Krisis iklim global merupakan tantangan collective action yang diperumit oleh ketidaksetaraan historis dan struktural yang dalam. Garis patahan utama dalam negosiasi iklim modern—yaitu dikotomi Global North (Negara Industri) dan Global South (Negara Berkembang)—menggambarkan ketegangan antara pertanggungjawaban historis dan kapasitas masa kini. Klasifikasi resmi dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) membagi negara menjadi tiga kelompok: Annex I, yang mencakup negara-negara industri Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) 1992 ditambah negara dengan Ekonomi dalam Transisi (EIT); Annex II, yang terdiri dari anggota OECD di Annex I yang diwajibkan memberikan dukungan finansial dan teknologi; dan Non-Annex I, yang sebagian besar adalah negara berkembang.
Inti dari polarisasi ini adalah tuntutan akan Keadilan Iklim (Climate Justice). Konsep ini menempatkan hak asasi manusia dan kesetaraan sebagai pusat respons kebijakan terhadap perubahan iklim, terutama dengan menyoroti distribusi dampak yang tidak merata. Masyarakat yang paling rentan, seperti komunitas pesisir, petani kecil, dan kelompok marginal, menghadapi dampak paling parah dari krisis ini (misalnya banjir rob, kekeringan, polusi), padahal kontribusi mereka terhadap emisi GRK secara historis sangat kecil.
Perdebatan filosofis seputar Carbon Debt—kewajiban etis Negara Maju untuk membayar atas eksploitasi historis atmosfer sebagai sumber daya bersama global—menjadi pilar moral bagi tuntutan Negara Berkembang. Ketidaksetaraan dalam politik iklim bukanlah efek samping, melainkan hasil yang sistemik dari arsitektur tata kelola global pasca-industri. Mekanisme ini memastikan bahwa ketidakadilan historis (emisi yang dikeluarkan selama industrialisasi) diterjemahkan menjadi ketidakadilan finansial (pendanaan berupa pinjaman) dan teknologi (paten mahal) di masa kini. Analisis menunjukkan bahwa jika Negara Berkembang dipaksa menanggung biaya transisi melalui utang atau teknologi yang tidak terjangkau, ini menciptakan kondisi yang secara rasional mendorong mereka untuk memilih jalur pembangunan berbasis fosil yang lebih murah, yang pada gilirannya menghambat kemampuan kolektif global untuk mencapai target suhu 1.5∘C.
Prinsip Pembentuk Polarisasi: Doktrin Tanggung Jawab Bersama Namun Berbeda (CBDR)
Genealogi dan Fondasi CBDR dalam Hukum Internasional
Prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) adalah konsep kunci yang berakar pada pertimbangan ekuitas dan prinsip-prinsip keadilan dalam hukum internasional. Prinsip ini muncul dari gagasan “keprihatinan bersama” (common concern) dan “warisan umum umat manusia” (common heritage of mankind), yang menegaskan bahwa perlindungan lingkungan harus dicapai melalui kerja sama karena melampaui batas politik.
Formulasi eksplisit CBDR pertama kali diabadikan dalam Prinsip 7 Deklarasi Rio 1992. Prinsip ini menyatakan bahwa Negara memiliki tanggung jawab bersama untuk melindungi sistem iklim, tetapi tanggung jawab ini harus dibedakan berdasarkan dua matriks:
- Kontribusi Historis: Seberapa besar peran suatu negara dalam degradasi lingkungan global di masa lalu.
- Kapasitas: Sumber daya finansial, teknologi, dan struktural yang dimiliki suatu negara untuk mengatasi masalah tersebut.
CBDR secara fundamental berlandaskan pada prinsip polluter-pays, menuntut negara-negara yang memiliki kontribusi emisi historis terbesar untuk memimpin dalam memerangi perubahan iklim. Prinsip ini menjamin kerangka konseptual untuk alokasi biaya perlindungan lingkungan global yang adil, mengaitkan secara langsung eksploitasi masa lalu terhadap sumber daya bersama global dengan kewajiban untuk melakukan tindakan mitigasi dan ganti rugi.
Diferensiasi Kunci dalam Kerangka UNFCCC
UNFCCC menerapkan CBDR melalui pembagian kewajiban yang jelas. Annex I Parties (Negara Maju dan EIT) memiliki kewajiban mitigasi yang paling ketat dan harus secara teratur menyerahkan inventaris GRK. Sementara itu, Annex II Parties (negara-negara OECD) memiliki kewajiban yang paling substantif terhadap Negara Berkembang (Non-Annex I): mereka harus menyediakan sumber daya finansial dan mempromosikan transfer teknologi ramah lingkungan. Negara-negara Non-Annex I, yang diakui sebagai kelompok yang paling rentan (termasuk negara pesisir rendah dan negara yang bergantung pada bahan bakar fosil), diberikan pertimbangan khusus karena kapasitas terbatas mereka untuk beradaptasi.
