Kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah adalah salah satu peristiwa geopolitik paling signifikan dalam sejarah modern, yang secara fundamental membentuk peta politik di Eropa Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Proses ini bukanlah kehancuran tiba-tiba, melainkan kemunduran bertahap multi-abad yang disebabkan oleh interaksi kompleks antara kelemahan struktural internal dan tekanan imperialistik eksternal, yang berpuncak pada keterlibatan fatal dalam Perang Dunia I.

Periode kemunduran ini dapat dianalisis secara efektif dengan membandingkan masa kejayaannya pada abad ke-16 M—ketika Kesultanan memproyeksikan kekuatan mutlak—dengan statusnya yang terkorosi kedaulatannya pada abad ke-20.

Latar Belakang dan Periodisasi “Kejatuhan”

Secara tradisional, akhir Kesultanan Utsmaniyah ditandai dengan pembubaran kekhalifahan pada tahun 1924. Namun, para analis sepakat bahwa proses “kejatuhan” atau kemunduran (stagnasi) dimulai jauh lebih awal, khususnya setelah berakhirnya masa keemasan pemerintahan Sultan Sulaiman I (Sulaiman Agung) pada pertengahan abad ke-16. Analisis komprehensif atas kejatuhan Utsmaniyah harus menggunakan puncak kekuatannya sebagai tolok ukur untuk mengukur erosi institusional, militer, dan geopolitik yang terjadi kemudian.

Kontras Sejarah: Puncak Kekuatan Maritim (Abad ke-16 M)

Pada masa puncak kekuasaan, Kesultanan Utsmaniyah mendominasi Mediterania, dan simbol paling nyata dari supremasi ini adalah Laksamana Khairuddin Barbarossa (nama aslinya Hızır Reis). Barbarossa, yang berasal dari Lesbos , memulai karier awalnya sebagai corsair (privateer) bersama kakaknya, Oruç Reis (Baba Oruç). Kemenangan angkatan laut yang diraih Barbarossa memastikan dominasi Utsmaniyah di Mediterania sepanjang pertengahan abad ke-16.

Pandangan mengenai gerakan Barbarossa sendiri mencerminkan kontradiksi geopolitik pada masa itu. Pandangan Barat, terutama Eropa, sering mengeklaim gerakan mereka sebagai tindakan bajak laut (piracy) karena aksi balas dendam dan penjarahan kapal-kapal Eropa. Sebaliknya, pandangan Islam memandang perjuangan Khairuddin sebagai jihad bahari, serangkaian serangan yang sah yang dilakukan Muslim untuk melawan penindasan dan penjarahan yang dilakukan oleh Kristen Spanyol. Pandangan Islam ini didasarkan pada aliansi resmi yang dilakukan Barbarossa dengan Kesultanan Utsmaniyah, yang memberinya wewenang resmi dari pemerintah Sultan Salim I.

Kekuatan Utsmaniyah pada masa ini mencapai klimaksnya dalam Pertempuran Preveza pada tahun 1538 melawan Armada Liga Suci Eropa, yang dipimpin oleh Andrea Doria. Meskipun Pertempuran Preveza sering digambarkan sebagai “kemenangan nominal” karena sedikitnya pertempuran aktual yang terjadi (Doria memutuskan untuk mundur sebelum pertarungan besar) , pertempuran ini memiliki signifikansi strategis yang sangat besar. Kegagalan armada Kristen untuk mengalahkan angkatan laut Utsmaniyah, ditambah dengan disfungsi dan ketidakpercayaan di antara anggota Liga Suci (terutama antara Venesia dan Doria), meyakinkan Venesia bahwa armada Utsmaniyah terlalu tangguh untuk dikalahkan dengan mudah.

Dampak langsungnya adalah Venesia, yang ketakutan akan serangan Utsmaniyah lebih lanjut, mencari perdamaian dan menandatangani perjanjian yang sangat memalukan dengan Sultan Süleyman I pada tahun 1539, dan secara resmi meninggalkan Liga Suci pada tahun 1540. Di bawah perjanjian ini, Venesia melepaskan wilayah-wilayah strategis di Laut Aegea, menyerahkan Castelnuovo, dan setuju untuk membayar ganti rugi perang sebesar 300.000 ducats. Kejadian ini menggarisbawahi supremasi laut Utsmaniyah selama tiga puluh tahun berikutnya.

