesaing digital.
Meskipun Bank Digital berizin penuh dan Neobank sama-sama menawarkan layanan digital, terdapat perbedaan penting. Neobank yang sepenuhnya berbasis cloud seringkali memiliki keunggulan dalam kecepatan adaptasi. Lisensi bank penuh, meskipun menawarkan kredibilitas dan jaminan LPS , seringkali membawa serta birokrasi dan persyaratan regulasi yang lebih ketat (seperti POJK 21/2023 ) yang berpotensi memperlambat inovasi dibandingkan dengan kelincahan fintech murni.
Biaya Operasional dan Implikasi Harga
Struktur infrastruktur ini berdampak langsung pada model penetapan harga.
- Keunggulan Biaya Bank Digital: Keuntungan struktural utama Bank Digital adalah biaya operasional yang jauh lebih rendah karena tidak adanya kebutuhan untuk memelihara kantor cabang fisik yang mahal dan gaji staf yang besar. Penghematan ini dapat diteruskan kepada nasabah dalam bentuk insentif finansial yang kompetitif. Banyak tabungan digital yang menawarkan biaya administrasi yang rendah atau bahkan gratis.
- Biaya Bank Konvensional: Bank konvensional memiliki biaya operasional yang lebih besar untuk pemeliharaan cabang dan gaji staf. Biaya overhead yang tinggi ini membatasi kemampuan mereka untuk bersaing dalam hal biaya administrasi atau penawaran cashback yang agresif, meskipun mereka mengimbangi hal ini dengan kekuatan reputasi dan layanan lengkap.
Dinamika Pasar Indonesia dan Tren Adopsi Digital
Pasar perbankan digital Indonesia menunjukkan tren pertumbuhan eksponensial, didorong oleh demografi yang mengadopsi digital secara cepat dan strategi inklusi keuangan yang bertarget.
Pertumbuhan Eksponensial dan Nilai Transaksi
Lanskap perbankan digital di Indonesia dilaporkan sedang booming dan menunjukkan pertumbuhan yang konsisten selama beberapa tahun terakhir.
- Volume Transaksi: Pada Mei 2024, nilai transaksi perbankan digital mencapai Rp 5.570,49 triliun, mencerminkan peningkatan sebesar 10,82% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year). Peningkatan frekuensi penggunaan perbankan digital sendiri telah melonjak sebesar 158% antara tahun 2018 dan 2023, menandakan bahwa solusi digital telah menjadi bagian integral dari aktivitas keuangan harian masyarakat.
- Penetrasi Digital: Adopsi saluran digital di Indonesia telah mencapai 58%, yang sejalan dengan rata-rata di Emerging Asia. Angka ini merupakan peningkatan 1,6 kali lipat dari tingkat tahun 2014, dipercepat oleh adopsi smartphone dan dorongan digitalisasi yang dilakukan oleh bank itu sendiri.
Table I: Indikator Kunci Adopsi Perbankan Digital di Indonesia (2024)
Indikator | Metrik Kuantitatif | Implikasi Strategis |
Nilai Transaksi Digital (Mei 2024) | Rp 5.570,49 Triliun | Menunjukkan skala dan volume pasar yang substansial. |
Pertumbuhan Y-o-Y Transaksi Digital | 10,82% | Momentum pertumbuhan stabil dan berkelanjutan. |
Peningkatan Frekuensi Penggunaan (2018–2023) | 158% | Peningkatan dramatis dalam ketergantungan harian pada solusi digital. |
Tingkat Penetrasi Digital | 58% (1.6x tingkat 2014) | Dua pertiga populasi pengguna layanan keuangan telah beralih ke saluran digital. |
Profil Pengguna Utama dan Demografi
Pertumbuhan pasar didominasi oleh faktor demografi. Populasi Generasi Z di Indonesia merupakan generasi terbesar dan berperan penting sebagai pendorong utama ekosistem ekonomi digital. Adopsi ini tidak terbatas pada perkotaan besar; platform yang mengutamakan seluler (mobile-first) telah berhasil memperluas akses layanan keuangan ke segmen populasi yang lebih luas.
Inklusi Keuangan dan Penetrasi MSME
Bank digital telah mengidentifikasi segmen MSME dan masyarakat unbanked sebagai target strategis. Segmen ini secara historis kurang terlayani oleh bank konvensional.
