Indonesia, berdasarkan sejarah dan struktur demografisnya, dikenal luas sebagai negara agraris. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, negara ini telah mengalami akselerasi transisi struktural menuju ekonomi yang didominasi oleh sektor industri dan jasa. Fenomena urbanisasi dan industrialisasi dilihat sebagai katalisator utama pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, khususnya di luar Pulau Jawa melalui inisiatif pembangunan besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) Baru. Meskipun demikian, percepatan pembangunan spasial ini secara fundamental berhadapan dengan basis lahan dan budaya sektor pertanian.
Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana mekanisme pembangunan yang terpusat dan berorientasi investasi, termasuk pembangunan infrastruktur dan kawasan industri, secara sistematis menyebabkan penggusuran budaya agraris yang telah mengakar. Penggusuran tersebut tidak hanya bersifat fisik (konversi lahan), tetapi juga merembet ke dimensi sosio-kultural dan ekologis, mengancam ketahanan pangan dan warisan nilai-nilai lokal.
Definisi Kunci dan Signifikansi Budaya Agraris
Dalam konteks Indonesia, budaya agraris jauh melampaui sekadar aktivitas bertani atau bercocok tanam. Budaya ini adalah sebuah sistem kehidupan yang mencakup tata kelola sosial, institusi, dan akumulasi kearifan lokal yang terintegrasi dengan lingkungan alam.
Karakteristik Masyarakat Agraris
Masyarakat agraris memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat industri. Mereka berpusat pada usaha tani dan memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah sebagai sumber penghidupan. Sistem sosial mereka cenderung komunal, ditandai dengan intensitas interaksi dan gotong royong dalam aktivitas pertanian. Ketergantungan mereka pada siklus alam menumbuhkan pengetahuan mendalam mengenai musim, angin, dan pengendalian hama secara tradisional.
Manifestasi Kultural: Kasus Institusi Sosial-Ekologis
Institusi tradisional agraria merupakan bukti nyata dari integrasi budaya dan ekologi. Contoh paling menonjol adalah sistem Subak di Bali, yang diakui sebagai Warisan Budaya UNESCO. Subak mencerminkan budaya gotong-royong, pelestarian lingkungan, dan filosofi Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan: hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam). Ketika industrialisasi dan urbanisasi hadir, nilai-nilai kolektivisme ini mulai bergeser. Masyarakat industri cenderung didominasi oleh nilai-nilai individualisme dan pencapaian status ekonomi, yang kontras dengan etos komunal masyarakat agraris.
Kerangka Analisis
Analisis krisis agraria ini akan didasarkan pada tiga dimensi penggusuran yang saling terkait:
- Dimensi Spasial: Fokus pada mekanisme alih fungsi lahan dan kerugian ekonomi kuantitatif.
- Dimensi Sosio-Kultural: Fokus pada erosi nilai kolektif, pergeseran mata pencaharian, dan krisis status sosial profesi petani.
- Dimensi Ekologis: Fokus pada degradasi kualitas lahan dan pencemaran lingkungan akibat eksternalitas industri.
Dinamika Penggusuran Spasial: Mekanisme Konversi Lahan
Penggusuran budaya agraris dimulai dari hilangnya basis fisik utamanya: lahan pertanian. Konversi lahan ini didorong oleh interaksi kompleks antara tekanan demografi yang meningkat dan kebijakan pembangunan yang bias terhadap investasi non-pertanian.
Faktor Pendorong Utama Konversi
Konversi lahan pertanian pangan, terutama lahan sawah beririgasi yang merupakan tulang punggung ketahanan pangan nasional , didorong oleh dua tekanan makro yang bersinergi.
Tekanan Demografi dan Urbanisasi
Peningkatan populasi perkotaan, terutama di Pulau Jawa yang telah padat, menciptakan permintaan yang tidak terhindarkan terhadap lahan non-pertanian. Data statistik menunjukkan adanya laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang pesat, khususnya di wilayah seperti Pantura Jawa Barat. Kepadatan penduduk di perkotaan mendorong pembangunan permukiman ke wilayah pinggiran (peri-urban), yang secara historis merupakan lahan pertanian subur. Pembangunan perumahan, bahkan pada tingkat mikro, adalah salah satu pemicu utama alih fungsi lahan sawah.