Basis Moral Emisi Historis
Kewajiban finansial dan teknologi Negara Maju terhadap Negara Berkembang lahir dari prinsip ekuitas dan tanggung jawab historis. Bukti menunjukkan bahwa bahkan ketika Tiongkok, sebagai negara dengan perekonomian yang melesat, kini menjadi pencemar terbesar di dunia (mencapai 26% emisi global pada tahun 2022), emisi historis kumulatif yang dikeluarkan oleh Negara Maju, khususnya Amerika Serikat, masih jauh lebih besar. Oleh karena itu, tuntutan Negara Berkembang agar Annex II memimpin dan menyediakan sumber daya adalah tuntutan berdasarkan pertanggungjawaban atas kerugian masa lalu. Kegagalan Negara Maju dalam transfer teknologi dan pemenuhan janji keuangan bukan hanya kegagalan implementasi, melainkan pelanggaran terhadap janji dasar CBDR. Jika kewajiban restitusi ini dipenuhi dengan cara yang merugikan (misalnya, melalui pinjaman berbunga), Negara Maju secara efektif membebankan biaya perbaikan kembali kepada korban, yang sangat bertentangan dengan prinsip keadilan.
Evolusi dan Erosi Diferensiasi: Dari Kyoto yang Kaku ke Paris yang Fleksibel
Pergeseran Paradigma dari Protokol Kyoto ke Persetujuan Paris
Protokol Kyoto (1997), dengan pendekatannya yang kaku berdasarkan Annex, menghadapi masalah legitimasi karena gagal mengikat negara-negara maju secara universal dan mengecualikan negara-negara berkembang utama dari target pengurangan emisi yang mengikat.
Persetujuan Paris (2015) menandai pergeseran radikal dengan tujuan untuk menciptakan aksi iklim yang universal. Persetujuan ini secara eksplisit “mengabaikan pendekatan berbasis Annex” dan mengadopsi pendekatan yang lebih bernuansa dan terkalibrasi terhadap diferensiasi. Mekanisme utamanya adalah Nationally Determined Contributions (NDC), yang memungkinkan setiap Negara Pihak untuk menentukan sendiri aksi mitigasi dan adaptasi yang akan mereka lakukan (bottom-up approach).
Kaburnya Tanggung Jawab Historis
Meskipun Paris Agreement menjamin universalitas, pendekatan nuanced differentiation dikritik karena mengaburkan garis tanggung jawab historis dan kewajiban finansial yang jelas yang ditetapkan dalam sistem Annex II. Pergeseran dari kewajiban yang mengikat (Kyoto) ke target yang ditentukan sendiri (NDC) menciptakan dilema ambisi. Negara Maju, dengan berhasil memobilisasi hampir 200 negara untuk berpartisipasi, mendapatkan kemenangan dalam hal universalitas, tetapi dengan harga mengaburkan pertanggungjawaban historis atas kerusakan iklim.
Geopolitik emisi saat ini semakin menekan diferensiasi ini. Meskipun CBDR tetap menjadi prinsip, Negara Maju menyoroti bahwa negara-negara ekonomi besar baru, seperti Tiongkok, yang memiliki emisi tahunan tertinggi saat ini , harus berbagi beban finansial. Blok G77 dan Tiongkok berpendapat sebaliknya, menekankan bahwa kewajiban historis Negara Maju (Annex II) untuk memimpin dan menyediakan sumber daya tetap tak terhapuskan. Kaburnya pembedaan dalam NDC memungkinkan Negara Maju untuk berargumen bahwa negara-negara ekonomi besar baru harus berkontribusi setara, yang merupakan upaya untuk menggeser beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab historis Annex II.
Kesenjangan Finansial: Post-Mortem Janji dan Proyeksi Kebutuhan Adaptasi
Ketidaksetaraan yang paling nyata dalam politik iklim diwujudkan dalam pemenuhan janji keuangan. Negara-negara maju telah lama berjanji untuk memobilisasi USD 100 miliar per tahun untuk membantu negara berkembang, yang seharusnya dimulai pada tahun 2020.
Kegagalan Kredibilitas dan Dominasi Pinjaman
Janji $100 miliar baru terpenuhi pada tahun 2022, dua tahun lebih lambat, dengan total pendanaan mencapai USD 115.9 miliar. Keterlambatan ini, seperti yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Dana Iklim Hijau (GCF), merusak kepercayaan politik secara signifikan di forum global.