Kemampuan Bank Digital untuk menjangkau segmen ini sangat bergantung pada strategi ekosistem. Bank digital baru, seperti Superbank, secara strategis merencanakan untuk menyalurkan pinjaman kepada pemasok dan distributor MSME di dalam ekosistem pemegang saham/mitra mereka (misalnya, Emtek, Grab, dan Singtel). Dengan berfokus pada ekosistem terafiliasi, bank mampu mengendalikan risiko dengan lebih baik dan melaksanakan onboarding serta layanan pelanggan secara lebih efisien.
Kemampuan untuk menawarkan pinjaman kepada MSME, seringkali tanpa agunan, hingga batas maksimum Rp 2 miliar (sesuai regulasi OJK) , adalah keunggulan struktural yang dihasilkan dari pemanfaatan data ekosistem. Data perilaku dan transaksi dalam ekosistem (misalnya, riwayat penjualan e-commerce atau aktivitas layanan transportasi) memungkinkan Bank Digital untuk melakukan penilaian risiko yang sangat cepat dan otomatis. Sebaliknya, Bank Konvensional yang lebih mengandalkan data tradisional (agunan, riwayat kredit konvensional) dan kehadiran fisik menghadapi kesulitan untuk bersaing secara efektif di segmen mikro yang memerlukan pengambilan keputusan risiko yang gesit dan berdasarkan data non-tradisional. Bank konvensional harus segera bertransisi dari model asset-based lending ke data-based lending melalui kemitraan strategis jika mereka tidak ingin kehilangan mesin pertumbuhan ekonomi digital Indonesia ini.
Keunggulan Kompetitif dan Disparitas Model Nilai (Value Proposition)
Model nilai (value proposition) yang ditawarkan oleh Bank Digital dan Bank Konvensional berbeda secara fundamental, memengaruhi strategi penetapan harga, produk, dan dukungan pelanggan.
- Strategi Penetapan Harga (Pricing) dan Suku Bunga Dana
- Suku Bunga Deposito dan Tabungan: Bank digital secara proaktif menggunakan suku bunga promosi yang tinggi sebagai alat utama untuk akuisisi pelanggan dan penarikan fresh funds dari bank lain. Sebaliknya, bank konvensional menawarkan suku bunga deposito yang cenderung lebih stabil dan konservatif (misalnya, BRI sekitar 2,85% p.a. dan BCA antara 2% hingga 3,5% p.a. untuk tenor 1 tahun).
- Biaya Transaksi: Berkat biaya operasional yang lebih rendah , Bank Digital sering menawarkan keuntungan finansial langsung kepada nasabah, termasuk biaya administrasi rendah atau gratis dan cashback.
Suku Bunga Kredit Dasar (SBDK)
Bank konvensional memiliki transparansi yang diatur dalam OJK mengenai Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), yang mencerminkan komponen Harga Pokok Dana (HPDK), Biaya Overhead, dan Margin Keuntungan.
- Contoh SBDK yang dipublikasikan oleh bank konvensional besar menunjukkan bahwa SBDK untuk KPR/KPA Bank Mandiri mencapai 12,50% (periode berlaku 2024–2025) , dan SBDK KPR/KPA Bank BTN mencapai 10,80%.
- Bank konvensional cenderung berfokus pada kredit Korporasi, Ritel, dan KPR/KPA non-subsidi dengan plafon besar. Sementara itu, Bank Digital lebih fokus pada pinjaman cepat tanpa agunan (KTA atau pinjol) yang didukung ekosistem, di mana suku bunga yang ditawarkan dapat disesuaikan dengan tingkat risiko yang lebih tinggi di segmen MSME mikro.
Aksesibilitas, Kecepatan, dan Produk
Fleksibilitas adalah keunggulan mutlak Bank Digital. Tabungan dan transaksi digital dapat diakses 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa batasan waktu dan tempat, asalkan tersedia koneksi internet. Hal ini menjadikan Bank Digital ideal bagi individu yang sangat sibuk atau yang berada di daerah terpencil.
Selain kecepatan transaksi, proses onboarding sepenuhnya otomatis, dari pembukaan rekening hingga verifikasi identitas. Teknologi memungkinkan Bank Digital memberikan layanan yang dipersonalisasi sesuai kebutuhan pengguna, karena fokus mereka adalah pengalaman digital yang superior.
Dalam hal produk investasi, beberapa Bank Digital menawarkan kedalaman produk yang signifikan. Misalnya, platform investasi pada aplikasi Bank Digital dapat menawarkan lebih dari 50 pilihan produk reksadana, memberikan kemudahan akses bagi investor ritel untuk memilih investasi sesuai profil risiko mereka. Bank Konvensional, di sisi lain, masih menjadi pilihan utama dan penting untuk kebutuhan produk keuangan yang lebih kompleks dan berskala besar, seperti hipotek atau investasi korporasi.
