Pembentukan provinsi, sebagai daerah otonom tingkat I, merupakan manifestasi fundamental dari prinsip desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara konstitusional, dasar pembentukan ini diamanatkan oleh Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa NKRI dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Legitimasi pemerintahan daerah tingkat I bergantung sepenuhnya pada instrumen hukum primer—yakni Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), atau UU Darurat yang telah dilegalisasi—yang mendasari penciptaan yurisdiksi administratif tersebut.

Laporan ahli ini menyajikan analisis yudisial-historis mengenai genealogi administratif 10 provinsi di Pulau Sumatera, dengan fokus pada landasan hukum primer pembentukannya. Analisis ini mengungkapkan bahwa pembentukan provinsi di Sumatera terjadi melalui serangkaian gelombang legislatif yang mencerminkan evolusi politik dan kebutuhan ketatanegaraan Indonesia.

Paradigma Kronologis Pembentukan Provinsi Sumatera

Secara kronologis, pembentukan provinsi-provinsi di Sumatera dapat dikategorikan menjadi tiga fase legislatif utama, yang masing-masing menggunakan instrumen hukum yang berbeda dan didorong oleh motivasi politik yang spesifik:

  1. Fase Pendirian Awal (1948): Era transisi kemerdekaan, pembentukan provinsi induk (Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan) menggunakan UU yang berakar pada masa konstitusi sementara (UUDS) dan struktur federal (RIS).
  2. Fase Konsolidasi dan Fragmentasi (1957–1967): Periode Demokrasi Terpimpin, ditandai dengan pemecahan provinsi induk menggunakan instrumen hukum darurat (UU Darurat/Perppu) untuk mempercepat kontrol dan desentralisasi regional di tengah instabilitas politik.
  3. Fase Reformasi dan Pemekaran Geografis (2000-an): Periode pasca-Reformasi, di mana pembentukan provinsi baru didorong oleh tuntutan efisiensi pelayanan publik, respons terhadap kesulitan geografis (kepulauan), dan peningkatan kapasitas fiskal daerah.

Analisis ini menunjukkan bahwa jenis instrumen hukum yang digunakan (UU biasa, UU Darurat, atau UU Otonomi Khusus) merupakan indikator langsung dari kondisi politik pusat-daerah pada saat pembentukan.

Fase Pendirian Awal (1948): Warisan Hukum Kolonial dan Kedaluwarsa Yuridis

UU Nomor 10 Tahun 1948: Fondasi Triumvirat Sumatra

Dasar hukum pertama dan tertua bagi pembagian wilayah administratif tingkat I di Sumatera setelah kemerdekaan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan. Undang-undang ini ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 15 April 1948, dengan Presiden Soekarno dan Menteri Dalam Negeri Soekiman sebagai penandatangan. Tanggal penetapan ini, 15 April 1948, kemudian secara historis ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Sumatera Utara.

Pada masa pendirian awal ini, Provinsi Sumatera Utara beribu kota di Medan. Sementara itu, Sumatera Selatan, yang merupakan provinsi induk bagi sebagian besar pemekaran di wilayah selatan di kemudian hari, beribu kota di Palembang. UU 10/1948 menetapkan bahwa ketiga provinsi ini masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Analisis Krisis Legalitas UU 10/1948 (Studi Kasus Sumatera Utara)

Meskipun UU Nomor 10 Tahun 1948 merupakan fondasi historis pembagian Sumatera, landasan hukum provinsi yang terbentuk darinya, terutama Sumatera Utara, dihadapkan pada masalah yuridis yang signifikan. Dasar pembentukan Provinsi Sumatera Utara tersebut secara yuridis telah dikategorikan sebagai kadaluarsa (out of date).

Kategorisasi ini muncul karena UU tersebut dibentuk pada masa ketika Indonesia masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950) dan berada dalam kerangka negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketidaksesuaian ini menciptakan risiko hukum kronologis, di mana fondasi hukum salah satu provinsi tertua tidak sinkron dengan perkembangan ketatanegaraan terkini dan kerangka NKRI di bawah UUD 1945.