Erosi Kedaulatan sebagai Tema Sentral

Kemampuan Kesultanan pada tahun 1540 untuk memproyeksikan kekuatan militer secara eksternal dan memaksa salah satu kekuatan maritim terbesar Eropa (Venesia) untuk menyerahkan wilayah dan membayar ganti rugi finansial yang besar merupakan indikator kedaulatan yang tak tertandingi. Kondisi ini sangat kontras dengan abad-abad berikutnya. Titik kritis dalam sejarah Utsmaniyah adalah perbandingan antara kekuatan yang mampu mendikte syarat-syarat damai secara global, dan entitas yang dipaksa pada tahun 1881 untuk menyerahkan kontrol atas penerimaan pajak internal dan sumber daya domestik kepada kreditor asing. Perbedaan yang dramatis ini menegaskan bahwa kejatuhan Kekaisaran bukan sekadar kerugian militer, tetapi hilangnya kedaulatan finansial yang merupakan fungsi dasar sebuah negara.

Stagnasi Institusional dan Pergeseran Kekuatan Global (Abad ke-17 hingga Pertengahan Abad ke-18)

Meskipun Utsmaniyah menikmati puncak kejayaan militer di abad ke-16, kelemahan struktural internal mulai terlihat pada abad ke-17. Kegagalan untuk beradaptasi dengan perubahan administrasi dan teknologi di Eropa menjadi katalisator bagi kemunduran yang berlarut-larut.

Kelemahan Struktural Internal

Salah satu masalah utama adalah manajemen suksesi kekuasaan. Pengenalan sistem ‘Kafes’ (kurungan) bagi para pangeran Utsmaniyah—dimana calon pewaris takhta diisolasi dari dunia luar—secara drastis mengurangi pengalaman dan kemampuan calon Sultan. Hal ini sering menghasilkan pemimpin yang lemah atau tidak cakap setelah naik takhta, yang pada gilirannya berimplikasi pada inefisiensi administrasi, memburuknya perekonomian, dan rusaknya sendi kehidupan sosial.

Di samping itu, Korps Yanisari, yang dulunya adalah pasukan elite Utsmaniyah yang paling disiplin, mengalami kemerosotan moral dan militer. Yanisari berubah menjadi kekuatan politik yang korup dan resisten terhadap segala bentuk reformasi militer yang dapat mengancam status dan hak istimewa mereka. Penolakan reformasi ini menghambat adaptasi Utsmaniyah terhadap taktik dan teknologi militer Eropa yang terus berkembang, mempercepat jurang pemisah teknologi antara Timur dan Barat.

Penetrasi Ekonomi Awal: Sistem Kapitulations

Kegagalan untuk melakukan reformasi institusional kritis, meskipun Kesultanan memiliki kemampuan logistik dan militer yang terbukti (seperti kemampuan armada Barbarossa untuk beroperasi di Mediterania dan bahkan berhibernasi di Toulon, Prancis, pada musim dingin 1543–1544 ), menciptakan paradoks keterbelakangan. Rasa superioritas yang berakar dari keberhasilan masa lalu menumbuhkan keengganan untuk mengadopsi kemajuan administratif dan teknologi Eropa.

Keterbelakangan ini membuat Kesultanan semakin bergantung pada perjanjian yang merugikan, terutama sistem Kapitulations. Kapitulations pada dasarnya adalah perjanjian komersial yang awalnya diberikan oleh Sultan sebagai tanda persahabatan diplomatik. Namun, seiring waktu, perjanjian ini memberikan hak istimewa ekstrateritorial yang luas—seperti pembebasan pajak dan yurisdiksi hukum khusus—kepada pedagang dan warga negara Eropa serta minoritas non-Muslim.

Dampak jangka panjang Kapitulations sangat merusak. Sistem ini mengikis kontrol Utsmaniyah atas perdagangan dan secara bertahap menundukkan perekonomian domestik pada kepentingan modal asing. Erosi kedaulatan ekonomi ini menjadi landasan kritis bagi subordinasi finansial yang akan diformalkan pada abad ke-19, ketika Utsmaniyah secara resmi tidak lagi mampu mengelola keuangannya sendiri.

