Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai peran dan tantangan Humanisme di tengah realitas kekerasan massal (perang) dan struktur kekuasaan (otoritarianisme hingga populisme). Humanisme, yang secara inheren menjunjung tinggi martabat, sentralitas, dan nilai manusia , telah melalui transformasi mendasar, bergeser dari fokus filosofis pada potensi alamiah manusia menuju tuntutan etika tanggung jawab otentik dalam menghadapi dunia yang sering kali tidak manusiawi.

Fondasi Filosofis dan Krisis Humanisme (Dari Renaissance ke Eksistensialisme)

Humanisme Klasik dan Prinsip Martabat Manusia

Secara filosofis, Humanisme berakar pada penekanan martabat manusia, menempatkan rasionalitas (logos) sebagai prinsip pembeda utama. Tradisi pemikiran ini memiliki akar yang kuat dalam Filsafat Yunani Kuno, di mana tokoh seperti Plato dan Aristoteles meletakkan dasar bagi etika, logika, dan sistem berpikir rasional. Pemikiran Aristoteles, yang menekankan logika dan observasi empiris, kemudian menyebar dan menjadi fondasi intelektual peradaban Helenistik, yang diwariskan melalui dunia Islam pada Abad Pertengahan hingga akhirnya memicu Renaisans Eropa.

Namun, pandangan Humanisme Klasik yang percaya bahwa rasionalitas manusia secara inheren akan menjamin moralitas terbukti tidak memadai di hadapan krisis modern. Kepercayaan pada potensi alamiah manusia ini mengalami keretakan ketika Revolusi Ilmiah, yang menjunjung tinggi metode empiris dan pemikiran rasional , justru digunakan untuk menciptakan teknologi perang yang bersifat pemusnah massal. Misalnya, pengembangan bom nuklir yang dipimpin oleh AS selama Perang Dunia II, yang didukung oleh Presiden Roosevelt , menunjukkan jurang yang menganga antara kecanggihan teknis manusia dan kematangan etika kolektifnya. Kegagalan ini memaksa Humanisme untuk beradaptasi melampaui deskripsi potensi menjadi penetapan kewajiban normatif.

Trauma Sejarah dan Kebangkitan Humanisme Eksistensial Pasca-Perang

Perang Dunia II, yang dipicu oleh rezim-rezim Totalitarian yang digerakkan oleh pemimpin seperti Adolf Hitler dan Benito Mussolini , menghadirkan manifestasi kekejaman massal yang paling ekstrem. Kekerasan ini menunjukkan bahwa kekuasaan absolut berpotensi menghapus nilai dan pilihan moral individu.

Sebagai respons langsung terhadap trauma ini, munculah Humanisme Eksistensial, yang diartikulasikan oleh Jean-Paul Sartre dalam karyanya Existentialism Is a Humanism (1946). Sartre mendefinisikan Humanisme bukan sebagai perayaan bawaan, melainkan sebagai pengakuan atas kebebasan total dan tanggung jawab mutlak manusia dalam menghadapi ketiadaan makna. Konflik massal adalah manifestasi terbesar dari mauvaise foi (itikad buruk)—yaitu, upaya individu untuk melarikan diri dari kebebasan dan tanggung jawab dengan menyerahkannya kepada ideologi atau otoritas destruktif. Humanisme Eksistensial bertindak sebagai garis pertahanan etis terakhir, menegaskan bahwa tidak ada struktur kekuasaan, seketat apa pun, yang dapat membebaskan individu dari kewajiban moral atas tindakannya di tengah krisis. Filsafat ini mentransformasi Humanisme dari sekadar gagasan tentang hak menjadi penekanan kuat pada tanggung jawab otentik.

Kritik Anti-Humanisme: Strukturalisme dan Kritik Materialis

Humanisme tidak luput dari kritik keras. Sekitar tahun 1960-an di Prancis, muncul gelombang anti-Humanisme, terutama dari aliran Strukturalisme. Strukturalisme berargumen bahwa Humanisme adalah sebuah “alienansi, ilusi, mistifikasi, penipuan diri”. Dalam pandangan ini, manusia tidak menduduki tempat istimewa di alam semesta, melainkan dibentuk sepenuhnya oleh relasi-relasi struktural, seperti bahasa atau ekonomi, bukan oleh kehendak bebas individu.