Konsekuensi dari kelemahan fondasi konstitusional ini adalah bahwa banyak materi muatan dalam UU 10/1948 sudah tidak relevan. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif legislatif baru, berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Sumatera Utara, untuk melakukan penyesuaian. Tujuan dari pembentukan UU baru ini adalah untuk memastikan pembangunan di Sumatera Utara dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah guna mewujudkan prinsip NKRI yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan berkebudayaan.

Ketidaksesuaian ini menunjukkan bahwa transisi dari hukum warisan masa UUDS/RIS ke kerangka hukum NKRI modern membutuhkan legalisasi ulang yang komprehensif untuk menghindari potensi sengketa yudisial atau hambatan administratif di masa depan.

Fase Konsolidasi dan Fragmentasi (1957–1967): Instrumentasi Hukum Darurat

Fase ini ditandai dengan pemecahan Provinsi Sumatera Tengah dan pemisahan wilayah selatan dari Sumatera Selatan, seringkali menggunakan instrumen hukum yang bersifat mendesak untuk merespons kebutuhan politik dan administratif yang cepat.

Pemecahan Sumatera Tengah: Jambi, Riau, dan Sumatera Barat

Pemisahan Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi dilakukan melalui Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Instrumen hukum darurat ini kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958. Penggunaan instrumen hukum darurat pada akhir 1950-an mengindikasikan urgensi politik dan administrasi pusat, sejalan dengan kebutuhan untuk mengambil tindakan cepat (uitvoeringvoorschriften) dalam situasi yang mendesak. Hal ini merefleksikan periode transisi politik yang penuh tantangan di Indonesia.

Provinsi Jambi

Daerah Swatantra Tingkat I Jambi dibentuk berdasarkan UU 61/1958, meliputi wilayah Kabupaten Batanghari dan Merangin, serta menyertakan Kotapraja Jambi. Kotapraja Jambi juga ditetapkan sebagai ibu kota provinsi. Secara administratif, Provinsi Jambi didirikan pada 6 Januari 1957.

Provinsi Riau dan Sumatera Barat

Provinsi Riau dibentuk dari Daerah Swatantra Tingkat I Riau, mencakup Kabupaten Bengkalis, Kampar, Inderagiri, Kepulauan Riau, dan Kotapraja Pakanbaru. Demikian pula, Provinsi Sumatera Barat dibentuk dari Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, mencakup sejumlah Kabupaten dan Kotapraja seperti Bukit Tinggi dan Padang.

Modernisasi Legislatif Jambi dan Riau (UU 2022)

Meskipun fondasi Jambi dan Riau adalah UU 61/1958, Pemerintah Pusat telah mengambil langkah signifikan untuk memodernisasi kerangka hukum kedua provinsi ini. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 telah dicabut dan digantikan sebagian oleh legislasi baru yang komprehensif: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2022 tentang Provinsi Jambi  dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2022 tentang Provinsi Riau.

Konsiderans dalam UU 2022 ini secara eksplisit menyebutkan bahwa UU 61/1958 tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu disesuaikan. UU pembaruan ini bertujuan untuk penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, dan penegasan karakteristik daerah. Upaya harmonisasi legislatif ini adalah tren penting yang menunjukkan komitmen negara untuk menyelesaikan masalah hukum warisan (legacy law) dari era 1950-an, khususnya dalam hal penetapan batas wilayah, pengelolaan sumber daya alam, dan ketersediaan infrastruktur.

Langkah legislatif 2022 ini menyoroti perbedaan perlakuan terhadap provinsi yang terbentuk di era 1950-an (Jambi dan Riau), yang dasar hukumnya telah diperbarui, dibandingkan dengan Sumatera Utara (1948) yang masih mengandalkan UU yang secara resmi dinyatakan ‘kadaluarsa’ oleh lembaga legislatif

Pemisahan Wilayah Selatan dari Sumatera Selatan (Lampung dan Bengkulu)

Fragmentasi Provinsi Sumatera Selatan (yang dibentuk pada 1948) menghasilkan dua provinsi baru pada era 1960-an.

