Krisis dunia modern, yang termanifestasi dalam kehancuran ekologis, fragmentasi sosial, dan dilema etika teknologi, tidak dapat dipisahkan dari fondasi filosofisnya. Akar dari krisis ini terletak pada evolusi Humanisme Klasik Barat yang, melalui penekanan berlebihan pada otonomi individu, telah melahirkan sebuah peradaban Antroposentris yang dominatif dan atomistik.
Humanisme Klasik: Otonomi Rasional dan Martabat Berpusat pada Manusia
Humanisme, sebagai aliran pemikiran yang sangat menghargai kapasitas manusia, memiliki benih yang dapat dilacak kembali ke filosof Yunani kuno seperti Socrates. Paham ini berkembang pesat selama era Renaisans (abad ke-14), periode peralihan dari Abad Pertengahan menuju zaman modern, yang ditandai dengan penolakan terhadap dominasi otoritas agama dan kebangkitan minat pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Fokus utama Humanisme adalah pengembangan potensi manusia, baik secara intelektual, moral, maupun sosial, dengan mengutamakan rasio, kebebasan, dan martabat individu sebagai titik tolak segala hal.
Puncak etika Humanis tercermin dalam kerangka filosofis Kantian. Immanuel Kant memposisikan otonomi rasional manusia sebagai landasan moralitas melalui konsep imperatif kategoris. Otonomi ini menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menentukan arah tindakannya secara sadar dan bertanggung jawab, menjadikan akal budi dan nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasar hukum dan moralitas.
Secara historis, Humanisme mencapai pengakuan universal pasca-Perang Dunia II. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang disepakati oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948, adalah manifestasi dari nilai-nilai kemanusiaan universal ini. Dokumen penting ini dirumuskan sebagai standar pencapaian bersama untuk melindungi hak-hak fundamental yang inheren dan setara bagi semua anggota keluarga manusia. Namun, penekanan pada hak dan otonomi individu inilah yang, ketika diterjemahkan ke dalam sistem politik dan ekonomi modern, secara tak terduga menciptakan dua bentuk keterpisahan: keterpisahan manusia dari alam dan individu dari komunitas.
Evolusi Krisis: Dari Kebebasan ke Dominasi Absolut
Prinsip Antroposentrisme yang melekat pada Humanisme Barat memandang manusia sebagai pusat dan puncak ciptaan. Pandangan ini melegitimasi hak milik mutlak atas sumber daya alam. Secara legal, hal ini melahirkan use oriented-law (hukum berorientasi penggunaan sumber daya), yang mengesampingkan nilai intrinsik alam dan menjadikannya objek yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi manusia. Keterpisahan filosofis ini adalah akar krisis ekologi yang meluas saat ini.
Di sisi sosial, penekanan hiperbolis pada kebebasan dan hak individu telah menyebabkan erosi ikatan komunal. Krisis dunia modern ditandai oleh fragmentasi moral dan etika, di mana nilai-nilai bersama tergerus oleh hiper-individualisme. Ketika rasio dan kebebasan manusia ditempatkan di atas segalanya, tujuan utama bergeser dari kebaikan kolektif menuju kesejahteraan material dan pemenuhan diri yang atomistik.
Post-Humanisme sebagai Kritik dan Logika Akhir Humanisme
Ironisnya, Humanisme Klasik yang mengagungkan potensi tak terbatas manusia telah melahirkan kritiknya sendiri, yaitu Transhumanisme dan Posthumanisme. Transhumanisme adalah gerakan filosofis yang mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan kemampuan fisik, mental, dan psikologis manusia, berupaya melampaui batas-batas biologis. Sementara itu, Posthumanisme adalah konsep filosofis yang lebih spekulatif, mengkaji kondisi “setelah manusia” di mana manusia tidak lagi menjadi spesies dominan atau titik sentral alam semesta.
Dua konsep ini dapat dilihat sebagai konsekuensi logis dari Humanisme. Jika Humanisme mengagungkan penyempurnaan diri dan otonomi tak terbatas, maka peningkatan kemampuan melalui rekayasa genetik dan teknologi lain (Post-human) adalah langkah berikutnya. Humanisme klasik yang gagal mengatasi masalah dominasi, kini berpotensi memperluas dominasi tersebut ke dimensi siber-fisik, yang menyoroti perlunya kerangka etika yang mengikat manusia pada relasi dan tanggung jawab yang lebih luas, melampaui keunggulan individualistiknya.