Kritik ini sangat relevan dalam konteks Kekuasaan. Jika manusia hanyalah produk struktur, maka kekuatan institusi—termasuk negara dan sistem ekonomi global—jauh lebih dominan daripada subjek individu. Hal ini memperparah dilema Humanisme di tengah perang: apakah penekanan filosofis pada martabat individu cukup kuat untuk mengatasi struktur kekuasaan yang secara fundamental menentukan tindakan manusia? Sebelumnya, kritik materialis dari Marx juga menargetkan Humanisme religius. Marx melihat agama sebagai alienansi atau “obat bius” yang menjauhkan manusia dari kenyataan, dan oleh karena itu, Humanisme Marksis bersifat ateistik, berfokus pada pembebasan manusia dari segala bentuk alienansi, dimulai dari agama. Kritik-kritik ini menuntut Humanisme untuk membuktikan relevansinya tidak hanya di tingkat moral individual, tetapi juga dalam menghadapi determinasi struktur.

Humanisme Melawan Kekerasan Perang: Pelembagaan Etika

Setelah kegagalan moral Perang Dunia, upaya untuk menginstitusionalisasikan nilai-nilai Humanisme menjadi prioritas global, yang termanifestasi dalam Hukum Humaniter Internasional (IHL).

Dari Moralitas Filsafat menuju Hukum: Genesis Hukum Humaniter Internasional (IHL)

IHL merupakan seperangkat kaidah hukum yang dirancang untuk membatasi dampak konflik bersenjata dan melindungi mereka yang tidak lagi berpartisipasi dalam pertempuran. IHL mencakup hukum perang dan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM), dengan pilar utama berupa Konvensi Jenewa 1949 (mengenai perlakuan terhadap korban dan tawanan perang) dan Hukum Den Haag (konvensi perdamaian tahun 1899 dan 1907). Pembentukan IHL mewakili transisi penting: Humanisme bergerak dari ajaran moral filosofis menjadi seperangkat kewajiban yang mengikat negara-negara berdaulat.

Meskipun bertujuan universal, institusionalisasi Humanisme tidak luput dari politik kekuasaan. Proses legislasi perjanjian HAM pasca-Perang Dunia sangat dipengaruhi oleh realitas politik Perang Dingin, yang menyebabkan pemisahan kategori hak sipil dan politik (HSP) dari hak ekonomi, sosial, dan budaya (HESB) ke dalam dua kovenan terpisah. Pemisahan ini menunjukkan bahwa kepentingan geopolitik berhasil memfragmentasi konsep martabat manusia universal demi keuntungan ideologis.

Etika Keadilan dalam Perang (Jus ad Bellum dan Jus in Bello)

Humanisme juga tertanam dalam prinsip-prinsip perang yang adil, khususnya Jus in Bello (keadilan selama perang). Prinsip ini bertujuan membatasi kehancuran dan kematian yang berlebihan atau tidak perlu (proportionality) dan menjamin perlakuan etis. Misalnya, tawanan perang yang telah menyerah tidak boleh disiksa atau dianiaya karena mereka tidak lagi menimbulkan ancaman.

Lebih lanjut, etika perang melarang penggunaan metode atau senjata yang dianggap malum in se (secara intrinsik jahat), seperti pemerkosaan massal atau penggunaan senjata yang efeknya tidak dapat dikontrol, seperti senjata nuklir atau biologis. Larangan ini secara eksplisit menegakkan martabat manusia di atas strategi militer dan penggunaan kekuasaan destruktif.

Manifestasi Kemanusiaan Independen: Netralitas dan Imparsialitas

Di medan perang, organisasi kemanusiaan independen berfungsi sebagai benteng Humanisme ketika negara-negara gagal mematuhi IHL. Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas, yang didirikan setelah krisis kemanusiaan di Perang Biafra pada tahun 1971, adalah contoh model ini. MSF bertujuan menyediakan layanan medis darurat dengan cepat dan non-memihak, dan aktivitasnya sepenuhnya didasarkan pada prinsip kemanusiaan, kenetralan, kemandirian, dan ketidakberpihakan. Prinsip-prinsip ini secara tegas menantang kekuasaan konflik yang selalu berusaha mempolitisasi bantuan. Kenetralan adalah mekanisme perlindungan Humanisme dari penyerapan politik, secara implisit menyatakan bahwa martabat korban harus dihormati terlepas dari siapa pihak yang berkonflik.

