Kerajaan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15 Masehi) telah melampaui statusnya sebagai entitas sejarah belaka. Dalam diskursus politik dan identitas Indonesia modern, Majapahit berfungsi sebagai fondasi mitos politik yang krusial. Narasi kejayaan Majapahit—khususnya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada—memberikan legitimasi, kedalaman historis, dan rasa kesinambungan yang sangat penting bagi ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) modern.
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi bagaimana konsep, filosofi, dan warisan kultural Majapahit diabadikan, diinterpretasikan, dan digunakan dalam pembangunan negara, identitas nasional, dan tata kelola kontemporer. Interpretasi ini harus dipandang melalui lensa yang bernuansa, mengakui bahwa NKRI tidak hanya mewarisi, tetapi juga merekonstruksi, masa lalu tersebut.
Latar Belakang Epistemologis Warisan Majapahit
Penting untuk dipahami bahwa warisan Majapahit yang diambil oleh para pendiri bangsa merupakan sebuah upaya yang disengaja untuk menciptakan akar sejarah yang mendalam bagi ideologi NKRI. Hal ini bertujuan menghubungkan negara yang baru lahir dengan kejayaan kekuasaan regional di masa lalu, memberikan rasa validitas yang melampaui masa kolonial. Penggunaan warisan ini berfungsi untuk memitigasi risiko fragmentasi dalam negara-bangsa yang baru, dengan menunjukkan bahwa persatuan adalah sebuah tradisi yang sudah mengakar, bukan sekadar konstruksi politik pasca-kolonial.
Definisi Majapahit mengenai “Nusantara” sendiri memiliki perbedaan kontekstual yang mendasar dengan konsep NKRI modern. Pada masa Gajah Mada, Nusantara merujuk pada wilayah kepulauan yang berada di bawah hegemoni politik dan budaya yang dikenal oleh Majapahit. Sebaliknya, NKRI adalah negara bangsa modern yang berdaulat berdasarkan kedaulatan rakyat. Nuansa ini krusial untuk mencegah romantisisme historis dan untuk memahami bahwa Majapahit adalah sumber inspirasi ideologis, bukan cetak biru struktural.
Tujuan dan Metodologi Analisis
Laporan ini fokus pada analisis interpretasi—bagaimana warisan Majapahit digunakan—alih-alih hanya deskripsi historis—apa yang terjadi. Dimensi yang dianalisis meliputi: fondasi ideologi (Bhinneka Tunggal Ika), strategi geopolitik (Sumpah Palapa), jejak kultural dan arsitektur, dan manajemen memori kolektif (situs Trowulan). Analisis kritis juga akan disajikan mengenai kontroversi historiografi dan implikasi politis dari pemanfaatan narasi Majapahit.
Fondasi Ideologis NKRI: Sinkronisasi Majapahit dan Nasionalisme Modern
Warisan Majapahit yang paling fundamental dalam pembentukan ideologi NKRI terletak pada kemampuan kerajaan tersebut untuk mengelola keragaman dan membangun tata kelola yang berbasis etika. Dua pilar utamanya adalah semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan filosofi Dharma.
Transformasi Bhinneka Tunggal Ika: Dari Sinkretisme Agama ke Doktrin Integrasi Nasional
Semboyan kunci negara, “Bhinneka Tunggal Ika” (BTI), merupakan warisan langsung dari Majapahit. Semboyan ini ditulis oleh Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma pada abad ke-14. Dalam konteks aslinya, BTI berfungsi sebagai doktrin sinkretisme keagamaan, menekankan kerukunan dan persatuan antara penganut agama Siwa dan Buddha. Doktrin ini memungkinkan Majapahit untuk menciptakan stabilitas internal di tengah pluralitas keyakinan.
Dalam konteks modern, BTI telah mengalami transformasi makna dan menjadi semboyan resmi NKRI. Fungsi BTI diperluas dari konteks keagamaan spesifik menjadi prinsip umum integrasi nasional yang mencakup keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Penerapan BTI di era modern dianggap sebagai cara yang paling penting untuk memperkuat integrasi nasional.
Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila memiliki hubungan yang erat dalam kerangka ideologi kebangsaan. Pancasila, yang menjadi fundamen dan ideologi NKRI, digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Dengan demikian, BTI dan Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai warisan sejarah yang dipajang, tetapi juga sebagai panduan aktif yang harus dipegang teguh oleh seluruh komponen bangsa untuk membangun masa depan yang lebih toleran, bersatu, dan maju, terutama dalam mencapai visi kolektif seperti Indonesia Emas 2045. Dialog antar kelompok dan penghargaan terhadap keberagaman menjadi esensial untuk mewujudkan cita-cita ini.