Table Esensial 1: Perbandingan Fondasi Filosofis Barat dan Timur (Holisme vs. Individualisme)
Dimensi | Humanisme Klasik (Barat) | Kearifan Timur (Umum) |
Titik Pusat | Manusia (Antroposentrisme) | Relasi, Kehidupan (Kosmosentrisme) |
Nilai Utama | Hak Individu, Otonomi, Rasionalitas | Tanggung Jawab, Harmoni, Interkoneksi |
Tujuan Akhir | Kebebasan, Kesejahteraan Material | Pembebasan Diri, Kebaikan Kolektif |
Pilar-Pilar Kearifan Timur: Fondasi Holistik dan Komunal
Kearifan Timur menawarkan landasan filosofis yang sangat berbeda dengan Humanisme Barat, yang secara konsisten berfokus pada Relasionalitas dan Tanggung Jawab Kosmik, memberikan korektif yang diperlukan untuk krisis modern.
Etika Kosmik dan Tatanan (Filsafat India dan Tiongkok)
Filsafat India (Dharma, Karma, Moksha)
Filsafat India berakar pada teks-teks kuno seperti Weda dan Upanishad. Di dalamnya terdapat konsep sentral seperti Atman, yang diyakini sebagai percikan jiwa universal atau bagian dari Brahman (Yang Agung). Inti dari etika India adalah Dharma, yang didefinisikan sebagai kewajiban etis yang mendukung tatanan kosmik. Pemenuhan Dharma, bersama dengan hukum sebab-akibat (Karma), adalah jalur menuju Moksha (pembebasan penderitaan dan kesempurnaan diri). Filosofi ini menekankan pencapaian spiritual melalui keseimbangan dan tanggung jawab, menolak paradigma yang mengutamakan dominasi material.
Konfusianisme: Etika Relasional (Ren, Li)
Konfusianisme, yang didirikan oleh Konfusius (551-479 SM) , adalah sistem etika yang dirancang untuk mencapai keharmonisan sosial. Sistem ini berfokus pada Ren (cinta kasih atau kemurahan hati) dan Li (kesusilaan atau tata krama). Konfusianisme secara langsung mengkritik individualisme dengan menempatkan pribadi atau diri sendiri sebagai pusat dari segala hubungan (wulun atau lima jenis relasi), namun penekanannya bukanlah pada hak pribadi, melainkan pada tanggung jawab individu dalam masyarakat. Sumbangan krusial Konfusianisme adalah visi tentang persatuan dan keharmonisan dunia (tianxia yi jia). Etika kepemimpinan yang didorongnya bertujuan pada kesejahteraan kolektif, meskipun memerlukan adaptasi agar relevan dengan dinamika tata kelola modern seperti transparansi dan akuntabilitas.
Taoisme: Keseimbangan Natural (Dao)
Taoisme berfokus pada keseimbangan alami dan pengembangan diri melalui hidup yang selaras dengan Dao (Jalan). Mengikuti Dao berarti menyesuaikan diri dengan sifat alaminya, yang menghendaki kesederhanaan, menolak kemewahan, dan menjauhi hal-hal yang terlihat semata-mata. Taoisme memberikan kritik mendasar terhadap etos pertumbuhan tak terbatas yang mendominasi Humanisme dan kapitalisme modern. Dengan memandang keberadaan sebagai hutan—yang menawarkan segala arah dan kemungkinan tanpa peduli jalan mana yang diambil—Taoisme mengajarkan bahwa hukum yang sempurna untuk mencapai tatanan hidup adalah dengan tidak menentang alam.
Konsep Kemanusiaan dalam Teologi Islam: Khalifah dan Ummah
Khalifah fil-ardh (Stewardship)
Dalam teologi Islam, manusia diangkat sebagai khalifah fil-ardh (pengelola di bumi). Kedudukan ini tidak memberikan hak milik absolut, melainkan tanggung jawab moral (amanah) untuk memelihara dan mengelola lingkungan hidup demi kemanfaatan bersama. Konsep ini selaras dengan prinsip-prinsip ekoteologi Islam, yang mengintegrasikan tauhid (keesaan), amanah (kepercayaan), mizan (keseimbangan), dan maslahah (kemaslahatan) dalam pengelolaan alam. Tanggung jawab pengelolaan (stewardship) ini secara langsung menantang klaim Humanis tentang dominasi absolut atas alam.
