Tari Kontemporer di Indonesia (TK-ID) didefinisikan secara fundamental melalui aspek waktu dan relevansinya. Secara etimologis, istilah “kontemporer” merujuk pada “waktu yang sama,” “masa kini,” atau karya yang sedang menjadi tren pada saat penciptaannya. Dengan demikian, TK-ID adalah karya seni tari yang diciptakan untuk memiliki relevansi mendalam dengan kondisi sosial, sejarah, dan budaya saat ini.
Karakteristik utama yang membedakan TK-ID dari tari tradisional adalah penolakannya terhadap keterikatan pakem atau aturan baku. Genre ini memproklamasikan kebebasan gerak yang ekspresif dan eksploratif, tema yang tidak terbatas, serta pola irama yang bebas. Meskipun prinsip utamanya adalah kebebasan, tari kontemporer di Indonesia tetap memiliki struktur fundamental yang harus dipenuhi dalam pementasan, yakni mencakup tiga unsur utama: unsur iringan musik, unsur busana (kostum), dan unsur gerak. Kebebasan ini merupakan prasyarat esensial yang memungkinkan koreografer menyampaikan ekspresi personal dan merespons isu-isu yang mendesak secara segera dan relevan.
Fungsi Ganda: Artistik dan Sosiokultural
Fungsi tari kontemporer di Indonesia melampaui peran dasarnya sebagai media hiburan atau artistik murni. Misi penciptaan TK-ID di Indonesia adalah sebagai alat komunikasi yang kuat dan media kritik sosial. Tujuan penciptaan tari kontemporer secara umum mencakup upaya membangkitkan kesadaran sosial, memberikan koreksi atau kritik terhadap pandangan masyarakat masa kini yang dianggap menyimpang, serta mengutamakan penyampaian nilai-nilai kemanusiaan kepada publik.
Selain fungsi kritik, tari kontemporer juga berperan sebagai media pendidikan. Fungsinya tidak terletak pada pelestarian nilai-nilai ritual seperti tari tradisional, melainkan sebagai alat untuk menantang pemikiran, membuka ruang dialog, dan mentransmisikan refleksi kritis terhadap kondisi kontemporer. Pengekspresian diri melalui kebebasan gerak dan tema dalam TK-ID merupakan perwujudan resistensi. Ketika genre ini secara eksplisit mengemban misi kritik sosial, ia secara inheren diposisikan sebagai “seni kritis” (critical art), menandakan pergeseran fungsi seni tari dari pemeliharaan tatanan (tradisional) menjadi penantang tatanan (kontemporer).
Perbandingan Karakteristik Tari Kontemporer Indonesia vs. Tari Tradisional
Aspek Karakteristik | Tari Kontemporer Indonesia (TK-ID) | Tari Tradisional (Pakem) |
Aturan Gerakan | Bebas, eksploratif, tidak terikat pakem | Terikat pada aturan gerak baku (Pakem), stilisasi rigid, dan simbolisme yang mapan. |
Tema/Naratif | Bebas, sering mengangkat isu sosial, kritik, non-naratif, atau abstraksi | Cenderung naratif (kisah epos/sejarah) atau ritualistik. |
Tujuan Utama | Kritik sosial, komunikasi ide, artistik, edukasi | Pelestarian budaya, ritual/upacara, representasi kekuasaan atau identitas kolektif. |
Iringan Musik | Pola irama bebas, dapat menggunakan media non-konvensional | Terikat pada struktur musik tradisional (Gamelan, dll.) |
Dialektika Decolonial: Sintesis Tradisi dan Estetika Global
Perkembangan TK-ID menunjukkan sebuah upaya dekolonial dalam seni. Meskipun banyak penari Indonesia menimba ilmu tari kontemporer di Barat, khususnya di Amerika, mereka secara sadar menolak untuk meniru atau berpatokan secara mutlak pada kontekstual Barat. Sebaliknya, upaya mereka berfokus pada pengangkatan dan pengolahan seni tradisi Indonesia untuk menciptakan tari kontemporer dengan nuansa yang berbeda dari Eropa dan Amerika.
Proses sintesis ini, atau dialog antara tradisional dan inovatif, sangat krusial. Integrasi elemen tradisional, seperti “seni bertutur” (storytelling), dengan inovasi modern menghasilkan ruang dialog yang mendalam. Pertunjukan semacam ini berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai refleksi sosial yang menghubungkan generasi dan memperkuat identitas kultural lokal di tengah tantangan globalisasi dan perubahan sosial. Penolakan terhadap mimikri Barat memastikan bahwa TK-ID berkembang sebagai estetika kritis yang berakar kuat pada identitas Indonesia.