Intervensi Kemanusiaan: Dialektika Kedaulatan vs. Kewajiban Moral

IHL dan aksi kemanusiaan independen memunculkan konflik filosofis yang mendasar dengan prinsip kedaulatan negara. Konsep kedaulatan menyatakan bahwa negara memiliki struktur kekuasaan dan hak regional yang tidak dapat diganggu gugat oleh subjek lain. Namun, praktik Humanitarian Intervention (Intervensi Kemanusiaan), yang dicontohkan dalam kasus-kasus seperti konflik di Kosovo, Libya, dan Suriah , muncul sebagai upaya untuk mencegah pelanggaran HAM berat yang mengancam martabat manusia secara massal. Meskipun kontroversial, intervensi tersebut mencerminkan pandangan bahwa ada kewajiban moral universal yang melampaui kedaulatan negara untuk melindungi penduduk dari kekerasan massal yang dilakukan oleh otoritas mereka sendiri.

Table: Perbandingan Kerangka Etika Humanis di Tengah Konflik Bersenjata

Kerangka Etika Fokus Utama Aktor Kunci Prinsip Humanis yang Ditegakkan
Just War Theory (Jus in Bello) Pembatasan kerusakan dan perlakuan etis dalam perang Negara, Militer Proporsionalitas, Larangan Malum in Se
Hukum Humaniter Internasional (IHL) Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata (Konvensi Jenewa) Negara, PBB Perlindungan Sipil, Non-Diskriminasi
Humanisme Kemanusiaan (MSF) Bantuan medis darurat di zona konflik Organisasi Non-Pemerintah (NGO) Netralitas, Imparsialitas, Independensi
Kedaulatan Negara Non-Intervensi dan Otoritas Internal Otonomi Politik (Sering Berlawanan dengan IHL)

Humanisme di Hadapan Struktur Kekuasaan

Kekuasaan Otoritarian dan Anti-Humanisme Klasik

Kekuasaan, dalam analisis klasiknya, berfokus pada bagaimana penguasa mendapatkan dan mempertahankan kendali, seringkali berpusat pada raja yang memegang keputusan akhir, seperti yang dibahas Machiavelli. Bentuk kekuasaan yang paling Anti-Humanis adalah Totalitarianisme. Rezim-rezim yang dipimpin oleh tokoh Perang Dunia II seperti Hitler, Mussolini, dan Joseph Stalin berusaha menghapus identitas individu, menggantinya dengan narasi Negara atau ideologi yang absolut. Hal ini secara langsung ditentang oleh Humanisme Eksistensial, yang menegaskan bahwa tanggung jawab individu tidak dapat dilenyapkan oleh otoritas politik mana pun.

Populisme sebagai Anti-Elitisme dan Ancaman terhadap Rasionalitas

Di era kontemporer, populisme menjadi tantangan struktural yang signifikan. Populisme menciptakan pembagian yang tajam dan berbahaya antara “rakyat” dan “elit”. Pemimpin populis mengklaim mewakili suara rakyat sejati, menentang institusi yang dianggap “rusak” (seperti partai tradisional, media mainstream, dan lembaga internasional).

Ancaman terbesar populisme terhadap Humanisme terletak pada erosi rasionalitas dan pluralitas. Humanisme mengandalkan dialog, institusi, dan penghormatan terhadap martabat setiap individu. Populisme merusak ini melalui kekuasaan pemimpin karismatik yang menganggap diri mereka sebagai satu-satunya perwakilan rakyat , dan melalui narasi konspirasi yang mempolarisasi masyarakat. Dengan membagi masyarakat menjadi ‘rakyat sejati’ dan ‘elit musuh’, populisme secara efektif menciptakan hierarki martabat, di mana martabat kelompok yang dicap ‘elit’ atau ‘lain’ dapat direndahkan. Ini menciptakan konflik internal yang merusak kohesi sosial dan menjustifikasi otoritarianisme.

Fundamentalisme dan Kekuasaan Agama

Kekuasaan juga termanifestasi melalui fundamentalisme agama, di mana konflik keagamaan mudah dikemas menjadi “perang suci” (holy war). Hal ini disebabkan oleh salah tafsir teks, fanatisme berlebihan, dan kepentingan politik. Kelompok fundamentalis dan moderat seringkali berkesimpulan berbeda karena perbedaan mendasar dalam metode penafsiran sumber agama.