Ummah (Komunitas Kolektif)
Konsep Ummah dalam Islam menawarkan model kohesi sosial untuk mengatasi fragmentasi komunitas modern. Ummah menekankan identitas kolektif yang lebih besar, berfungsi untuk mereduksi ikatan-ikatan yang sempit seperti politik identitas, dan mendorong kemaslahatan umat secara keseluruhan. Konsep ini adalah landasan penting untuk membangun solidaritas yang diperlukan dalam menghadapi tantangan global.
Ubuntu: Interkoneksi Global
Filosofi Ubuntu dari budaya Nguni Bantu di Afrika Selatan memperkuat narasi pan-Timur tentang Relasionalitas. Ubuntu mengajarkan prinsip interkoneksi: martabat individu (recognizing the unique value and dignity of every person) hanya dapat terwujud dalam kerangka komunal. “Saya adalah karena kita adalah” menekankan bahwa keberadaan individu secara fundamental bergantung pada keberadaan komunitas, sebuah prinsip yang sangat kontras dengan hiper-individualisme Humanis Barat.
Menanggapi Krisis Teknologi: Keseimbangan Manusia-Mesin (Society 5.0 dan AI)
Visi peradaban modern terbaru, Society 5.0 (S5.0), di Jepang dirancang sebagai respons terhadap krisis, tetapi keberhasilannya bergantung pada injeksi etika holistik Timur untuk memastikan tujuannya benar-benar berorientasi pada manusia dan inklusif, bukan sekadar Humanisme yang diperkuat secara digital.
Society 5.0: Antara Visi Ideal dan Risiko Etika Digital
Society 5.0 didefinisikan sebagai masyarakat yang human-centered di mana kemajuan ekonomi dan penyelesaian isu sosial dapat kompatibel melalui integrasi sistem siber dan fisik (Cyber-Physical System/CPS) yang tinggi. S5.0 bertujuan menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, tangguh, dan menjamin kesejahteraan individu. Teknologi inti yang mendorongnya meliputi kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan Big Data.
Namun, implementasi teknologi canggih ini menimbulkan dilema moral dan etika yang kompleks, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Tantangan utama mencakup:
- Kesenjangan Digital dan Akses: Akses terhadap teknologi canggih seperti AI dan IoT tidak merata, yang berisiko memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi, menciptakan ketidaksetaraan.
- Privasi dan Bias Algoritmik: Pengumpulan data secara masif menimbulkan kekhawatiran serius tentang privasi dan keamanan data. Lebih lanjut, sistem AI dapat mencerminkan dan memperkuat bias yang sudah ada dalam masyarakat, yang dapat menyebabkan ketidakadilan dalam berbagai bidang, mulai dari perekrutan hingga peradilan.
Jika S5.0 dibangun di atas fondasi yang rentan terhadap bias dan ketidaksetaraan, maka ia hanya akan menjadi alat yang lebih efisien untuk ketidakadilan struktural.
Etika Timur sebagai Pengawas Inklusivitas Digital
Prinsip Ren dari Konfusianisme menawarkan korektif etika yang kuat. Ren mendorong tanggung jawab sosial bagi pengembang teknologi dan penentu kebijakan untuk secara aktif memastikan inklusivitas digital, bukan sekadar mengejar keuntungan pasar. Penerapan prinsip ini akan menuntut pengembangan kerangka kerja etika yang kuat untuk melindungi data pribadi dan memastikan bahwa sistem AI dirancang agar adil dan tidak bias.
Agar Indonesia dapat mencapai S5.0 yang berkelanjutan dan inklusif, strategi nasional harus melampaui investasi infrastruktur semata. Prioritas harus diletakkan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan reformasi kebijakan yang strategis, termasuk perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) dan peningkatan literasi digital.
Kreativitas dan Krisis Kepengarangan (The AI Authorship Debate)
Revolusi AI telah memicu krisis filosofis mengenai kepengarangan, terutama dalam industri kreatif seperti musik. Algoritma deep learning menggunakan neural networks (seperti Long Short-Term Memory/LSTM) untuk mempelajari pola dan struktur musik, memungkinkan AI menghasilkan melodi, harmoni, dan ritme secara instan. Dengan kemampuan ini, nilai pasar AI generatif dalam musik diproyeksikan melonjak.