Filsafat Dharma dan Etika Tata Kelola
Selain BTI, Majapahit mewariskan filsafat Dharma yang memberikan inspirasi etis bagi tata kelola modern Indonesia. Filsafat Dharma menekankan pada kewajiban moral, keadilan, dan tata tertib yang ideal bagi seorang pemimpin dan rakyatnya. Nilai-nilai etis ini relevan dalam membentuk kepemimpinan yang bertanggung jawab dalam konteks modern.
Jejak tradisi dan kebiasaan masyarakat Majapahit yang masih bertahan hingga kini menunjukkan resiliensi nilai-nilai sosial ini. Sebagai contoh, nilai gotong royong (kerja sama) diakui sebagai salah satu warisan sosiologis dari era Majapahit. Warisan etis ini mendasari upaya bangsa Indonesia untuk bekerjasama, baik dalam bidang pembangunan maupun dalam menghadapi tantangan yang bertentangan dengan nilai kebangsaan, seperti radikalisme. Kunci utama untuk mencapai kemajuan, baik di bidang politik maupun ekonomi, adalah membangun kebersamaan dan kerja sama dengan berpegang teguh pada nilai-nilai yang tercantum dalam Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Tabel berikut menyajikan perbandingan antara konsep ideologis Majapahit dengan implementasinya dalam fondasi NKRI.
Perbandingan Konsep Ideologis Majapahit dan Fondasi NKRI
| Konsep Majapahit (Sumber Primer) | Interpretasi Modern (Fungsi Politik) | Relevansi dalam NKRI |
| Bhinneka Tunggal Ika (Kakawin Sutasoma) | Prinsip Integrasi Nasional (Persatuan dalam Keberagaman) | Dasar Semboyan Negara dan Komitmen terhadap Kebangsaan |
| Visi Nusantara (Sumpah Palapa) | Integritas Wilayah dan Kedaulatan Geopolitik | Inspirasi Geopolitik dan Wawasan Nusantara |
| Filsafat Dharma (Tata Kelola) | Etika Kepemimpinan, Keadilan, dan Tanggung Jawab Moral | Inspirasi bagi Sistem Hukum dan Pemerintahan yang Berkeadilan |
Warisan Politik dan Geopolitik: Reinterpretasi Visi Nusantara
Warisan Majapahit dalam bidang politik dan geopolitik terwujud melalui interpretasi modern terhadap ambisi Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara di bawah satu panji.
Analisis Kritis Sumpah Palapa Gajah Mada: Visi Persatuan dan Komitmen Kepemimpinan
Sumpah Palapa merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia, menjadi tonggak penting dalam upaya mempersatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Dalam perspektif sejarah modern, sumpah ini dipandang sebagai cikal bakal gagasan persatuan nasional. Meskipun konteks geografis dan politik “Nusantara” Majapahit berbeda dengan NKRI modern, semangat untuk menyatukan berbagai wilayah dan suku bangsa di bawah satu pemerintahan dianggap sebagai embrio nasionalisme Indonesia.
Sumpah ini memiliki nilai inspiratif yang mendalam bagi kepemimpinan modern. Tekad Gajah Mada yang bersumpah untuk tidak “menikmati kesenangan” (Palapa) sebelum tujuannya tercapai menunjukkan tingkat komitmen, dedikasi, dan pengorbanan pribadi yang luar biasa demi tujuan yang lebih besar. Komitmen ini masih relevan sebagai inspirasi bagi kepemimpinan nasional dalam menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan besar untuk bangsa, yang membutuhkan etos kerja dan visi jangka panjang yang tak tergoyahkan.
Strategi Multifaset dan Relevansi Geopolitik Kontemporer
Keberhasilan Majapahit dalam memperluas pengaruhnya tidak hanya mengandalkan kekuatan militer. Data menunjukkan bahwa strategi Gajah Mada lebih kompleks, bersifat multifaset, melibatkan diplomasi unggul, pembentukan aliansi, pernikahan politik, dan pengaruh budaya. Pendekatan multi-aspek ini mengajarkan bahwa kekuatan regional yang dominan membutuhkan kombinasi kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power).