Ketika agama diubah menjadi kekuatan politik absolut, ia dapat menunjukkan “sisi jahat yang menakutkan” (sinister face, scary, and decorated by revenge). Respons Humanis terhadap kekuasaan ini adalah melalui dialog dan moderasi. Upaya resolusi konflik harus mencakup dialog teks dengan konteks, dialog dengan ilmu pengetahuan, dan promosi kepemimpinan agama yang bijaksana. Ini menegaskan bahwa rasionalitas—sebagai pilar Humanisme—harus mampu berinteraksi dengan otoritas spiritual untuk mencegah kekerasan.

High-Modernism dan Kekuasaan Negara

Bentuk kekuasaan modern lainnya adalah yang didorong oleh ideologi High-Modernism. Negara modern seringkali mereproduksi visi modernitas yang menyederhanakan kompleksitas sosial, termasuk agama lokal. Kekuasaan ini beroperasi melalui governmentality (kepengaturan), di mana negara berusaha mengubah penganut agama lokal menjadi “subjek warga negara yang baik” sesuai standar yang ditetapkan.

Dampak anti-Humanis dari kekuasaan ini terlihat jelas dalam kebijakan identitas. Misalnya, pada masa otoritarian Soeharto, negara Indonesia menerapkan kebijakan asimilasi ketat terhadap etnik Tionghoa , yang bertentangan dengan Humanisme yang inklusif dan mempromosikan multikulturalisme. Kebijakan ini memarginalisasi identitas dan membuktikan bahwa kekuasaan negara berpotensi mengatur pikiran dan identitas individu.

Table: Dialektika Humanisme Melawan Bentuk-Bentuk Kekuasaan

Tesis Kekuasaan Karakteristik Anti-Humanis Dampak pada Martabat Manusia Respon Humanis yang Dituntut
Totalitarianisme Klasik Dominasi Negara Absolut, Kekerasan Massal Penghapusan Hak Individu dan Pilihan Moral Tanggung Jawab Otentik (Eksistensialisme)
Populisme Politik Kontemporer Polarisasi ‘Rakyat’ vs. ‘Elit’, Anti-Rasionalitas Degradasi Martabat Kelompok ‘Lain’, Konflik Internal Pembelaan Institusi dan Pluralisme
Fundamentalisme Agama Penafsiran Teks yang Kaku, Fanatisme Konversi Konflik menjadi ‘Perang Suci’, Kekerasan Dialog Teks dan Konteks, Moderasi
High-Modernism Negara Simplifikasi Kompleksitas Sosial, Kontrol Identitas Marginalisasi Identitas Lokal, Asimilasi Paksa Multikulturalisme dan Pengakuan

Tantangan Baru Humanisme di Era Modernitas

Etika Teknologi dan Hifz al-‘Aql

Perkembangan teknologi, terutama Kecerdasan Buatan (AI), menghadirkan bentuk kekuasaan baru. Tantangan etika di abad ini adalah memastikan AI mendukung kemanusiaan alih-alih menggantikannya, dan menjembatani kemajuan teknologi dengan kebijaksanaan manusia untuk menciptakan tatanan dunia yang holistik.

Kekuatan AI harus dihadapi dengan kerangka etika yang kuat. Dalam perspektif Islam, teknologi harus selaras dengan Maqasid Syariah (Tujuan Syariat). Dua tujuan utama yang selaras dengan Humanisme adalah Hifz an-Nafs (Menjaga Jiwa/Keselamatan) dan Hifz al-‘Aql (Menjaga Akal). Humanisme harus beradaptasi untuk menghadapi potensi perang kognitif di mana kekuasaan algoritma merusak kapasitas rasionalitas manusia. Oleh karena itu, Hifz al-‘Aql menjadi standar etika krusial untuk mempertahankan integritas kognitif—landasan Humanisme—di era digital.

Sekularisasi vs. Deprivatisasi: Dinamika Agama dan Politik

Meskipun sosiologi klasik (seperti Max Weber yang mengkaji hubungan Etika Protestan dan Kapitalisme ) memprediksi penurunan agama (sekularisasi) di era modern , teori ini kini ditentang oleh fenomena deprivatisasi—kebangkitan agama di ruang publik. Banyak masyarakat, termasuk di Asia dan komunitas Muslim, menunjukkan kemampuan untuk hidup berdampingan dengan modernitas.