Kehadiran musik yang diciptakan AI dengan biaya produksi rendah menimbulkan ancaman serius terhadap musisi manusia, yang berisiko kehilangan penghargaan berupa royalti, hanya karena pasar cenderung memilih musik instan yang lebih murah. Secara hukum, baik Indonesia (UU Hak Cipta No. 28/2014) maupun Amerika Serikat, belum mengakui AI sebagai pencipta. Perlindungan hak cipta hanya diberikan jika terdapat kontribusi manusia yang signifikan dalam proses kreasi.
Perdebatan ini mencerminkan Humanisme yang secara mendasar memuja otoritas kepengarangan individu. Kearifan Timur, dengan penekanannya pada kolektivitas dan pewarisan pengetahuan (seperti tradisi lisan ), menawarkan perspektif yang berbeda.
Model kolaboratif yang dikembangkan oleh seniman seperti Holly Herndon dan Mat Dryhurst menawarkan jalan keluar yang sejalan dengan nilai kolektivitas Timur. Mereka menggunakan AI (Holly+) sebagai instrumen komunikasi dan koordinasi, mirip dengan paduan suara, di mana banyak suara individu menjadi kolektif. Mereka mengembangkan sistem Data Trust yang memungkinkan distribusi kekuasaan antara kontributor data pelatihan dan pengguna model. Model ini menunjukkan bahwa masa depan kreativitas digital mungkin akan lebih komunal dan distributif, mengadopsi struktur sosial yang merefleksikan prinsip relasional Timur.
Table Esensial 2: Orientasi Revolusi Industri dan Society 5.0 dari Perspektif Timur
Konsep Era | Fokus Utama | Kritis dari Perspektif Timur (Dao/Ren) | Korektif Etika Timur |
Industri 4.0 | Efisiensi & Kecepatan | Mendorong eksploitasi dan rasionalitas instrumental (Profit-centric) | Keseimbangan (Mizan/Dao) untuk keberlanjutan ekologis. |
Society 5.0 | Manusia-Sentris & Solusi Sosial | Berisiko menjadi Humanism 2.0 yang mengabaikan ekologi dan memperparah kesenjangan | Ren (Relasionalitas) untuk memastikan inklusivitas dan keadilan sosial. |
Visi Holistik | Harmoni Kosmik dan Tanggung Jawab | Integrasi teknologi melayani keseimbangan alam dan komunitas (Life-Centered Society). | Khalifah (Stewardship) sebagai pemandu penggunaan teknologi. |
Menanggapi Krisis Ekologi: Dari Dominasi Menjadi Perawatan (Stewardship)
Krisis ekologi global, termasuk pemanasan global dan hilangnya keanekaragaman hayati , membutuhkan pergeseran paradigma dari Antroposentrisme menuju etika kosmosentris. Kearifan Timur menyediakan dasar filosofis untuk pergeseran ini.
Kontras Paradigma: Antroposentrisme vs. Ekosentrisme
Antroposentrisme Humanis telah termanifestasi dalam kebijakan hukum yang melegitimasi hak milik mutlak atas tanah dan sumber daya alam. Kerangka pikir ini secara langsung berkontribusi pada kehancuran lingkungan, seperti deforestasi dan eksploitasi lahan yang menyebabkan konflik sosial dan mengesampingkan hak-hak masyarakat adat.
Sebagai kontras, pandangan Pribumi Amerika didasarkan pada paradigma ekologi yang menempatkan interaksi manusia dan alam pada dasar saling pengertian, rasa hormat, dan kesetaraan. Mereka percaya bahwa semua makhluk di alam memiliki jiwa, sama seperti manusia, dan bahwa keberlanjutan manusia bergantung pada keutuhan lingkungan alam. Oleh karena itu, manusia harus menjaga kesehatan alam untuk menopang kehidupannya.
Kearifan Lokal Indonesia sebagai Solusi Adaptif
Masyarakat adat dan komunitas lokal di Indonesia telah lama membuktikan efektivitas Pengetahuan Tradisional mereka dalam mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Praktik-praktik konservasi berbasis komunitas yang dikenal sebagai Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs) telah melindungi ratusan ribu hektar wilayah ekosistem daratan dan pesisir.
Masyarakat lokal memiliki kapabilitas pengetahuan ekologis yang kuat dan daya tangguh adaptif terhadap perubahan alam yang diwariskan secara turun-temurun. Praktik-praktik ini seringkali tertanam dalam nilai-nilai budaya dan spiritual. Misalnya, penggunaan bahan-bahan alami untuk ritual (seperti daun pisang atau daun jati) adalah contoh yang harus diadaptasi, sebagai koreksi terhadap kepraktisan teknologi modern (seperti penggunaan plastik) yang justru mencemari lingkungan.