Dalam diskursus politik modern, interpretasi Sumpah Palapa cenderung menekankan aspek diplomasi dan integrasi budaya ini, alih-alih penaklukan militer murni. Penekanan pada diplomasi dan pengaruh budaya merupakan sebuah rekonstruksi etis yang menyesuaikan ambisi historis Gajah Mada dengan norma-norma kedaulatan negara dan hak asasi manusia modern. Fokus pada pendekatan damai menciptakan model kepemimpinan regional yang ideal—kuat dalam visi, namun damai dalam strategi.
Strategi Majapahit ini memiliki relevansi geopolitik yang kuat bagi Indonesia Abad ke-21:
- Ekonomi Maritim dan Geopolitik Laut: Visi Indonesia sebagai poros maritim dunia memiliki kemiripan historis dengan dominasi maritim Majapahit. Penguasaan Majapahit atas jalur perdagangan maritim dan wilayah strategis di masa lalu menjadi cetak biru bagi strategi nasional kontemporer dalam mengelola dan memanfaatkan lautan sebagai kekuatan ekonomi dan pertahanan.
- Diplomasi Regional dan Soft Power: Strategi diplomasi yang digunakan Majapahit untuk memperluas pengaruhnya masih relevan dalam konteks hubungan internasional Indonesia modern. Upaya Indonesia membangun pengaruh regional dan global, terutama melalui ASEAN, menggunakan pendekatan soft power dan diplomasi budaya yang menyerupai taktik Majapahit dalam menyebarkan pengaruh budayanya ke seluruh Nusantara.
Meskipun warisan Majapahit menawarkan inspirasi ideologis yang mendalam (Dharma) , perlu dicatat bahwa struktur tata negara Indonesia modern tidak mengadopsi cetak biru struktural Majapahit. Sistem pemerintahan NKRI secara eksplisit menganut konsep Barat seperti Trias Politica (pemisahan kekuasaan). Lembaga legislatif, misalnya, direpresentasikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Oleh karena itu, Majapahit memberikan inspirasi moral dan ideologis, namun struktur politik adalah sintesis modern antara nilai lokal dan sistem politik global.
Analisis Strategi Multifaset Majapahit dan Implementasi Modern
| Strategi Majapahit (Gajah Mada) | Aplikasi Modern (Relevansi) | Domain Relevansi |
| Ekspansi Maritim dan Penguasaan Selat | Visi Poros Maritim Dunia, Jaringan Infrastruktur | Ekonomi dan Pertahanan Maritim |
| Diplomasi, Aliansi, dan Pernikahan Politik | Hubungan Internasional, ASEAN, dan Soft Power | Diplomasi Regional dan Global |
| Komitmen Personal Gajah Mada (Sumpah) | Integritas, Etos Kerja, dan Visi Jangka Panjang | Pembangunan Karakter Pemimpin Nasional |
Jejak Kultural dan Material yang Bertahan
Warisan Majapahit juga lestari dalam bentuk material dan kebiasaan sosial yang membentuk identitas kultural Indonesia modern, khususnya di Jawa.
Simbolisme Arsitektur dan Estetika Klasik
Warisan arsitektur Majapahit yang paling menonjol adalah penggunaan material khas bata merah. Selain itu, motif visual Surya Majapahit merupakan simbol penting yang terus digunakan dan diinterpretasikan ulang dalam seni rupa dan desain kontemporer.
Keberadaan motif Surya Majapahit dalam relief masjid kuno (seperti pada Masjid Mantingan, Jepara) menunjukkan fenomena sinkretisme visual yang luar biasa. Masjid Mantingan, sebagai salah satu masjid kuno di pesisir utara Jawa Tengah, menampilkan adaptasi dan integrasi motif yang berasal dari tradisi Hindu-Buddha Majapahit ke dalam seni rupa Islam Jawa.
Fenomena ini adalah bukti kekuatan Majapahit sebagai substrat budaya yang mendasari identitas Jawa dan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa transisi dari era Majapahit ke era kerajaan Islam dilakukan secara bertahap dan mulus, di mana simbol-simbol pra-Islam tidak dihilangkan, melainkan dipertahankan dan diberi makna baru. Resiliensi kultural semacam ini memfasilitasi dialog antar kelompok dan menjadi landasan bagi semangat toleransi yang diwarisi hingga saat ini.
Jejak Tradisi Kemasyarakatan
Di samping artefak fisik, jejak tradisi dan kebiasaan masyarakat Majapahit masih bertahan hingga kini. Nilai-nilai sosial Majapahit diakui berperan besar dalam kehidupan masyarakat modern. Salah satu contoh paling nyata adalah nilai gotong royong, yang mencerminkan semangat kerja sama dan kolektivitas yang merupakan warisan Majapahit.