Krisis Utang dan Subordinasi Keuangan (Abad Ke-19)

Abad ke-19 ditandai oleh upaya putus asa untuk modernisasi, yang ironisnya, justru membawa Kesultanan ke jurang kehancuran finansial dan status politik sebagai subordinat Eropa.

Dari Reformasi Tanzimat ke Julukan “Orang Sakit Eropa”

Upaya modernisasi besar-besaran pada pertengahan abad ke-19, yang dikenal sebagai Reformasi Tanzimat, menelan biaya yang luar biasa. Karena ketidakmampuan untuk membiayai reformasi ini melalui sistem pajak internal yang tidak efisien—sebuah kegagalan negara dalam fungsi dasarnya—Kesultanan mulai meminjam secara agresif dari bank-bank Eropa. Pinjaman yang tidak berkelanjutan ini, terutama yang digunakan untuk pengeluaran militer dan infrastruktur yang tidak menghasilkan pendapatan cepat, membebani kas negara.

Pada tahun 1875, beban utang yang melumpuhkan memaksa Kesultanan Utsmaniyah mendeklarasikan kebangkrutan. Kegagalan finansial ini memicu intervensi langsung Eropa, yang secara formal menegaskan pelemahan geopolitik Kekaisaran. Pada tahun 1914, Kesultanan Utsmaniyah secara umum dikenal sebagai ‘the sick man of Europe‘ (Orang Sakit Eropa), sebuah julukan yang mencerminkan bahwa kekuatan besar ini telah runtuh dan hanya sisa-sisa kecil wilayah di luar Anatolia yang tersisa di tangan Utsmaniyah.

Mekanisme Kontrol Asing: Administrasi Utang Publik Ottoman (OPDA)

Intervensi finansial Eropa diformalkan dengan pendirian Administrasi Utang Publik Ottoman (OPDA), atau Düyun-u Umumiye-i Osmaniye Varidat-ı Muhassasa İdaresi, pada tahun 1881. Organisasi yang dikendalikan Eropa ini didirikan untuk mengumpulkan pembayaran utang yang harus dibayar Kesultanan kepada perusahaan-perusahaan Eropa.

Pendirian OPDA merupakan titik balik paling krusial dalam kejatuhan Utsmaniyah sebelum Perang Dunia I. Ini bukan sekadar perjanjian utang, tetapi penyerahan kedaulatan fiskal secara de jure. OPDA berkembang menjadi birokrasi yang luas dan secara esensial independen yang beroperasi di dalam birokrasi Utsmaniyah, dijalankan oleh dewan yang didominasi oleh perwakilan kreditor asing.

Struktur kontrol OPDA sangat mencengangkan dan menegaskan subordinasi total negara Utsmaniyah:

Struktur dan Mekanisme Kontrol Administrasi Utang Publik Ottoman (OPDA)

Aspek Kontrol OPDA Detail Mekanisme dan Data Dampak pada Otonomi Utsmaniyah
Struktur Tata Kelola Dewan didominasi perwakilan kreditor asing (Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Italia, Belanda, dan hanya satu wakil Utsmaniyah) Kedaulatan fiskal berada di luar yurisdiksi pemerintah Sultan.
Cakupan Birokrasi Mempekerjakan hingga 9.000 pejabat pada puncaknya, melebihi Kementerian Keuangan Kekaisaran. Menciptakan birokrasi paralel yang berfungsi sebagai negara di dalam negara.
Sumber Pendapatan Dialihkan Monopoli atas garam dan tembakau; pajak atas stempel, alkohol, perikanan, sutra, bea cukai. Pengalihan sumber pendapatan paling stabil di wilayah vital, termasuk Istanbul.
Peran Ekonomi Intermediasi dengan perusahaan Eropa untuk investasi (pembiayaan proyek rel kereta api). Memperkuat keterikatan Utsmaniyah pada modal asing dan kepentingan imperial.