Kehadiran Fisik dan Dukungan Pelanggan
Kehadiran fisik adalah pembeda utama dan merupakan keunggulan yang tidak dapat ditiru oleh Bank Digital murni.
- Bank Konvensional: Menyediakan layanan tatap muka di cabang, yang dihargai oleh pelanggan yang membutuhkan dukungan penuh untuk transaksi besar, penyelesaian masalah kompleks, atau yang sekadar menghargai interaksi personal. Mereka juga umumnya menawarkan jaringan ATM yang lebih luas.
- Bank Digital: Beroperasi tanpa kantor cabang fisik. Mereka mengandalkan kerja sama dengan jaringan ATM untuk penarikan tunai dan menawarkan layanan pelanggan melalui aplikasi 24/7.
Table II: Perbandingan Kriteria Operasional dan Nilai Jual Bank Digital vs. Bank Konvensional
Aspek Komparasi | Bank Digital (Model Murni) | Bank Konvensional (Transformasi Digital) |
Infrastruktur Dasar | Dibangun dari nol, berbasis cloud, arsitektur microservices. | Sistem perbankan lama (Legacy), sedang dalam transisi front-to-back. |
Biaya Operasional | Sangat rendah (minim cabang fisik). | Tinggi (biaya infrastruktur fisik, staf, dan sistem lama). |
Suku Bunga Deposito | Seringkali tinggi/promosi (strategi akuisisi fresh funds). | Stabil dan konservatif (Contoh: 2%–3.5% p.a.). |
Kecepatan Inovasi | Sangat cepat, fokus pada UX/CX yang adaptif. | Relatif lambat (terikat birokrasi dan sistem lama). |
Akses Fisik & Dukungan | Digital 24/7, tanpa cabang, mengandalkan ATM mitra. | Jaringan cabang dan ATM luas, menawarkan interaksi tatap muka. |
Keunggulan Produk Kunci | Biaya administrasi gratis/rendah, fleksibilitas, produk investasi ritel beragam (50+ pilihan). | Reputasi kuat, layanan lengkap, dukungan transaksi besar dan kompleks. |
Pilar Regulasi, Keamanan, dan Kepercayaan Konsumen
Lingkungan regulasi di Indonesia, khususnya yang diatur oleh OJK dan BI, berfungsi untuk memastikan keamanan dan mendorong inovasi, secara efektif menciptakan standar minimum yang menantang bank konvensional dan mengamankan kepercayaan publik pada Bank Digital.
Kerangka Regulasi OJK untuk Layanan Digital
OJK telah mengeluarkan regulasi kunci yang mengatur layanan digital dan keamanan data, yang berlaku untuk semua bank umum, termasuk bank digital berizin penuh.
- POJK Nomor 21 Tahun 2023 tentang Layanan Digital oleh Bank Umum: Regulasi ini mencakup berbagai aspek layanan digital, dengan fokus signifikan pada perlindungan data pelanggan dan data pribadi. Regulasi ini bersifat memaksa; bank yang sudah menyediakan layanan digital sebelum peraturan ini berlaku diwajibkan menyesuaikan kebijakan operasional, standar, dan prosedur mereka paling lambat tiga bulan setelah tanggal penetapan (Desember 2023), sementara penyesuaian infrastruktur IT harus diselesaikan paling lambat satu tahun setelahnya.
- SEOJK Nomor 24/2023 tentang Penilaian Tingkat Kematangan Digital: Regulasi ini menetapkan pedoman untuk penilaian berkala terhadap tingkat kematangan digital bank, mencakup manajemen risiko, ketahanan, dan aspek cybersecurity.
Persyaratan regulasi ini bertindak sebagai force multiplier dalam persaingan. Bagi Bank Konvensional yang masih mengandalkan sistem legacy, kepatuhan terhadap POJK 21/2023 membutuhkan investasi modal yang masif dan restrukturisasi operasional yang cepat. Regulasi ini secara efektif menyamaratakan standar keamanan, tetapi memberikan keunggulan kecepatan implementasi kepada Bank Digital yang arsitekturnya sudah cloud-native dan siap API.