Manajemen Memori Kolektif dan Pelestarian Warisan
Warisan Majapahit bukan hanya narasi di buku sejarah, melainkan juga situs fisik yang memerlukan manajemen memori kolektif yang terencana untuk tujuan pendidikan, pariwisata, dan pembangunan karakter bangsa.
Trowulan sebagai Inspirasi Kebesaran Indonesia
Situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, merupakan pusat materialisasi memori kolektif nasional. Museum Mojopahit Trowulan dan situs-situs di sekitarnya, seperti Gapura Bajang Ratu , disiapkan menjadi Kawasan Cagar Budaya. Situs ini secara eksplisit ditetapkan sebagai inspirasi kebesaran Indonesia oleh para pemimpin nasional. Pada tahun 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan bahwa artefak dan situs di Trowulan harus menjadi inspirasi, menyatakan, “Di abad 14 Majapahit sudah berjaya, abad 21 mestinya Indonesia lebih berjaya lagi”.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) memiliki aspirasi untuk menjadikan situs Majapahit di Trowulan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Situs ini diyakini memiliki tiga fungsi utama bagi NKRI:
- Sarana Edukasi dan Kebanggaan: Situs Majapahit diharapkan menjadi sarana belajar bagi generasi muda agar mereka tahu kebesaran Kerajaan Majapahit dan bangga atas budaya bangsanya. Situs ini menjadi pusat informasi yang harus memiliki makna luas bagi pembentukan karakter.
- Pariwisata dan Kesejahteraan: Obyek wisata sejarah ini dianggap luar biasa dan mampu menarik wisatawan dalam maupun luar negeri. Kehadiran wisata sejarah ini ditekankan harus mendatangkan kesejahteraan dan rezeki bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Trowulan.
- Memori Kolektif Nasional: Majapahit dipandang sebagai kerajaan yang berhasil menyatukan berbagai keragaman budaya dan menjadi dasar terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tantangan Pelestarian dan Keterikatan Batin Lokal
Meskipun terdapat upaya besar untuk mempromosikan Majapahit sebagai fondasi kebesaran nasional (seperti inisiatif restorasi dan pengajuan UNESCO), situs Trowulan menghadapi tantangan pelestarian yang kompleks. Salah satu persoalan utama adalah bagaimana menumbuhkan kembali “keterikatan batin” antara masyarakat lokal dengan temuan dan situs-situs Majapahit.
Analisis ini menemukan adanya paradoks yang mendasar: narasi Majapahit telah berhasil di-nasionalisasi sebagai fondasi NKRI, tetapi gagal di-lokalisasi. Di tingkat nasional, Majapahit adalah kebanggaan. Namun, bagi sebagian masyarakat lokal di Trowulan, peninggalan Majapahit tidak dirasakan memiliki pengaruh langsung pada kehidupan mereka sehari-hari, sehingga muncul kasus vandalisme atau perusakan warisan budaya.
Kontradiksi ini menunjukkan bahwa narasi historis yang kuat tidak cukup. Meskipun ada penekanan politik bahwa pariwisata sejarah harus mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat , kegagalan menumbuhkan rasa kepemilikan lokal dan keterikatan batin menunjukkan bahwa manfaat ekonomi dan pendidikan belum terinternalisasi secara memadai. Tanpa rasa kepemilikan yang mendalam dari komunitas lokal, inisiatif nasional yang mahal (seperti status UNESCO atau restorasi) akan selalu rentan terhadap kerusakan dan degradasi. Solusi pelestarian harus mencakup pemberdayaan ekonomi dan pendidikan lokal yang terintegrasi, bukan hanya fokus pada restorasi fisik.
Diskursus Kritis, Kontroversi, dan Proyeksi Masa Depan
Penggunaan narasi sejarah Majapahit dalam kerangka negara modern tidak lepas dari perdebatan dan kontroversi historiografis. Diskursus kritis ini penting untuk memastikan bahwa warisan sejarah digunakan secara bertanggung jawab.
Kontroversi Historiografi Majapahit
Narasi Majapahit menjadi subjek perdebatan akademis yang hidup, khususnya mengenai keotentikan sumber dan implikasi politiknya.
- Keotentikan Sumber Sejarah: Keraguan muncul mengenai peristiwa penting seperti Sumpah Palapa, karena sumber utamanya, Nagarakretagama, ditulis oleh Mpu Prapanca (yang berada di lingkaran kekuasaan Majapahit) hampir satu abad setelah peristiwa itu terjadi. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang akurasi dan potensi bias politik dalam naskah tersebut.