Pendirian OPDA mengubah Kesultanan menjadi koloni finansial, yang secara de facto terbagi menjadi dua: Pemerintah Sultan yang lemah dan birokrasi OPDA yang kuat dan asing yang menguasai sebagian besar sumber pendapatan vital. Sumber-sumber yang dialihkan mencakup monopoli atas garam dan tembakau, serta pajak atas alkohol, stempel, perikanan, sutra, dan bea cukai, termasuk di wilayah paling penting, Istanbul. OPDA tidak hanya mengumpulkan utang tetapi juga bertindak sebagai perantara untuk investasi Eropa, seperti pembiayaan proyek kereta api, yang semakin mengintegrasikan ekonomi Utsmaniyah ke dalam sistem kapitalis Eropa yang dominan. Penyerahan kedaulatan fiskal ini secara fundamental meruntuhkan legitimasi dan kapasitas negara Utsmaniyah.

Gejolak Politik dan Kejatuhan Regional (1900–1913)

Setelah subordinasi finansial dilembagakan melalui OPDA, instabilitas politik internal dan kekalahan militer regional di awal abad ke-20 mempercepat keruntuhan final.

Revolusi Turki Muda dan Instabilitas Politik

Menghadapi rezim Sultan Abdul Hamid II yang dianggap otokratis dan lemah, ketidakstabilan di Rumelia (Eropa) dan Perjuangan Makedonia memicu Revolusi Turki Muda pada Juli 1908. Para revolusioner yang tergabung dalam Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP/Ittihad ve Terakki) berhasil memaksa Sultan untuk memulihkan Konstitusi dan memanggil kembali Parlemen, yang menandai dimulainya Era Konstitusional Kedua.

Meskipun bertujuan untuk menyelamatkan Kekaisaran melalui reformasi, CUP gagal dalam pemerintahannya. Alih-alih membawa stabilitas, faksi-faksi dalam CUP berubah menjadi kekuatan yang “tiran di bawah kedok reformasi”. Pada tahun 1913, CUP mengambil kendali penuh melalui kediktatoran Unionis. Meskipun Kesultanan Utsmaniyah secara formal tetap ada, kekuasaan negara telah beralih sepenuhnya dari monarki Sultan kepada para pemimpin CUP. Kegagalan modernisasi politik ini membuka jalan bagi para pemimpin militer yang ambisius, seperti Triumvirat Pasha (Enver, Talat, dan Cemal), untuk mengambil risiko geopolitik yang besar.

Bencana Militer: Perang Balkan (1912–1913)

Kegagalan untuk mengelola tuntutan nasionalis internal dan eksternal mencapai klimaksnya dalam Perang Balkan (1912–1913). Perang ini dipicu oleh dendam regional, ambisi nasionalis, dorongan dari kekuatan besar seperti Rusia, dan kemunduran Utsmaniyah yang jelas terlihat setelah kekalahan dalam Perang Turki-Italia (1911–1912).

Perang Balkan menjadi bencana militer total bagi Kekaisaran Utsmaniyah. Dalam waktu singkat, Kekaisaran kehilangan hampir seluruh wilayahnya di Eropa Tenggara, termasuk wilayah vital seperti Salonika. Kerugian teritorial yang masif ini diikuti oleh malapetaka kemanusiaan, di mana gelombang besar pengungsi Muslim dari Balkan harus mencari perlindungan di wilayah Utsmaniyah yang tersisa. Kegagalan militer dan kehilangan wilayah yang signifikan ini membuktikan bahwa reformasi politik pasca-1908 datang terlalu terlambat dan bahwa krisis keuangan (OPDA) telah membatasi sumber daya yang diperlukan untuk mempertahankan kemampuan militer.

Kronologi Krisis Utama dan Erosi Kedaulatan Utsmaniyah

Tahun Peristiwa Kunci Implikasi Terhadap Kedaulatan Utsmaniyah
1881 Pendirian OPDA Subordinasi finansial total; birokrasi negara dikendalikan kreditor Eropa, hilangnya kedaulatan fiskal.
1908 Revolusi Turki Muda Akhir monarki absolut, awal pemerintahan CUP yang tidak stabil dan berisiko.
1912-1913 Perang Balkan I & II Kehilangan hampir seluruh wilayah di Eropa Tenggara; malapetaka kemanusiaan dan demonstrasi kelemahan militer.
1914 Masuknya Utsmaniyah ke WWI Keputusan fatal yang menghancurkan Kekaisaran.
1918 Gencatan Senjata Mudros Pengakuan kekalahan; pendudukan strategis dimulai oleh Sekutu.
1920 Perjanjian Sèvres Pembagian formal wilayah Utsmaniyah, memicu gerakan perlawanan nasionalis.
1924 Penghapusan Kekhalifahan Akhir institusi Utsmaniyah dan munculnya Republik Turki.