Keamanan Data dan Kepercayaan Konsumen
OJK sangat menekankan pentingnya infrastruktur teknologi informasi yang aman untuk mendukung implementasi layanan digital yang optimal. Tujuan utamanya adalah melindungi data nasabah dari risiko kebocoran atau penyalahgunaan. Bank diwajibkan menerapkan prosedur keamanan yang ketat dan melakukan audit sistem secara rutin untuk menjaga integritas dan kerahasiaan data.
Pengawasan yang baik oleh Pemerintah Indonesia, termasuk pengembangan pengawasan berbasis teknologi komprehensif (misalnya, melalui POJK 13/2018), bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan nasabah bahwa layanan Bank Digital memiliki standar yang setara dengan layanan yang ditawarkan oleh Bank Konvensional.
Jaminan Simpanan dan Transparansi Harga
Kepercayaan nasabah pada Bank Digital diperkuat oleh fakta bahwa simpanan nasabah di Bank Digital berizin penuh dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Hal ini memastikan bahwa meskipun Bank Digital beroperasi tanpa kehadiran fisik, keamanan dana nasabah tetap terjamin oleh negara, asalkan memenuhi syarat penjaminan.
Meskipun rezim suku bunga di Indonesia diserahkan pada mekanisme pasar, regulator, termasuk LPS, menekankan bahwa bank digital harus menjaga aspek transparansi, perlindungan nasabah, dan keterbukaan informasi, terutama ketika menawarkan suku bunga promosi yang tinggi.
Inisiatif Open Banking dan Kolaborasi
Bank Indonesia (BI) memainkan peran penting dalam memfasilitasi transformasi digital melalui kerangka kerja open banking.
- Visi BSPI 2025: BI melalui Payment System Blueprint 2025 (BSPI 2025) memiliki salah satu visi utama untuk mendukung digitalisasi perbankan.
- Open API Framework: BI menciptakan Kerangka Open API sebagai solusi strategis untuk mendorong transformasi digital, menciptakan konsistensi di seluruh platform, dan mendukung inovasi. Inisiatif ini memaksa semua bank untuk membuka diri terhadap kolaborasi fintech, memungkinkan Bank Konvensional untuk mengakses data ekosistem yang sebelumnya hanya dimiliki oleh mitra digital.
Strategi Kompetitif dan Model Konvergensi (Analisis Strategis)
Persaingan antara Bank Digital dan Bank Konvensional saat ini bergerak menuju model konvergensi, di mana keunggulan data ekosistem menjadi mata uang utama.
Tantangan Transformasi Bank Konvensional
Transformasi digital yang dihadapi Bank Konvensional sangat kompleks. Data menunjukkan bahwa bahkan dengan niat yang kuat, enam dari sepuluh perusahaan jasa keuangan gagal mencapai tujuan transformasi digital mereka. Kegagalan ini sering kali disebabkan oleh fokus yang salah. Bank telah mahir dalam fokus pada customer journeys (pengalaman yang dihadapi nasabah di front-end), namun seringkali gagal mengambil langkah kritis untuk mendigitalkan customer value streams secara penuh.
Transformasi yang efektif harus mencakup semua aktivitas penambah nilai yang mendukung perjalanan pelanggan dari ujung ke ujung, mulai dari front-end hingga back-end (operasi proses, risiko, kepatuhan legal, dan teknologi). Perombakan menyeluruh ini, yang juga memerlukan adopsi cara kerja agile, merupakan tantangan organisasi yang berat.
Strategi Ecosystem Leveraging Bank Digital
Bank Digital mengadopsi pendekatan akuisisi yang memanfaatkan basis pengguna dari ekosistem yang sudah ada (misalnya, mitra transportasi, e-commerce, atau telekomunikasi). Strategi ini memungkinkan ekspansi dengan biaya yang lebih rendah, sembari memfasilitasi pergeseran ke produk dengan margin yang lebih tinggi dan diversifikasi lini produk.
Nilai inti di masa depan adalah data. Bank Digital, dengan akses ke data perilaku dan transaksi yang kaya dari ekosistem mitra, memiliki kemampuan untuk melakukan underwriting risiko yang lebih efektif dan gesit. Kemampuan ini lebih unggul dibandingkan model tradisional Bank Konvensional yang mengandalkan agunan fisik atau riwayat kredit tradisional (yang mendasari perhitungan SBDK).