Konsep Khalifah menawarkan kerangka teologis yang dapat mengisi kekosongan moral yang ditinggalkan oleh Humanisme sekuler. Penekanan pada mizan (keseimbangan) memberikan mandat etis yang tegas bahwa pengelolaan alam harus dilakukan dengan tanggung jawab, memastikan bahwa kemajuan tidak dilakukan dengan merusak lingkungan.
Solusi Komunal dan Etika Kolektif: Membangun Kembali Komunitas yang Terfragmentasi
Krisis modern tidak hanya bersifat ekologis dan digital, tetapi juga internal dan sosial. Kearifan Timur menawarkan solusi untuk mengatasi hiper-individualisme dan membangun kembali komunitas yang kohesif.
Mengatasi Krisis Mental dan Sosial-Kolektif
Kecepatan dan tekanan hidup modern telah memicu peningkatan stres, kecemasan, dan depresi. Dalam konteks ini, praktik Timur seperti meditasi Zen dan Mindfulness (kesadaran penuh) telah diadopsi secara luas dalam program manajemen stres dan pendidikan. Teknik-teknik ini bertujuan membantu individu mengatasi tekanan internal, mengelola emosi secara efektif, dan meningkatkan kesejahteraan mental dengan berfokus pada pengakuan diri dan non-attachment.
Di tingkat sosial, konsep-konsep relasional seperti Ren dan Ummah memberikan panduan etis untuk kohesi. Ren menekankan bahwa martabat individu paling bermakna dalam konteks jaringan tanggung jawab sosial , sementara Ummah menyediakan struktur untuk identitas kolektif yang kuat, mengatasi krisis komunitas yang terfragmentasi. Filosofi Ubuntu memperkuat pandangan ini, menegaskan bahwa individu hanya dapat menemukan makna melalui interdependensi komunal.
Kritik Bernuansa: Dualitas Adat dan Ketidaksetaraan Gender di Sumatera
Penting untuk dicatat bahwa kearifan lokal, meskipun menawarkan solusi ekologis yang unggul, juga memiliki dualitas dan kontradiksi internal yang harus diatasi. Analisis kasus di Sumatera Barat menunjukkan bahwa meskipun perempuan adat (seperti di Mentawai dan Tano Batak) diakui sebagai pondasi utama pembangunan berkelanjutan, penjaga nilai budaya, dan pengelola pengetahuan tradisional (misalnya, pengobatan tradisional, menenun) , mereka menghadapi kerentanan struktural yang tinggi.
Perempuan adat di Kepulauan Mentawai dan Sumatera Barat secara umum sangat rentan terhadap kekerasan berbasis gender (KDRT) akibat dominasi patriarki, kemiskinan, dan ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan dan kapasitas. Data menunjukkan bahwa mayoritas perempuan kepala keluarga di Mentawai masih berusia muda dan memiliki penghasilan di bawah satu juta rupiah per bulan, yang memperbesar peluang kemiskinan dan kerentanan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Humanisme Klasik (melalui prinsip universal Hak Asasi Manusia dan kesetaraan gender) diperlukan sebagai alat kritik internal untuk “memurnikan” kearifan lokal dari bias yang melemahkan keberlanjutan sosial. Perjuangan tokoh emansipasi perempuan dari Sumatera Barat, Rasuna Said, yang berpendapat bahwa perempuan harus memiliki peran setara dalam pendidikan dan politik , adalah contoh upaya reformasi internal yang krusial.
Integrasi Hukum Universal dalam Reformasi Adat
Untuk memastikan keadilan internal, kearifan lokal harus beradaptasi dengan prinsip universal keadilan. Dalam kasus hukum waris adat, di mana pembagian warisan adat mungkin dirasa kurang adil bagi perempuan (misalnya kasus di adat Batak), dianjurkan untuk memanfaatkan hukum nasional untuk melindungi hak istri, seperti hak atas harta gono-gini. Sintesis antara kearifan relasional Timur dan prinsip universal Barat yang fokus pada hak yang adil adalah prasyarat bagi kredibilitas solusi holistik global.