Pembangunan Infrastruktur dan Kawasan Industri
Pembangunan didorong oleh iklim investasi yang tinggi, yang ditargetkan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Iklim investasi yang terbuka lebar ini memicu pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana (misalnya, jalan tol, kantor pemerintah) dan kawasan industri. Kawasan-kawasan industri besar seringkali menargetkan lahan yang secara fisiografis datar dan memiliki tanah aluvial yang subur—ideal untuk pertanian—seperti yang terjadi di Kabupaten Bekasi. Proyek akuisisi lahan untuk pembangunan pemerintah maupun perusahaan seringkali membawa risiko hilangnya warisan budaya yang telah lama dijaga.
Konflik Kebijakan Spasial
Meskipun Pemerintah memiliki kerangka hukum untuk Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) , alih fungsi lahan seringkali dilegitimasi melalui kebijakan tata ruang daerah. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun oleh Pemerintah Daerah/Kabupaten/Kota kerap kali dinilai kurang berpihak kepada pertanian. Adanya tekanan investasi dan kebutuhan fiskal daerah seringkali memprioritaskan sektor non-pertanian, yang dianggap lebih menghasilkan pajak dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Ini menciptakan kondisi yang dapat diartikan sebagai “penggusuran legal” atau pengorbanan yang disengaja. Negara, melalui mekanisme perencanaan spasial, secara aktif mengorbankan lahan pertanian produktif dan sistem budaya agraris demi mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang terpusat pada industri dan urbanisasi. Kontradiksi ini menggarisbawahi kegagalan sinergi antara kebijakan perlindungan pangan nasional dan insentif pembangunan daerah.
Analisis Kuantitatif Kerugian Spasial dan Ekonomi
Dampak konversi lahan tidak hanya terasa dalam penurunan produksi, tetapi juga kerugian ekonomi komprehensif yang sering diabaikan, yaitu hilangnya nilai jasa lingkungan dan nilai kultural.
Skala Konversi Lahan di Wilayah Peri-Urban
Laju konversi lahan pertanian sangat mengkhawatirkan di wilayah pinggiran kota besar. Sebagai contoh, di wilayah penyangga Kota Yogyakarta—Sleman dan Bantul—telah terjadi konversi lahan pertanian menjadi bangunan seluas 7.514,77 ha antara tahun 1996 dan 2006. Skala konversi ini, yang sebagian besar terjadi di wilayah pusat produksi pangan nasional (Pulau Jawa), berimplikasi besar terhadap kapasitas produksi pangan secara keseluruhan.
Valuasi Ekonomi Komprehensif Kerugian Agraris
Studi valuasi ekonomi menunjukkan bahwa kerugian akibat alih fungsi lahan jauh melampaui sekadar pendapatan usahatani yang hilang. Studi kasus di pinggiran Kota Yogyakarta mengidentifikasi tiga komponen kerugian ekonomi:
- Nilai Guna Langsung (NGL): Ini mencakup hilangnya pendapatan langsung dari usaha tani. Nilai yang hilang diperkirakan sebesar Rp 25,495 miliar.
- Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL): Ini mewakili kerugian jasa ekosistem yang disediakan lahan pertanian, seperti fungsi hidrologi, konservasi tanah dan air, serta iklim mikro. Kerugian NGTL yang hilang diperkirakan sebesar Rp 1,561 miliar.
- Nilai Non-Guna (NNG): Ini adalah nilai keberadaan, warisan budaya, dan keindahan alam, yang diukur melalui kesediaan untuk membayar (Willingness to Pay/WTP) atau kesediaan untuk menerima kompensasi (Willingness to Accept/WTA) atas hilangnya nilai-nilai tersebut. NNG yang hilang mencapai Rp 22,298 miliar.