Model Persaingan dan Konvergensi di Masa Depan
Tren ritel perbankan di Indonesia menunjukkan peningkatan penerimaan konsumen terhadap proposisi digital. Dalam menghadapi persaingan, bank-bank konvensional besar telah merespons dengan menciptakan entitas Bank Digital berlisensi penuh mereka sendiri (seperti Blu oleh BCA Digital) untuk mengamankan pasar yang digerakkan oleh Gen Z, sambil mempertahankan kekuatan reputasi dan modal mereka.
Persaingan di masa depan akan berfokus pada pengalaman pengguna yang unggul (UX/CX), di mana kecepatan dan personalisasi layanan adalah nilai jual utama. Untuk mendukung evolusi ini, terdapat kebutuhan untuk mengalihkan fokus regulasi menuju kerangka kerja berbasis prinsip yang mendukung inovasi. Regulasi perlu berfokus pada pengaktifan berbagi data, kepemilikan data nasabah, dan persetujuan jalur cepat untuk produk baru guna memajukan ekosistem secara keseluruhan.
Masa depan perbankan Indonesia mengarah pada konvergensi, di mana Bank Konvensional memanfaatkan modal dan kepercayaan institusional mereka , dikombinasikan dengan data dari kemitraan digital yang didorong oleh Open API. Pada saat yang sama, Bank Digital berusaha untuk membangun loyalitas pelanggan dan mencapai profitabilitas yang berkelanjutan melalui efisiensi biaya yang unggul.
Kesimpulan Persaingan antara Bank Digital dan Bank Konvensional adalah kontes antara efisiensi biaya dan kecepatan melawan kepercayaan dan stabilitas institusional. Kedua model ini memiliki peran penting dalam mencapai tujuan inklusi keuangan dan digitalisasi Indonesia.
Ringkasan Keseimbangan Risiko vs. Keuntungan
Entitas | Keuntungan Kompetitif Utama | Risiko/Tantangan Utama |
Bank Konvensional | Stabilitas, kepercayaan institusional yang mendalam , dukungan produk kompleks (hipotek, korporasi). | Biaya transformasi digital legacy yang tinggi , kecepatan inovasi yang lebih rendah , potensi kehilangan segmen MSME/Gen Z. |
Bank Digital | Biaya operasional rendah, UX/CX yang unggul, akuisisi pelanggan berbasis ekosistem. | Volatilitas dalam pendanaan (ketergantungan pada suku bunga promosi tinggi), tantangan membangun kepercayaan institusional sekuat bank legacy (meskipun dijamin LPS ). |
Rekomendasi Strategis untuk Bank Konvensional
- Adopsi Penuh Open Banking: Harus menjadi agenda strategis utama. Bank konvensional perlu memanfaatkan Kerangka Open API BI tidak hanya untuk kepatuhan, tetapi sebagai mekanisme utama untuk berkolaborasi dengan fintech dan mendapatkan akses ke data ekosistem yang krusial untuk penilaian risiko di segmen MSME.
- Investasi Kepemimpinan dalam Kepatuhan Siber: Investasi dalam kepatuhan POJK 21/2023 dan SEOJK 24/2023 harus dilihat sebagai investasi keunggulan kompetitif, bukan sekadar biaya kepatuhan. Memastikan tingkat kematangan digital yang tinggi adalah prasyarat untuk mempertahankan loyalitas nasabah dan integritas sistem.
- Mempercepat Transformasi Value Stream: Transformasi harus berfokus pada perombakan menyeluruh organisasi, dari front-to-back, untuk menghilangkan hambatan proses internal, mencapai efisiensi, dan memposisikan bank sebagai entitas yang gesit.
Rekomendasi Strategis untuk Bank Digital
- Optimalisasi Akuisisi Dana: Bank Digital harus bergeser dari ketergantungan pada suku bunga promosi jangka pendek yang agresif yang dapat meningkatkan biaya dana, menuju pembangunan loyalitas melalui fitur value-added yang unik (misalnya, alat pengelolaan keuangan pribadi dan investasi ritel yang beragam ) untuk menstabilkan struktur pendanaan.
- Diversifikasi Lini Bisnis: Memanfaatkan data ekosistem yang kaya untuk transisi strategis dari fokus pinjaman mikro berisiko tinggi ke produk bernilai tambah tinggi, seperti manajemen kekayaan ritel, untuk meningkatkan margin keuntungan dan mengurangi volatilitas.
- Keterbukaan Regulasi: Secara proaktif menjaga transparansi penuh mengenai suku bunga pinjaman dan tabungan serta memperkuat praktik keamanan siber untuk menjaga kepercayaan nasabah dan memenuhi ekspektasi pengawasan yang ketat dari OJK.