Provinsi Lampung (1964)

Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964. UU ini merupakan penetapan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 3 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Lampung, dengan mengubah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. Provinsi Lampung saat ini beribu kota di Bandar Lampung.

Provinsi Bengkulu (1967)

Provinsi Bengkulu dipisahkan dari wilayah eks-Keresidenan Bengkulu yang sebelumnya berada di bawah Provinsi Sumatera Selatan. Pembentukannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967. Provinsi ini secara resmi dibentuk pada tanggal 18 November 1968.20 Ibu kota dan kota terbesarnya adalah Bengkulu, yang secara historis dikenal sebagai Bencoolen.

Secara yuridis, UU 9/1967 memuat klausul penting terkait keberlanjutan fiskal daerah otonom yang baru. Pasal 10 undang-undang tersebut menyatakan bahwa anggaran pembiayaan pembentukan Provinsi Bengkulu diatur oleh Menteri Dalam Negeri dan berlaku mulai Tahun Anggaran 1968, hingga provinsi tersebut mencapai kemampuan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini menunjukkan pengakuan formal oleh negara bahwa pembentukan provinsi baru harus disertai dengan strategi jaminan kemampuan fiskal transisional, sebuah isu yang tetap relevan hingga gelombang pemekaran era Reformasi.

Ringkasan data legislatif dan administratif provinsi di Sumatera disajikan pada tabel berikut:

Tabel Kronologis Pembentukan Provinsi di Pulau Sumatera

Provinsi Provinsi Induk/Pemekaran Dari Dasar Hukum Primer Tahun Pembentukan/Penetapan UU Ibu Kota Saat Ini
Aceh (Otsus) Sumatera UU No. 11 Tahun 2006 (UUPA) 1956/2006 (Status Akhir) Banda Aceh
Sumatera Utara Sumatera UU No. 10 Tahun 1948 1948 Medan
Jambi Sumatera Tengah UU No. 61 Tahun 1958 (Diperbarui UU 18/2022) 1958 Jambi
Riau Sumatera Tengah UU No. 61 Tahun 1958 (Diperbarui UU 19/2022) 1958 Pekanbaru
Sumatera Barat Sumatera Tengah UU No. 61 Tahun 1958 1958 Padang
Lampung Sumatera Selatan UU No. 14 Tahun 1964 1964 Bandar Lampung
Bengkulu Sumatera Selatan UU No. 9 Tahun 1967 1967 Bengkulu
Kepulauan Bangka Belitung Sumatera Selatan UU No. 27 Tahun 2000 2000 Pangkalpinang
Kepulauan Riau Riau UU No. 25 Tahun 2002 2002 Tanjungpinang
Sumatera Selatan Sumatera UU No. 10 Tahun 1948 1948 Palembang

Fase Reformasi (2000-an): Pemekaran Berbasis Geografis

Gelombang pemekaran daerah otonom baru di era Reformasi, yang diatur melalui Undang-Undang Otonomi Daerah, berfokus pada peningkatan efisiensi administratif dan respons terhadap tantangan geografi lokal. Di Sumatera, dua provinsi baru terbentuk, keduanya berasal dari pemisahan wilayah induk di daratan.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel)

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000. Provinsi ini merupakan hasil pemekaran wilayah dari Provinsi Sumatera Selatan. UU 27/2000 memberikan status otonomi kepada Babel, yang berpusat di Pangkalpinang.

Secara spesifik, selain kewenangan otonomi umum, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung juga diberikan kewenangan pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota di dalamnya. Selain itu, dengan terbentuknya Babel, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan tidak berubah hingga terbentuknya DPRD Sumsel hasil pemilihan umum berikutnya. Pembentukan Babel merupakan langkah awal pemekaran yang berbasis pada kesatuan geografis kepulauan dan kebutuhan untuk memangkas jarak birokrasi dari Palembang (ibu kota Sumatera Selatan).

Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)

Provinsi Kepulauan Riau merupakan studi kasus penting mengenai desentralisasi yang didorong oleh faktor geografis dan ekonomi pasca-Reformasi. Provinsi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002, yang diundangkan pada tanggal 25 Oktober 2002. Ibu kota Provinsi Kepulauan Riau adalah Tanjungpinang.

Motivasi utama pemekaran Kepri adalah kontur geografisnya yang terdiri dari banyak pulau, yang secara inheren menyulitkan akses administratif dari wilayah kepulauan ke daratan Sumatera. Meskipun pemekaran awalnya dilakukan untuk mempermudah hubungan selama gerakan Ganyang Malaysia, seiring berjalannya waktu, kebutuhan untuk meningkatkan pelayanan publik dan tata kelola di wilayah kepulauan menjadi prioritas.

Pemekaran Kepri juga didorong oleh tujuan fiskal yang eksplisit, yaitu agar daerah dapat menjadi mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat. Meskipun sebagian besar kabupaten/kota di Kepri masih mengandalkan dana transfer, keberadaan Kota Batam dan Provinsi Kepri sendiri menunjukkan kapasitas fiskal yang kuat, dicirikan oleh porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Oleh karena itu, pembentukan Kepri menjadi model desentralisasi modern yang berhasil mengaitkan efisiensi geografis dengan kemandirian ekonomi.

Rezim Hukum Asimetris: Provinsi Aceh (Otonomi Khusus)

Provinsi Aceh memiliki kedudukan hukum yang unik dan berbeda dari semua provinsi lain di Sumatera karena statusnya sebagai Daerah Istimewa dan penerima Otonomi Khusus (Otsus). Status ini merupakan pengecualian fundamental terhadap pola pembentukan provinsi otonomi umum.

Keistimewaan dan Landasan Yudiris Komprehensif

Sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi penjajah. Pengakuan terhadap keunikan sejarah ini pertama kali dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Landasan yuridis yang komprehensif dan mengikat di era modern adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA, yang berakar pada Pasal 18B UUD 1945, memberikan kerangka hukum yang kuat dan berbeda. Provinsi Aceh beribu kota di Banda Aceh.

Kewenangan Khusus dan Asimetri Konstitusional

Rezim Otonomi Khusus yang diterapkan di Aceh memberikan kewenangan yang jauh melampaui standar otonomi daerah biasa. Sebagai contoh, UUPA memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk menyelenggarakan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota.

Status Aceh adalah manifestasi tertinggi dari prinsip asimetri konstitusional di Indonesia, yang mengakui daerah-daerah yang memiliki sifat khusus atau istimewa. Pengakuan historis dan politis ini menjadikan UU 11/2006 bukan sekadar alat administratif, melainkan instrumen manajemen konflik dan integrasi, memberikan kedaulatan politik lokal yang lebih substansial dibandingkan provinsi lain di Sumatera.

Analisis Komparatif Dasar Hukum Pembentukan Provinsi Kunci (Fokus Status Hukum)

UU Pembentukan Tahun Provinsi Terdampak Status Hukum dan Implikasi
UU No. 10/1948 1948 Sumatera Utara, Tengah, Selatan Legacy Law/Kadaluarsa Yuridis. Dibentuk di bawah UUDS 1950, memerlukan revisi total (RUU Provinsi Sumut).1
UU No. 61/1958 1958 Sumatera Barat, Jambi, Riau Penetapan UU Darurat 19/1957. Telah direvisi (dicabut) untuk Jambi (UU 18/2022) dan Riau (UU 19/2022) untuk penyesuaian hukum.
UU No. 9/1967 1967 Bengkulu Pemisahan dari Sumsel. Mengandung klausul spesifik mengenai dukungan pembiayaan transisional (Anggaran 1968) hingga mencapai kemandirian fiskal.
UU No. 25/2002 2002 Kepulauan Riau Pemekaran modern berbasis desentralisasi geografis. Motivasi eksplisit: meningkatkan akses administrasi dan kapasitas fiskal daerah.
UU No. 11/2006 (UUPA) 2006 Aceh Asimetri Konstitusional. Rezim Otonomi Khusus yang memberikan kewenangan politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih komprehensif, berdasarkan pengakuan sejarah.