Yang lebih merusak secara struktural adalah sifat pendanaan tersebut: 69% dari pendanaan iklim publik yang disalurkan pada tahun 2022 adalah dalam bentuk pinjaman (loans), bukan hibah (grants). Para kritikus, seperti Perdana Menteri Italia, menegaskan bahwa dana ini seharusnya diberikan dalam bentuk hibah untuk benar-benar membantu negara rentan. Pendanaan yang didominasi pinjaman ini meningkatkan beban utang Negara Berkembang, memaksa mereka mengeluarkan dana untuk mengatasi krisis yang didorong oleh industrialisasi di Utara. Hal ini mendefinisikan finansialisasi kewajiban iklim, di mana kewajiban moral Negara Maju diubah menjadi transaksi komersial yang mengikat penerima.
Ketidakseimbangan Adaptasi vs. Mitigasi dan NCQG
Negara Maju secara tradisional menunjukkan preferensi dalam mendanai Mitigasi (pengurangan emisi) karena lebih mudah diukur dan seringkali melibatkan teknologi yang dikuasai Negara Maju. Sebaliknya, Negara Berkembang, yang menghadapi manifestasi fisik krisis iklim (misalnya, dampak banjir dan kekeringan), sangat membutuhkan dana Adaptasi untuk membangun ketahanan.
Meskipun Negara Maju menekankan perlunya keseimbangan, upaya adaptasi masih berjalan lambat dan belum memenuhi kebutuhan riil. Defisit ini disoroti dalam negosiasi New Collective Quantified Goal (NCQG), target pendanaan iklim pasca-2025. Meskipun COP29 menetapkan target yang lebih tinggi, yaitu USD 300 miliar per tahun pada 2035, jumlah ini jauh di bawah kebutuhan riil yang diserukan oleh Negara Berkembang, yang meminta hingga USD 1.3 triliun per tahun. Defisit pendanaan yang besar ini mencerminkan kegagalan struktural untuk mengakui skala kebutuhan adaptasi yang sebenarnya. Indonesia sendiri telah mengalokasikan anggaran mitigasi dan adaptasi domestik yang besar (sekitar Rp 102 triliun per tahun, 2018-2020), tetapi dukungan internasional yang transformatif sangat dibutuhkan untuk mencapai target mitigasi dan adaptasi yang ambisius.
Respons terhadap Dampak Tak Terhindarkan: Isu Loss and Damage (L&D)
L&D sebagai Batas Kegagalan Adaptasi
Loss and Damage (L&D) adalah kerugian yang tidak dapat dihindari (ekonomi dan non-ekonomi) akibat perubahan iklim, yang terjadi ketika batas-batas mitigasi dan adaptasi terlampaui. Isu L&D telah menjadi fokus utama Negara Berkembang, yang mencapai tonggak penting dengan didirikannya Warsaw International Mechanism (WIM) pada COP19 (2013) sebagai kendaraan utama untuk menangani L&D.
Dana Kerugian dan Kerusakan (FRLD) dan Kontroversi Voluntarisme
Terobosan utama dicapai pada COP28 dengan dioperasionalisasikannya Dana Kerugian dan Kerusakan (Fund for Responding to Loss and Damage – FRLD). Namun, struktur pendanaan FRLD memicu kontroversi substansial. Kontribusi ke FRLD ditetapkan bersifat sukarela. Struktur ini memungkinkan Negara Maju untuk mengklaim bahwa mereka telah menangani L&D tanpa memikul kewajiban hukum atau kompensasi yang mengikat, yang seharusnya didasarkan pada prinsip tanggung jawab historis.
Selain itu, Amerika Serikat secara aktif mendorong penghapusan perbedaan yang jelas antara negara kaya dan miskin sebagai donatur untuk dana tersebut. Langkah ini secara efektif mengikis diferensiasi dalam CBDR dengan membuka pintu bagi negara-negara berkembang yang memiliki perekonomian kuat (seperti Tiongkok dan petrostates di G77) untuk didorong menjadi kontributor utama, secara de facto membagi beban historis Negara Maju. Dengan demikian, FRLD berisiko menjadi “janji kosong” karena bergantung pada amal sukarela alih-alih kewajiban terikat, yang mengurangi akuntabilitas Negara Maju.
Bagi negara-negara pesisir seperti Indonesia, dana L&D sangat penting untuk mengatasi dampak seperti relokasi masyarakat pesisir dan program pascabencana. Meskipun Indonesia telah memiliki mekanisme dana patungan untuk bencana (sekitar Rp 7.3 triliun), pendanaan tambahan dari FRLD dibutuhkan untuk mengatasi kerugian material dan imaterial akibat insiden spesifik terkait iklim.
Hambatan Transfer Teknologi Hijau (GTT) dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Transfer Teknologi Hijau (GTT) adalah kunci bagi Negara Berkembang untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan target NDC. GTT, yang didefinisikan sebagai pemindahan teknologi ramah lingkungan , harusnya dipromosikan oleh Negara Maju sesuai dengan kewajiban Annex II.