Genealogi dan Era Pionir (Masa Formatif 1970-1990)
Kemunculan Spirit Pembaruan
Tari kontemporer mulai berkembang di Indonesia dengan membawa “spirit pembaruan” setelah para penari Indonesia mendapatkan eksposur yang signifikan terhadap teknik dan filosofi tari modern dan kontemporer global. Masa formatif ini menjadi landasan untuk eksplorasi gerak yang lebih pribadi dan lepas dari batasan-batasan keraton atau ritual.
Sardono W. Kusumo: Pionir Ketubuhan dan Laku
Tokoh sentral yang diakui sebagai figur pionir yang meletakkan dasar bagi TK-ID adalah Sardono W. Kusumo. Seniman kelahiran Solo pada tahun 1945 ini telah menghasilkan berbagai karya seni tari kontemporer monumental. Kontribusi terbesar Sardono terhadap diskursus tari kontemporer Indonesia adalah eksplorasi mendalam terhadap ketubuhan (embodiment) yang berakar pada praktik Jawa yang dikenal sebagai laku. Laku merujuk pada disiplin fisik dan spiritual yang menempatkan pengalaman internal tubuh dan proses sebagai fokus utama, bukan hanya bentuk koreografi luar.
Karya-karya fundasional yang diciptakan oleh Sardono, seperti Samgita Pancasono, Yellow Submarine, Dongeng dari Diah, Hutan Yang Merintih, Mahabutha, Meta Ekologi, dan Diponegoro, menjadi contoh awal bagaimana narasi tradisional, termasuk elemen-elemen seperti Cak Rina, didekonstruksi dan disajikan melalui lensa kontemporer. Penekanan Sardono pada laku adalah langkah strategis untuk memposisikan TK-ID secara unik, membedakannya dari tari modern Barat yang mungkin berfokus pada teknik. Dengan menempatkan laku sebagai pusat metodologi, Sardono memastikan bahwa tari kontemporer Indonesia tidak kehilangan kedalaman filosofis tradisional, menjadikan “tubuh Indonesia” sebagai subjek aktif dalam modernitas.
Pembentukan Garis Keturunan Artistik
Sardono tidak hanya menciptakan karya, tetapi juga bertindak sebagai matriks dan mentor bagi generasi koreografer berikutnya. Tercatat bahwa empat koreografer kunci periode 1990 hingga 2008 memiliki pengalaman belajar atau setidaknya pernah menjalani proses menari bersama Sardono W. Kusumo. Garis estetik yang berfokus pada eksplorasi ketubuhan dan laku ini diwariskan dan kemudian diinterpretasikan ulang. Walaupun para koreografer muda tersebut mengembangkan tarian yang berbeda dari Sardono, fondasi filosofisnya tetap kuat.
Metodologi Kreasi dan Ekspansi Estetik (1990-an hingga Sekarang)
Generasi Koreografer Post-Sardono dan Keragaman Estetik
Generasi koreografer yang muncul pasca-Sardono melanjutkan semangat pembaruan dengan keragaman estetik yang lebih luas. Periode 1990 hingga 2008 ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh penting seperti Martinus Miroto, Mugiyono Kasido, Hartati, Jecko Siompo, dan Eko Supriyanto. Mereka masing-masing mengembangkan idiom tari yang berbeda, meskipun sebagian besar akarnya terpengaruh oleh eksplorasi Sardono terhadap tubuh.
Tokoh-tokoh kunci dalam generasi ini menunjukkan bagaimana TK-ID mampu bergerak di berbagai spektrum, dari kancah performance art yang radikal hingga produksi skala besar yang bersifat institusional:
- Eko Supriyanto (Eko Pece): Dikenal karena kemampuannya menghubungkan tradisi lokal (termasuk riset tari dari luar Jawa, seperti Maluku) dengan pementasan berskala internasional dan komersial. Ia menjadi penata tari untuk acara-acara besar seperti Pembukaan Asian Games 2018 dan Miss World 2013, menunjukkan kemampuan TK-ID untuk bersaing dalam industri seni pertunjukan global.
- Melati Suryodarmo: Mewakili pergeseran ke arah performance art dan seni ketahanan (endurance), sering menggunakan waktu sebagai medium. Karyanya Transaction of Hollows, di mana ia memanah 800 anak panah menggunakan busur Jawa hingga jari-jarinya berdarah, menyoroti hubungan intens antara ritual, identitas, dan batas fisik.
- Fitri Setyaningsih: Berfokus pada tema-tema sosial dan aktivisme, menggunakan karya-karyanya seperti Bedoyo Silikon dan Pidato Bunga-bunga untuk mengkritisi isu-isu kontemporer. Fitri juga dikenal aktif dalam kolaborasi dengan seniman lintas bidang dari dalam dan luar negeri.