Total kerugian ekonomi yang terestimasi mencapai sekitar Rp 49,354 miliar, memperjelas besarnya eksternalitas negatif dari konversi lahan. Kerugian signifikan pada Nilai Non-Guna dan Nilai Guna Tidak Langsung menunjukkan bahwa pembangunan non-pertanian yang ekspansif mengambil keuntungan dari lokasi yang subur dan berair, tetapi mengabaikan sepenuhnya biaya pemeliharaan lingkungan dan budaya yang sebelumnya diemban oleh komunitas agraris.
Tabel 1. Valuasi Ekonomi Kerugian Akibat Konversi Lahan Pertanian (Studi Kasus Yogyakarta, 1996-2006)
Jenis Nilai yang Hilang | Definisi Kultural/Ekologis | Nilai Kerugian (Miliar Rupiah) | Signifikansi |
Nilai Guna Langsung (NGL) | Pendapatan usahatani yang hilang | 25,495 | Penurunan Kapasitas Produksi Pangan |
Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL) | Nilai jasa lingkungan (hidrologi, iklim mikro) | 1,561 | Kerusakan Fungsi Ekosistem Lokal |
Nilai Non-Guna (NNG) | Nilai keberadaan, WTP/WTA, warisan budaya | 22,298 | Hilangnya Identitas Kultural dan Keindahan Alam |
Total Estimasi Kerugian | – | 49,354 | – |
Analisis ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan di kawasan padat penduduk dan pusat produksi pangan—seperti Pulau Jawa—bukan hanya masalah lokal, tetapi ancaman makro yang merongrong fondasi ketahanan pangan dan warisan ekologi-kultural negara.
Erosi Nilai dan Struktur Sosial-Kultural Agraris
Penggusuran budaya agraris juga terjadi pada tataran struktural dan psikologis, mengubah sistem nilai, kekerabatan, dan identitas sosial yang dianut masyarakat perdesaan. Industrialisasi menciptakan narasi baru tentang kesuksesan dan status yang secara inheren mendevaluasi profesi petani.
Pergeseran Status Sosial dan Mata Pencaharian
Industrialisasi dan urbanisasi mendorong transisi pekerjaan yang masif dari sektor pertanian menuju sektor industri, perdagangan, dan jasa. Perpindahan ini disertai dengan perubahan fundamental dalam bagaimana status sosial seseorang ditentukan.
Transisi dari Ascribed Status ke Achieved Status
Masyarakat agraris tradisional seringkali menganut sistem status sosial tertutup, di mana kedudukan individu (status) ditentukan oleh warisan atau kelahiran (ascribed status). Sebaliknya, masyarakat industrial dan urban menekankan achieved status, di mana kedudukan dicapai melalui usaha, pendidikan, dan jenis pekerjaan.
Pekerjaan di sektor industri/jasa, yang berpusat pada kriteria seperti pekerjaan, sumber pendapatan, tipe rumah, dan kawasan tempat tinggal, seringkali menawarkan penghasilan dan status sosial yang dianggap lebih tinggi dibandingkan menjadi petani.
Krisis Identitas dan Regenerasi Petani
Perbedaan status ini menghasilkan sebuah krisis identitas profesi. Profesi petani menghadapi stigma sosial sebagai pekerjaan berpenghasilan rendah, berat, dan minim prestise. Fenomena ini menyebabkan generasi muda cenderung meninggalkan desa atau memilih pekerjaan non-pertanian.
Penggusuran budaya agraria dengan demikian terjadi tidak hanya secara fisik (lahan dijual), tetapi juga secara aspirasional (cultural abandonment). Ketika pekerjaan non-pertanian menjanjikan status sosial yang lebih tinggi, generasi muda secara rasional termotivasi untuk meninggalkan warisan budaya agraris mereka, sehingga menghambat regenerasi petani yang adaptif dan kreatif yang dibutuhkan sektor ini.
Dekolonalisasi Nilai-Nilai Kolektif dan Kearifan Lokal
Nilai-nilai kolektivisme, yang merupakan pilar masyarakat agraris, mengalami degradasi seiring masuknya logika ekonomi industrial yang individualistik.