Kesimpulan dan Rekomendasi Yudisial

Sintesis Pola Pembentukan dan Motivasi

Analisis terhadap genealogi administratif provinsi di Pulau Sumatera mengungkapkan adanya pergeseran pola motivasi dan instrumen hukum yang digunakan oleh negara:

  1. Fase Awal (1948): Dorongan untuk integrasi dan pembentukan entitas otonom di tengah krisis kedaulatan, menggunakan UU yang kemudian menimbulkan masalah legalitas legacy law.
  2. Fase Konsolidasi (1957–1967): Penggunaan instrumen darurat (UU Darurat/Perppu) sebagai alat untuk memecah wilayah yang terlalu luas, seringkali di bawah tekanan politik tinggi, yang kemudian menghasilkan perhatian terhadap kebutuhan jaminan fiskal transisional (seperti Bengkulu).
  3. Fase Reformasi (2000-an): Motivasi bergeser menjadi upaya peningkatan efisiensi birokrasi yang didorong oleh kesulitan geografis (Kepulauan Riau) dan cita-cita mencapai kemandirian fiskal.

Implikasi Hukum Terhadap Legacy Law

Terdapat disparitas signifikan dalam pembaruan dasar hukum provinsi di Sumatera. Sementara Jambi dan Riau, yang terbentuk pada tahun 1958 melalui UU 61/1958, telah menerima pembaruan melalui UU 2022 untuk penyesuaian hukum modern, Provinsi Sumatera Utara masih berdiri di atas fondasi UU 10/1948 yang secara yuridis dianggap kadaluarsa karena akar konstitusionalnya pada masa UUDS 1950/RIS.

Kondisi ini menimbulkan risiko ketatanegaraan yang potensial menghambat penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya dalam konteks perencanaan dan integrasi pembangunan.

Rekomendasi Yudisial

Berdasarkan analisis ketidaksesuaian hukum yang berlarut-larut pada Provinsi Sumatera Utara, direkomendasikan secara yudisial agar inisiatif legislatif untuk pembentukan RUU Provinsi Sumut segera diselesaikan dan ditetapkan. Langkah ini sangat krusial untuk:

  1. Menghapus status legacy law UU 10/1948.
  2. Mensinkronkan materi muatan hukum provinsi dengan UUD 1945 dan rezim otonomi daerah yang berlaku.
  3. Memastikan legitimasi yang kokoh bagi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan di Sumatera Utara sesuai dengan prinsip NKRI.

Kedudukan Sumatera dalam Kerangka Otonomi Asimetris

Sumatera berfungsi sebagai miniatur representasi model otonomi asimetris di Indonesia:

  • Aceh adalah model otonomi yang didorong oleh pengakuan historis dan tuntutan politik, yang memberikan kewenangan kedaulatan lokal yang lebih tinggi dan unik (Otsus).
  • Kepulauan Riau adalah model pemekaran modern yang didorong oleh faktor geografis dan potensi ekonomi (kapasitas fiskal) untuk mengatasi hambatan birokrasi dan mencapai kemandirian.

Kedua model ini memperkuat pemahaman bahwa struktur NKRI, melalui Pasal 18B UUD 1945 dan kebijakan pemekaran, mengakomodasi keragaman historis, kultural, dan geografis untuk mencapai tujuan desentralisasi secara efektif.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 1 = 1
Powered by MathCaptcha