Perang Dunia I: Keputusan Fatal dan Kehancuran Militer

Kelemahan internal yang kronis dan subordinasi ekonomi yang dilembagakan oleh OPDA membuat Kesultanan Utsmaniyah rentan terhadap manuver geopolitik ekstrem di ambang Perang Dunia I.

Keputusan Bergabung dengan Blok Sentral

Keputusan untuk memasuki Perang Dunia I di pihak Blok Sentral (Jerman dan Austria-Hungaria) pada tahun 1914 adalah pertaruhan yang didorong oleh faksi pro-Jerman dalam CUP, terutama Menteri Perang, Enver Pasha. Peran kapal penjelajah Jerman, Goeben dan Breslau, dalam peristiwa ini sangat menentukan. Kapal-kapal ini berhasil melarikan diri dari kejaran kapal-kapal Sekutu di Laut Mediterania dan tiba di Dardanella. Kedatangan mereka berkontribusi signifikan terhadap keputusan Utsmaniyah untuk bergabung dengan Blok Sentral. Peristiwa ini segera mengubah perang regional menjadi kehancuran global bagi Kesultanan.

Dampak Militer Perang Dunia I

Keterlibatan dalam Perang Dunia I memaksa Utsmaniyah membuka front-front baru yang sangat menguras sumber daya (seperti Kaukasus, Sinai, Mesopotamia, dan Gallipoli). Meskipun berhasil meraih beberapa kemenangan defensif yang terkenal (seperti di Gallipoli), Kekaisaran tidak memiliki kapasitas industri atau finansial untuk mempertahankan perang modern jangka panjang. Sumber daya finansial negara telah dikendalikan oleh OPDA, dan basis industri militernya jauh tertinggal dari kekuatan Eropa.

Kelemahan mendasar ini, yang berakar dari krisis struktural dan finansial, adalah prasyarat yang membuat Perang Dunia I menjadi fatal. Tanpa subordinasi ekonomi dan kerugian teritorial yang ditimbulkan oleh nasionalisme Balkan , dampak perang mungkin tidak akan seburuk itu.

Akhir Militer: Gencatan Senjata Mudros (1918)

Kekalahan di berbagai front memaksa pemerintah Utsmaniyah yang lemah untuk menandatangani Gencatan Senjata Mudros pada 31 Oktober 1918. Perjanjian ini, yang ditandatangani dengan delegasi Sekutu (Inggris) di atas kapal HMS Agamemnon, secara formal mengakhiri partisipasi militer Utsmaniyah dalam Perang Dunia I.

Gencatan Senjata Mudros memberikan hak kepada Sekutu untuk menduduki titik-titik strategis Kekaisaran, termasuk Selat dan Konstantinopel. Hal ini menandai akhir dari kekuasaan efektif Kekaisaran Utsmaniyah dan awal dari periode pendudukan dan pembagian wilayah.

Pembubaran Geopolitik dan Lahirnya Republik

Setelah Gencatan Senjata Mudros, sisa-sisa Kekaisaran Utsmaniyah menjadi subjek pemusnahan formal oleh kekuatan pemenang, yang telah merencanakan pembagian wilayah jauh sebelum perang berakhir.

Pembagian Wilayah oleh Kekuatan Asing

Pembagian wilayah Utsmaniyah sebagian besar didasarkan pada dua perjanjian kunci. Pertama, Perjanjian Rahasia Sykes-Picot (1916) antara Inggris dan Prancis merencanakan pembagian wilayah Arab Utsmaniyah. Perjanjian ini membagi wilayah Levant dan Mesopotamia menjadi zona pengaruh dan kontrol langsung tanpa mempertimbangkan keragaman etnis dan agama. Hal ini secara langsung menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakstabilan, karena masyarakat lokal berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan dan otoritas atas wilayah mereka sendiri, yang hingga kini dampaknya masih terasa di Timur Tengah. Perjanjian Sykes-Picot berfungsi sebagai representasi kolonialisme Eropa dan intervensi asing yang memaksakan batas-batas buatan, yang secara efektif menjadi warisan paling beracun dari kejatuhan Utsmaniyah.