Melemahnya Gotong Royong dan Institusi Tradisional
Kehadiran industrialisasi, seperti yang diamati di daerah-daerah seperti Mojokerto, telah mengubah basis kehidupan masyarakat dari ketergantungan pada tanah menjadi ketergantungan pada perindustrian. Perubahan ini secara langsung melemahkan sistem gotong royong dan institusi tradisional yang selama ini berfungsi sebagai pengelola sumber daya alam komunal, seperti organisasi irigasi tradisional (misalnya, Subak di Bali). Institusi-institusi ini sangat penting dalam menopang keberlanjutan ekosistem pertanian.
Hilangnya Warisan Budaya dalam Perencanaan
Integrasi budaya dan ekologi semakin terancam ketika masyarakat adat dan petani di pinggiran kota tidak memiliki partisipasi yang memadai dalam proses perencanaan pembangunan. Keterbatasan ini menimbulkan kekhawatiran yang mendalam akan hilangnya nilai-nilai kearifan lokal yang terwariskan secara turun-temurun, seperti pengetahuan tentang pengelolaan air, musim, dan tanah.
Namun, interaksi antara perkotaan dan perdesaan juga memiliki potensi dualistik. Selain erosi budaya, sinergi ini dapat memudahkan transfer informasi, pengetahuan, dan teknologi, utamanya terkait dengan industrialisasi kegiatan pertanian. Dengan akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik yang ditawarkan perkotaan, produktivitas tenaga kerja perdesaan dapat meningkat. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan sinergi positif ini untuk mendorong pembangunan perdesaan tanpa mengorbankan fondasi nilai-nilai kolektivisme agraria.
Konsekuensi Ekologis: Degradasi Lahan dan Pencemaran Industri
Dampak industrialisasi dan urbanisasi meluas melampaui batas lahan yang dikonversi; ia merusak kualitas ekosistem sawah yang tersisa, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertanian berkelanjutan.
Polusi Sumber Daya Air dan Tanah oleh Limbah Industri
Sektor industri, khususnya yang bergerak di bidang tekstil dan kulit, pabrik kertas, kimia dasar, dan industri logam dasar, menghasilkan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Emisi dari pabrik-pabrik ini, ditambah dengan limbah rumah tangga perkotaan, menyebabkan penurunan signifikan kualitas air sungai di banyak wilayah.
Kontaminasi Ekosistem dan Ketahanan Pangan
Air sungai yang tercemar ini kemudian dialirkan melalui sistem irigasi, mencemari lahan pertanian. Kontaminasi dapat berupa logam berat yang berbahaya bagi pangan atau mikroplastik dan sampah lain yang terakumulasi di sawah. Kontaminasi ini tidak hanya mengurangi kesuburan dan hasil panen, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap keselamatan pangan dan kesehatan masyarakat. Jika lahan dan air irigasi terus terdegradasi kualitasnya, petani akan menghadapi risiko kesehatan dan penurunan produktivitas yang memaksa mereka secara rasional untuk meninggalkan profesinya, sehingga mempercepat vicious cycle penggusuran budaya agraria.
Upaya mitigasi yang ketat, termasuk pengelolaan limbah yang efektif, pengendalian pestisida, dan pemantauan rutin kualitas air sungai, sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem air tawar dan mempertahankan kualitas air yang baik bagi pertanian.
Penurunan Kualitas Lahan Pertanian
Kualitas lahan garapan menurun akibat kombinasi tekanan eksternal (polusi industri) dan praktik internal (pertanian intensif).
Degradasi Fisik dan Kimia Lahan
Degradasi lahan pertanian mencakup serangkaian kerusakan fisik dan kimia seperti perusakan struktur tanah, pencucian hara tanaman, genangan air, dan erosi. Para ahli menyatakan bahwa masalah degradasi ini merupakan tanggung jawab kolektif, melibatkan petani, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.