IPR sebagai Komoditas Ketimbang Kebaikan Publik
Sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI), terutama paten, merupakan penghalang struktural utama terhadap GTT. Paten atas teknologi iklim (misalnya, teknologi energi terbarukan atau kendaraan listrik) berfungsi sebagai insentif bagi inovator. Namun, bagi Negara Berkembang, perlindungan paten ini meningkatkan biaya adopsi dan membatasi kemampuan manufaktur lokal. Paten secara efektif adalah manifestasi legal dari ketidaksetaraan ekonomi yang disuntikkan ke dalam politik iklim, mengubah teknologi mitigasi yang vital menjadi komoditas mahal, dan bukan kebaikan publik yang harus diakses secara universal.
Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang paten yang disempurnakan , negara ini belum memiliki kebijakan green patent incentive yang jelas untuk mempercepat proses pendaftaran dan adopsi teknologi hijau domestik, yang dapat membantu mengurangi ketergantungan asing.
Kesesuaian Teknologi dan Kebijakan Domestik
Bahkan ketika teknologi ditransfer, seringkali produknya adalah teknologi ‘state of the art’ yang tidak sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi dan kebutuhan lokal Negara Berkembang. Teknologi ini mahal, sulit dioperasikan, dan suku cadangnya sulit diperoleh, yang menyebabkan kurangnya keberlanjutan. GTT harus disesuaikan untuk menjadi teknologi tepat guna yang murah, mudah dioperasikan, dan disesuaikan dengan potensi lokal.
Selain itu, Negara Berkembang menghadapi hambatan kebijakan internal, seperti subsidi bahan bakar fosil yang mendistorsi pasar dan menghambat adopsi energi terbarukan. Menghilangkan subsidi ini—meskipun secara lingkungan logis—memerlukan langkah-langkah pendamping yang didanai dengan baik, seperti bantuan untuk kelompok berpenghasilan rendah, yang sering kali sulit diimplementasikan tanpa dukungan finansial internasional.
Ketergantungan pada impor teknologi mahal karena hambatan paten, ditambah dengan pendanaan yang didominasi pinjaman, menciptakan model neo-green colonialism, di mana Negara Maju mengendalikan rantai nilai transisi energi, sementara Negara Berkembang menanggung biaya dan risiko.
Kesimpulan
Polarisasi dalam politik iklim antara Negara Industri dan Negara Berkembang berakar pada kegagalan struktural untuk mengintegrasikan prinsip ekuitas ke dalam implementasi perjanjian. Kesenjangan Historis-Legal, Finansial, L&D, dan Teknologi telah menciptakan sistem yang menuntut ambisi universal (NDC) tanpa menyediakan sarana universal (finansial dan teknologi) untuk mencapainya. Ini mengancam tujuan iklim global.
Untuk mengatasi ketidaksetaraan struktural yang mendalam ini, diperlukan tindakan berani:
- Pendanaan Wajib Berbasis Hibah: Negara Maju harus secara signifikan mengubah proporsi pendanaan iklim, memastikan bahwa pendanaan untuk Adaptasi dan Loss and Damage disalurkan sebagai hibah murni (bukan pinjaman) untuk mengurangi beban utang negara-negara rentan. Peningkatan pengawasan diperlukan untuk memastikan dana transformatif disalurkan secara inklusif.
- Reformasi Penguasaan Teknologi: Negara Maju harus mendukung inisiatif seperti patent pool atau lisensi wajib untuk teknologi iklim esensial. Di tingkat domestik, Negara Berkembang harus memprioritaskan teknologi yang sesuai secara sosial-ekonomi dan mengimplementasikan kebijakan yang mengatasi hambatan HKI dan distorsi pasar (seperti subsidi bahan bakar fosil).
- Diplomasi Kolektif yang Tegas: Blok G77 dan Tiongkok harus bersatu dalam negosiasi New Collective Quantified Goal (NCQG) untuk menuntut komitmen pendanaan yang mencerminkan kebutuhan riil (jauh di atas target minimal $300 miliar) dan menolak upaya untuk mengikis diferensiasi tanggung jawab donatur.
Membangun kepercayaan dan mencapai ketahanan iklim yang sejati mensyaratkan bahwa keadilan iklim diletakkan sebagai dasar struktural. Kegagalan untuk menanggapi kebutuhan Negara Berkembang secara adil, terutama dalam hal adaptasi dan kerugian yang tidak terhindarkan, akan memastikan bahwa beban krisis ini terus berpusat pada yang paling rentan, sehingga menggagalkan upaya kolektif global untuk menahan pemanasan di bawah 1.5∘C.