Kedua, Perjanjian Sèvres, yang ditandatangani pada tahun 1920, secara formal menghancurkan Kekaisaran Utsmaniyah, membiarkan Sultan hanya menguasai sebagian kecil Anatolia. Perjanjian ini memicu reaksi dan resistensi masif dari Golongan Nasionalis Turki, yang menolak pembagian negara mereka.

Gerakan Nasionalis dan Penghapusan Institusi Utsmaniyah

Perjanjian Sèvres menjadi titik balik bagi gerakan resistensi yang dipimpin oleh Mustafa Kemal (Atatürk). Golongan Nasionalis Turki membentuk pemerintah tandingan di Ankara dan berhasil memenangkan persaingan melawan pemerintah Sultan di Istanbul, yang dianggap tunduk pada Sekutu.

Setelah kemenangan gerakan kemerdekaan, institusi Utsmaniyah secara cepat dibongkar untuk memberi jalan bagi negara bangsa Turki yang baru. Kesultanan Utsmaniyah secara resmi dibubarkan pada tahun 1922, mengakhiri garis keturunan politik yang telah berkuasa selama lebih dari enam abad.

Langkah akhir dalam pembubaran total struktur politik dan agama Utsmaniyah terjadi pada 3 Maret 1924, ketika institusi kekhalifahan dihapus secara formal oleh Majelis Agung Nasional Turki. Penghapusan ini menandai titik akhir Kesultanan Utsmaniyah sebagai entitas politik dan agama global.

Kesimpulan

Kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah adalah peristiwa kausalitas kompleks yang tidak dapat diatribusikan pada satu faktor tunggal. Analisis historis menunjukkan bahwa keruntuhan adalah hasil dari sinergi empat faktor kunci yang beroperasi pada periode waktu yang berbeda:

  1. Kegagalan Struktural Internal (Jangka Panjang): Dimulai dari stagnasi institusional, kelemahan suksesi (sistem Kafes), dan kemerosotan Yanisari, yang menyebabkan Kesultanan gagal mengimbangi kemajuan administrasi, militer, dan teknologi Eropa.
  2. Ketergantungan dan Subordinasi Ekonomi Formal (Jangka Menengah): Kebangkrutan 1875 dan pendirian Administrasi Utang Publik Ottoman (OPDA) pada 1881. Ini adalah nasionalisasi utang oleh kekuatan asing yang secara efektif merampas kedaulatan fiskal Utsmaniyah, menjadikannya ‘Orang Sakit Eropa’ yang tidak dapat membiayai pertahanannya sendiri.
  3. Kebangkitan Nasionalisme Regional dan Politik Unionis yang Tidak Stabil (Jangka Pendek): Kegagalan mengelola tuntutan nasionalis, yang berpuncak pada Perang Balkan (1912–1913), menghilangkan hampir semua wilayah Utsmaniyah di Eropa. Kepemimpinan Unionis (CUP) pasca-1908 terbukti ambisius tetapi tidak stabil dan gagal dalam manajemen krisis.
  4. Keputusan Fatal untuk Memasuki Perang Dunia I: Dipicu oleh kapal Jerman Goeben dan Breslau , keputusan ini menjerumuskan Kekaisaran yang sudah lemah secara finansial ke dalam konflik global yang menguras sumber daya hingga Gencatan Senjata Mudros (1918).

Kejatuhan Utsmaniyah bukan hanya mengakhiri sebuah dinasti, tetapi juga merombak total geopolitik Eurasia. Pembagian paksa wilayah Utsmaniyah melalui perjanjian seperti Sykes-Picot dan Sèvres memaksakan batas-batas negara bangsa di Timur Tengah, yang terlepas dari realitas etnis dan agama. Warisan dari kejatuhan Kesultanan dan pembagian kolonial ini terus menjadi sumber utama konflik dan ketidakstabilan di wilayah tersebut hingga hari ini. Sementara itu, Republik Turki muncul sebagai negara penerus yang berjuang untuk mendefinisikan identitasnya pasca-kekhalifahan, menutup babak sejarah Kesultanan yang berkuasa selama enam abad.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

60 − 53 =
Powered by MathCaptcha