Faktor Perubahan Jasa Ekosistem
Di daerah seperti Desa Sawahan, Boyolali, faktor-faktor seperti konversi lahan, penggunaan bahan kimia, dan pencemaran lingkungan menjadi penyebab utama perubahan dalam jasa ekosistem sawah. Jasa ekosistem ini meliputi ketersediaan makanan, aliran air, keindahan alam pedesaan, dan pemeliharaan habitat. Hilangnya fungsi-fungsi ini semakin mereduksi nilai ekonomi dan kultural lahan pertanian.
Dampak Intensifikasi Pertanian Kimia
Ironisnya, upaya untuk meningkatkan produksi pangan melalui intensifikasi seringkali turut menyumbang pada degradasi lingkungan. Studi mengenai produksi padi di Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia seperti Urea dan NPK memberikan kontribusi paling signifikan terhadap dampak lingkungan, termasuk pemanasan global, asidifikasi, dan eutrofikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai keberlanjutan budaya agraris, harus ada pergeseran paradigma dari pertanian intensif berbasis bahan kimia menuju model yang lebih ramah lingkungan. Pertanian organik, yang menggunakan bahan alami untuk mengendalikan hama dan penyakit, dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Respons Kebijakan dan Upaya Konservasi Agraris
Pemerintah Indonesia telah merespons ancaman konversi lahan dengan membangun kerangka regulasi yang bertujuan melindungi aset agraria. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan besar akibat tekanan ekonomi dan celah hukum.
Kerangka Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)
Kerangka PLP2B dirancang untuk menahan laju alih fungsi lahan dan memastikan ketahanan pangan.
Dasar Hukum dan Mekanisme Perlindungan
Landasan hukum utama adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan , yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lahan yang telah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) secara hukum dilarang dialihfungsikan. Regulasi ini mencakup kriteria perlindungan berdasarkan kesuburan tanah, luas tanam, irigasi, dan tingkat fragmentasi lahan.
Insentif Perlindungan
Strategi pengendalian alih fungsi lahan mencakup pemberian insentif kepada pemilik sawah dari sisi penawaran untuk memperkecil peluang konversi. Insentif ini dapat berupa pengalokasian anggaran khusus kepada pemerintah daerah, penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian (misalnya, pengembangan infrastruktur irigasi dan perbaikan kesuburan tanah) , serta jaminan penerbitan sertifikat tanah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan memperkuat ketahanan pangan.
Tantangan Implementasi dan Sinergi Kebijakan
Meskipun kerangka PLP2B kuat secara legal, implementasinya menghadapi hambatan struktural yang menghambat efektivitasnya dalam melawan tekanan urbanisasi dan industrialisasi.
Eksploitasi Celah Hukum dan Kepentingan Umum
Tantangan terbesar adalah adanya pengecualian dalam UU PLP2B. Pasal 44 mengizinkan alih fungsi LP2B dalam hal “untuk kepentingan umum”. Frasa “kepentingan umum” ini sering diinterpretasikan secara luas untuk mencakup proyek-proyek infrastruktur besar yang didorong oleh investasi (misalnya, jalan tol, pembangunan IKN). Hal ini memberikan jalan legal bagi penggusuran lahan pertanian produktif, yang didorong oleh target pembiayaan dan investasi besar dari pemerintah.
Ketidakseimbangan Insentif vs. Nilai Investasi
Pengendalian dari sisi permintaan (pembangunan non-pertanian) harus dilakukan melalui zonasi yang ketat dan RTRW yang berpihak pada pertanian. Namun, RTRW daerah seringkali gagal melakukannya, seperti terlihat dalam kasus alih fungsi lahan yang terjadi di Medan Tuntungan.
Permasalahan mendasar lainnya terletak pada ketidakmampuan insentif yang ditawarkan pemerintah untuk menandingi daya tarik ekonomi yang ditawarkan oleh pengembang properti atau industri. Jika insentif (yang menargetkan NGL) tidak mampu mengimbangi tawaran investasi yang besar, ditambah dengan hilangnya nilai non-guna (NNG) dan nilai guna tidak langsung (NGTL) yang tinggi , petani secara ekonomi akan selalu terdorong untuk menjual lahan demi mendapatkan status ekonomi yang lebih baik dan modal besar. Pemerintah, oleh karena itu, harus mampu menyeimbangkan komitmen terhadap ketahanan pangan dengan kebutuhan investasi yang tinggi, sebuah dilema yang terus menerus mengorbankan sektor agraria.