Research-Based Creation: Pilar Metodologi Akademik
Koreografer kontemporer masa kini telah menetapkan riset sebagai dasar fundamental dalam penciptaan karya mereka. Pendekatan ini merupakan evolusi metodologis yang menyatukan kajian seni tari dengan ilmu sosial dan antropologi, memberikan legitimasi intelektual dan kedalaman pada proses kreatif.
Metodologi Riset dalam Penciptaan Tari Kontemporer
Metodologi | Definisi dan Fungsi | Aplikasi dalam Koreografi |
Participation Action Research (PAR) | Praktik riset partisipatif yang melibatkan kunjungan, perbauran, dan partisipasi aktif dalam kebudayaan baru, bertujuan menghayati proses pembaruan tradisi. | Digunakan untuk menemukan idiom gerak tradisional yang otentik, belum terungkap, dan didapatkan melalui pengalaman ketubuhan yang mendalam. |
Etnokoreologi | Kajian multidisiplin yang menganalisis tari dalam konteks sosial, budaya, dan antropologis. | Menyediakan kerangka teoritis untuk menganalisis struktur, konteks, dan makna gerak tradisional sebagai fondasi yang kuat untuk pembaruan artistik. |
Teori Habitus (Pierre Bourdieu) | Memahami pola pikir, kecenderungan, dan latar belakang yang membentuk pengalaman dan ekspresi seniman. | Menganalisis bagaimana lingkungan sosiokultural membentuk dasar penemuan idiom tradisi, menghasilkan kreasi yang terbarukan tetapi tetap reflektif terhadap latar belakang seniman. |
Penggunaan metodologi seperti Participation Action Research (PAR) dan Etnokoreologi adalah upaya sadar untuk memberikan landasan ilmiah dan metodologis pada proses penciptaan kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa koreografi kontemporer di Indonesia dipandang bukan sekadar bakat intuitif, melainkan disiplin ilmu yang menuntut riset lapangan dan analisis kritis. Dengan kerangka Teori Habitus, seniman juga secara kritis merefleksikan bagaimana tubuh mereka sendiri—sebagai pembawa tradisi—berinteraksi dengan kondisi kontemporer, memastikan bahwa kreasi yang dihasilkan memiliki akar yang kuat meskipun bentuknya radikal.
Ekosistem Pendukung dan Infrastruktur Kultural
Peran Lembaga Pendidikan Tinggi Seni (ISI dan IKJ)
Lembaga pendidikan tinggi seni memainkan peran sentral sebagai inkubator dan penyedia fondasi teknis. Institut Kesenian Jakarta (IKJ), sejak 1970, telah menjadi Pusat Kreativitas Seni di Jantung Jakarta. Demikian pula, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta berperan vital dalam menjaga tradisi sambil mendorong inovasi.
Jurusan Tari di ISI Yogyakarta secara eksplisit mendefinisikan diri sebagai institusi yang “Berbasis tradisi, berkibar di panggung global,” yang menyiratkan komitmen ganda. Komitmen ini tercermin dalam struktur kurikulum mereka. Kurikulum di ISI Yogyakarta menerapkan strategi dualistik, di mana mahasiswa diwajibkan menguasai basis tradisi yang kuat (melalui mata kuliah Tari Tradisional Jawa, termasuk Tari Yogyakarta I-IV, Tari Surakarta I-II, Tari Banyumas, dan Tari Jawa Timur, serta Tari Regional lainnya). Pondasi ini kemudian diperkuat dengan mata kuliah yang mendorong inovasi dan dekonstruksi, seperti Dasar-Dasar Koreografi, Teori & Koreografi, Kreativitas, dan mata kuliah adaptif seperti Tari dan Media. Strategi kurikulum ini memastikan bahwa inovasi kontemporer tidak terjadi dalam kevakuman, melainkan berbasis pada kosakata gerak tradisional yang mendalam.
Indonesian Dance Festival (IDF): Jendela Internasional dan Pengarsipan
Indonesian Dance Festival (IDF) telah menjadi salah satu platform paling krusial bagi perkembangan TK-ID, dengan sejarah lebih dari 30 tahun. Festival ini berfungsi sebagai wadah pertemuan dan pertumbuhan bagi seniman dan penggemar, sekaligus menyediakan gambaran langsung mengenai kancah tari kontemporer di Asia Tenggara.