- Narasi Jawan-sentris (Javacentrism): Beberapa kritikus berpendapat bahwa narasi kejayaan Majapahit terlalu berpusat pada perspektif Jawa, yang berpotensi mengabaikan sudut pandang, resistensi, dan konteks wilayah-wilayah lain di Nusantara yang berada di bawah hegemoni Majapahit.
Kontroversi ini menunjukkan bahwa Majapahit bukan sekadar objek studi pasif, tetapi juga aset politik yang dapat dimobilisasi untuk tujuan kontemporer—seperti pembenaran kebijakan integrasi, ambisi maritim, atau penegasan identitas nasional. Kekuatan Majapahit dalam politik modern terletak pada simbolismenya (sebuah masa lalu yang bersatu dan kuat) dibandingkan dengan akurasi harfiahnya. Narasi yang terpusat, meskipun kompleks secara historis, dinilai fungsional secara politik untuk menyatukan negara modern yang tersebar.
Relevansi Abad Ke-21 dan Proyeksi Masa Depan
Warisan Majapahit memberikan konteks historis yang kuat bagi kewajiban seluruh komponen bangsa untuk menjaga keutuhan NKRI dari rongrongan radikalisme dan ajaran/tindakan yang bertentangan dengan nilai kebangsaan. Untuk memperkuat integrasi nasional di masa depan, dialog antar kelompok dan penghargaan terhadap keberagaman harus ditingkatkan, dengan Majapahit (Bhinneka Tunggal Ika) sebagai titik tolak sejarah.
Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, Sumpah Palapa—yang mengajarkan visi kepemimpinan dan komitmen—dan situs Trowulan (sebagai sarana belajar) harus diintegrasikan untuk membentuk nilai nasional dan kepemimpinan yang bertanggung jawab. Tujuan akhirnya adalah mewujudkan Indonesia maju yang solid secara ekonomi dan bersatu secara ideologis.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Majapahit merupakan jembatan legitimasi historis yang menghubungkan entitas politik NKRI modern dengan masa kejayaan politik dan budaya regional di masa lalu. Warisan Majapahit beroperasi pada dua tingkat utama:
- Tingkat Ideologis: Memberikan fondasi etis dan filosofis melalui Bhinneka Tunggal Ika (integrasi dalam keberagaman) dan filsafat Dharma (etika tata kelola).
- Tingkat Geopolitik: Menyediakan model strategis melalui Sumpah Palapa dan Strategi Multifaset (menggunakan diplomasi, soft power, dan dominasi maritim), yang direinterpretasi untuk membenarkan ambisi Poros Maritim Dunia dan peran kepemimpinan regional Indonesia.
Meskipun Majapahit memberikan jiwa dan identitas bagi NKRI, struktur politik dan tata negaranya adalah hasil sintesis modern, bukan tiruan langsung dari sistem administrasi Majapahit.
Untuk mengatasi tantangan dalam pelestarian dan manajemen memori kolektif, terutama yang terlihat dalam Paradoks Trowulan, direkomendasikan hal-hal berikut:
- Integrasi Pelestarian dan Kesejahteraan Lokal: Inisiatif pelestarian warisan fisik di Trowulan (termasuk upaya pendaftaran UNESCO) harus diintegrasikan secara langsung dan signifikan dengan program kesejahteraan dan pendidikan lokal. Hal ini diperlukan untuk mengatasi masalah “keterikatan batin” , dengan memberikan insentif ekonomi yang nyata bagi masyarakat setempat untuk menjadi garda terdepan pelestarian.
- Promosi Historiografi Inklusif: Pemerintah dan institusi pendidikan perlu mempromosikan interpretasi sejarah Majapahit yang lebih inklusif dan multi-perspektif. Narasi harus mengakui peran wilayah non-Jawa dan tantangan hegemoni Majapahit di masa lalu, sehingga memperkuat narasi NKRI yang modern, demokratis, dan menghargai semua komponen bangsa, sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang diperluas.
- Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Komitmen: Nilai-nilai yang terkandung dalam Sumpah Palapa (komitmen, dedikasi, visi) harus diajarkan tidak hanya sebagai kisah sejarah, tetapi sebagai modul praktis dalam pendidikan karakter dan kepemimpinan, mempersiapkan generasi muda untuk mewujudkan visi besar bangsa.