Adaptasi, Digitalisasi, dan Prospek Budaya Agraris Masa Depan
Masa depan budaya agraris Indonesia bergantung pada kemampuan sektor ini untuk bertransformasi dan beradaptasi dengan tantangan modern, bukan hanya bertahan melawan tekanan urbanisasi dan industrialisasi. Transformasi harus mencakup regenerasi sumber daya manusia dan adopsi teknologi.
Regenerasi dan Resiliensi Petani Muda
Regenerasi petani merupakan isu krusial. Sektor pertanian sangat membutuhkan anak muda yang kreatif dan adaptif untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan dinamika pasar yang terus berubah.
Strategi Ketahanan Ekologis
Upaya menjaga keberlanjutan budaya agraris harus beriringan dengan peningkatan resiliensi ekologis. Praktik usaha tani ramah lingkungan, termasuk pertanian organik, menjadi strategi ketahanan yang efektif. Pertanian organik menggunakan bahan alami untuk pengendalian hama, mengurangi dampak negatif pestisida kimia pada lingkungan dan kesehatan, serta terbukti dapat meningkatkan kesuburan tanah. Pendekatan ini adalah cara untuk bertahan di tengah dampak polusi industri sambil meningkatkan kualitas produk dan ekosistem.
Peran Teknologi Digital dalam Revitalisasi Agraris
Digitalisasi menawarkan peluang besar untuk mengubah sektor pertanian, mengatasi tantangan ketahanan pangan, dan meningkatkan status mata pencaharian petani.
Pertanian Presisi (Precision Agriculture)
Adopsi teknologi canggih seperti sistem pertanian berbasis Internet of Things (IoT), robotika, dan sensor (contoh yang diterapkan di negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat ) dapat membantu petani dalam pemantauan produksi, kondisi cuaca, dan manajemen tanah. Pertanian presisi memungkinkan penggunaan sumber daya (air, pupuk) secara efektif dan optimal, yang sangat penting untuk mencapai keberlanjutan.
Peningkatan Status Profesi dan Akses Pasar
Penerapan teknologi digital berpotensi mengatasi krisis status sosial petani yang disorot sebelumnya. Dengan mengadopsi praktik high-tech yang membutuhkan keahlian manajerial dan analisis data, profesi petani dapat bergeser dari pekerjaan manual berstatus rendah menjadi profesi modern. Hal ini akan menarik minat generasi muda yang adaptif.
Selain itu, digitalisasi juga memfasilitasi akses pasar. Petani dapat memanfaatkan platform e-commerce khusus pertanian untuk memudahkan penjualan dan distribusi produk mereka, menghubungkan mereka secara langsung ke rantai pasokan yang lebih efisien dan bahkan pasar global.
Diversifikasi Ekonomi Kultural
Digitalisasi pertanian juga dapat mendukung strategi diversifikasi ekonomi yang berakar pada budaya lokal. Pengembangan pariwisata pedesaan, didukung oleh pemasaran digital dan infrastruktur data, dapat memberikan sumber pendapatan non-pertanian bagi komunitas lokal. Strategi ini memungkinkan komunitas untuk mempertahankan lanskap agraris mereka (seperti Subak ) dan nilai-nilai budaya sambil mengurangi tekanan ekonomi untuk menjual lahan kepada pengembang non-pertanian.
Sintesis dan Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang
Analisis ini menyimpulkan bahwa penggusuran budaya agraris di Indonesia adalah fenomena multi-dimensi yang didorong oleh kontradiksi antara cita-cita pembangunan ekonomi sentralistik dan perlindungan basis agraria. Krisis ini membutuhkan intervensi kebijakan yang terpadu dan strategis.