Table Esensial 3: Tantangan dan Reformasi Etika Sosial Adat
Aspek Adat | Kekuatan Positif (Kearifan Kosmosentris) | Kerentanan/Kontradiksi (Krisis Sosial-Internal) | Solusi Reformasi (Etika Universal) |
Ekologi | Menjaga keanekaragaman hayati (ICCAs) | Konfrontasi dengan eksploitasi korporasi | Perlindungan Hukum dan Pengakuan Hak Adat. |
Perempuan/Gender | Penjaga Nilai Budaya dan SDA | Patriarki, KDRT, dan kerentanan ekonomi | Integrasi prinsip kesetaraan gender dan pendidikan (Model Rasuna Said). |
Rekomendasi Strategis dan Sintesis: Menuju Peradaban Holistik Global
Kearifan Timur, yang berpusat pada relasionalitas dan tanggung jawab kosmik, menawarkan korektif yang esensial terhadap keterpisahan dan dominasi yang dihasilkan oleh Humanisme Antroposentris. Sintesis dari pilar-pilar ini harus memandu kebijakan global dan nasional.
Pergeseran Paradigma: Dari Human-Centric ke Life-Centric
Rekomendasi strategis yang paling mendasar adalah perubahan paradigma global dari fokus Human-Centric (Antroposentris) ke etika Life-Centric (Kosmosentris). Ekonomi dan kebijakan harus dipandu oleh prinsip Dao (keseimbangan) dan konsep Khalifah (tanggung jawab pengelolaan).
Penerapan Society 5.0 harus direkontekstualisasi di Indonesia. Alih-alih hanya mengejar efisiensi ekonomi yang didorong oleh Industri 4.0, S5.0 harus diukur berdasarkan peningkatan kesejahteraan kolektif, pengurangan kesenjangan digital, dan dampak lingkungan yang positif. Hal ini memerlukan pergeseran nilai dalam pengembangan teknologi, di mana tujuan utamanya adalah melayani keseimbangan alam dan komunitas.
Tata Kelola Teknologi yang Beretika Kolektif
Untuk menghadapi tantangan AI dan digital, diperlukan tata kelola yang menerapkan etika kolektif Timur:
- Regulasi Bias AI Berbasis Ren: Pemerintah dan pengembang harus menerapkan kerangka kerja etika yang didasarkan pada prinsip Ren Konfusianisme untuk secara aktif melawan bias algoritmik dan menjamin bahwa akses terhadap teknologi adalah adil dan transparan. Tanggung jawab etis ini harus diintegrasikan ke dalam desain sistem sejak awal.
- Model Kepengarangan Komunal: Kebijakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus diperluas untuk mengakui dan melindungi model kreasi yang bersifat kolektif dan distributif, seperti model Data Trust yang digunakan Holly Herndon. Hal ini mengoreksi pandangan Humanis yang sempit tentang kepengarangan individu, yang tidak lagi relevan dalam era AI generatif.
Kebijakan Berbasis Bio-Cultural Diversity
Krisis ekologi harus diatasi dengan mengakui peran fundamental masyarakat adat:
- Penguatan Hak Adat: Pemerintah harus memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang tak tergoyahkan atas ICCAs dan Pengetahuan Tradisional masyarakat adat. Pengelolaan sumber daya alam harus diprioritaskan pada etika ekologis yang telah terbukti adaptif dan tangguh selama ratusan tahun.
- Mandat Reformasi Internal: Pengakuan terhadap kearifan lokal harus disertai dengan mandat kebijakan yang mendorong reformasi internal dalam struktur adat untuk menjamin hak-hak dan kapasitas perempuan adat, mengambil pelajaran dari perjuangan emansipasi seperti yang dipelopori oleh Rasuna Said. Ini memastikan bahwa kearifan lokal adalah sumber kekuatan yang adil dan berkelanjutan bagi semua anggotanya.
Kesimpulan Akhir: Merekonstruksi Mizan Global
Kearifan Timur bukanlah substitusi total bagi kemajuan modern, melainkan sebuah korektif esensial. Dengan mengadopsi prinsip mizan (keseimbangan), dunia modern dapat menjembatani jurang yang diciptakan oleh Humanisme Antroposentris—jurang antara manusia dan alam, dan antara individu dan komunitas. Sintesis antara teknologi maju (Society 5.0) dan etika holistik (Dharma, Khalifah, Ren) akan mengarahkan peradaban global menuju masa depan yang sejati, di mana kemajuan tidak hanya diukur dari efisiensi dan pertumbuhan, tetapi dari keadilan, keharmonisan, dan keberlanjutan.