IDF memiliki dampak signifikan dalam mengakselerasi karir internasional seniman Indonesia, termasuk Eko Supriyanto, Rianto, Darlane Litaay, dan Ayu Permata Sari. Dalam upaya memastikan keberlanjutan dan pendanaan, Yayasan Loka Tari Nusantara (YLTN) didirikan pada tahun 2019 untuk menarik donor dan memperluas audiens. Selain itu, IDF juga berdedikasi pada upaya pengarsipan untuk mendokumentasikan sejarah dan evolusi tari kontemporer Indonesia. Secara keseluruhan, ekosistem TK-ID menunjukkan adanya model dualistik: lembaga formal (ISI/IKJ) menyediakan pelatihan teknis dan historis yang akademis, sementara platform festival yang dinamis (IDF) menyediakan ruang eksperimen dan validasi pasar global.
Tantangan, Suara Kritis, dan Proyeksi Masa Depan
Hambatan Eksistensial: Pendanaan dan Infrastruktur
Seni pertunjukan kontemporer di Indonesia menghadapi tantangan berat yang mengancam keberlanjutannya, terutama terkait aspek pendanaan dan penerimaan publik. Kurangnya dukungan finansial yang memadai dari pemerintah atau pihak swasta memaksa para seniman kontemporer untuk mencari dana secara mandiri.
Defisit finansial ini sangat menghambat praktik research-based creation, seperti Participation Action Research (PAR), yang membutuhkan investasi logistik, waktu, dan sumber daya yang signifikan. Selain itu, keterbatasan ruang dan infrastruktur pertunjukan yang memadai untuk karya-karya eksperimental juga menjadi kendala nyata bagi ambisi koreografer. Tantangan ini menempatkan seniman kontemporer dalam dilema: mempertahankan integritas artistik dan metodologi riset yang mahal, atau berkompromi demi kelangsungan finansial.
Isu Penerimaan Publik dan Sensor
Tantangan kedua terletak pada penerimaan audiens domestik. Meskipun TK-ID sering mendapatkan apresiasi tinggi di kancah internasional, audiens umum di Indonesia mungkin masih belum terbiasa dengan karya seni yang bersifat “provokatif dan non-narasi”. Kesenjangan pemahaman ini menciptakan hambatan dalam perluasan basis penggemar dan dukungan domestik.
Lebih lanjut, karena TK-ID memiliki misi sebagai media kritik sosial dan koreksi terhadap penyimpangan masyarakat , potensi konflik dengan norma sosial menjadi tinggi. Tantangan sensor dan penerimaan sosial muncul ketika beberapa karya dianggap “terlalu berani”.Potensi sensor ini mengancam kebebasan berekspresi dan secara langsung menghambat fungsi inti genre tari ini sebagai suara kritis.
Proyeksi Masa Depan: Globalisasi dan Dokumentasi
Masa depan tari kontemporer di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk memperkuat jaringan global sambil menutup kesenjangan domestik. IDF telah berupaya merespons perubahan sosial dan melibatkan pemangku kepentingan untuk menumbuhkan ekosistem tari. Peran seniman diaspora, seperti Melati Suryodarmo yang sering bekerja di Eropa, akan terus memperkaya perspektif estetik TK-ID dengan pengalaman global.
Secara metodologis, para koreografer kontemporer akan dituntut untuk menemukan cara-cara inovatif untuk menjembatani kompleksitas karya non-naratif dengan pemahaman audiens domestik, misalnya melalui pemanfaatan media digital atau format interaktif. Kesinambungan upaya pengarsipan oleh institusi seperti IDF juga esensial untuk melestarikan sejarah yang baru dan dinamis dari genre ini.
Kesimpulan
Perkembangan Tari Kontemporer di Indonesia adalah kisah tentang sintesis yang berani antara tradisi yang diolah kembali dan inovasi global, didorong oleh kebutuhan untuk berekspresi secara bebas dan kritis. Dari pondasi yang diletakkan oleh Sardono W. Kusumo melalui eksplorasi laku dan ketubuhan , hingga metodologi penciptaan berbasis riset yang sistematis (PAR, Etnokoreologi) oleh generasi selanjutnya , TK-ID berhasil menempatkan dirinya sebagai estetika resistensi yang autentik dan berakar lokal.
Meskipun TK-ID berhasil “berkibar di panggung global”, tantangan terbesar tetap berada di dalam negeri, khususnya dalam hal dukungan finansial yang minim dan resistensi audiens terhadap karya non-naratif atau yang dianggap provokatif. Keberhasilan inisiatif kelembagaan seperti YLTN dalam mengamankan pendanaan akan krusial dalam menentukan apakah koreografer dapat mempertahankan fungsi kritiknya yang berharga, atau dipaksa untuk mengorbankan kedalaman artistik demi kelangsungan hidup eksistensial. Pada intinya, TK-ID adalah barometer sensitif bagi kebebasan berekspresi dan refleksi sosial di Indonesia.