- Rangkuman Temuan Kunci
- Konflik Spasial dan Kebijakan yang Tidak Selaras: Penggusuran lahan pertanian produktif dipercepat oleh tekanan demografi dan insentif investasi infrastruktur, yang sering kali dilegitimasi melalui RTRW daerah yang mengorbankan pertanian demi keuntungan fiskal jangka pendek. Adanya celah “kepentingan umum” dalam UU PLP2B menjadi mekanisme legal bagi konversi skala besar.
- Biaya Tersembunyi (Eksternalitas Negatif): Kerugian ekonomi terbesar dari konversi lahan berasal dari hilangnya Nilai Non-Guna (NNG) dan Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL)—yaitu jasa lingkungan dan warisan budaya—yang nilainya setara atau bahkan melebihi pendapatan usahatani yang hilang. Biaya ekologis dan kultural ini tidak pernah diperhitungkan dalam rencana pembangunan.
- Krisis Status dan Erosi Kultural: Industrialisasi menyebabkan pergeseran dari ascribed status menjadi achieved status, menciptakan stigma terhadap profesi petani. Hal ini memicu cultural abandonment oleh generasi muda dan melemahkan institusi kolektif seperti gotong royong dan sistem kearifan lokal.
- Ancaman Ekologis Berganda: Lahan pertanian yang tersisa menghadapi ancaman ganda: polusi parah dari limbah industri (logam berat, mikroplastik) dan dampak negatif dari praktik pertanian intensif (tinggi input kimia), yang menciptakan lingkaran setan degradasi lingkungan.
Rekomendasi Strategis (Three-Pillar Approach)
Untuk memastikan keberlanjutan budaya agraris dan ketahanan pangan nasional, direkomendasikan pendekatan tiga pilar yang komprehensif:
Pilar Regulasi dan Pengendalian Spasial
- Peninjauan Ulang Celah Hukum PLP2B: Pemerintah harus melakukan peninjauan kembali terhadap interpretasi frasa “kepentingan umum” dalam Pasal 44 UU PLP2B untuk mencegah eksploitasinya oleh proyek-proyek investasi non-esensial. Perlindungan LP2B, terutama di pusat produksi pangan nasional (Pulau Jawa), harus bersifat mutlak.
- Sinergi RTRW dan Insentif Disinsentif: Diperlukan penyelarasan RTRW di tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar secara eksplisit wajib melindungi LP2B. Kebijakan disinsentif yang kuat harus diterapkan pada pembangunan non-pertanian di wilayah peri-urban dan lahan subur beririgasi untuk menandingi tawaran harga pasar properti dan industri.
Pilar Revitalisasi Kultural dan Sosial
- Insentif yang Kompetitif dan Holistik: Program insentif (seperti yang diatur dalam PP ) harus ditingkatkan secara signifikan agar nilainya mampu mengimbangi tawaran investasi swasta, terutama dengan memperhitungkan dan mengkompensasi Nilai Non-Guna (NNG) dan Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL) lahan pertanian.
- Promosi Status Profesi Agraris: Pemerintah, melalui program pendidikan digital dan dukungan bagi petani muda , harus aktif mempromosikan citra petani sebagai profesional high-tech dan manajer agribisnis, bukan sekadar pekerja manual, guna mengatasi krisis status sosial.
Pilar Adaptasi Ekologis dan Teknologi
- Mandat Pertanian Berkelanjutan: Mendorong adopsi massal pertanian presisi yang didukung teknologi digital (IoT) untuk optimalisasi sumber daya. Selain itu, harus ada komitmen jangka panjang untuk transisi menuju sistem pertanian organik, yang efektif memitigasi dampak lingkungan (polusi kimia) dan meningkatkan resiliensi tanah.
- Pengendalian Polusi Industri: Penegakan hukum yang sangat ketat harus diterapkan terhadap industri yang menghasilkan Limbah B3, terutama yang berdekatan dengan sumber air irigasi, guna melindungi kesehatan ekosistem sawah dan menjamin keselamatan pangan.