Teori Pilihan Rasional (RCT) bahkan memandang agama sebagai fenomena rasional yang berkembang karena menawarkan analisis biaya/keuntungan positif bagi individu, termasuk manfaat kesehatan mental dan fisik. Implikasinya, kekuasaan di era kontemporer harus berinteraksi dengan kekuatan non-sekuler yang kembali menguat. Jika agama adalah pilihan rasional, maka konflik yang didasarkan pada agama juga dapat dianalisis secara rasional. Humanisme harus menjembatani logika rasionalitas dengan nilai-nilai spiritual, bukan menolaknya, demi mencapai tatanan global yang harmonis.

Jalan Tengah: Humanisme Inklusif dan Dialog Lintas Budaya

Untuk menjadi kerangka etika global, Humanisme harus menjadi inklusif dan transkultural. Pendekatan adaptif dan inklusif diperlukan untuk menjembatani tradisi dan inovasi, memungkinkan kontribusi komunitas Muslim ke tatanan global tanpa kehilangan identitas religius.

Sejarah telah menunjukkan bahwa kebenaran dapat tumbuh di mana saja ketika akal dan iman berdialog. Simbiosis intelektual antara filsafat Yunani (Aristoteles) dan ilmuwan Muslim (Ibn Sina, Ibn Rusyd) menjadi contoh historis fondasi Humanisme transkultural. Dengan menyelaraskan nilai-nilai universal—seperti prinsip Maqasid Syariah —dengan etika modern, Humanisme dapat mencegah dirinya menjadi ideologi yang terbatas, melainkan menjadi kredo universal yang diakui oleh berbagai peradaban.

Kesimpulan

Humanisme di tengah perang dan kekuasaan beroperasi dalam ketegangan dialektis yang konstan. Meskipun upaya melembagakan etika melalui IHL berhasil menetapkan batasan hukum pada kekuasaan negara, keberhasilan ini sangat rentan terhadap kepentingan geopolitik dan kurangnya kemauan politik. Pada tingkat individu, Humanisme Eksistensial berhasil menuntut tanggung jawab otentik melawan otoritarianisme, namun konsep subjek individu ini terus diserang oleh kritik Strukturalis dan kekuasaan Populis yang berusaha mereduksi manusia menjadi produk struktur atau narasi biner (Rakyat vs. Elit).

Rekomendasi untuk Memperkuat Etika Humanis dalam Tata Kelola Global dan Lokal

Untuk mempertahankan martabat manusia di tengah konflik dan dominasi kekuasaan, laporan ini menyajikan rekomendasi strategis:

  1. Penguatan Akuntabilitas Hukum Humaniter: Komunitas internasional harus memperkuat mekanisme akuntabilitas untuk mengatasi impunitas dalam konflik bersenjata, mendesak negara-negara untuk mematuhi prinsip Jus in Bello , dan menjamin penghormatan penuh terhadap kenetralan organisasi kemanusiaan independen.
  2. Penerapan Etika Kognitif Global: Kerangka etika teknologi, seperti prinsip Hifz al-‘Aql (Menjaga Akal) , harus dipromosikan sebagai standar global. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pengembangan AI dan teknologi baru mendukung rasionalitas manusia, mencegah penyebaran disinformasi, dan melindungi integritas kognitif dari manipulasi kekuasaan algoritmik.
  3. Mendorong Dialog Pluralistik: Melawan fundamentalisme dan fanatisme keagamaan memerlukan strategi resolusi konflik yang berbasis pada dialog antar-agama dan dialog teks dengan konteks. Upaya harus diarahkan untuk mendukung pemimpin agama yang moderat dan lembaga akademik yang mempromosikan reinterpretasi nilai agama yang selaras dengan Humanisme inklusif.
  4. Menantang Kekuasaan Populis: Untuk menangkal erosi pluralitas yang disebabkan oleh populisme, harus diperkuat institusi demokrasi, pendidikan kritis, dan media rasional. Humanisme harus secara aktif mempertahankan ruang publik dari narasi konspirasi dan polarisasi yang menciptakan hierarki martabat sosial.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9 + 1 =
Powered by MathCaptcha